“Fakta di lapangan menawarkan bahwa pendidikan kita lebih menekankan kualitas formal daripada substansial. Dalam pesantren-pesantren al-Qur’an, contohnya, atau lembaga-forum pendidikan Islam secara umum, seorang siswa yang sudah hafal al-Qur’an 30 Juz akan dinyatakan lulus dan berhak menerima serifikat hafal al-Qur’an plus gelar hafidz/dzah, kendati ia tidak memahami isinya, bahkan tidak mengaplikasikan isinya sama sekali. Akibatnya, target pendidikan hanyalah pencapaian secara formal belaka. Bandingkan misalnya dengan pendidikan al-Qur’an yang dialami oleh para Sahabat Nabi saw. Dalam kaitannya dengan ini, Sahabat Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “orang-orang di golongan kami andaikan mengkaji 10 ayat al-Qur’an, maka beliau tak akan pindah ke ayat lain hingga beliau mengerti pengertiannya serta mengamalkan isinya dalam ke hidup-an nyata [Ibn Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir, 96]. Secara implikatif, produk pendidikan al-Qur’an (learning outcome) para Sahabat itu, sebagaimana diilustrasikan oleh Nabi Muhammad saw, bergotong-royong orang-orang menjdai generasi “khair al-qurun” (generasi paling baik).” Demikian tulis satu dari sekian banyaknya dosen aku, bapak Ahmad Syafii SJ.