Membaca Isi Hati dalam Surat Blak-blakan Suami Istri

Aktivitas mengirim surat mungkin sudah selsai semenjak kurun internet begitu pesat melesat. Lantas bukan memiliki arti acara korespondensi eksklusif hilang begitu saja. Aktivitas menulis surat masih bisa tetap dilaksanakan terutama untuk pasangan suami istri. Lho, bukankah saban hari berjumpa ? Kan satu rumah, buat apa? Surat menyurat hanya mengindikasikan adanya ketidakberesan komunikasi mulut dgn pasangan halal.

Benarkah mirip itu? Om telolet om. Sebelum menjawab, Anda sepertinya perlu menengok sebentar lembaran surat “Dear Husband”. Singkirkan dulu koleksi busana kotor yg beranak pinak di belakang.

Istri Iyot Rahardjo punya deburan di hati berbeda. Ia menulis pada suaminya; Ah..Umi jadi teringat kasur lipat Ayah yg lusuh & tipis. Seorang direktur teknik, yg menjumlah ratusan kilometer jalan, jembatan & gedung-gedung megah, ganjal tidurnya mirip itu? Tapi kata Ayah, alas tidur Ayah jauh lebih mewah dibandingkan alas tidur jerami Rasulullah, pemimpin dunia yg hebat.

Umi bayangkan Ayah sedang terkantuk-kantuk di bus. Tubuh & pikiran yg letih serta gemuruh mesin seakan menyatu menghadirkan senandung nina bobo untuk Ayah. (hal.33)

Bintang yakni isyarat kehidupan. Bagi para nelayan, ia menawarkan arah yg mesti ditujunya untuk kembali pada orang-orang yg menunggunya dgn penuh harap & cinta. Bagi para ilmuwan, jejak yg ditinggalkan bintang-bintanglah yg membantu mereka menyusun isyarat -petunjuk untuk memahami sejarah perkembangan alam semesta sejak permulaan pencapaiannya. Orang Mesir antik bahkan pernah menduga bahwa setiap kali raja mereka mati, mereka akan menjelma menjadi bintang.

Bagiku, kau seperti bintang yg menyala jauh lebih terang dr bintang-bintang lain di sekitarnya. (kata Shofwan Albanna, di hal.40)

Mas ialah aku, & gue yaitu Mas. Padahal terperinci sama sekali berlawanan, kan? Aku berasumsi Mas adalah saya, lupa bahwa Mas punya kebiasaan sendiri. Punya kesukaan sendiri. Punya hal-hal yg dianggap menyebalkan yg bagiku hal sepele saja. Makanya, terkejut pula kalau kita masih mampu bertikai di usia pernikahan yg telah 20 tahun lebih (kata Sinta Yudisia, di hal.18)

Aku merasa telah berusaha mengkomunikasikan kenapa gue marah, tapi Mas mendiamkannya seakan itu bukanlah suatu hal yg penting. Ini bukan cuma soal maaf-memaafkan, Mas. Ini persoalan komunikasi. Kata mas dulu, dlm rumah tangga hal yg terpenting yakni komunikasi. Namun tatkala gue menjajal melaksanakan hal tersebut, kenapa tak ada respons dr Mas? (kata Khonsa Riani, di hal.112)

Buku yg disusun oleh Afifah Afra & Sinta Yudisia ini memang ‘blak-blakan’ berisi curahan hati pasangan baik dr segi suami maupun sisi istri. Afra pula berkisah pula ihwal bunyi hatinya pada suami dgn penggambaran ‘alam lain’ yg begitu seram. Yang kita semua akan mengalaminya.

Buku ini tak terlalu tebal, hanya terdiri 16 surat. Bukan sekadar surat picisan, tetapi surat yg sarat instruksi. Urusan keuangan, kesehatan, anak & masa yg tak terlihat. Sangat pantas untuk dimasukkan ke daftar belanja bulanan, dijadikan rujukan menulis surat atau dijadikan sebagai cerminan.

Judul : Dear Husband 

Penyusun : Afifah Afra

Tebal Halaman : 127 halaman

Penerbit : Indiva Media Kreasi, Surakarta

Cetakan : Pertama, November 2016

[Paramuda/Wargamasyarakat]