“Banyak pendekar bangsa yg membela bangsa mati-matian meski mereka non muslim!”
Pernah mendengar pernyataan mirip di atas? Tentu kita menghargai para pahlawan meski dr kelompok bukan muslim. Namun menjadikan itu alasan sebagai argumentasi untuk menentukan pemimpin dr non-islam (non-i) tentu salah yg kaprah. Kita tentu tahu bahwa muslim di kepingan bumi mana pun tak dibenarkan menjadikan non-muslim selaku wali (pemimpin) untuk menempati kekuasaan.
Ketentuan syariat ini telah menjadi salah satu aturan pokok dlm syariat Islam yg tak diperselisihkan oleh para ulama. Ayat-ayat Al-Qur’an yg dengan-cara eksplisit menekankan larangan ini terbilang banyak. Hadits-hadits Rasulullah Saw. yg mendukung ayat-ayat tersebut meraih derajat tawatur ma’ nawi, artinya tak ada celah bagi semua orang untuk menyangkalnya.
Hukum ini mempunyai satu pengecualian yakni tatkala kaum muslimin terpaksa berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir disebabkan lemahnya keadaan mereka. Dalam kondisi seperti itu, Allah Swt. menunjukkan dispensasi (rukhsah) melalui firman-Nya,
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dgn meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, pasti lepaslah dia dr sumbangan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dr sesuatu yg ditakuti mereka. Dan Allah memperingatkan ananda terhadap diri (siksa)Nya. Dan hanya pada Allah kembali(mu),” (QS. Al-Imran: 28).
Namun perlu diketahui, larangan menjadikan orang-orang kafir selaku wali atau pemimpin bukan memiliki arti kita boleh dengki pada mereka. Seorang muslim diharamkan mempunyai sifat dengki pada siapa pun juga. Perlu diketahui, ada perbedaan yg menonjol antara marah terhadap seseorang lillahi ta’ ala (demi menerima keridhaan Allah Swt.) dgn dengki kepadanya. Setiap muslim pun wajib tak menggemari orang tersebut, disebutkan kemungkarannya. Adapun perilaku kedua bersumber dr eksklusif orang itu sendiri, tanpa menatap tingkah laku atau tindakan yg bersangkutan. Sikap terakhir inilah yg tidak boleh Islam.
Pada hakikatnya murka lantaran Allah (al-ghadhab lillah) dilandasi rasa sayang kita pada pelaku kemungkaran. Setiap mukmin wajib mencintai sesama manusia, sebagaimana ia menyayangi diri sendiri. Padahal tak ada sesuatu pun yg lebih dicintai seorang mukmin melainkan keamanan dr siksa api neraka & kabahagiaan awet di dlm nirwana. Makara tatkala seorang mukmin murka pada pelaku kemaksiatan, itu dilakukan lantaran menginginkannya selamat dr eksekusi Allah. Tentu sepakat bahwa sikap mirip itu bukanlah “marah” dlm pemahaman yg bergotong-royong atau “ dengki” . Sebab, perilaku “murka” seperti itu sama dgn marahnya seorang ayah pada sang anak atau seorang kakak pada adiknya, demi kemaslahatn si anak atau si adik itu sendiri.
Tetapi, hal ini tak serta merta menafikan perlunya sikap tegas terhadap orang-orang kafir. Sebab, sikap tegas sering kali menjadi satu-satunya cara memperbaiki mereka. Sikap tegas itu pun harus berangkat dr niat yg lapang dada demi kecintaan kita pada sesama insan.
Seorang penyair pernah berkata: Bersikap tegaslah biar mereka tergetar, karena siapa yg penyayang terkadang harus siap bersikap tegas pada siapa yg ia sayangi.
Namun perlu dicatat: kita tak boleh meremehkan penerapan nilai-nilai keadilan dlm pergaulan dgn mereka, tak mengurangi kehormatan kita pada mereka. Keadilan mesti senantiasa ditegakkan, murka atau benci lantaran Allah Swt. Wallahua’lam.