close

Menjadi “Anak Hilang” Usai Gunung Purba

Selepas penutupan “Pekerjaan Rumah” Summit di Gunung Purba, Yogyakarta, pada Ahad (1/10/2017), saya menetapkan untuk berpisah dgn rombongan panitia sentra. Seperti “Anak Hilang” kata om Kurnia. Mereka naik mobil, aku naik bus bersama rombongan dr banyak sekali tempat. Sengaja. Bukan apa-apa & tak ada apa. Hanya ingin mengenal mereka saja. Meski tak dalam, paling tak aku mampu menyelam.

Di kaki Gunung Api Purba, saya berjumpa dgn akseptor berperawakan gemah ripah loh jinawi. Mendengar namanya tiba-tiba saya teringat sesuatu. Di masa lampau. “Mas ini Fitrah S, S-nya Subarkah bukan?” Ia mengangguk. Setelah itu, saya cerita bahwa aku pernah menghubunginya. Sekitar tahun 2010. Mengirimkan sandek untuk menanyakan program Humaniora Islamic Festival yg diadakan oleh kampus mentereng di tempat Depok.

Ia mengenang-ingat namun kadung lupa. Terang saja banyak sandek masuk. Festival tersebut ialah pertama & terakhir. Mengingat persaingan makin kuat.

Di masa kuliah pernah mendirikan rumah Alquran. Selepas kuliah ia kembali ke luar Jawa. Mendirikan forum pendidikan, lengkap dgn koperasi & tetek bengeknya.

Di tempat lain, aku berjumpa Bli Gede. Pria asal Bali yg kisah akhir hayat ayahnya yg kemudian abunya dikirim ke bahari. Berjalannya waktu ia mendapatkan cahaya Islam. Agama yg dianutnya sekarang.

Di sentra buah tangan, mata aku tertumbuk pada sahabat yg cuma menentukan satu masakan saja untuk dibeli. Ia ingin menentukan kuliner praktis lain yg cocok untuk kehidupan anak kost. Tapi tak jadi. Ia pilih satu lalu dititipkan di keranjang saya.

Di tempat terakhir, aku mendapat “panggilan” untuk gabung dgn tim pusat. Mereka sedang makan. Dilema. Teman-sobat dr Jawa Tengah sudah tiba menjemput saya. Di kendaraan beroda empat mereka, aku ikut pulang.

  Inilah Manfaat Akhlakul Karimah yang Sering Terlupakan (Bagian 2)

Pilihan saya tak salah. Saya kesudahannya pulang ke Semarang bareng sahabat-teman yg begitu- – sulit mengungkapkannya. Saya dibuat tak henti tertawa lalu terselip ibrah yg merekah. Saya kembali “Njawani” setelah terlebur dgn asap Jakarta. Saya pula merekam “malu-aib” mereka di hape, sekadar mengenang kenangan akan guyonan mereka.

Saya “diservice” dgn baik, macam kendaraan beroda empat yg sedang galau & gelisah. Kami pun makan bareng di Ayam Goreng Bu Thoha Tuntang–dan bertemu pete goreng.

Hujan memisahkan kami, dgn tawa yg hangat. Membuat aku lupa akan sate klatak. Dan pada balasannya kita akan menghilang secara perlahan-lahan. Memisahkan diri untuk perjalanan panjang atau mungkin selamanya. [Paramuda/Wargamasyarakat]