close

Mengapa Suporter Sepak Bola Brutal

Bentrokan antara suporter Swiss dengan Hooligans Inggris
di Stadium ST. Jakob – Basel tahun 1981

Mengapa Suporter Sepak Bola Brutal ?
Beberapa jago beropini, pertarungan olah raga modern adalah warisan kompetisi yang menenteng maut dari zaman dahulu. Pendapat ini cocok dengan peristiwa yang pernah terjadi pada pertandingan sepak bola di Belgia. Suporter Inggris menyerang lawannya dan menewaskan sampai 38 orang. Dua minggu sebelumnya, di Peking 130 orang ditahan karena membuat keonaran. Juga dalam pertarungan sepak bola.

Di Amerika Serikat pun pernah terjadi, dikala suatu massa di Detroit yang merayakan kemenangan Tigers World Series, mengamuk menewaskan 1 orang dan 80 orang lainnya luka-luka.


Mengapa olahraga menciptakan sekelompok orang begitu gampang terdorong untuk menyakiti orang lain ? Dan mengapa orang Inggris yang populer ramah dan hati-hati justru menghasilkan perusuh yang begitu bengis ? 


Beberapa jago beropini, sikap orang Inggris yang sabar membuat semangat mereka begitu bergelora. Seorang Psikiater Prancis, Etienne Jalenques berkata : “Dilihat dari tingkat kebudayaanya orang Inggris tidak akan menjadi seganas itu. Keganasan mereka tidak lain adalah sebuah reaksi, untuk mempertahankan diri dalam menghadapi kebrutalan pihak musuh.”


Ahli sosiologi Inggris melihat kekuatan ini bekerjasama dengan latar belakang sosial dari kaum perusuh. Eric Dunning dan koleganya dari Universitas Leicester menyampaikan, sebagian perusuh berasal dari kelas pekerja. 


Usia mereka antara 16-24 tahun dan separuhnya adalah penganggur. Mereka berasal dari lingkungan yang menilai perkelahian kerap kali memang perlu untuk mempertahankan  diri. 


Dalam situasi seperti ini, kata Dunning, kaum pria cenderung membuatkan hobi laga. Mereka melihat perkelahian selaku pusat dari arti dan kegembiraan hidup. Ia menambahkan, kekerasan mereka bergotong-royong lebih bersifat ungkapan perasaan yang ditujukan kepada para penonton dari pada alat untuk menjatuhkan korban.


Peneliti lain melihat keganasan ini sebagai upaya mencari indetitas diri.


“Ini ialah awal dari popularitas,” kata andal antropologi Elizabeth Rougierdari College de France. “Semakin ganas, gengsi mereka makin tinggi. Dan pemimpinnya memperkokoh kepemimpinannya dengan menjadi lebih ganas dari pengikutnya”. 


Instink menjaga diri ini menjadi makin bergelora dikala mereka menghadapi pertarungan yang diadakan di negera lain. Mereka terdorong menjadi lebih liar alasannya adalah mereka bersatu untuk memperetahankan dan melindungi wilayahnya. Apalagi jika tindakan mereka ternyata lebih menarik perhatian dari pada pertarungan itu sendiri. 


Para mahir di Amerika Serikat melihat hal ini dari sisi psikologi massa. ” Bertindak dalam suatu massa menciptakan seseorang susah dikenali ” kata David Silber, andal psikologi dari Universitas George Washington. “Hal ini memperkecil tanggung jawab langsung terhadap tindakannya”.


Silber dan rekan-rekannya yakin, alkohol ikut berperan dalam peristiwa Brussel. Banyak diantara suporter Liverpool minum terus menerus sepanjang hari menjelang malam pertarungan itu.


“Alkohol menyebabkan seseorang kehilangan kendali dan terhambat dalam mengambil keputusan”, kata Elissa Benedek dari sentra Psikiatri Forensik di Ann Arbor.


“Alkohol juga menunjukkan pengampunan. Mereka dapat berkata, saya tak akan berbuat seperti itu jikalau tidak sedang mabuk “. 


Benedek menambahkan bahwa sorak sorai dan teriakan dalam pertandingan olahraga mewakili suatu agresi lisan. Bagi beberapa orang aksi ini mudah menjelma agresi fisik.


Banyak peneliti percaya, kompetisi itu sendiri mendorong orang untuk melakukan kekerasan.