Jumat malam kemarin seusai meliput suatu program yg diadakan oleh sebuah partai politik, penulis diajak makan bersama oleh seorang fotografer. Tentu usul yg mempesona tak penulis tolak, apalagi soal kuliner, tidak punya alasan menolak kecuali puasa. Kebetulan malam itu makan di restoran Korea di kawasan Depok, membuatpenulis ingin tau saja alasannya sama sekali belum pernah merasakan masakan Korea.
“Silakan pesan yg belum pernah disantap!” kata teman yg menggunakan peci hitam itu.
Penulis masih membuka-buka buku hidangan & membolak-baliknya mirip membuka album ingatan.
“Bingung mau makan yg mana,” ujar penulis sembari mata sekali memandang dinding yg sarat dgn para artis Korea Selatan, para grup vokal.
“Gimana kalau yg ini? Icip-icip saja,” tawar teman. Icip-icip yg ini untuk menggambarkan coba-coba makanan gres, orang lebih suka memakai kata icip-icip meski porsinya banyak dibandingkan dengan menyampaikan coba-coba.
Menu yg penulis yaitu Bibimbap. Pesanan yg dipesan pun datang. Nasi dlm mangkuk yg di atasnya ada telur mata sapi, daging, tumisan sayur, pula pasta & saos di atasnya. Rasanya, ah, patut disyukuri. Namun kalau boleh dikomparasikan dgn pecel pincuk pasti sungguh beda jauh rasanya. Enakan pecel. Mungkin lidah lokal ini tak cocok dgn kuliner ala Suju. Dibilang menyesal, tak juga, paling tak tahu suatu masakan Korea.
Itu akibat dr sebuah icip-icip. Icip-icip ada pula di masalah lain. Beberapa hari lalu ada seorang adik kelas curhat. Ia mengungkapkan suatu pengakuan terbesar dlm hidupnya. Sebuah dosa besar.
“Saya pernah pacaran waktu SMA. Kalau dijumlah tiga orang cewek. Dan saya pernah ‘bercinta’ dgn mereka,” ungkapnya.
Penulis tercekat. Kaget. “Bercinta?”
“Iya, tetapi tak sampai hamil. Jangan sampai lah,” ujarnya lagi.
“Kenapa ananda melakukannya?”
“Icip-icip, Mas.”
Icip-icip?
“Lagi pula mereka yg mulai sih, penampilannya menggoda,” ungkapnya.
Penulis masih menghela nafas, terkejut dgn pengakuannya.
“Tapi itu dahulu, masa jelek saya. Saya tahu itu dosa besar. Jangan dibahas lagi ya,” ucapnya.
Icip-icip. Ya, semua bermula dr icip-icip. Jika kita icip-icip kuliner kita mampu tahu apakah masakan tersebut kurang garam atau kurang bumbu dapur yang lain. Icip-icip kuliner kita bisa tahu bagaimana rasa kuliner yg kita pesan. Sementara kalau icip-icip hal-hal yg negatif & menjerumuskan pada hal-hal yg menetralisir kesadaran diri pasti sangat bahaya, icip-icip sex before married misalnya.
You’ll never know till you’ve tried, pasti benar. Namun menjadi tak benar kalau dilakukan pada hal-hal yg tak benar. Bisa fatal.
Kaprikornus, jangan asal icip-icip pada hal negatif. Berani kotor itu (tidak senantiasa) baik.
[Paramuda/ Wargamasyarakat]