Memperkuat Manajemen Strategis Dengan Pengukuran Kinerja Dalam Organisasi Sektor Publik
Membahas manajemen strategis mampu dikatakan membahas korelasi antara organisasi dan lingkungannya, baik lingkungan internal maupun eksternal. Lingkungan organisasi simpulan-simpulan ini tidak saja kian bergejolak mengalami pergeseran, tetapi juga saling berafiliasi secara lebih erat. Hal tersebut menuntut organisasi untuk berpikir strategis, bisa menerjemahkan inputnya menjadi seni manajemen yang efektif, serta membuatkan argumentasi yang dibutuhkan untuk menaruh landasan bagi pelaksanaan strateginya.
Kesemuanya diperlukan akan dapat memperlihatkan isyarat bagaimana menghadapi dan menangani pergantian yang terjadi dalam lingkungan, bahkan memberi petunjuk pada para pimpinan agar bisa mengendalikan pergantian yang terjadi pada lingkungan tersebut, dan tidak sekedar bersikap menunjukkan reaksi terhadapnya. Dengan demikian konsentrasi manajemen strategis yakni menghubungkan organisasi dengan lingkungannya, merumuskan seni manajemen untuk beradaptasi dengan lingkungan, dan menentukan bahwa implementasi seni manajemen berlangsung dengan baik. Organisasi juga dibutuhkan akan bisa menertibkan arah pencapaian sasaran yang telah ditetapkan.
Ada beberapa hal yang besar lengan berkuasa dalam memperkuat administrasi strategis sebuah organisasi yaitu: pentingnya konsumen, perbaikan yang bersifat terus-menerus, pengukuran kinerja, transformasi kultural, dan keterlibatan anggota organisasi. Pada bab permulaan artikel ini, akan dibahas desain dasar dan faedah administrasi strategis, cakupan organisasi sektor publik, aneka macam desain dalam pengukuran kinerja dalam organisasi sektor publik, mencakup dimensi, tujuan, hambatan dan tantangan pengukuran organisai sektor publik.
Pembahasan akan difokuskan pada bagaimana pengukuran kinerja organisasi sektor publik dapat memperkuat manajemen strategis, khususnya dilihat dari pendekatan Total Quality Management (TQM) dari Deming. Konsep Dasar dan Manfaat Manajemen Strategis dalam Organisasi Sektor Publik Pada dasarnya administrasi strategis adalah suatu perspektif baru yang menyinari ihwal pentingnya organisasi untuk memperlihatkan lebih banyak perhatian pada perumusan taktik dan pergeseran lingkungan. Strategi organisasi yang tepat untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang berganti sungguh penting bagi keberhasilan pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Ibrahim, manajemen strategis pada prinsipnya ialah kemampuan administrasi organisasi untuk mengadaptasi kala depan yang lazimnya bersifat jangka pendek serta menengah ( 2008:24). Strategi penting alasannya ialah proses untuk memilih arah yang harus dijalani agar visi dan misi organisasi dapat tercapai. Strategi juga dapat menawarkan dasar yang masuk nalar untuk keputusan-keputusan yang hendak menuntun ke arah pencapaian tujuan organisasi. Keputusan strategis akan memajukan kemampuan pemimpin dalam menghadapi perubahan.
Menurut Johnson dan Scholes (2002) dalam Bovaird ( 2003: 55), keputusan strategis meletakkan perhatian pada ruang lingkup acara organisasi, pembiasaan kegiatan organisasi dan lingkungannya, alokasi dan realokasi sumber daya utama dalam organisasi, nilai, keinginan dan tujuan dari taktik yang kuat, serta implikasi pergeseran operasional pada seluruh organisasi. Sehingga dapat dibilang bahwa administrasi strategis ialah sebuah proses yang dalam setiap tahapnya memerlukan partisipasi dari semua pihak, dan pertanggungjawaban dari pemimpin. Dengan demikian manajemen strategis meliputi penetapan kerangka kerja untuk melakukan berbagai proses tersebut.
Menurut Steiner dan Miner ( 1997: 30), proses administrasi strategis mencakup beberapa hal selaku berikut:
- Pengawasan pergeseran lingkungan
- Identifikasi lingkungan potensi dan ancaman untuk dihindarkan
- Evaulasi kekuatan dan kelemahan organisasi
- Perumusan misi dan target
- Identifikasi taktik untuk untuk pencapaian tujuan organisasi
- Evaulasi seni manajemen dan opsi seni manajemen yang akan diimplementasikan
- Penetapan dan pemantauan proses untuk meyakinkan bahwa strategi diimplementasikan dengan tepat.
Nutt dan Backoff (1992) dalam Salusu (2006: 496-498), mengemukakan beberapa alasan perlunya pergantian strategis yang sekaligus memberikan petunjuk wacana bagaimana faedah manajemen strategis bagi organisasi publik maupun organisasi nonprofit selaku berikut:
- Organisasi gres atau yang sedang meningkat harus menimbang-nimbang langkah tujuan dan sasaran yang diprioritaskan.
- Kebutuhan mempertahankan stabilitas pembiayaan yang memerlukan strategistrategi baru untuk mencari sumber pembiayaan gres.
- Keinginan berbagi pelayanan, seiring makin tersedianya sumber daya yang dimiliki, mendorong manajer melakukan perubahan kebijakan, prosedur, bahkan mungkin prioritas pelanggan yang dilayani.
- Perluasan peranan alasannya desakan publik, untuk menjawab keperluan mereka
- Perubahan kepemimpinan biasanya dibarengi dengan visi gres yang menuntut para administrator mengetahui dan beradaptasi dengan kebijakan gres
- Tuntutan yuridis dalam penyusunan rencana yang memungkinkan perubahan prosedur jika ada desakan pemerintah untuk menemukan pemberian yang diharapkan
- Tuntutan akan integrasi antar departemen, distributor, bidang, bab, seksi dan lain-lain sungguh sering terjadi dalam organisasi pemerintahan yang menuntut penyesuaian misi, tujuan, serta banyak sekali mekanisme.
- Koordinasi tindakan yang menuntut adanya pergantian dalam akal internal
- Ancaman politik yang menuntut para eksekutif menyesuaikan akal organisasinya dengan tuntutan tersebut.
Cakupan Organisasi Sektor Publik Mahsun (2006:7) memperlihatkan pengertian kepada sektor publik selaku segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan lazim dan penyediaan barang atau jasa terhadap publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lain yang dikelola dengan hukum. Contoh sektor publik mencakup beberapa bidang seperti bidang kesehatan, pendidikan, keselamatan, dan transportasi.
Luasnya ruang lingkup sektor publik mengakibatkan dalam penyelenggaraannya sering diserahkan ke pasar, dengan regulasi dan pengawasan tetap dipegang oleh pemerintah. Sehingga dalam perkembangannya, sektor publik mengalami aneka macam pergeseran yang menjadikan terjadinya bias dengan sektor swasta. Anggapan organisasi sektor publik pasti non profit menjadi tidak sempurna sebab ada organisasi sektor publik yang bertipe quasi non profit ialah memiliki tujuan utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun memiliki motif keuntungan untuk keberlangsungan organisasi dan dapat menunjukkan donasi pada pendapatan negara atau tempat.
Sehingga organisasi sektor publik bukan hanya organisasi sosial atau organisasi non profit, dan juga bukan hanya organisasi pemerintahan. Organisasi publik merupakan organisasi yang bekerjasama dengan kepentingan umum dan penyediaan barang atau jasa terhadap publik yang dibayar melalui pajak atau pendapatan negara lain yang dikelola dengan aturan. Cakupan organisasi sektor publik berbeda di setiap negara, tergantung pada peristiwa historis dan suasana politik yang berkembang di suatu negara.
Termasuk dalam cakupan sektor publik di negara Indonesia yakni pemerintah sentra, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), organisasi bidang pendidikan, organisasi bidang kesehatan, dan organisasiorganisasi massa. Organisasi sektor publik diperlukan untuk menjamin bahwa pelayanan publik mampu disediakan untuk masyarakat secara adil dan merata, serta untuk menentukan bahwa pelayanan publik dikerjakan sesuai dengan keperluan masyarakat. Dimensi Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Kinerja merupakan keyword yang mendominsi semua diskusi perihal NPM (OECD, 1993) dalam Kouzmin et. al (1999: 120-121).
Sebagaimana dikemukakan Carter (1991), kinerja merupakan rancangan yang luas yang didalamnya tercakup memiliki arti yang beragam, untuk audiens yang berbeda, dan konteks yang berbeda. Akibatnya, rancangan indikator kinerja bagi organisasi swasta dan sektor publik menjadi susah. Disamping kendala teknis dalam operasionalisasi rancangan yang absurd, seperangkat indikator kinerja yang serupa mungkin diperlukan guna menjawab pertanyaan ihwal dimensi yang berbeda dari kinerja keduanya. Tugas pengukuran kinerja dalam organisasi sektor publik sangatlah kompleks.
Terdapat dua alasan yang umum dipakai untuk menjelaskan perbedaan pengukuran kinerja antara organisasi publik dan privat.
Pertama, alasannya adalah organisasi swasta dianggap melekat pada garis bawah patokan laba, pengukuran kinerja merupakan sebuah prosedur teknis yang mampu dibandingkan dan pribadi.
Kedua, adanya tekanan sosial dan politik tertentu pada distributor organisasi sektor publik.
Menurut Mardiasmo, metode pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu tata cara yang bermaksud untuk membantu manajer publik menilai pencapaian sebuah strategi lewat alat ukur finansial dan nonfinansial ( 2004 : 121). Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan selaku alat pengendalian organisasi, alasannya pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system. Lebih lanjut dikemukakan Mardiasmo bahwa pengukuran kinerja organisasi sektor publik dilaksanakan untuk menyanggupi tiga maksud.
Pertama, untuk menolong memperbaiki kinerja pemerintah, ukuran kinerja dimaksudkan untuk membantu semoga pemerintah konsentrasi pada tujuan dan target acara unit kerja. Hal ini dibutuhkan akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi sektor publik dalam memperlihatkan pelayanan kepada publik.
Kedua, untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. Ketiga, untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Sedangkan Fitzgerald et al.’s (1991) dalam Wilson (2000: 28), mengemukakan bahwa penelitian-penelitian pada sektor pelayanan menyarankan adanya 2 kategori utama dalam pengukuran kinerja, satu kategori bekerjasama dengan hasil akhir atau outcomes dan yang lain berkaitan dengan faktor yang memilih. Outcomes dibagi dalam kinerja keuangan dan daya saing. Sedangkan faktor yang menentukan dibagi lagi menjadi beberapa klasifikasi yaitu mutu pelayanan, keleluasaan, inovasi, dan pemanfaatan sumber daya.
Tujuan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor publik Pengukuran kinerja merupakan alat untuk menganggap kesuksesan organisasi, yang dalam konteks organisasi sektor publik akan dipakai untuk menerima dukungan dan legitimasi dari publik.
Masyarakat akan menilai keberhasilan organisasi lewat kesanggupan organisasi dalam menunjukkan layanan publik yang relatif murah dan berkualitas. Sehingga pengukuran kinerja sangat penting untuk menganggap akuntabilitas organisasi dan pimpinan dalam menghasilkan pelayanan publik yang lebih baik. Teague dan Eilon (1973) dalam Wilson (2000:127), mengemukakan bahwa menurut pandangan tradisional, pengukuran kinerja mempunyai tiga tujuan penting yakni: menjamin pencapaian tujuan atau target, mengevaluasi, mengatur dan mengembangkan prosedur dan proses, serta untuk membandingkan dan menganggap kinerja organisasi, tim dan individu yang berlawanan.
Menurut Mahmudi (2007 : 14), tujuan dilakukannya pengukuran kinerja organisasi sektor publik yakni selaku berikut:
- Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
- Menyediakan fasilitas pembelajaran pegawai
- Memperbaiki kinerja kala selanjutnya
- Memberikan pendapatyang sistematik dalam pembuatan keputusan pinjaman reward dan punishment
- Memotivasi pegawai
- Menciptakan akuntabilitas publik
Secara umum, tujuan tata cara pengukuran kinerja berdasarkan Mardiasmo (2004:122) yakni sebagai berikut:
- Mengkomunikasikan seni manajemen secara lebih baik dengan memakai tata cara top down dan bottom up
- Mengukur kinerja finansial dan nonfinansial secara berimbang sehingga mampu ditelusuri perkembangan pencapaian strategi
- Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan level bawah serta memotivasi untuk meraih goal congruence
- Sebagai alat untuk mencapai kepuasan menurut pendekatan perorangan dan kemampuan kolektif yang rasional
Kendala dan Tantangan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan acara ke arah pencapaian tujuan melalui hasil-hasil yang ditampilkan baik berbentukproduk, jasa maupun suatu proses. Kebanyakan organisasi swasta menggunakan laba selaku ukuran kinerjanya. Namun tidak demikian dengan organisasi publik, karena laba bukanlah ialah tujuan utama, namun organisasi lebih memusatkan perhatian pada kenaikan pencapaian kesejahteraan rakyat.
Disamping itu, output organisasi publik umumnya bersifat intangible dan indirect, atau berdasarkan Mardiasmo ( 2004: 122), karena sifat multidimensional kinerja organisasi sektor publik, maka tidak ada indikator tunggal yang mampu dipakai untuk menunjukkan kinerja secara komprehensif. Artinya ukuran finansial saja tidak cukup untuk mengukur kinerja organisasi sektor publik, perlu dikembangkan ukuran kinerja yang bersifat nonfinansial. Sebagaimana dikemukakan oleh Johnson dan Kaplan (1991) dalam McAdam et. al (2002 : 582), bahwa rentang pengukuran yang dipakai dalam organisasi sektor publik mesti mencakup finansial dan nonfinansial.
Ukuran kinerja dipakai oleh pihak legislatif untuk memilih kelayakan biaya pelayanan ( cost of service) yang mau dibebankan kepada masyarakat pengguna jasa publik. Sehingga pemerintah memiliki kewajiban untuk memajukan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik atau menunjukkan banyak pelayanan dengan biaya murah (do more with less). Masyarakat tentu tak mau terus menerus ditarik pungutan, namun tidak ada kenaikan kualitas pelayanan yang mereka terima.
Mahsun ( 2006 : 22), mengemukakan beberapa kendala pengukuran kinerja organisasi sektor publik antara lain:
- Kinerja organisasi sektor publik tidak mampu dinilai hanya berdasar rasio-rasio keuangan, alasannya tujuan organisasi bukan mengoptimalkan laba
- Output berupa pelayanan biasanya bersifat kualitatif, intangible dan indirect sehingga sulit diukur
- Antara input dan output tidak mempunyai hubungan secara eksklusif (discretionary cost center ) sebab sulitnya menetapkan patokan sebagai kriteria produktivitas.
- Tidak beroperasi berdasarkan market forces sehingga tidak ada pembanding yang independen dan membutuhkan instrumen pengganti prosedur pasar dalam mengukur kinerja
- Mengukur kepuasan penduduk yang heterogen dari jasa pelayanan organisasi sektor publik tidak mudah dilaksanakan
Menurut Neely (2004: 1019), ada empat proses dasar pengukuran kinerja yang sekaligus menimbulkan tantangan yang dihadapi terutama dalam rancangan dan implementasi tata cara pengukuran kinerja, yaitu:
1. Desain sistem pengukuran
Pada proses ini, letak tantangannya ialah pada menentukan desain pengukuran yang sempurna, alasannya pada akhir tahun 1980an, persoalan yang dihadapi banyak organisasi ialah mereka mengukur hal yang salah, pada umumnya berorientasi pada aspek finansial dan historis. Namun sifat pengukuran ini telah mengalami pergantian utamanya dalam banyak hal. Masalah yang sering muncul yaitu adanya pengukuran yang berlebihan, dengan mengkuantifikasikan segala hal. Sebagai teladan, jikalau berkonsentrasi pada pelanggan, maka yang mau diukur mencakup komplain, kepuasan, loyalitas, kesanggupan mendatangkan laba, penolakan dan jaminan kepada klaim, dan lain-lain. Jadi tantangan yang bekerjsama yaitu bukan pada pentingnya mengidentifikasi apa yang mampu diukur, tetapi mengidentifikasi apa yang kita butuhkan untuk diukur.
2. Implementasi
Pada proses ini, tantangan yang dihadapi terletak pada dua hal adalah persoalan kanal data, terutama kebutuhan untuk menerima jalan masuk pada data yang sempurna serta dilema yang bersifat politis dan kultur. Hal tersebut tercermin dalam kekhawatiran orang terhadap pengukuran dan tugas yang seharusnya mereka mainkan, sehingga sampai ada usaha untuk memanipulasi target yang ditetapkan untuk menjamin bahwa target dapat diraih dan tidak ada kesalahan yang dijalankan. Untuk menanggulangi urusan ini, anggota organisasi mesti diberi pendidikan untuk memahami tujuan dan kegunaan metode pengukuran.
3. Manajemen pengukuran
Pada proses manajemen pengukuran, adanya pergeseran kultur pada banyak organisasi merupakan tantangan bagi organisasi untuk meletakkan perhatian pada sasaran yang bergotong-royong. Masalahnya yaitu, pada banyak organisasi pimpinan lebih sering menyampaikan performa data yang masih bersifat mentah dan mengesampingkan untuk menggambarkan kesimpulan mereka sendiri. Mereka mampu memimpin untuk memakai waktu dan memperbesar debat yang tidak penting untuk menawarkan justifikasi citra individual dengan tetap konsentrasi pada situasi yang sedang berlangsung. Pelajaran yang mampu diambil ialah selalu fokus bagaimana sasaran mampu dicapai.
4. Penyegaran/refreshing tata cara pengukuran
Tantangan yang paling aktual dalam desain dan implementasi tata cara pengukuran kinerja ialah pada proses ini.Di dalam organisasi, manajer dapat memperkenalkan laporan kinerja untuk menanggapi berbagai problem spesifik yang dihadapi. Karena hal ini akan menenteng ke arah pengenalan laporan kinerja yang baru, tetapi sekaligus akan menjadi lama, sebab masalah-persoalan yang sebelumnya dihadapi telah berhasil dipecahkan. Untuk menjamin bahwa sebagaimana halnya pergeseran organisasi, metode pengukuran juga akan berlangsung harmonis, maka dibutuhkan manajer kinerja yang mempunyai tugas untuk mengendalikan tata cara pengukuran. Perbedaan lain dimensi dalam pengukuran kinerja juga ditemui.
Pada tahun 1980an fokusnya yakni pada ‘3S’, hemat, efektif dan efisien, sedangkan pada tahun 1990an perhatian beralih pada mutu dan kepuasan pelanggan. Juga didapatkan adanya tiga kecenderungan utama dalam pengukuran kinerja di negara-negara OECD pada akhir tahun 1990an (Australia MAB-MIAC, 1993 dalam Kouzmin, 2004: 122), selaku berikut:
- Pengembangan metode pengukuran yang memungkinkan perbandingan acara yang sama pada area yang berbeda (instrumen benchmarking, mirip citizens charters dan and penghargaan pada kualitas)
- Usaha-usaha pada pengukuran kepuasan konsumen (citizen surveys, output indicators), seperti jumlah komplain,dan proksi-proksi yang bersifat tidak langsung untuk mengukur dampak langsung suatu acara pada kalangan target.
- Berkurangnya perhatian pada pengaruh jangka panjang acara, terutama dalam penilaian acara.
Pelayanan publik dikerjakan dengan memakai budget tertentu dan golongan penduduk pengguna layanan harus bersaing untuk sumberdaya yang terbatas. Solusi pasar untuk situasi ini ialah dengan memperkenalkan prinsip pembayaran pengguna layanan dalam pelayanan yang dipilih sehingga pengguna layanan tersebut yakni merupakan orang yang bekerjsama mengeluarkan uang pelayanan tersebut.
Masalah kekurangan sumberdaya ini mempunyai implikasi pada pengukuran kinerja pada sektor publik bahwa pada tataran tertentu dari kekurangpekaan undangan konsumen secara kasatmata diharapkan untuk melindungi kepentingan konsumen yang rentan tadi, setidaknya dipuaskan dengan pelayanan yang diberikan dan dengan sumber daya untuk model eksit atau suara protes lainnya (Klein, 1984). Atau dengan kata lain, kepuasan konsumen bukanlah merupakan satu-satunya dimensi dalam pengukuran kinerja dalam organisi sektor publik dan harus dikerjakan dengan perhatian yang sungguh-sungguh (Swiss, 1992). Memperkuat Manajemen Strategis dengan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik Pada tahun 1992, David Osborne dan Ted Gaebler menerbitkan karya bestseller mereka yaitu Reinventing Government, yang menunjukkan pandangan yang luas tentang sejumlah strategi yang mereka percayai dapat mengembangkan kinerja organisasi publik.
Kemudian pada tahun 2000 dengan The Reinventor Fieldbook.Tools for Transforming Your Government Appearded, bersama Peter Plastrik menawarkan instrumen penjelasan terperinci dari ide sebelumnya. Salah satu instrumen pengukuran kinerja ialah jikalau suatu organisasi publik ditegaskan produk dan layanannya dan kemudian dibuat indikator untuk mengukur outputnya. Hasil penetapan produk dan indikator kinerjanya, mampu digunakan sebagai dasar perencanaan dan siklus pengendalian yang dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Pemikiran kinerja ini mempunyai pengaruh yang bersifat substantif dalam administrasi sektor publik baik di AS maupun di Eropa. Pengaruhnya tampakpada kerja OECD dalam Public Management and Governance (PUMA) : pada prakteknya, setiap negara anggota harus menginvestasikan secara sungguh-sungguh berbagai sumber daya dalam rangka memperkenalkan tata cara pengukuran kinerja di hampir semua sektor. Dukungan kepada tata cara pengukuran kinerja ini sungguh kuat, tergambar dari kekompakan para politisi, warga negara, dan komisi-komisi semacam forum pengawas pada tujuan terbukanya kotak hitam organisasi sektor publik, serta kenaikan transparansi dan kemampuan manajemen.
Ministry Foreign Affairs, (2000) dalam Bruijn (2002: 579), mengemukakan fungsi pengukuran kinerja organisasi sektor publik yaitu sebagai berikut:
- Transparency: organisasi mampu membuat dengan terperinci produk apa yang mereka tawarkan, bagaimana analisis input- outputnya, termasuk biayanya
- Learning: organisasi menjadi selangkah lebih maju jika beliau memakai pengukuran kinerja untuk belajar, transparansi yang diciptakan mengajarkan pada organisasi apa kebaikan-kebaikan yang dimiliki dan di mana kemungkinan pengembangannya.
- Appraising: kineja berbasis evaluasi mampu dikatakan sebagai berfungsinya organisasi
- Sanctioning: penilaian mampu disertai dengan sanksi positif jikalau ternyata kinerjanya cantik, dan sanksi negatif bila kinerjanya jelek Ide pokok pengukuran kinerja yaitu organisasi publik memformulasikan kinerja yang dipertimbangkan dan membuat indikasi bagaimana kinerja ini dapat diukur, dengan menetapkan indikator kinerja.
Menurut Smith (1993), kinerja pemerintahan yaitu susah untuk diukur (dalam Bruijn 2002: 579) disebabkan outcome sebagai dampak selesai sungguh tergantung pada banyak faktor. Misalnya rentang waktu pencapaian yang dikerjakan dengan dampak yang timbul mungkin terlalu usang jarak waktunya. Sehingga yang mampu diukur kemudian adalah imbas yang langsung (output), contohnya:jumlah putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, jumlah pasien yang ditangani dokter, jumlah lulusan yang dihasilkan oleh universitas dan lain-lain. Inilah mengapa banyak tata cara pengukuran kinerja memusatkan perhatian pada output. Prosesnya adalah selaku berikut: produksi dan layanan didefinisikan, organisasi menetapkan target buatan, out put diukur dan balasannya dilaporkan secara terencana.
Bruijn ( 2002: 580-581 ), mengemukakan banyak sekali pengaruh faktual pengukuran kinerja organisasi publik yang pada karenanya menjinjing implikasi pada penguatan administrasi strategisnya selaku berikut:
- Pengukuran kinerja menjinjing ke arah transparansi Pengukuran kinerja memperlihatkan pengetahuan bagi organisasi ihwal produk utama, besarnya ongkos, dan juga bagaimana kegiatan organisasi atau bab tertentu dari organisasi dalam menunjukkan bantuan pada output. Transparansi mampu menghasilkan banyak sekali bentuk rasionalisasi, beliau mungkin mampu mengakibatkan aneka macam diskusi internal tentang bagaimana berbagai aktivitas mampu memajukan kinerja organisasi Juga terdapat aliran yang terperinci bagaimana menilai sebuah struktur atau prosedur yang baru terutama bagaimana mereka dapat menunjukkan donasi pada peningkatan kinerja organisasi. Rasionalisasi dan proses pengembangan dapat mulai serentak seiring jalan dengan waktu saat organisasi mampu mengukur keberadaan outputnya (Osborne Gaebler 1992).
- Pengukuran kinerja adalah insentif bagi output Pada mulanya pengukuran kinerja menawarkan imbas pada output, dan berikutnya hal tersebut pada karenanya akan menunjukkan bantuan terhadap kinerja organisasi. Beberapa hasil penelitian yang menggambarkan adanya kekerabatan antara pengenalan pengukuran kinerja dengan peningkatan output telah dikerjakan misalnya pada suatu pemerintah kota (Osborne dan Plastrik, 1997) dan pada forum pendidikan tinggi ( In’t Veld, 1996).
- Pengukuran kinerja merupakan cara yang berkelas untuk menciptakan akuntabilitas Ketika peran organisasi publik menjadi kian kompleks, maka tentang otonomi menjadi penting dan ketika otonomi diberikan maka implikasinya ialah pada akuntabilitas, mempertanggungjawabkan kinerjanya. Informasi perihal kinerja diukur secara sistimatis dan dijumlah sehingga memperbesar kemampuan beberapa abad tertentu.berita juga mudah dikomunikasikan, dan berita mampu disediakan secara periodik setiap tahun.
Namun demikian menurut Bruijn, pengukuran kinerja juga dapat menimbulkan berbagai imbas negatif yang dapat mengganngu pengambilan keputusan startegis organisasi sektor publik ( Bruijn 2002:581-583), yaitu:
- Mendorong adanya game playing Organisasi publik menghasilkan output yang tepat dengan metode standar, walaupun dalam hal ini kenaikan bikinan tidak signifikan dengan perspektif professional. Ini menunjuk pada adanya sebuah permainan angka. Dalam perkara angkatan bersenjata Australia, pada penyediaan perumahan bagi serdadu yang mempunyai rumah yang jauh memberikan bahwa kinerja-kinerja yang ditetapkan oleh satuan-satuan organisasi tertentu hanya ada di atas kertas dan sungguh terbatas atau bahkan tidak mempunyai signifikansi sosial sama sekali.
- Menambah birokrasi internal Penelitian menunjukkan bahwa skoring organisasi yang baik dalam suatu sistem pengukuran kinerja merupakan investasi bagi dalam ketentuan prosedural dan organisasional dalam rangka menyanggupi patokan sistem pengukuran kinerja.Sebagai teladan memiliki departemen yang terpisah yang memiliki kemampuan birokrasi yanguntuk menciptakan semua daftar acara bersifat auditabel.
- Menghalangi inovasi Organisasi akan melakukan berbagai perjuangan mengoptimiskkan proses produksinya untuk menjamin pencapaian kinerja seefisien mungkin.
- Menghalangi ambisi
- Mematikan profesionalisme
- Mematikan metode pertanggungjawaban
- Merugikan bagi kinerja yang bagus
Menurut Ghobadian dan Asworth (1994: 48-49), pengukuran kinerja sungguh penting dikerjakan oleh oganisasi publik sebab: mampu membantu meningkatkan kualitas alokasi sumberdaya dan keputusan manajerial lain, dapat memfasilitasi administrasi menurut fakta untuk periode depan dengan menyediakan konsentrasi dasar untuk menyiapkan, memonitor dan melakukan kendali terhadap penyusunan rencana. Selain hal tersebut, pengukuran kinerja juga sangat penting untuk memajukan akuntabilitas dengan membuat pertanggungjawaban yang bersifat eksplisit dan menawarkan bukti keberhasilan atau kegagalan, serta bisa menyediakan dasar sistematis untuk menganggap dan memotivasi staf.
Sedangkan berdasarkan Mardiasmo ( 2004: 122), pengukuran kinerja mampu memiliki kegunaan untuk hal-hal sebagai berikut:
- Memberikan pengertian tentang ukuran yang digunakan untuk menilai kinerja manajemen
- Memberikan arah untuk meraih target kinerja yang sudah ditetapkan
- Memonitor dan mengevaluasi pencapaian kinerja dan membandingkannya dengan sasaran kinerja serta melakukan tindakan korektif untuk memperbaiki kinerja
- Sebagai dasar untuk menunjukkan reward dan punishment secara obyektif atas pencapaian prestasi yang diukur sesuai dengan tata cara pengukuran kinerja yang sudah disepakati
- Sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam rangka memperbaiki kinerja organisasi
- Membantu mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan telah terpenuhi
- Membantu memahami proses aktivitas instansi pemerintah
- Memastikan bahwa pengambilan keputusan dijalankan secara obyektif
Keberadaan organisai sektor publik tidak terlepas dari misi tertentu, bahkan aspek ktitis kesuksesan organisasi sektor publik ialah bagaimana mereka mencapai misi yang diembannya, contohnya bagaimana meraih tingkat efisiensi atau dalam mengelola dana publik menjadi akuntabel, maupun menciptakan kepuasan pelanggan.
Sejumlah pertanyaan yang harus dialamatkan pada organisasi yaitu bagaimana organisasi memenuhi misinya dengan baik, bagaimana mengenali hal terebut, seberapa efisien hal tersebut mampu mendukung misi organisasi, bagaimana jikalau daripada organisasi lainnya, bagaimana melaporkan pencapaian pada para para stakehorder, serta bagaimana menerima umpan balik dari stakeholder. Salah satu seni manajemen untuk merealisasikan misi organisasi yakni dengan mempergunakan pendekatan manajemen mutu terpadu (Total Quality Management/ TQM). TQM yakni salah satu konsep manajemen yang dikembangkan oleh W. Edwards Deming, yang ialah akad yang sungguh-sungguh untuk memajukan mutu jangka panjang dan memerlukan penggunaan peralatan maupun teknik-teknik tertentu, meskipun yang paling utama yaitu lebih pada adanya sebuah kesepakatan ( Salusu, 2006: 456).
Menurut Tjiptono dan Diana (2001) dalam Ibrahim ( 2008:46), TQM merupakan pendekatan dalam melaksanakan perjuangan organisasi yang menjajal untuk meningkatkan daya saing organisasi dan lingkungannya, yang untuk mencapainya harus fokus pada pelanggan, memiliki obsesi tinggi kepada mutu, memakai pendekatan ilmiah dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, memiliki janji jangka panjang dan membutuhkan kerja sama. TQM yaitu administrasi yang membuat dan menyebarkan seperangkat nilai dan akidah yang mampu membuat setiap orang mengetahui bahwa kualitas untuk pelanggan adalah tuntutan yang paling utama, dan dalam pelaksanaannya memerlukan kerja sama yang baik dan terpadu. Atau dalam rumusan lain yang lebih komprehensif, TQM juga dimengerti sebagai akad yang terpadu dan sarat pengabdian terhadap kualitas melalui penyempurnaan proses yang terus-menerus oleh semua anggota organisasi.
TQM sering disebut selaku manajemen berdasar fakta dan data karena ia bekerja berdasar data dan fakta. Pengaruh pendekatan Deming dapat dilihat dalam teori dan praktek administrasi strategis lebih dari dua dekade. Sebagaimana halnya TQM, pendekatan manajemen strategis sangat besar lengan berkuasa pada banyak organisasi pada sektor publik maupun swasta. Setidaknya di AS, organisasi pemerintahan didorong untuk mengadopsi pendekatan Deming dan pendekatan manajemen strategis. Gore (1993), dalam Vinzant dan Vinzant (1999: 516-517), melaporkan nasehat reinventing government bahwa organisasi publik dapat mengembangkan kinerja pemerintahan melalui manajemen strategis dan administrasi kualitas . Sedangkan dalam manajemen startegis kontemporer, pengaruh pendekatan Deming terlihat sungguh signifikan dalam hal bagaimana ia telah bisa membuka hati masyarakat, alasannya sebelumnya pendekatan administrasi strategis dilihat hanya untuk kepentingan yang terbatas.
Kontribusi mirip fokus pada kekerabatan dengan pelanggan, sudah membuat area gres perhatian serta membuka pintu lebar-lebar untuk menginterpretasikan kembali pentingnya desain klasik administrasi startegis. Pada sisi lain, tak perlu dipertanyakan lagi bahwa kerja Deming telah sungguh kuat dalam hal bagaimana pendekatan manajemen startegis didesain dan diimplementasikan dalam organissi periode sekarang. Deming, (Vinzant dan Vinzant, 1999: 526) sungguh yakin pada pentingnya berita, yang dibangun dengan apa yang disebutnya sebagai pengendalian proses statistik selaku dasar kenaikan kualitas dan manajemen. Dia beralasan bahwa kalau organisasi tidak mengukur dan mendokumentasikan apa yang sudah dijalankan dan bagaimana hal tersebut dilakukan, maka tidak ada jalan bagi managemen atau karyawan untuk membuat sistem kerja yang lebih baik . Sedangkan pengendalian dan proses evaluasi telah lama dianjurkan selaku bagian yang penting dari administrasi strategis.
Streib and Poister (1990) mengemukakan bahwa dilema kunci dalam imlementasi manajemen strategis adalah kesanggupan untuk memonitor planning dan memperlihatkan sebuah pergantian yang signifikan. Tahun 1990an organisasi publik sudah memperlihatkan perhatian yang signifikan dan usaha yang dicurahkan untuk berbagi desain dan faedah tata cara pengukuran kinerja sebagai bab pendekatan administrasi strategis (Kravchuk and Schack, 1996) Kerja Deming menfokuskan diri pada pengukuran peningkatan dalam proses bikinan dan alhasil dalam perjuangan-usaha yang luas untuk mengimplementasikan analisis proses kerja dan pengukuran.
Hasilnya, organisasi yang pada sebuah dikala tidak mempunyai keinginan atau tidak bisa untuk mengukur sejumlah aktivitasnya dapat mendapatkannya selaku bab penting dari praktek manajemen yang efektif. Beragamnya artikel dalam mainstream jurnal administrasi menunjukkan bahwa desain sistem pengukuran kinerja dan perjuangan-perjuangan implementasi sudah masuk dalam organisasi publik dan swasta. Pendekatan Deming telah mengganti secara efektif praktik administrasi dan kultur dalam banyak organisasi publik dan swasta untuk membangun dan mempergunakan managemen strategis, adalah proses pengerjaan keputusan berbasis data. Pada studi kasus di Inggris Raya, Greiling (2005: 555 ) mengemukakan bahwa adanya fatwa untuk memakai metode pengukuran kinerja selaku alat manajemen untuk mengimplementasikan seni manajemen.
Contohnya adalah British Local Government Act 2000, yang mensyaratkan bahwa semua otoritas lokal mesti mempersiapkan seni manajemen komunitas untuk mempromosikan atau memajukan lingkungan yang mendukung secara ekonomis dan sosial pada daerah mereka, dan untuk menawarkan donasi bagi pencapaian pembangunan yang berkelanjutan di Inggris Raya. Indikator digunakan untuk memformulasikan suatu strategi komunitas dan untuk mengukur bagaimana strategi telah direalisasikan dengan baik. Tidak hanya pada sektor swasta, pelaporan quality-of-life juga merupakan bagian integral dari penggunaan yang lebih strategis dari pengukuran kinerja di sektor publik.
Konsep administrasi strategis dengan demikian mesti mewujudkan prinsip-prinsip dan praktek manajemen umum yang dilaksanakan sebagai upaya untuk merumuskan taktik dan implementasinya dalam organisasi. Walaupun administrasi strategis bukanlah obat mujarab dalam menuntaskan berbagai problem yang dihadapi organisasi dan juga bukan ialah jaminan kesuksesan organisasi mencapai tujuannya, tetapi setidaknya hal tersebut akan lebih membuka jalan ke arah yang lebih baik.