Membumikan Keadilan Meneguhkan Pemihakan
Ketidakadilan ekonomi ialah problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam nyaris semua bagian dunia, dan dalam seluruh kawasan sejarah, tata cara-tata cara ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan sudah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-metode semacam itu umumnya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang sukses mengantarkan keadaan ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang sudah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.
Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire sudah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat sebuah distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan, pemasukan tidak didistribusikan secara merata, alasannya adalah ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berhubungan dengan jalan masuk yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan tinggi memperoleh bab pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini konfigurasi barang-barang dan jasa yang diproduksi oleh sistem pasar tidak selaras dengan impian mayoritas konsumen. Kesenjangan pemasukan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi dengan argumen bahwa seseorang yang mempertimbangkan diri sendiri yang telah melahirkan suasana ini merupakan “kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat”.
Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme selaku antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih singkat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan insan untuk mengelola kepemilikan eksklusif dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dilaksanakan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh penduduk . Dalam praktik yang terjadi sebaliknya, sekelompok orang yang menertibkan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar cuma menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.
Tujuan utama Sosialisme yaitu menegakkan keadilan, tetapi pada praktiknya Sosialisme cuma meminimalisir sedikit ketidakmerataan atau menjadikan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak memiliki hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian, negara Sosialis jauh lebih mematikan dibandingkan dengan Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari fasilitas -fasilitas bikinan masih tetap, alasannya sentra kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini berlawanan dengan pemikiran Marx sendiri perihal bagaimana alienasi terjadi: adalah saat pekerjaan terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan pekerja terasing dari pekerjaannya muncul saat pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain. Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi target kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup.
Sistem keadilan Negara Sejahtera ialah langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini ialah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi pesona Sosialisme. Sistem ini cukup menawan semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari sisi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sungguh penting yang mustahil tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana juga diandalkan Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment subsidi lazim sudah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke metode liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan sukses mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut selaku paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek dan Milton Friedman. Mulai dekade 1980-an, pedoman kanan gres yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya pada 1990-an, Kapitalisme Neoliberal pasar bebas dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar mesti bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kendali atas harga; meminimalisir pemborosan budget negara dengan memotong semua subsidi untuk pelayanan sosial mirip pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada ketika yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) lewat tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi yaitu jalan menuju persaingan bebas yang dikemas dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi fokus kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil mengeluarkan uang lebih mahal keperluan dasar mereka; dan mempetieskan paham ihwal public goods dan solidaritas sosial dan mengubahnya dengan tanggung jawab individual.
Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah dilema dalam keterkaitannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu terselesaikan secara langsung dan menangani sumber masalahnya bukan cuma dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.
Keterbatasan Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yang sudah disebut di muka Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme pada hakikatnya bersandar kepada paham tertentu tentang keadilan. Perdebatan wacana keadilan itu sudah melahirkan sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki impian dan pandangan yang serupa perihal keinginan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan cukup fundamental dalam memilih makna dan definisi yang sempurna wacana keadilan.
Memerhatikan prinsip-prinsip dari enam teori keadilan sebagaimana pada tabel di atas, terlihat terang bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang memuaskan untuk menjawab dilema-duduk perkara ketidakadilan secara komprehensif. Beberapa kekurangan mampu disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling berlawanan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan langsung dan self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan dilema keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam dilema sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan ialah masalah penting keadilan.
Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu faktor semata dari fakta dan masalah keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara sempurna atas persoalan keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara faktual tidak menawarkan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung, dan tidak ada subsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kemakmuran secara umum dikuasai; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak mampu menunjukkan balasan atas pertanyaan jikalau setiap orang harus mendapatkan akhir atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi penduduk , kemudian siapakah yang bertanggung jawab atas keadaan mereka yang kurang beruntung dalam penduduk ?
Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, jika setiap orang harus mempunyai tingkat yang sama dalam keperluan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas realita adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan persaingan, pasar bebas secara akhlak diinginkan sebagai alat yang dipercaya untuk mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menawarkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam keadaan demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung?
Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls yakni berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya mampu menjawab persoalan bagaimana ketidaksamaan dituntaskan. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat selaku sebuah kenyataan yang tak mampu ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai kesempatanuntuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang mujur. Terakhir, nyaris semua teori keadilan di atas condong konsentrasi pada keadilan distributif, sehingga faktor-aspek lain dari acara ekonomi mirip konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian.