By: Nursalam Rahmatullah
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling tepat jika daripada makhluk ciptaan Allah yang yang lain. Hal ini dikarenakan Allah menganugerahkan kepada manusia sebuah hal yang amat luar biasa yang Ia tidak berikan terhadap makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Anugerah tersebut berupa akal yang dengan logika tersebut manusia mampu berfikir, menentukan mana yang bagus dan jelek sehingga mereka dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Oleh sebab itulah Islam selaku agama memperlihatkan tempat yang istimewa terhadap logika, karena dengan akal tersebut manusia mampu mengetahui kandungan ayat-ayat suci al-Qur’an yang diturunkan terhadap ummat manusia lewat perantara seorang Rasul Allah yang bernama Muhammad saw. dan sekaligus semoga insan dapat menimbang-nimbang serta merenungkan gejala kebesaran-Nya.
Tetapi perlu disadari bahwa, walaupun agama Islam memberikan tempat istimewa kepada nalar yang mempunyai begitu banyak keunggulan, Islam tidak serta merta menimbulkan logika manusia sebagai sumber utama untuk memutuskan suatu kebenaran. Karena pada hakikatnya kebenaran yang ditemukan melalui logika ialah kebenaran yang cuma bersifat relatif, oleh alasannya adalah itu Allah sebagai pencipta langit dan bumi beserta yang ada di dalamnya menurunkan sebuah anutan berupa wahyu yang diturunkan kepada ummat manusia melalui perantara rasul-rasul-Nya untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupan dunia dan untuk mencapai keamanan di darul baka kelak.
Hal inilah yang lalu menjadi sumber permulaan keraguan insan kepada wahyu Tuhan, alasannya logika manusia diciptakan Allah dalam kondisi terbatas, yang cuma dapat menimbang-nimbang hal-hal yang bersifat materil, sedangkan hal-hal yang ghaib “proses pewahyuan” ialah suatu hal yang berada di luar jangkauan nalar. Lantas bagaimana logika/aliran manusia dapat menelususri eksistensi wahyu Tuhan tersebut.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini ialah bagaimana cara menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan Pemikiran Manusia yang mau diuraikan ke dalam beberapa sub pembahasan yaitu:
- Apa pemahaman wahyu dan logika?
- Bagaimana relasi antara wahyu dan akal?
- Bagaimana menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan pemikiran manusia?
B. Pembahasan
1. Pengertian Wahyu dan Akal
a) Wahyu
Menurut bahasa/etimologi, wahyu mempunyai arti pertolongan arahan, pembicaraan belakang layar, dan menggerakan hati. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, wahyu yakni mengumumkan secara samar. Sedangkan berdasarkan al-Qaththan, al-Wahy yakni kata masdar dan bahan kata itu memperlihatkan dua pemahaman dasar ialah tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, wahyu diartikan selaku pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditunjukkan kepada orang yang diberitahu tanpa dikenali orang lain.[1]
Adapun wahyu menurut istilah diungkapkan oleh Ibnu Hajar, yakni menginformasikan hukum-aturan syari’at, tetapi kadang-kadang yang dimaksud dengan wahyu ialah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah swt. yang diturunkan terhadap Nabi Muhammad saw. berikutnya disampaikan oleh Imam al-Zuhri bahwa wahyu ialah kalam Allah swt. yang disampaikan terhadap salah seorang nabi-Nya kemudian dikukuhkan-Nya ke dalam hatinya. Lalu Nabi itu menyampaikan bahwa itu yaitu wahyu dan ditulisnya. Sedangkan berdasarkan Muhammad Husein Abdullah, wahyu yakni informasiAllah swt. kepada rasul-rasul wacana risalah mereka.[2].Kaprikornus dapat disimpulkan dari beberapa pemahaman tersebut bahwa wahyu adalah pengetahuan yang datang dari Allah swt. terhadap para nabi-nabi-Nya dengan aneka macam cara.
b) Akal
Kata nalar berasal dari bahasa Arab, ‘aql. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ‘aql itu bermakna mengikat atau menahan. Misalnya, pengikat serban disebut ‘iqal, menahan orang di penjara disebut i’taqal, orang yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil. Dalam al-Qur’an, kata ‘aql hanya terdapat dalam bentuk kerja, misalnya ‘aqalu, ta’qilun, na’qilu, ya’qilun, dan ya’qiluha, yang seluruhnya mengandung arti paham.[3]
Adapun penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya mampu dijelaskan ke dalam beberapa bentuk selaku berikut:[4]
- Digunakan untuk menimbang-nimbang dalil-dalil dan dasar keimanan.
- Digunakan untuk memikirkan dan mengerti alam semesta, serta hukum-hukumnya (sunnatullah).
- Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah.
- Dihubungkan dengan pengertian terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia di dunia.
- Dihubungkan dengan pengertian terhadap kekuasaan Allah.
- Dihubungkan dengan pengertian terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan budbahasa.
- Dihubungkan dengan pengertian kepada makna ibadah, semacam shalat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘aql dipakai untuk mengerti berbagai objek yang riil (aktual) maupaun abstrak.. Oleh karena itu ‘aql atau logika yang dalam bahasa Indonesia berfungsi selaku alat untuk mendapatkan pengetahuan melalui proses berfikir dan perenungan kepada peristiwa-insiden yang dialami, sehingga insan dapat mempesona (i’tibar) pelajaran dari hal-hal tersebut.
Selanjutnya diterangkan oleh Imam al-Ghazali bahwa logika ialah salah satu dimensi paling penting pada diri manusia, dimana nalar sebagai alat berpikir sudah memberi andil besar terhadap alur kehidupan insan, mempolakan hidup dan mengontrol proses kehidupan secara esensial. Akal sudah melakukan pekerjaan menurut ukuran yang ada, justru itu maka al-Ghazali membagi nalar dalam beberapa daya. Klasifikasi tentang logika ini menurut al-Ghazali dilihat dari potensi dan kadar logika dalam berbagai jenis, adalah logika praktis dan akal teoritis. Akal mudah ialah saluran yang memberikan ide-gagasan nalar teoritis kepada daya penggerak (Al-muharrikat) sekaligus merangsangnya menjadi faktual.[5]
Akal mudah tersebut berfungsi untuk menggugah dan menggerakkan anggota badan secara simpel untuk melakukan kepentingan-kepentingannya. Kebutuhan-keperluan diri manusia itu sesuai dengan tuntutan wawasan yang dicapainya. Kerja logika simpel kesannya tampaklebih efisien dalam gerak dan wujudnya. Bahkan mampu memotivasi secara pribadi anggota badan manusia dan melahirkan wawasan-pengetahuan mudah. Oleh karenanya akal mudah merupakan hal yang sungguh penting bagi manusia, mirip pertumbuhan kreatifitas dan penerapan adat dalam diri langsung seseorang. Kekuatan daya akal mudah mesti selalu dibina semoga dapat menguasai daya-daya jiwa yang ada secara menyeluruh. Dengan demikian akan melahirkan kemuliaan-kemuliaan dalam tingkah manusia, artinya terwujudnya tingkah laris yang baik tergantung terhadap kekuatan akal mudah menguasai daya jiwa tersebut.[6]
Selanjutnya al-Ghazali memperlihatkan klarifikasi ihwal fungsi dan aktifitas akal teoritis. Akal teoritis merupakan daya mengenali dalam diri manusia, maka harapan manusia untuk mengenali sesuatu ialah hasil kerja dari nalar teoritis. Untuk itu maka logika teoritis ialah berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan absurd.[7]
Kumpulan pengetahuan yang ditemukan melalui nalar teoritis tersebut jadinya dikategorikan sesuai dengan tingkatan dan pembagian dari nalar-akal teoritis itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali membaginya dalam empat tingkatan: [8]
1) Akal hayulani (akal material), nalar ini memiliki kegunaan untuk memahami dan mengenali wacana realita-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan kebenaran nalar hayulani ini mesti lewat indera, alasannya materi ialah nalar pertama untuk mengetahui lebih lanjut wacana hakikat sesuatu,
2) Akal naluri, logika ini melakukan pekerjaan dan berfungsi sesudah insan mengenali sejumlah ilmu-ilmu dasar yang apriori. Akal ini berusaha untuk mengetahui wacana hakikat dibalik realita-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar kenyataan bahan, ialah hasil kerja akal naluri. Melalui logika naluri wawasan manusia akan melaju lebih jauh dari wawasan dasarnya dan memberi iktikad akan kebenaran yang diperolehnya.
3) Akal aktif (logika positif), logika ini berfungsi untuk mendapatkan wawasan-pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini mampu mengetahui beberapa wawasan teoritis, sehingga ia mampu memperlihatkan kembali bentuk-bentuk rasional yang diketahui.
4) Akal mustafad, logika ini berdasarkan Al-Ghazali fungsinya lebih jauh di-bandingkan akal-nalar sebelumnya. Bahkan berdasarkan Al-Ghazali nalar mustafad ini tergolong logika tingkat tinggi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa lewat logika ini insan bisa mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus mampu menghubungkan diri dengan logika ke sepuluh (akal fedal). Potensi daya nalar mustafad ini cukup besar. Bahkan beliau menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.
Senada dengan hal tersebut Ibn Sina dalam pandangannya membagi daya menjadi dua bab:
- Daya mudah (amilah), ialah akal yang berafiliasi dengan hal-hal konkrit.
- Daya teoritis (alimah), yakni akal yang bekerjasama dengan hal-hal yang bersifat absurd. Yang lalu daya teoritis ini dibagi ke dalam empat tingkatan, adalah:
- Akal materil (al-aql al-huyulani), ialah logika yang semata-mata mempunyai peluanguntuk berpikir tetapi belum terlatih.
- Akal bakat (al-aql bi al-Mamlakah), yaitu akal yang sudah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang absurd.
- Akal positif (al-aql bi al-fi’li), adalah akal yang sudah bisa berpikir wacana hal-hal abstrak.
- Akal perolehan (al-aql al-mustafad), ialah akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang serupa inilah yang mampu menerima limpahan ilmu pengetahuan dari logika aktif (al-aql al-fa’all), yang menurut Ibn Sina akal aktif itu yakni Jibril.[9]
Dari kerja logika mustafad telah menciptakan pengetahuan-wawasan untuk mendapatkan sebuah kebenaran dan keyakinan, logika ini ialah tujuan selesai yang ingin diraih oleh logika-logika di bawahnya. Akal pada tingkat ini menyadari pengetahuan-wawasan itu secara nyata dan menyadari kesadaran secara konkret.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nalar memiliki beberapa bentuk menurut kedua tokoh tersebut, yaitu nalar teoritis dan nalar mudah. Dimana nalar teoritis memiliki salah satu fungsi untuk merumuskan suatu teori menurut hal-hal yang ditangkap oleh indra manusia, lalu hasil dari pemikiran nalar teoritis tersebut ditangkap oleh logika mudah yang merupakan kanal untuk menyampaikan pemikiran -pemikiran nalar teoritis kepada daya penggagas biar diaktualisasikan ke dalam bentuk gerak tubuh. Sebagai fasilitas pembuktian teori-teori yang diperoleh dari logika teoritis tersebut sehingga melahirkan ilmu-ilmu praktis.
2. Relasi antara wahyu dan nalar
Dalam sejarah panjang turunnya al-Qur’an kita dapat mengamati bahwa terdapat penghargaan yang tinggi diberikan al-Qur’an kepada logika. Sehingga nampak bahwa antara logika dan wahyu pada dasarnya mempunyai korelasi yang akrab dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang yang lain. Hal ini terlihat terang dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang menganjurkan serta mendorong ummat manusia agar menggunakan akalnya untuk berikir. Mengingat bahwa logika manusia ialah karunia Allah swt. yang menimbulkan insan sebagai ciptaannya yang paling sempurna. Hal ini tentu dikarenakan nalar mempunyai daya pikir yang amat luar biasa sehingga dengan nalar tersebut insan mampu mengetahui aneka macam hal yang bersifat empirik.
Sedangkan bagaimana cara manusia untuk mencapai wawasan yang bersifat absurd (ghaib) dalam hal ini Muhammad Abduh beropini bahwa, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan serta hal-hal yang bersifat ghaib yang lain, sebagaimana sudah dijelaskan dalam filsafat wujudnya, bukan hanya dengan wahyu saja melainkan juga akal.[11] Makara menurut pernyataannya tersebut diketahui bahwa nalar manurut Muhammad Abduh intinya berupaya untuk menemukan wawasan tentang Tuhan serta hal-hal yang bersifat ghaib yang lain, sedangkan wahyu datang untuk memperkuat hal tersebut segaligus mempertegas bahwa ada beberapa hal yang mampu dijangkau logika dan selebihnya cuma dapat diketahui lewat wahyu.
Adapun wahyu yang merupakan sumber utama dalam aliran agama Islam ialah landasan bagi ummat Islam untuk mengetahui ajaran agama, baik yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar, maupun hal-hal yang bersifat ghaib, seperti pemberitaan perihal adanya surga dan neraka. Yang pada hakikatnya cuma mampu diperoleh dengan mediator wahyu yang tertuang dalam kitab-kitab suci agama samawi. Sehingga nampak bahwa wahyu memiliki kedudukan yang tinggi di samping akal.
Senada dengan hal itu para filosof-filosof Islam juga berkeyakinan bahwa antara logika dan wahyu, antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi, antara keduanya terdapat keselarasan.[12] Yang bermakna bahwa nalar dan wahyu merupakan dua hal yang berfungsi untuk saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana nalar bisa mengetahui konsep peredaran benda-benda langit. Namun demikian logika insan tetap tidak akan mampu untuk mengatahui sepenuhnya. Karena intinya hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana benda-benda langit tersebut dapat beredar pada tempatnya (garis edarnya) berada di luar jangkauan nalar insan. Sedangkan hal tersebut telah tertuang terperinci dalam al-Qur’an QS al-Anbiya: 33, QS Yasin: 38, dan QS Rad: 2, yang menjelaskan bahwa bumi, bulan, matahari dan planet-planet yang lain beredar/berputar pada lintasannya masing-masing yang ialah sebuah ketetapan dari Allah selaku pencipta alam semesta.
Oleh karna itu bagi Ibnu Rusyd akal bukanlah segala-galanya. Segala sesuatu yang tidak dicapai oleh nalar, maka sejatinya Tuhan memberikannya terhadap insan lewat wahyu-Nya. Di antaranya yakni tentang ilmu wawasan Tuhan, mengenali arti kebahagian dan kesengsaraan di dunia dan alam baka dan mengenali jalan untuk meraih kebahagian dan menjahui kesengsaraan. Dalam hal tersebut Ibnu Rusyd memastikan bahwa perhatian filsafat ditujukan untuk mengenal apa yang dibawa syari’at.[13]
Oleh alasannya itu, di samping logika menjadi sumber wawasan, wahyu juga memiliki peranan penting. Sebab tidak semua duduk perkara mampu dijawab oleh logika, karena walau bagaimanapun nalar sifatnya terbatas dan tidak bisa meraih hal-hal yang berada di luar akal atau logika. Sedangkan wahyu ialah Firman Tuhan yang diturunkan terhadap manusia untuk melengkapi kelemahan logika dalam menemukan wawasan yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga dapat dimengerti bahwa korelasi antara nalar dan wahyu yakni kekerabatan yang saling mengisi satu sama lainnya.
3. Menelusuri keberadaan wahyu Tuhan dengan pedoman insan
Pemikiran insan merupakan sesuatu yang lahir akhir adanya daya dan upaya logika dalam menelaah sebuah hal yang diperoleh melalui pandangan dan perasaan yang dialami oleh insan itu sendiri. Manusia dengan akalnya dapat mengenali hal-hal yang terjadi di sekitarnya, baik pengetahuan itu bersumber eksklusif dari indra manusia maupun wawasan yang bersumber dari wahyu Tuhan yang mampu dibenarkan oleh logika dan perasaan yang timbul akhir kekaguman terhadap alam semesta beserta isinya.
Terkadang nalar mampu menjelaskan hal-hal yang bersifat materi dan kadang-kadang membutuhkan wahyu untuk menerangkan hal-hal yang berada di luar batasan nalar, mirip hal-hal yang bersifat metafisik di mana logika tidak mampu menjangkaunya kecuali dengan perbantuan wahyu.
Kaitannya dengan wahyu, logika ialah penopang, serta memperkuat kepercayaan terhadap kebenaran wahyu. Oleh alasannya itu, Allah memuliakan akal itu dengan menjadikannya selaku target perintah, selaku tempat bergantungnya pertanggungjawaban dan mengajukannya melaksanakan observasi serta pedoman.
Dalam QS Qaaf/50: 6.
افلم ينظروا الى السماء فوقهم كيف بنينها وزينها وما لها من فروج
Terjemahnya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.[14]
Ayat ini menunjukkan klarifikasi bahwa fatwa Islam yang bersumber dari wahyu, menyuruh manusia menfungsikan akalnya untuk mempertimbangkan peristiwa dan kebenaran alam yang ada di sekelilingnya, dengan mengamati bagaimana alam semesta ini mampu tercipta, begitupula bagaimana langit ini dapat terbentuk sehingga insan yang berada di bawahnya dapat mampu merasa aman dari bahaya benda-benda langit yang mau menimpa bumi. Sehingga nampak bahwa langit yang begitu kuat mustahil hadir begitu saja tanpa adanya pencipta.
Hal inilah yang mengakibatkan para filosof muslim, salah satunya di antaranya yaitu al-Razy yang menjunjung tinggi fungsi logika dalam mencari hakekat kebenarannya. Beliau berkeyakinan bahwa logika insan berpengaruh untuk mengenali apa yang bagus dan apa yang jelek bahkan dengan logika insan dapat memperoleh wawasan tentang Tuhan.[15] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi akal bagi manusia menduduki tempat yang sangat penting. Karena kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu, tidak cuma terbatas pada apa yang terdapat dalam dirinya, melainkan juga yang di luar dirinya.
Oleh alasannya itu keistimewaan dan kelebihan manusia, terlihat terang pada kemampuan berpikirnya, yang dalam istilah ilmu manthiq, disebut “al-Insan Hayawanun nathiq” bahwa manusia itu binatang yang bepikir.[16] Ungkapan serupa juga dikemukakan oleh Aristoteles jauh sebelumnya yang mana Ia berpandangan bahwa bahwasanya insan itu yakni hewan yang berbicara.[17]
Selanjutnya, Imam al-Gazali mengemukakan bahwa, insan itu berbeda dengan hewan, perbedaan tersebut terletak pada akal yang merupakan ciri khas bagi manusia.[18] Dimana akal sebagai alat berfikir akan bekerja jika dipacu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersumber dari ketidaktahuan, yang menimbulkan perjuangan untuk mencari balasan dari ketidaktahuan tersebut, dalam rangka memperoleh suatu kebenaran, sehingga dengan demikian para filosof menatap bahwa akal merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencari hakekat kebenaran. Dengan demikian mampu dipahami bahwa keistimewaan insan terletak pada akal yang ialah potensi untuk berpikir. Yang mana jika bertambah tinggi daya berpikir seorang insan, maka akan bertambah tinggi pula kemampuannya dalam memecahkan aneka macam permasalahan yang dihadapinya.
Hal inilah yang menjadikan mengapa logika dalam agama Islam sangat penting, mirip dimengerti bahwa al-Qur’an mengandung banyak ayat yang membutuhkan pembahasan logika. Karena tidak semua kata dalam wahyu Allah itu, mampu diartikan berdasarkan arti zhahirnya, namun kadang masa harus diartikan berdasarkan arti bathinnya.
Berdasarkan hal tersebut, mampu diketahui bahwa pedoman mempunyai arti memanfaatkan nalar. Walaupun pada kenyataannya nalar yang dipakai insan untuk berfikir mempunyai keterbatasan. Bukan memiliki arti batasan dalam artian bersifat pasif kepada wahyu, melainkan nalar digunakan untuk menangkap informasi yang berasal dari wahyu sesuai dengan kapasitasnya.
Untuk memperjelas kedudukan logika (ajaran insan) di hadapan wahyu Tuhan akan dikemukakan beberapa wahyu Allah yang dapat dijadikan dasar sekaligus pembuktian akan keeksistensian wahyu secara rasional.
Sebagaimana Harifuddin Cawidu dalam makalanya “al-Qur’an Kemukjizatan dan Keistimewaannya”, mengemukakan bahwa “dalam al-Qur’an didapatkan ayat-ayat yang mempunyai arahan-isyarat ilmiah. Di antara instruksi-kode tersebut ialah matahari selaku benda langit yang mengeluarkan cahaya sendiri sementara bulan adalah benda langit yang bercahaya tetapi tidak memproduksi cahayanya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari. Isyarat ini mampu ditangkap dari penggunaan istilah dhiyaan dan sirajan untuk matahari, sedangkan untuk bulan dipakai perumpamaan muniran (QS Yunus/10: 5; al-Furqan/25: 61; al-Ahzab/33: 46; Nuh/71: 16).[19] Bergitu pula dengan gunung yang merupakan ciptaan Allah yang menakjubkan. Allah membuat gunung sebagai pasak yang ditanam ke dalam permukaan bumi kemudian menerobos hingga ke lapisan Litosfer. Akar gunung ini menembus lapisan bumi yang ketebalannya meraih lima puluh kilometer, yang berfungsi untuk membuat bumi kuat dan sepadan.[20] Hal ini termuat dalam QS al-Naba’/78: 7.
والجبال اوتادا
Terjemahnya:
dan gunung-gunung sebagai pasak[21]
dari ayat tersebut mampu dimengerti bahwa gunung sebagai salah satu ciptaan Allah, merupakan karya-Nya yang amat hebat sehingga dengan keberadaannya manusia yang hidup di atasnya merasa aman dan tenang dari goncangan yang diakibatkan oleh pergantian lempengan-lempengan bumi. Begitupula dalam QS al-Nazi’at/79: 32.
والجبال ارسها
Terjemahnya:
dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan teguh[22]
Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah memancangkan gunung-gunung dengan cara yang teguh sekali laksana tonggak sehingga menyebabkan bumi stabil tidak goyah. Hal ini juga diperjelas oleh QS Luqman/31: 10.
والقى فى الارض رواسي ان تميدبكم
Terjemahnya:
dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi biar dia (bumi) tidak menggoyahkan kamu.[23]
Senada dengan ayat sebelumnya bahwa Allah membuat gunung-gunung di permukaan bumi supaya bumi itu stabil, tidak berguncang, supaya insan, hewan, dan tumbuh-tanaman mampu hidup tenang di atasnya. Gunung itu seakan-akan menjadi pasak yang dapat mengokohkan permukaan bumi mirip halnya tiang-tiang kapal yang menjulang, yang dapat menstabilkan kapal itu berlayar dan berlabuh di tengah lautan, sehingga kapal tersebut tidak oleng. Sementara para ilmuan baru mengetahuinya pada abad kini.
Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa, Islam yaitu agama rasional. Dalam Islam, agama dan logika buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Islam datang berbicara kepada insan, bahwa Islamlah yang berteriak keras pada nalar manusia sehingga beliau terkejut dan berdiri dari tidurnya yang nyenyak. Islam sebenarnya tiba dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dapat dipahami, dan tidak mungkin menenteng hal-hal yang bertentangan dengan nalar. Jika ada teks ayat yang zhahirnya kelihatan berlawanan dengan logika, akallah wajib berkeyakinan bahwa bukanlah arti yang dimaksudkan, dan selanjutnya akal boleh memilih antara menggunakan ta’wil atau berserah diri kepada Allah.[24]
Hal tersebut disokong oleh beberapa pernyataan para filosof, baik filosof Islam maupun non-Islam ihwal pengakuan nalar insan kepada kebenaran wahyu di antaranya yaitu:
- Al-Kindi menyampaikan bahwa “Argumen yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan dibandingkan dengan argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan al-Qur’an tidaklah saling bertentangan.[25]
- Ibnu Rusyd menyampaikan bahwa “Dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak di luar kesanggupan logika untuk mampu mengetahuinya. Karena itu, kita harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal”.[26]
- Ibnu Miskawaih menyampaikan bahwa: “Nabi menjinjing apa yang tidak bisa ditolak oleh nalar, Nabi dan wahyu dibutuhkan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang akan membawa insan kepada kebahagiaan”.[27]
- G. Margoliuuth, dalam bukunya “De Karacht Vanden Islam” mengemukakan selaku berikut: “Adapun al-Qur’an itu menempati kedudukan yang maha penting di barisan agama-agama yang besar di seluruh dunia. Meskipun al-Qur’an sangat gampang usianya, beliau menempati bagian terpenting dalam ilmu kitab. Ia mampu menghasilkan sebuah akibat yang tidak pernah dan tidak akan pernah seseorang mampu menghasilkannya. al-Qur’an membuat perubahan fikiran dalam lingkungan umat insan dan ajuan dari isinya perihal tabi’at dan peradaban mereka. Pertama kali al-Qur’an menggerakkan bangsa Arab yang sedang dalam kegelapan dan kebodohan, menjadi sebuah bangsa yang berilmu pintar dan gagah berani di seluruh dunia, dan bangsa itu menjadi pemuka dalam agama menurut politik-sosial sehingga terbangunlah organisasi Islam”.[28]
- David Trueblood dalam bukunya Philosophy of Religion mengatakan, mahir agama pada umumnya mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Mereka mengatakan, bahwa mereka menghadapi asumsi-asumsi atau akreditasi-pengesahan tentang adanya wahyu, sedang macam-macam agama dan wahyu itu bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu untuk mengahadapi hal-hal yang berlawanan ini logika dipakai untuk memperoleh mana yang ialah wahyu yang betul dan mana yang hanya ialah pengakuan-pengesahan saja.[29]
Berdasarkan pernyataan filosof yang dikemukakan di atas, baik dari golongan muslim maupun non muslim, yang menawarkan legalisasi akan kebenaran wahyu yang pada hakikatnya berasal dari Tuhan ialah bukti bahwa nalar yang menjadi dasar dalam berfilsafat makin memperkuat kedudukan wahyu yang tidak saling bertentangan dengan logika insan.
Dengan demikian mampu diketahui bahwa akal/anutan insan marupakan sebuah alat yang mampu dipergunakan untuk menelusuri keeksistensian wahyu Tuhan, karna dengannya kita dapat meyakini bahwa segala apa yang tersurat dalam firman-Nya baik yang mampu dimengerti lewat zhahir ayat maupun yang harus lewat telaah mendalam untuk mencapai maksud yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut ialah bukti bahwa ada sesuatu yang lebih kuasa daripada insan yang sudah menurunkan sebuah kitab yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam yang tidak mungkin diungkap bagi seorang insan yang hidup pada masa 1.400 tahun yang lalu. Tentu hal ini membuktikan bahwa betapa lemahnya akal manusia kalau dibandingkan wahyu Tuhan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
a) Akal merupakan anugrah yang diberikan Allah terhadap manusia. Yang dengan logika tersebut manusia dapat berguru, mengenal, serta mengetahui berbagai hal. Yang dengan pengetahuan tersebut manusia mampu menciptakan sebuah peradaban yang terbaru. Sedangkan wahyu merupakan firman Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul selaku pedoman bagi umat insan. Berisi aliran-aliran tentang agama, baik dan jelek serta mencakup insiden-insiden penciptaan alam semesta.
b) Akal dan wahyu ialah dua hal yang saling bekerjasama, nalar selaku daya berpikir memiliki batas jangkauan kepada hal-hal yang bersifat ghaib. Sedangkan wahyu yang bersumber dari Tuhan berfungsi untuk menutupi serta melengkapi pengetahuan-pengetahuan tersebut. Dengan demikian, wahyu mengakibatkan apa yang buram oleh logika nampak terang. Sehingga mampu dibilang bahwa antara akal dan wahyu terdapat kekerabatan yang saling melengkapi.
c) Akal (Pemikiran insan) merupakan fasilitas untuk menelusuri eksistensi wahyu Tuhan, dengan wawasan yang diperoleh nalar, insan dapat meraih suatu kebenaran melalui wahyu yang bersumber dari Zat yang Maha Kuasa yaitu Allah swt. sehingga nampak suatu kemustahilan jikalau al-Qur’an itu berasal dari seorang manusia yang hidup pada abad 1.400 tahun yang lalu. Dimana pada periode itu mustahil baginya untuk menulis sendiri sebuah buku yang berisi wacana berita insiden-kejadian penciptaan alam semesta yang gres dapat dimengerti menggunakan alat-alat modern pada periode ini.
Akal yang ialah anugerah dari Tuhan hendaknya mampu dipergunakan dengan semaksimal mungkin, sehingga dengan akal tersebut mampu menimbulkan insan lebih takut, tunduk dan taat serta beriman kepada Allah swt.
Daftar pustaka
Al-Ghazali, Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Kharisma, 1996.
————–, Wasiat Imam Al-Ghazali, Terj. Zakaria Adhan, Jakarta: Darul Ulum Press, 1993.
Al-Ahwani, Fuad. Al-Falsafah al-Islamiyah. Qairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981.
Anshari. Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. I. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Ensiklopedi Islam, Vol.5 ,Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedia Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, jilid 3. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2009.
Haq, Hamka. Al-Syathibi, t.t: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007.
Hutasuhut, Efrianto. “Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad Abduh)” Tesis. Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017.
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafutuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
Iqbal, Muhammad. Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan dalam Agama, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Mubarak, Agus. Eksistensi Wahyu, Bibel, dan al-Qur’an Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi dan Sosial Agama Vol. XVI, No. 1 (2014): h. 67-80.
Nasruddin, Juhana. Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, Yogyakarta: Deepublish, 2017.
Nasution, Harun. Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
————–, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, Cet. IV . Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
————–. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : Ul Press, 1986.
Nasution, M.Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Othman, Ali Issa. Manusia Menurut al-Ghazali, t.t: Pustaka, 1981.
Rasyidi, HM. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Sidik, Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu, Hunafa Vol. 4, No.1 (2007): h. 41-48.
Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1998.
Zaini, Syahiman. Bukti-bukti Kebenaran Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah, Malang: Kalam Mulia, 1980.
[1]Juhana Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 39.
[2] Juhana Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Mudah, h. 42-43.
[3]Hamka Haq, Al-Syathibi, (t.t: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007), h. 42
[4]Efrianto Hutasuhut, “Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad Abduh)” Tesis (Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), h. 21.
[5]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), h. 97.
[6]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 98.
[7]Al-Ghazali, Wasiat Imam Al-Ghazali, Terj. Zakaria Adhan (Jakarta: Darul Ulum Press, 1993), h. 72.
[8]Al-Ghazali, Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Kharisma, 1996), h. 61.
[9]Ensiklopedi Islam, Vol.5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 168. Baca juga dalam Harun.Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 35-36.
[10]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 105.
[11]Harun Nasution, Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 43.
[12]Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta : Ul Press, 1986), h. 82.
[13]Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan dalam Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 47.
[14]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 518.
[15]Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), h. 39. Dikutip dalam Agus Mubarak, Eksistensi Wahyu, Alkitab, dan al-Qur’an Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi dan Sosial Agama Vol. XVI, No. 1 (2014): h. 69.
[16]Endang Saifuddin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. I. (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 14.
[17]Fuad Al-Ahwani, Al-Falsafah al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981). h. 147.
[18]Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, (t.t: Pustaka, 1981), h. 140.
[19]Harifuddin Cawidu, Al-Qur’an Kemukjizatan dan Keistimewaannya, dikutip dalam Sidik, Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu, Hunafa Vol. 4, No.1 (2007): h. 45.
[20]Ensiklopedia Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, jilid 3 (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2009), h. 3
[21]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 582.
[22]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 584.
[23]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 411.
[24]Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 99.
[25]Juhaya S Praja, Filasafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 197.
[26]Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafutuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 67.
[27]Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, h. 84.
[28]Syahiman Zaini, Bukti-bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu Allah, (Malang: Kalam Mulia, 1980), h. 183.
[29]David Trueblood, Filsafat Agaama, diterjemahkan dan disusun kembali oleh HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 12.