Membatasi Keturunan, Bolehkah Menurut Syariat? (Bagian 2)

Lanjutan dr Membatasi Keturunan, Bolehkah Menurut Syariat?

Membatasi jumlah keturunan & mencegah kehamilan pula termasuk salah satu perilaku jahiliyah & ialah sikap berburuk sangka terhadap Allah Ta’ala serta melemahkan keberadaan Islam yg terdiri dr banyaknya sumber daya manusia yg saling terkait satu dgn lainnya.

Berdasarkan usulandi atas maka Majelis Majma Al-Fiqhi Al-Islami sudah setuju untuk memutuskan bahwa menghalangi jumlah keturunan tak dibolehkan dengan-cara mutlak.

Adapun menghalangi kehamilan & mengendalikan jarak kehamilan dengan-cara kasuistik (pada orang-orang tertentu) dikarenakan adanya suatu kemudaratan yg pasti, seperti seorang wanita yg tak dapat melahirkan dengan-cara normal sehingga setiap kali melahirkan harus lewat operasi caesar.

Jika demikian, maka wanita tersebut tak apa-apa membatasi jumlah keturunannya atau mengontrol jarak kehamilan. Menunda kehamilan pula boleh dijalankan sebab argumentasi yg dibenarkan syariat atau sebab argumentasi kesehatan atas pesan yang tersirat dokter muslim yg terpercaya.

Bahkan, boleh jadi syariat tak mengijinkan seorang perempuan hamil apabila para dokter muslim yg dapat mengemban amanah memutuskan bahwa kehamilan mampu membayakan jiwa sang ibu.

Adapun permintaan untuk membatasi jumlah keturunan atau mencegah kehamilan dengan-cara umum maka syariat tak membolehkannya alasannya aspek-faktor yg sudah dipaparkan di atas.

Di samping itu, lebih besar lagi dosanya apabila pemimpin suatu negara mewajibkan hal ini pada rakyatnya.

Padahal, pada dikala yg sama seluruh budget negara dipakai untuk berlomba-kontes dlm pengadaan senjata untuk menjajah & menghancurkan, sebagai ganti dr pemberdayaan serta pembiayaan untuk pengembangan sektor ekonomi, pembangunan, & kebutuhan rakyat.

Hanya Allah-lah yg kuasa menawarkan taufiq & hidayah, & gampang-mudahan Allah Ta’ala selalu mencurahkan shalawat & salam pada Nabi kita Muhammad, pada keluarga & para shahabat-shahabatnya.

  Bersumpah Dengan Nama Nabi, Apa Hukumnya?

*****

Demikian dikutip dr kitab Ittihaf Uli Al-Albab Bi Huquq Ath-Thifli Wa Ahkamih fi Su`al Wa Jawab yg disusun oleh Al-Ustadz Abu Abdullah Ahmad bin Ahmad Al-‘Isawi.

Penulis berharap, gampang-mudahan goresan pena ini berfaedah bagi para pembaca sekalian & terutama bagi penulis sendiri. Aamiin ya Rabbal Alamin.

[Abu Syafiq/Wargamasyarakat]