(Hasan Aspahani, 2006)
Itulah bait pertama yg kamu tulis dgn tinta yg ragu-ragu keluar dr penanya, tatkala perlahan-lahan kotaku terendam lumpur. Begitupun gue menyambut besar hati, atas suratmu yg kamu kirim melalui denyut hati, karena kau tahu arti penderitaan kami.
Aku memahami perasaanmu. Begitu bernafsukah kau ingin datang ke kotaku? Begitulah yg gue rasakan dlm setiap detak nadimu. Tetapi gue tahu, kau hanya ingin mengembara lepas dlm batin kami yg menderita.
Aku pun tak berharap kamu datang ke kotaku. Cukuplah kau saksikan dgn mata hatimu, gue sudah bangga. Aku gembira membaca bait-bait resahmu, yg kau tuliskan dgn tinta yg sangsi keluar dr penanya.
Tetapi tak apalah. Kau salah satu yg gue kagumi. Penderitaan memang tak perlu dibaitkan dlm kata-kata jelas. Karena kata-kata jelas sering menjadi pelipur lara belaka. Dan kau tahu, kotaku perlahan-lahan tenggelam tak hanya dlm lumpur namun dlm timbunan retorika.
Ketahuilah, kami yg sekarang tinggal di kota lumpur, sudah banyak mereka-reka & mengais-ngais kata-kata terang namun gelap maknanya. Aku tahu, kau menuliskan dgn bahasa bersayap, tetapi gue mencicipi irisan-irisan makna yg kamu hujamkan ke ulu hati.
Karena itu, gue tak ingin kau datang ke kotaku. Mata hatimu mungkin akan lebih tajam menyaksikan derita kami, ketimbang kau ingin bermetamorfosis menjadi guru bahasa, guru pengocok moral atau menjadi pengabar yg sok pandai.
”Tidak! Aku cukup lega membaca isi hatimu!”
Bertapalah di gunung batinmu. Jangan datang ke kotaku. Kotaku, sekarang hilang. Kini yg tertinggal hanya kenangan & cita-cita-harapan. Tak ada yg tersisa, selain kata sesal. Dan sepucuk atap rumah yg gentingnya menyumbul di antara hamparan lumpur kering & pucuk-pucuk pohon yg meranggas. Tak ada yg tersisa.
”Kini semuanya sudah ditelan waktu. Kotaku hilang tak terkenang!”
Tapi jika kau ingin datang ke kotaku, gantilah hatimu dgn kerikil. Kantongilah sekarung nyawa. Ke kotaku sekarang cuma ada satu jalan, jalan kematian!
Di jalan itu akan kau jumpai monster-monster kecil penghisap darah. Di jalan kau akan jumpai pohon-pohon hidup, yg bisa menjerat lehermu hingga putus. Jebakan demi jebakan harus kau waspadai. Orang-orang yg berniat baik bisa berbalik menjadi perampok yg ganas. Di setiap tikungan, kau harus waspada, sebab di situ banyak pengemis bersenjata tajam akan menghunuskan arit ke lehermu bila kau tak memberi uang barang satu perak pun.
Bila kau lolos di jalan akhir hayat, kau tak perlu bergembira. Karena setelah itu kamu akan memperoleh jalan yg bercabang-cabang, menyerupai labirin. Kau harus bakir memilih jalan yg sempurna. Bila salah pilih, jangan harap kau bisa kembali menjadi insan. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yg hidup di rawa-rawa, yg kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni.
”Kau tahu, jalan yg bercabang-cabang itu sebetulnya tak akan sampai ke kotaku!”
Karena itu, tatkala kamu menetapkan untuk tiba ke kotaku, siapkan dirimu menjadi pahlawan kesiangan atau kalau mau hidup jadilah monster. Kotaku, mirip yg kamu tulis, ”Maka lumpur pun tiba, & penduduk kota hilang,” tidaklah salah.
Untuk mencari rumahku, kau mesti menjadi superhero yg gagah berani. Kau mesti menjadi insan tak terkalahkan. Kau harus menjadi seperti Gatutkaca atau Antareja yg mampu terbang & menembus perut bumi. Tetapi kamu bisa pula menjadi Sangkuni yg berakal bersilat lidah & tipu tipu daya.
Atau kau bisa menjadi badut. Kau akan gampang masuk dgn gaya leluconmu. Kau akan dikerumuni anak-anak kecil yg haus hiburan. Mereka anak-anak yg tak lagi mengenal masa depannya. Hanya dgn leluconlah kau bakal hidup panjang.
Meski begitu, kamu jangan berharap telah hingga ke kotaku. Mungkin kamu masih menempuh separuh jalan. Atau barangkali kamu masih jalan di tempat. Tak ada yg tahu berapa jauh jalan yg mesti ditempuh hingga hingga ke kotaku.
Tak ada yg tahu. Kotaku sudah hilang dlm peta. Barangkali, kotaku sudah berada dlm perut paus atau terkubur dlm perut bumi, atau masih dlm genggaman monster warna-warni, pula tak ada yg tahu.
Bagi kami, jalan kota kami telah tertutup rapat dr dunia. Tak ada jalan lain, selain jalan ke langit. Tak ada kata-kata, selain doa. Tak ada cita-cita, selain keinginan untuk mati.
”Apakah kau siap, kawan?!”
Memasuki kota kami, melalui jalan labirin itu, tajamkan mata & hati. Bersiaplah kau menerima jebakan-jebakan yg lebih akhir hayat dr jalan kematian. Jangan asal melangkah, alasannya adalah di setiap jengkal, arti langkahmu sungguh menentukan nasibmu. Dan kamu tahu, orang-orang di kotaku telah banyak yg menjadi lintah, belut, & bahkan ubur-ubur, alasannya salah melangkah. Atau memang mereka ingin menjadi monster jalan labirin ketimbang hidup dlm kubangan lumpur.
”Aku menyesal bahwasanya, tak bisa menuliskan kabar ini dengan-cara benar!”
Tak ada kebenaran di kota kami. Kebenaran sudah dirampok. Kebenaran menjadi bahasa yg berbelit-belit & susah diketahui maknanya. Kebenaran & kepalsuan menjadi tipis jaraknya. Dan kau tahu, banyak di antara kami yg silau oleh kepalsuan yg berlapis kebenaran.
Kami tak salah. Kami dijebak oleh monster-monster penguasa jalan-jalan labirin. Meski demikian, banyak yg menentukan menjadi & hidup dlm lumpur dibandingkan dengan menjadi lintah atau menjadi budak para monster.
Dan kau tahu, dlm bait suratmu yg kamu suarakan melalui hatimu, kau tulis dgn gamblang: ”Semula ada yg menduga mereka memilih jadi ikan, memasang semacam insang di leher & semenjak itu menjadi bisu….”
Pada awalnya memang itulah yg kami tempuh. Kami diam & pasrah tatkala air bercampur lumpur perlahan-lahan menggenangi kota. Tatkala air meninggi & lumpur semakin mengendap, kami mesti mengambil pilihan. Bertahan hidup menjadi ikan atau menjadi monster di daratan?
Kamu tahu, kami banyak yg menentukan menjadi ikan meski air begitu keruh. Tapi setidaknya gue & orang-orang di kota masih bisa bernapas sambil mengikuti arus, ke mana mengalir. Tetapi tak tahulah, lama-usang arus air & lumpur begitu deras & pekat. Kami yg dulunya bisa bernapas, tiba-tiba terasa sesak. Dan tiba-tiba kami seperti hidup dlm pekat gelap.
Dalam gelap pekat itu timbul sekelompok ikan dgn gigi & sisik tajam, yg dipimpin ikan berkepala besar berbelalai banyak. Ikan yg kami sebut sebagai gurita itu, belalainya begitu terampil menangkapi ikan-ikan kecil untuk dijadikan makanannya.
Kau harus tahu, gurita itu begitu cengeng. Setiap kali ia ingin menghisap darah kami, ia merajuk pada ibunya. Dan ibunya senantiasa timbul dlm bayang-bayang masa lalunya yg kelam, berkata, ”Hisaplah nak, demi hidupmu?”
Kamu tahu, kamu tulis dlm degup jantungmu yg paling keras, ”Lalu sejak itu muncullah sekelompok ubur-ubur sebesar kepingan duit recehan yg berbiak & hampir menyanggupi genangan.”
Apakah kamu masih ingin ke kotaku? Lewat bunyi hatiku ini, kusarankan, lebih baik urungkan saja niatmu. Meski kotaku kini sudah bangkit papan nama bertuliskan: ”Wisata Kota Lumpur”, lebih baik kamu jangan yakin dgn bahasa jelas itu. Itu bahasa jebakan untuk mengais simpati. Bila kamu tak tahu, kau akan jadi ikan-ikan dlm kekuasaan ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Kalaupun sekarang banyak orang melihat & mencari-cari sisa kota kami, mereka tak tahu, kota kami telah digondol ikan berkepala besar berbelalai banyak, menghilang dlm lautan lepas.
Kau tahu, mereka yg mencari sisa-sisa kota kami bangun di atas bukit yg membentang sampai cakrawala, seperti benteng, yg membentengi lautan lumpur. Orang-orang itu menjajal mencari kegembiraan kecil, atau mencoba menyelami penderitaan kami. Tak ada yg tahu. Kami sungguh-sungguh jauh dlm genggaman ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dan kau sungguh tahu, dlm teriakan bahasa hatimu yg gue tangkap samar-samar, kau menulis: ”Ada kapal-kapal tanker besar menanti. Para nakhodanya bertubuh besar & bertangan aneka macam. Sebagian dr tangan-tangan itu memegang senapan. Sebagian lagi terus-menerus menekan angka-angka di mesin hitung & pencatat waktu. Para kelasinya tak pernah menginjak bumi & tak pernah berdiam, kerja siang malam….”
Kini apakah patut kotaku, rumahku, namaku, kamu cari-cari dlm timbunan lumpur yg makin menggunung itu? Apalah arti kotaku, apalah arti rumahku, apalah arti namaku, sedangkan Marsinah saja sudah menjadi purba! Tugu kuning daerah Marsinah diculik pula telah musnah. Sia-sia!
”Amnesia! Udara pengap kota kami menjadi virus lupa ingatan!”
Tak perlulah kamu ingat. Tak perlulah kau kenang. Tunggulah, pada sebuah dikala nanti kotaku akan kau peroleh dlm pesta pora para monster menyambut kemenangan yang kuasa ikan berkepala besar berbelalai banyak.
Dalam mesin hitung, kami sudah dipurbakan. Kami diendapkan dlm waktu & pada sebuah saatnya nanti, kota kami digali dr kuburnya. Nama-nama kami dicatat, bendera-bendera berkibaran dlm pesta ilahi ikan berkepala besar berbelalai banyak. Kota baruku akan ditemukan dgn nama yg ditulis dgn aksara Palawa: Kahuripan.
”Apakah kau tahu arti Kahuripan?”
Sebenarnya kotaku tak bisa dimatikan, alasannya sikap teguh kami untuk tak kompromi. Kotaku tak bisa dihilangkan begitu saja. Ia akan lahir kembali dlm kenangan yg mengekal & banal.
Pesanku, kalaupun pada sebuah dikala nanti kotaku tak didapatkan, maka kenanglah kotaku seperti dlm suara keras hatimu di bait terakhir: ”Dulu di sana, para petinggi agama berkhotbah tak henti-hentinya”.
Itulah semulia-mulianya kenangan.
Catatan:
1. Cerita ini terinspirasi dr puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.
2. Semua kutipan berasal dr bait puisi: Kisah Kota Lumpur, Hasan Aspahani, 2006.