Mengenal Imam Hanafi Dan Karyanya Yang Terkenal Diseluruh Dunia

Abu Hanifah nama lengkapnya yakni Nu’man bin Tsabit bin Zuta, diketahui selaku Abu Ḥanifah, lahir di Kufah, Irak pada 80 H/699 M dan wafat di Baghdad, Irak, 150 H atau 768 M, selaku pendiri Madzhab Hanafi. Secara keseluruhan, Abu Hanifah hidup selama 70 tahun dalam hitungan kalender Hijriyah. Dia hidup di era transisi dua kekuatan besar dalam Dunia Islam, yaitu dari Dinasti Umayyah menuju Dinasti Abbasiyah. 
Abu Hanifah hidup di kala pemerintahan Dinasti Umayyah, dan beliau melihat bagaimana dinasti ini mengalami kemunduran dan akhirnya jatuh. Ia juga hidup di kurun Abbasiyah, adalah di periode pemerintahan dua khalifah, Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah yang berkuasa 132-136 H atau 750-754 M. 
Khalifah Abbasiyah pertama; dan Abu Jafar Abdullah bin Muhammad Al-Mansur yang berkuasa 136-158 H atau 754-775 Masehi. Berikut pembahasan selengkapnya ihwal mengenal Imam Hanafi dan karyanya yang terkenal diseluruh dunia, dibawah ini.
Masa Kecil Imam Hanafi

Abu Hanifah kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Namun, tidak mirip pedagang lainnya, Abu Hanifah memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Karena kecerdasannya yang gemilang, beliau bisa menghafal Al-Qur’an serta ribuan hadits. Sebagaimana putra seorang pedagang, Abu Hanifah pun lalu berprofesi mirip bapaknya. 

Ia mendapat banyak laba dari profesi ini. Di sisi lain dia mempunyai pengetahuan yang sangat luas, kecerdasan yang luar biasa, serta hafalan yang sungguh kuat. Beberapa ulama mampu menangkap fenomena ini, sehingga mereka menganjurkannya untuk pergi berguru terhadap ulama mirip dia pergi ke pasar setiap hari.


Masa Menuntut Ilmu

Pada kala Abu Hanifah belajar, kota Iraq termasuk Kufah direpotkan dengan tiga halaqah keilmuan penting. Yaitu :

1. Pertama, halaqah yang membicarakan pokok-pokok aqidah. 
2. Kedua, halaqah yang membahas ihwal Hadits Rasulullah tata cara dan proses pengumpulannya dari aneka macam negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya eksklusif dan riwayat mereka. 
3. Ketiga, halaqah yang membicarakan dilema fikih dari Al-Qur’an dan Hadits, tergolong membicarakan pedoman untuk menjawab persoalan-problem gres yang muncul ketika itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.

  Bagian Alur Yang Ditandai Oleh Pertentangan Antar Tokoh Tersebut ??

Abu Hanifah melibatkan diri dalam dialog wacana ilmu kalam, tauhid dan metafisika. Menghadiri kajian hadits dan periwayatannya, sehingga beliau mempunyai andil besar dalam bidang ini. Setelah Abu Hanifah menjelajahi bidang-bidang keilmuan secara mendalam, beliau memilih bidang fikih sebagai konsentrasi kajian. 

Ia mulai mempelajari banyak sekali masalah fikih dengan cara mencar ilmu terhadap salah satu Syaikh ternama di Kufah, ia terus belajar darinya hingga final. Sementara Kufah ketika itu menjadi tempat domisili bagi ulama fikih Iraq.

Abu Hanifah sangat antusias dalam menghadiri dan menyertai gurunya, cuma saja dia terkenal selaku murid yang banyak mengajukan pertanyaan dan berdebat, serta bersikeras mempertahankan pendapatnya, sering kali menyebabkan syaikh kesal padanya, tetapi alasannya kecintaannya pada sang murid, dia selalu mencari tahu ihwal keadaan perkembangannya. 

Dari gosip yang ia dapatkan, alhasil sang syaikh tahu bahwa dia senantiasa berdiri malam, menghidupkannya dengan salat dan tilawah Al-Qur’an. Karena banyaknya gosip yang beliau dengar maka syaikh menamakannya Al-Watad.

Selama 18 tahun, Abu Hanifah belajar terhadap Syaikh Hammad bin Abu Sulaiman, dikala itu dia masih 22 tahun. Karena dianggap telah cukup, beliau mencari waktu yang sempurna untuk mampu mandiri, namun setiap kali mencoba lepas dari gurunya, dia merasakan bahwa dia masih membutuhkannya.

Pada abad remajanya, telah memperlihatkan kecintaannya kepada ilmu. Disamping belajar fiqh, juga mendalami ilmu tafsir, hadits, bahasa arab dan ilmu pesan yang tersirat. Meski anak seorang saudagar kaya, kehidupannya sangat sederhana. Abu Hanifah seorang yang takwa dan soleh, seluruh waktunya lebih banyak diisi dengan amal ibadah. 
Jika berdoa air matanya bercucuran menghendaki keridhaan Allah SWT. Abu Hanifah merupakan seorang Tabi’in, generasi sehabis sahabat Nabi, alasannya adalah pernah bertemu dengan teman Nabi, diantaranya bernama Anas bin Malik, dan meriwayatkan Hadist darinya. 
Menjadi Ulama

Kabar jelek terhembus dari Basrah untuk Syaikh Hammad, seorang keluarga dekatnya sudah wafat, sementara dia menjadi salah satu ahli warisnya. Ketika dia memutuskan untuk pergi ke Basrah dia meminta Abu Hanifah untuk mengambil alih posisinya selaku pengajar, pemberi fatawa dan pengarah obrolan.

  Abdullah Al-Makmun, Khalifah Abbasiyah Pembaharu Ilmu Pengetahuan
Saat Abu Hanifah mengantikan posisi Syaikh Hammad, ia dihujani oleh pertanyaan yang sungguh banyak, sebagian belum pernah dia dengar sebelumnya, maka sebagian dia jawab dan sebagian yang lain ia tangguhkan.

Ketika Syaikh Hammad tiba dari Basrah dia segera bertanya-pertanyaan tersebut, yang tidak kurang dari 60 pertanyaan, 40 diantaranya sama dengan tanggapan Abu Hanifah, dan berlainan pendapat dalam 20 jawaban. 

Dari insiden ini ia merasa bahwa masih banyak kekurangan yang beliau rasakan, maka beliau memutuskan untuk menanti sang guru di halaqah ilmu, sehingga ia dapat mengoreksikan kepadanya ilmu yang sudah ia peroleh, serta mempelajari yang belum dia pahami.
Ketika umurnya menginjak usia 40 tahun, gurunya Syaikh Hammad telah wafat, maka ia segera mengambil alih gurunya. Abu Hanifah tak hanya mengambil ilmu dari Syaikh Hammad, tetapi juga banyak ulama selama perjalanan ke Makkah dan Madinah, diantaranya Malik bin Anas, Zaid bin Ali dan Ja’far ash-Shadiq yang memiliki konsen besar kepada dilema fikih dan hadits.

Imam Abu Hanifah dimengerti sudah menyelesaikan 600.000 perkara dalam bidang ilmu fiqih dan dijuluki Imam Al-A’dzhom oleh masyarakat alasannya adalah keluasan ilmunya.Beliau juga menjadi acuan para ulama pada kurun itu dan merupakan guru dari para ulama besar pada kala itu dan periode berikutnya.

Selanjutnya, Imam Hanafi disebut selaku tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok mulai dari bagian kesucian (taharah), salat dan seterusnya, yang kemudian disertai oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan yang lain. 
Madzab Hanafi dan fatwa-fatwanya disebarluaskan oleh murid-muridnya sehingga tersebar luas dan dikenal sebagai salah satu madzab yang empat. Di antara muridnya yang populer adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru dari Imam Syafi’i. 
Karya-karya yang ditinggalkan oleh Imam Hanafi diantaranya Fiqh Akbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akbar. Dalam memutuskan aturan, Imam Hanafi memakai sistem berdasarkan Al Quran, Sunnah Rasul, Fatwa sobat, Istihsan, Ijma’ dan ‘Urf.

Akhir Hayat Imam Hanafi

Selang beberapa hari sehabis menerima tahanan rumah, beliau terkena penyakit, semakin usang makin parah. Akhirnya beliau wafat pada usia 68 tahun. Berita kematiannya secepatnya menyebar, ketika Khalifah mendengar info itu, beliau berkata, “Siapa yang bisa memaafkanku darimu hidup maupun mati?” 
Salah seorang ulama Kufah berkata, “Cahaya keilmuan telah dimatikan dari kota Kufah, sungguh mereka tidak pernah melihat ulama sekaliber ia selamanya.” Yang lain berkata, “Kini mufti dan fakih Irak telah tiada.”
Jasadnya dikeluarkan dipanggul di atas punggung kelima muridnya, hingga hingga daerah pemandian, dia dimandikan oleh Al-Hasan bin Imarah, sementara Al-Harawi yang menyiramkan air ke tubuhnya. Ia disalatkan lebih dari 50.000 orang. 
Dalam enam kali putaran yang ditutup dengan salat oleh anaknya, Hammad. Ia tak dapat dikuburkan kecuali sesudah salat Ashar alasannya adalah sesak, dan banyak tangisan. Ia berwasiat semoga jasadnya dikuburkan di Kuburan Al-Khairazan, karena merupakan tanah kubur yang baik dan bukan tanah curian.
Demikian bahasan singkat wacana mengenal Imam Hanafi dan karyanya yang mendunia. Semoga ada pelajaran untuk kita semua. Wallaahu A’lam.
Dari aneka macam sumber