Mengapa Film Islami Sepi Penonton?

Film islami nampaknya sengaja atau tak menjadi genre tersendiri dlm perfilman Indonesia. Cirinya tak hanya pemainnya yg memakai atribut syar’i melainkan lebih ke value atau nilai yg disampaikan dlm film. Geliatnya makin terlihat semenjak meledaknya film Ayat-Ayat Cinta yg digarap sutradara Hanung Bramantyo, yg diangkat dr novel laris karya Habiburrahman Elshirazy. Setelah itu muncul film yg hampir sama dgn pencapaian tak jauh beda meledaknya.

Sebagai negara dgn jumlah penduduk lebih banyak didominasi muslim, Indonesia sebaiknya menjadi pasar empuk bagi produsen film Islami & raihan jumlah penontonnya mestinya lebih banyak dibandingkan dgn film pada umumnya. Namun kembali lagi ke konsumen ada yg menyukai film islami tetapi ada pula yg tak begitu antusias dgn film religi.

Taufik Rizal (30), seorang pegawai swasta di bidang properti di daerah Depok mengaku sebagai penikmat film islami nasional dirinya hampir tak melalaikan untuk menyaksikannya.

“Insya Allah nonton. Wong, film Hollywood saja ditonton terlebih film islami,” ucapnya ketika ditanya di Jakarta, Senin (16/5).

Menurutnya film islami dikala ini sudah sangat disenangi misalnya film-film dr buku karya Asma Nadia maupun Hanum Rais. Sebab, katanya, lebih universal & tak menggurui. Namun begitu ia sempat kecewa pula dgn salah satu film islami.

“Ada satu film yg menurut saya yg nggak manis. Isinya cantik namun nggak dgn pengambilan kamera & lainnya, aktornya kelihatan banget masih amatir. Terus saya kecewa pas nonton di bioskop banyak adegan yg dipotong, jadi tak nyambung dgn jalan ceritanya. Kecewa berat!” ungkap penyuka film Bulan Terbelah di Langit Amerika dr buku Hanum Rais ini.

  Bersih-bersih Agar Disayang Suami

Berbeda dgn Taufik, Ahdiyat Nur (24), seorang art director di perusahaan periklanan di Jakarta ini tak begitu minat dgn film islami Indonesia. Menurutnya film islami condong menggurui.

“Terlalu menggurui. Paling suka paling filmnya Hanung Bramantyo seperti Tanda Tanya atau Perempuan Berkalung Sorban. Di luar Indonesia, film-film Iran pula menarik,” ucapnya.

Laman filmindonesia.or.id menyebutkan 10 Film Indonesia peringkat teratas dlm perolehan jumlah penonton pada tahun 2016 menurut tahun edar film, film islami menempati peringkat kelima yakni film yg diangkat dr buku Helvy Tiana Rosa, Ketika Mas Gagah Pergi the Movie yg raihan penonton meraih 146.096. Sementara film islami yang lain yakni Pesantren Impian yg diangkat dr novel Asma Nadia berada di peringkat kesembilan dr 10 daftar film nasional dgn raihan  penonton 104.491. Peringkat pertama diraih film umum Ada Apa Dengan Cinta 2 dgn raihan penonton yg cukup mengagumkan yakni 3.264.301 dan  peringkat kedua ada Comic 8: Casino Kings Part 2 dgn raihan penonton  1.835.644.

Lain lagi terjadi yg terjadi pada tahun 2015, menurut laman yg sama menyebutkan peringkat tertinggi dicapai film dr buku Asma Nadia, Surga yg Tak Dirindukan, dgn raihan penonton 1.523.617. Sementara Bulan Terbelah di Langit Amerika berada di peringkat keempat dgn raihan penonton 917.865 & Air Mata Surga berada diperingkat terakhir alias kesepuluh dgn raihan penonton 425.179.

Berdasarkan raihan dr tahun kemarin hingga tahun ini tampaknya film islami mengalami penurunan. Rata-rata selalu bertema wacana “hati” & judul yg “feminin”. Sementara jika berjudul & berkisah agak “laki” mirip film 3 misalnya malah terjungkal raihannya. Padahal film garapan Anggy Umbara tersebut sungguh elok karena mengungkap betapa ada biro yg ingin menjatuhkan Islam.

  Inilah Cara Berbuat Baik Kepada Anak-Anak

Pantauan penulis film baru Kalam-Kalam Langit, contohnya, tak bertahan usang di bioskop, tak lebih dr satu bulan. Di bioskop di daerah Depok hanya tayang dua hari saja.

Kira-kira, apa penyebab film islami jarang penonton?

“Kurangnya marketing & penawaran khusus. Selain itu pula kurang ngepop. Intinya lebih ke anggaran promo. Yang pasti harus menyentuh semua lapisan masyarakat & manuvernya mesti elok,” kata sutradara film Tausiyah Cinta, Humar Hadi tatkala dihubungi, Senin (16/5) kemarin.

Film Tausiyah Cinta, berdasarkan produser Izharul Haq beberapa waktu kemudian, meski sudah turun layar di bioskop, hingga sekarang masih laris tayang di beberapa kota di Indonesia dgn self-screen atau membuatkan layar sendiri tanpa harus bergantung pada bioskop lazim.

Tak ubahnya bisnis kebanyakan, film islami sendiri mengalami fluktuasi atau pasang surut. Oleh alasannya itu, sumbangan itu sangat dibutuhkan.

“Jika film islami timbul harus disokong dgn cara menontonnya di tiga hari pertama agar tak turun layar,” demikian kata Asma Nadia di suatu forum sementara waktu lalu.

Suka tak suka, sepakat tak setuju, film islami menjadi sarana untuk memberikan nilai-nilai kebaikan, tanpa harus bergenit-genit mengklaim bahwa film yaitu media satu-satunya untuk berdakwah.  Wallahua’lam. [Paramuda/Wargamasyarakat]