Menghilang Usai Liputan 212 dan Pertanyaan Anak ke Emak: Reuni Itu Apa?

Sekitar pukul 09.45 WIB jalan dr belakang panggung Monas, karena sudah ada dua narsum yg dikerubung wartawan. Saat narsum satu selesai, mesti mengejar narsum satu lagi. Alhasil, sambil jalan sambil menyodorkan voice recorder.

“Bentar ya, ngos-ngosan pula saya wawancara sambil jalan cepat begini,” kata Pak Mustafa Kamal, Sekjen Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam keadaan ini memang harus sigap. Meliuk-liuk di antara kerumunan massa yg berjubel.

Bahan sudah dapat. Jalan menuju keluar masih bersama narsum & ajudannya. Gelombang manusia kian besar. Banyak yg gres berdatangan ke Reuni 212 tampaknya. Kali ini lebih besar.

Satu dorong, lain ikut mendorong. Namun secara tiba-tiba adem tatkala saling baca sholawat. Ini serupa latihan sai—-atau hai, inikah serupakah dgn padang Mahsyar?

Hingga pada balasannya….aku kehilangan jejak siapapun.

…tak ada jaringan internet.

…tak ada sinyal.

Saya seorang diri.

Akhirnya opsi jatuh ke Gondangdia. Setelah sempat dapat sinyal di daerah BI.

Berjalan ke sana, nyatanya tak semudah menyaksikan wujud aktual Esemka. Selangkah demi selangkah. Ishbir..ishbir..

Monas ke Gondangdia, hampir satu jam. Di stasiun tetangga Soraya Intercine itu, tangga-tangga serupa lautan jilbab. Bendera tauhid pun banyak, ah iya! Di mana gerangan Deki Matulesi?

Kau tahu di mana ia berada? Deki sempat berujar pihaknya siap melayang ke Jakarta apabila nantinya ada bendera tauhid yg berkibar di tengah-tengah massa alumni 212.

Deki yaitu Ketua Presidium Gerakan Jaga Indonesia untuk wilayah Indonesia timur. Ia bicara di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (26/11/2018).

“Jika di acara reuni Alumni 212 itu nanti ada bendera tauhid, jangan salahkan kami, akan turun ribuan orang pula ke Jakarta untuk mencopot & berhadapan eksklusif, bertabrakan dgn alumni 212, alasannya adalah kami setuju untuk mempertahankan NKRI,” kata beliau.

  Masih Mau Pacaran setelah Baca Kisah Ini? Anda Pasti Gak Waras

Baiklah, di dunia yg semakin renta, ada saja perangai yg jenaka.

Pilihan jatuh ke Masjid Cut Meutia ketika azan berkumandang. Tak stasiun, tak masjid, penuh sekali dgn massa. Sampai pelataran pun digunakan untuk menggelar sajadah panjang terbentang.

Keadaan tak aman, kesudahannya mampir ke Sofyan Hotel. Bukan buat check ini, namun buat numpang sholat di mushola. Pihak hotel tak resek, mereka terbuka tangan.

“Ma, mereka pada agresi ya, Ma?”

“Bukan. Mereka lagi reuni.”

“Reuni?”

“Iya, bersatu kembali.”

Dialog emak-anak di warung kecil, tak jauh dr stasiun.

Semoga “bersatu kembali” di nirwana. [@paramuda/Wargamasyarakat]