close

Memaknai Alam Semesta Berdasarkan Mistik Sahl Bin Abd Allah Al-Tustari

MEMAKNAI ALAM SEMESTA: SIMBOLISASI KOSMIK DALAM ONTOLOGI MISTIK SAHL BIN ABD ALLAH AL-TUSTARI
Khazanah pedoman keislaman yang tertuang dalam karya-karya tafsir sufi sangat kental dengan penafsiran simbolik kepada ayat-ayat al-Qur’an atau sebut saja penafsiran secara isyari. Jika kemudian ditemukan fakta bahwa penggambaran tentang fenomena alam semesta dituangkan dalam beragam perumpamaan yang dari analisis tekstualnya saja sebenarnya telah cukup gamblang tergambar di dalam al-Qur’ân, maka upaya yang dilaksanakan sufi berusaha mengupas lebih jauh wacana makna-makna simbolik di balik ungkapan-istilah al-Qur’an ihwal penggambaran alam semesta. Di sini akan nampak bahwa penafsiran yang bercorak sufistik tidak saja bertujuan untuk memerinci gambaran al-Qur’an ihwal alam semesta, tetapi penafsiran corak ini juga berupaya untuk mengungkapkan secara lebih mendetail makna-makna dan signifikansi spiritual[1] di balik penggambaran fenomena alamiah di dalam al-Qur’an menurut persepsi sufi. Dari sini pulalah tulisan ini memusatkan pembahasan pada persepsi sufi wacana problem ontologi atau dalam ilmu filsafat sering disamakan dengan konsepsi perihal metafisika yang didefinisikan selaku pemeriksaan filosofis wacana alam serta hukum-aturan dan struktur-struktur realitas.[2] Oleh alasannya itu, citra ihwal simbolisme kosmik yang dituangkan dalam goresan pena ini hendaknya dipahami selaku sebuah konsepsi yang tidak cuma terkait dengan persepsi dunia secara fisik, tetapi juga menyertakan ihwal sufi perihal Tuhan sebagai asal dan pencipta serta pengatur alam semesta.
Tafsir sufi yang dipilih untuk pembahasan ini ialah Tafsir al-Qur’an al- Azhīm karya Sahl bin Abd Allah al-Tustari. Nama lengkapnya Sahl bin ‘Abd Allâh b. Yûnus b. Isâ b. ‘Abd Allâh b. Râfi‘ al-Tustarî lahir pada permulaan era ke-3/9, dan meninggal pada tahun 283/896 (Attâr 1979:153; Ibn Khallikân 1948:ii,15; Ibn al-Atsîr 1996:viii,582). Karakteristik ajaran Sahl al-Tustarî dapat digolongkan selaku aliran fatwa sunni yang moderat.[3] Dengan kata lain, Sahl al-Tustari kerap menggabungkan faktor naqli dengan rasio, atau antara riwayat dan pemahaman ijtihadi, dalam suatu harmoni fatwa yang padu. Ini mampu lebih jelas dilihat secara khusus di dalam tata cara penuangan ide-pemikiran mistiknya, sehingga dalam sistem penafsiran simbolik, contohnya, dia masih menambahkan makna harfiah selaku landasan pokok bagi proses analogi yang diambil. Upaya Sahl al-Tustarî untuk terus mencari harmoni antara tradisi yang diwarisi lewat proses ta‘lim yang didapat dari guru pertamanya, sang paman Muhammad bin Sawwâr, dipadukan dengan kerangka berpikir rasional yang ditemukan dari imbas Dzû al-Nûn al-Misri[4] serta iklim akademik Basra yang rasional.
Terkait dengan arti penting figur Tustari dalam kesarjaan sufi, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm dianggap sebagai karya tafsir sufi tertua. Louis Massignon menyebutnya sebagai karya pertama tentang tafsir simbolik dan analogis (Massignon 1982:i, 22). Kitab ini mengambil bentuk sebagai sebuah kitab penafsiran yang berseri, meskipun penulisnya tidak menampung penafsiran untuk seluruh ayat-ayat al-Qur’ân dari permulaan hingga selesai, akan namun menentukan cuma ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan perihal indikasi tersembunyi dari ayat-ayatnya, di samping pastinya pengertiannya secara harfiah. Penjelasan yang dipaparkan di dalam penafsiran ayat al-Qur’an bervariasi dari uraian singkat yang berisikan beberapa kata hingga kalimat uraian yang panjang dan mendetail. Dari sisi bentuk dan volume naskah, tafsir ini tergolong sangat kecil, akan namun sungguh bernilai dalam segi kualitas klarifikasi yang dikandungnya (Ahmad 1968:100). Lebih penting lagi, naskah tafsir ini asli milik Sahl al-Tustarî yang mampu ditelusuri lewat manuskrip dan edisi cetaknya.[5]
Pemikiran Sahl al-Tustari dalam khazanah anutan Islam menjadi penting, khususnya penafsiran simbolik yang dilakukannya di dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim karena Sahl al-Tustari menjadi guru sufi bagi tokoh-tokoh ternama dalam dunia tasawwuf baik di Basrah maupun Baghdad sebagai pusat dunia tasawuf abad klasik Islam. Salah satu murid Sahl yang paling dikenal yakni al-Husayn b. Mansur al-Hallâj.[6] Beberapa indikasi yang tidak mampu disangkal lagi tentang imbas spiritual Sahl kepada Hallâj, dikatakan oleh Massignon, terdapat dalam beberapa kesamaan mengenai disiplin puasa, kesamaan jumlah rakaat (400) shalat dalam sehari semalam, dan kesamaan ajaran tentang yaqîn yang dinisbatkan kepada kedua orang gaib ini (Massignon 1982:i, 71). 
Murid Sahl lainnya yang tidak kalah terkenal yaitu berjulukan Muhammad b. Sâlim al-Basrî bersama dengan anak lelakinya Abû al-Hasan Ahmad b. Sâlim yang mendirikan fatwa Salimiyyah, sebuah tarikat sufi yang lebih banyak didominasi di Basrah setelah wafatnya Sahl.[7] Abû ‘Abd Allâh Muhammad b. Ahmad b. Salim al-Basrî (w. 297/909) ialah murid Sahl yang paling terpercaya karena beliau sudah mengabdi kepadanya selama lebih dari 60 tahun dan tidak pernah mencar ilmu terhadap selain Sahl. Ia mengaku bahwa tidak ada banyak perubahan dalam hal dzikr yang dikerjakan Sahl selama dia menjadi muridnya (Sarrâj 1960:265; Sulami 1960:431-34). Ibn Salim juga menjadi salah seorang perawi penting bagi tradisi yang berasal dari Sahl. Aliran sufi Sâlimiyya yang didirikan mengadopsi tata cara pendidikan yang dipraktekkan oleh Sahl selaku pangkal genealogi tarikat. Di Basra, beliau memiliki lingkaran pengikut sufi yang menjadi murid-muridnya, yang pada waktu belakangan kemudian menjadi murid anaknya Abû al-Hasan.
Kelompok ketiga yang menjadi murid Sahl berdasarkan sumber bio-bibligrafi yaitu Abû Muhammad Ahmad b. MuÊammad b. al-Husayn al-Jurayrî (w. 311/923) dan Abû al-Hasan ‘Alî b Muhammad al-Muzayyin (w. 328/939). Keduanya juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan bulat sufi Baghdad sebab mereka tercatat sebagai murid-murid al-Junayd (w. 297/910).[8] Pengaruh yang ditularkan oleh kelompok sufi Baghdad yang didirikan oleh al-Junayd bagi pertumbuhan pedoman tasawwuf pada generasi pasca klasik adalah acuan fatwa tasawuf yang memadukan antara daypikir rasional dan penyandaran tradisi yang cukup berpengaruh bersumber dari al-Qur’an dan hadits. Model berpikir seperti inilah yang pada masa belakangan melahirkan pemikir-pemikir besar dalam ilmu tasawwuf dan perkembangan tafsir sufi pada khususnya dengan lahirnya mufassir-mufassir sufi sekaliber Muhammad bin al-Husayn al-Sulamī dan Abd al-Karim al-Qusyairi.[9]
Dalam analisis corak penafsiran simbolik secara lazim, bagi Sahl fenomena alam semesta yang digambarkan di dalam al-Qur’ân tidak cuma sebuah deskripsi ihwal apa yang kita lihat dalam kerangka makrokosmos yang menandai keteraturan metode yang ditunjukkan oleh perjalanan kosmik benda-benda langit di dalam metode tata surya, tergolong bumi di dalamnya, namun sejalan dengan konsern utama penafsiran sufi untuk menggali signifikansi spiritual al-Qur’ân, penafsiran simbolik kepada al-Qur’ân yang dilakukan Sahl berusaha menggali makna simbolik bagi aspek kejiwaan di dalam diri insan sendiri. Ini dilakukan dengan cara mempesona analogi, menenteng elemen-unsur makrokosmos sebagai dasar ontologis selaku simbol bagi realita psikologis manusia. Muara yang dituju, sebagaimana konsern utama pedoman tasawuf adalah, terbentuknya fatwa watak yang didasarkan terhadap al-Qur’an selaku tutorial bagi upaya penyucian diri dalam upaya mendekatkan diri terhadap Allah. Sampai di sini, tasawuf mampu dikatakan sebagai jalan yang mendekatkan posisi ontologis manusia di hadapan Tuhan sebagai tempat kembali semua makhluk.
Tulisan ini mencakup beberapa ulasan ihwal penafsiran simbolik yang dijalankan Sahl kepada fenomena kosmik, baik perihal alam bawah untuk menunjuk bumi dan kegelapan yang menyelimutinya maupun alam atas untuk menunjuk langit dan segala isinya, serta cahaya yang meneranginya. Persinggungan di antara kedua komponen ini, mirip komponen-komponen simbolisasi kepada pergantian waktu yang terjadi akibat pergerakan bumi terhadap matahari menjadi tahap-tahan ontologis yang menandai sejauh mana manusia mempunyai kesempatanmembebaskan diri dari selubung komponen-unsur bahan yang membungkusnya guna mendapatkan pencerahan dalam naungan cahaya Tuhan. Kesemua fenomena alamiah ini, dalam penafsiran Sahl menjadi makna-makna simbolik yang merujuk kenyataan mikrokosmik dalam status kejiwaan manusia. Jiwa manusia yang terdiri dari adonan jasad material dan bagian spiritual merupakan elemen yang dalam persepsi gaib Sahl bergantung pada aspek luar yang sungguh memilih, yakni eksistensi cahaya selaku bagian “pencerahan” yang tiba dari Tuhan melalui tugas kenabian. Ini dibuktikan dengan kuatnya efek aliran ihwal nur Muhammad dalam fatwa kosmogoni Sahl al-Tustari. Dalam hal ini, paduan antara komponen-unsur spiritual jiwa dan elemen-komponen cahaya yang mencerahkan ini dirujuk selaku sesuatu yang berasal dari ketinggian, atau katakanlah alam langit, yang dianggap sebagai kawasan yang akrab dengan Singgasana Tuhan.
Penafsiran simbolik tentang fenomena kosmik ini menjadi anutan yang sukup penting mengenang dalam struktur pemikiran sufi pemikiran yang tumbuh dari proses analogi ini membentuk dasar fatwa filsafat tentang konsep eksistensi yang bukan saja menjadi landasan bagi iktikad mistik para sufi, namun juga menjadi landasan bagi tumbuhnya pemikiran -gagasan mistik yang lain berkenaan dengan aspek-faktor epistemologi, peran pengetahuan selaku isyarat , dan bahkan faktor soteriologi yang mengendalikan keamanan dalam menghadapi kehidupan mendatang. Ketiga macam aspek ontologi, epistemologi, dan soteriologi berperan sungguh penting bagi sufi dalam upayanya menunjukkan pencerahan bagi setiap individu untuk melepaskan diri dari belenggu bahan untuk kembali ke alam ruhani di tempat asalnya dalam naungan cahaya Tuhan. Pertanyaan yang akan dijawab dalam goresan pena ini yakni konsepsi metafisika apa saja yang digambarkan Sahl al-Tustari dalam menguraikan simbolisasi kosmik dalam ayat ayat-ayat al-Qur’an? Urut-urutan pembahasan akan dimulai dengan gambaran mengenai simbolisasi bumi sebagai alam bawah dan lalu pertanda simbolisasi langit sebagai representasi alam atas. Sebuah desain ontologis yang menjembatani kedua posisi yang bertentangan ini ditemukan dalam konsepsi mistik ihwal nur Muhammad yang menjadi penghubung (channel) antara keberadaan makhluk dengan wujud Tuhan.
A. Simbolisasi Bumi (ardh) sebagai Alam Bawah
Bumi (ardh) dalam konsep kosmologi Sahl al-Tustarî mempunyai makna yang cukup signifikan ketika dirujuk selaku karakter yang melambangkan hati insan secara lazim. Simbolisasi wacana hal ini dapat dibaca dengan sungguh terperinci dalam penafsiran simbolik terhadap QS. 80:26, “Kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya…” Sahl menafsirkan ayat ini melalui jalan analogi seraya menyampaikan, “ialah hati, di mana bunga yang beraneka warna berkembang: ruh, logika, keyakinan, dan ma‘rifa” (Tustari 1911:115). Di sini, Sahl mengumpamakan bumi dengan hati manusia lantaran kesamaan fungsi keduanya dalam menumbuhkan sesuatu yang ditanam di atasnya. Bumi sesudah dibajak akan menjadi daerah bunga yang beraneka warna tumbuh. Begitu juga hati manusia, di mana unsur-elemen kecerdasan tumbuh dan meningkat . Posisi sentral hati dalam hal ini menjadi penting ketika hati berperan sebagai lokus pertemuan antara komponen-bagian material yang membentuknya dengan bagian-bagian ruhaniah yang mengangkatnya dan meneranginya kelak.
Simbolisasi bumi dengan hati juga dapat dilihat pada penafsiran simbolik yang dijalankan Sahl terhadap QS. 86:12, “Dan bumi yang mempunyai tetumbuhan.” Sahl menawan sebuah analogi kepada ayat ini dengan menyampaikan, “hati akan kembali menyesal sesudah melaksanakan tindakan dosa” (Tustari 1911:19). Kesamaan aksara antara bumi dengan hati manusia dalam ungkapan ini yakni bahwa sebagaimana setelah panen tiba bumi akan menumbuhkan kembali tetumbuhan yang ditanam di atasnya, maka hati manusia sesudah melaksanakan taubat juga akan menumbuhkan kembali doktrin dari dasarnya.
Hal lain yang menandai analogi Sahl al-Tustarî yang menyebut hati manusia sebagai makna kiasan untuk bumi diterangkan lewat penafsiran simbolik kepada fenomena kabut yang melingkupi bumi dengan asap yang melingkupinya laksana selubung. QS. 44:10, “Dan tunggulah dikala langit menenteng kabut yang kasatmata.” Kabut dalam ayat ini dimaknai selaku selubung hati (qaswat al-qalb) dan kondisi kelupaan (ghafla) dari mengenang Allah (dzikr). Sahl menyertakan, “Tidak ada malapetaka yang lebih besar di dunia ini selain dari kerusakan hati, saat beliau tidak bisa menumbuhkan apapun yang ditanam di atasnya” (Tustari 1911:86). Tidak mampu dipungkiri bahwa simbolisasi yang mengkiyaskan bumi dengan hati didasarkan pada unsur organik kalbu insan, di mana komponen jasmani membawa abjad “kerendahan”, walaupun mutu kesuburan bumi atau hati ini akan menentukan tumbuh dan berkembangnya “tetumbuhan” atau apapun yang ditanam di atasnya, apakah itu kepercayaan ataupun wawasan (ma’rifa) sebab hati insan menjadi kawasan bagi ruh dan logika yang menandai dimensi kejiwaan/mental.
Dalam penafsiran simbolik yang dijalankan Sahl, simbolisasi kosmik yang digagasnya memasukkan bumi selaku alam bawah, dalam arti bahwa bumi diciptakan dengan aksara ‘rendah’ dan mudah diurus. Ini dimaknai pula sebagai simbolisasi abjad kejiwaan dalam diri manusia yang diketahui dengan ungkapan jiwa (al-nafs). Dalam menafsirkan QS. 67:15, “Dialah yang menimbulkan bumi gampang bagi kau…,” Sahl memberi sebentuk signifikansi spiritual dibalik makna harfiahnya, “Allah mengakibatkan jiwa-jiwa itu rendah; semua orang yang merendahkan nafsunya dengan melawannya, maka dia akan tetap dijauhkan dari ancaman dan intriknya yang keji; tetapi siapa yang mengikuti nafsu, maka ia sudah menghinakan jiwanya sendiri, dan menghancurkannya.” (Tustari 1911:106) Sangat jelas tergambar dalam ayat ini bagaimana Sahl membuat analogi rendahnya karakter organik bumi dengan kerendahan aksara nafsu dalam jiwa manusia. Signifikansi spiritual yang mampu ditarik melalui simbolisasi analogis antara rendahnya aksara organik bumi dengan rendahnya nafsu manusiawi yang mengisinya yakni supaya manusia senantiasa berhati-hati kepada bahaya yang diakibatkan oleh tindakan mengikuti hawa nafsu yang pada gilirannya hanya akan merendahkan martabat kemanusiaannya sendiri saja. Sebuah sikap yang menjadi inti pedoman etika Islam yang terus didengungkan oleh para sufi lewat simbolisasi bumi yang rendah yaitu usul mereka untuk terus melawan hawa nafsu jahat, sehingga manusia bisa terhindar dari bahaya jelek dan akal busuk jelek yang ditimbulkan. Di sinilah peran penting adab sebagai penyelamat manusia dari komponen-bagian kerendahan yang membelenggu di dalam jiwanya.
1. Daratan (barr) dan Lautan (bahr)
Selain memaknai kata ardh yang merujuk makna keseluruhan bagian organik bumi beserta segala isinya, Sahl juga membuat analogi untuk bagian-bab tertentu dari bumi dikala dia membedakan secara diametral aksara simbolik yang ditunjukkan oleh lautan dan daratan. Dalam menafsirkan QS. 30:41, “Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan…”, Sahl memaknai kata barr yang secara harfiah berarti daratan sebagai simbol untuk badan (jawârih), sementara bahr yang berarti lautan dimaknai olehnya selaku simbol untuk hati (Tustari 1911:73). Pemaknaan kata bahr sebagai simbolisasi hati cukup konsisten dilaksanakan Sahl, terbukti dalam menafsirkan ayat lain ihwal cerita pelarian Nabi Musa dan kaumnya dari Mesir QS. 44:24, “Dan biarkan maritim itu tetap terbelah…” Sahl memaknai kalimat itu dengan ulasan komentar pendek, “Tenangkanlah hatimu dalam kode-Ku.” (Tustari 1911:86) Sementara ayat lain yang mengatakan tentang huruf nikmat yang diberikan Allah dalam QS. 55:19, “Dia membiarkan dua maritim mengalir yang keduanya lalu berjumpa …,” dimaknai selaku sebuah interpretasi simbolik, “Salah satu dari dua maritim itu adalah hati yang di dalamnya terdapat bermacam-macam entitas (jawhar) mirip dogma, tauhid, kerelaan, cinta, rindu, kesedihan dan kefakiran; sedangkan maritim yang kedua menjadi simbol untuk jiwa (nafs).” (Tustari 1911:97) 
Proses analogi yang dilakukan Sahl dengan menandai maritim sebagai simbol bagi hati, yaitu dalam dimensi ruhaniah/mental-nya, agaknya didasarkan pada kemiripan karakter yang ditampilkan oleh kata “bahari” sebagai penanda (signifier) dan “hati” selaku obyek petandanya (signified). Elemen semantik yang digunakan Sahl untuk memutuskan analoginya yakni dengan mengurai kata qalb (hati) dengan aksara taqallub (senantiasa berubah) (Tustari 1911:73). Dalam hal ini, hati memiliki abjad biasa sebagai sentra kesadaran yang senantiasa berubah-ubah, sama halnya dengan huruf lautan yang tidak mudah diduga. Lautan mampu saja bersifat damai dan mengasyikkan, tetapi mampu juga bergejolak dan menakutkan dengan deru gelombang yang besar. Signifikansi spiritual yang dapat digali melalui upaya penafsiran simbolik kepada bumi dalam menunjuk unsur kejiwaan insan ini diperkuat oleh Sahl dengan menambahkan rekomendasi Rasulullah yang dibawakan melalui riwayat Abu Dardâ’ saat Rasulullah SAW menyarankannya untuk senantiasa memperbaiki bahteranya selaku perilaku waspada kepada kedalaman lautan. Sahl lalu memberikan sebuah analogi terhadap neasehat Rasulullah ini seraya menyampaikan bahwa seyogianya hati harus sering-sering diarahkan niatnya secara konstan biar tertuju sepenuhnya cuma untuk Allah, alasannya adalah tidak ada jalan keluar dari kedalaman hati (Tustari 1911:73), sebagaimana seseorang bisa saja karam dalam kedalaman lautan.
Dengan menimbang-nimbang simbolisasi kata ardh, bumi, yang juga diidentikkan dengan hati manusia secara umum, simbolisasi kata barr yang memiliki arti daratan, kelihatannya tidak ditujukan bagi simbolisasi badan insan secara keseluruhan. Kata jawârih yang memiliki arti organ badan pada penafsiran simbolik yang dilakukan Sahl dirujuk cuma untuk bagian organik hati (maqâm al-jawârih min al-qalb). Dengan sendirinya, huruf yang berbeda secara diametral dari komponen organik hati yang ditunjuk oleh kata barr (daratan) menyebabkan makna kiasan hati yang ditunjukkan oleh kata bahr lebih ditujukan untuk menandai “hati dalam bingkai aksara nuraniahnya yang bersifat spiritual”.
Walhasil, penafsiran simbolik terhadap fenomena alamiah yang ditunjukkan oleh makna harfiah bumi, lautan, dan daratan intinya ialah suatu proses interpretasi simbolik lewat proses penarikan analogi, di mana fenomena yang didapati dalam kenyataan makrokosmos yang bersifat fisik diupayakan untuk dicarikan simbolisasinya dalam lingkup fenomena mikrokosmos yang menandai kondisi kejiwaan insan. Di sini, meskipun dalam penafsiran simboliknya Sahl senantiasa menggambarkan struktur dualistik yang berlawanan secara diametral untuk menandai dua karakter substantif yang bertentangan, akan tetapi upaya ini lebih nampak selaku usaha dalam mengupayakan harmoni yang mampu ditemukan lewat pembeberan fenomena alamiah yang menandai kedalaman makna batin selaku aksesori bagi penjelasan harfiahnya.
2. Fenomena Perubahan Waktu Bumi
Perubahan waktu yang terjadi dalam fenomena perubahan siang menjadi malam, dan proses sebaliknya dari malam menjadi siang, tergolong di dalamnya waktu-waktu antara mirip fajr atau subh yang menandai pagi dan dhuhâ menjelang siang hari, kesemuanya mempunyai makna kiasan tersendiri dalam penafsiran simbolik Sahl al-Tustarî. Al-Qur’ân menggambarkan malam selaku kegelapan yang melingkupi bumi, sebagaimana dinyatakan dalam QS. 92:1, “Demi malam ketika menutupi (cahaya siang),” atau QS. 57:6, “Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam…” Kata layl (secara harfiah berarti malam) dalam kedua ayat tadi ditafsirkan Sahl sebagai makna simbolik untuk jiwa alamiah (nafs al-thaba‘) yang mengisi salah satu huruf kejiwaan manusia. Analogi kata “malam” menjadi makna kiasan “jiwa alamiah” ini dipertegas dengan simbolisasi yang lebih gamblang ketika kata layl dalam QS. 91:4, “Demi malam jika menutupinya,” yaitu malam yang datang setelah sianghari yang terang-benderang dimaknai selaku “dosa dan kepekatannya yang menutupi cahaya keimanan (nûr al-îmân)”. Dengan kata lain, “malam” yang dimaknai dengan “dosa” adalah keadaan jiwa alamiah yang menolak seruan kepada keimanan karena ego yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Akibat penolakan itu, cahaya kepercayaan ini tidak mampu terbit dari dalam hati, tidak juga bisa menampakkan pengaruhnya dalam huruf tindakan seorang mukmin. Menurut Sahl, analogi “malam” menjadi makna kiasan untuk “dosa” sejalan dengan sabda Rasulullah SAW, “Hawa dan nafsu syahwat akan mengalahkan ilmu, akal, dan klarifikasi lantaran kekuatan berpeluang yang diberikan Allah kepadanya.” (Tustari 1911:122-123)
Berbeda dengan malam yang diliputi kegelapan, aksara siang yang penuh dengan kecemerlangan cahaya matahari dalam penafsiran simbolik yang dilakukan Sahl terhadap QS. 57:6 dimaknai sebagai jiwa ruhaniah (nafs al-rûh) insan (Tustari 1911:98). Tahapan-tahapan waktu yang menandai kehadiran cahaya di siang hari juga dimaknai dengan makna kiasan yang merujuk jiwa ruhaniah yang memiliki peluangmencerahkan. Dhuhâ yang menandai waktu pagi sejak mulai naiknya matahari sebatas pecahan sampai menjelang tengah hari, mirip diungkapkan dalam QS. 93:1, “Demi waktu matahari sepenggalan naik,” dimaknai sebagai kiasan perihal aksara jiwa ruhaniah yang menyoroti hati dengan cahayanya (Tustari 1911:122). Dalam dua penafsiran simbolik ini, nampak jelas jika Sahl membedakan aksara jiwa alamiah dengan malam yang diliputi kegelapan, sementara karakter jiwa nuraniah yang telah mendapatkan pencerahan disifati dengan kecemerlangan siang yang penuh cahaya.
Perbandingan yang dilakukan oleh Sahl melalui fenomena kejiwaan yang disebut sebagai jiwa ruhaniah yang dilambangkan dengan siang dan nafsu alamiah yang dilambangkan dengan malam mampu pula dilihat pada penafsiran simbolik kepada QS. 93:2, “Dan demi malam ketika sudah sunyi.” Fenomena alamiah ini dimaknai sebagai simbol yang menandai keadaan jiwa alamiah manusia, seperti yang dikatakan Sahl, “Yaitu nafsu alamiah saat beliau merasa tenang dalam acara dzikir.” Dapat dikatakan di sini, bahwa jiwa alamiah insan yang dilambangkan dengan malam yang gelap menunjuk pada sebuah desain bahwa kejelekan pada dasarnya bersumber dari dalam diri manusia sendiri, sementara sesuatu yang baik diyakii sebagai sesuatu yang tiba dari Tuhan. Hanya saja, jiwa manusia bisa berada dalam keadaan yang selalu baik dan tenang jikalau insan selalu ingat kepada Tuhan sebagai sumber kebaikan dan cahaya. Di sini, esensi dxikir yaitu mengingat Allah, sehingga efek yang ditimbulkan aktivitas dzikir mampu memenangkan jiwa yang aksara utamanya senantiasa berada dalam keadaan gusar karena kegelapan yang meliputinya.
Kondisi jiwa alamiah insan yang tenang ini menerima penguatan melalui penafsiran Sahl terhadap QS. 57:6, “Dan Ia memasukkan siang ke dalam malam…” Sahl menjelaskan, “Jika Allah menghendaki kebaikan untuk hamba-Nya, Dia menciptakan cahaya-cahaya kenyamanan (anwâr al-khusyû‘) bagi jiwa alamiah dan jiwa ruhaniah seseorang yang ditemukan melalui performa akivitas dzikir (Tustari 1911:98). Aktivitas dzikir inilah yang dalam pengertian Sahl terhadap QS. 78:11, “Dan Kami menyebabkan siang untuk mencari penghidupan,” dimaknai sebagai, “cahaya-cahaya hati yang bersinar ketika mengenang Tuhan.” Sahl menambahkan, “Cahaya-cahaya hati itu ialah sumber penghidupan bagi jiwa spiritual dan akal. Cahaya-cahaya ini ibarat sumber penghidupan bagi para malaikat alasannya bentuk sumber penghidupan [yang bersifat material, pen] selain cahaya hanyalah bagi kelompok insan biasa (awâm).” (Tustari 1911:114).
Dalam penafsiran simbolik yang dikerjakan Sahl terhadap pergantian waktu yang terjadi di bumi, cahaya siang yang bergantung dengan keberadaan matahari dimaknai pula selaku cahaya keimanan. Ini ditunjukkan ketika Sahl memaknai QS. 91:3, “Dan demi siang saat menampakkan (kejayaan matahari),” dengan perumpamaan, “Yaitu cahaya dogma (nûr a-îmân) yang terbit dari kegelapan kebodohan (jahl), dan padamnya nyala api neraka.” (Tustari 1911:121) Penafsiran simbolik ini menyiratkan sebuah konsep teologis bahwa pengesahan seseorang kepada Tuhan merupakan respon faktual yang menandai kesediaan diri orang tersebut dalam mendapatkan cahaya Tuhan yang dilimpahkan ke dalam hatinya. Dengan cahaya keimanan inilah hatinya menerima pencerahan dari luar dirinya, karena abjad alamiah jiwa insan ditandai dengan kegelapan laksana malam tanpa cahaya matahari yang menyinari. Bilapun ada benda-benda langit yang mampu memantulkan cahaya matahari dan nampak dalam kegelapan malam, maka benda-benda langit tersebut merupakan kiasan untuk biro-distributor antara, yakni para Nabi dan Rasul, yang tugas pokoknya adalah memberikan pesan dakwah dalam arti meneruskan cahaya Tuhan yang diterimanya terhadap alam kegelapan umat insan mirip yang mau dijelaskan di bagian selanjutnya.
Dari penjelasan-klarifikasi seperti disebutkan di atas nampak bahwa simbolisasi yang dijalankan Sahl berkaitan dengan perubahan waktu yang terjadi di bumi dari malam menjadi siang yaitu suatu fenomena yang dimaknai sebagai keadaan kejiwaan manusia dalam upayanya guna mencerap cahaya Tuhan. Karakter jiwa alamiah insan yang berada dalam kondisi penuh dosa di dalam kondisi jahiliah menjadi makna kiasan yang timbul dari analoginya kepada karakter malam yang pekat dan gelap gulita. Kondisi ini diberikan analogi lebih lanjut sebagai gambaran kehidupan dalam abad jahiliah kaum Quraisy sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Dalam simbolisasi ini, kedatangan Muhammad disimbolkan mirip hadirnya semburat cahaya yang timbul dalam fenomena terbit fajar di waktu subuh. Dalam menafsirkan QS. 89:1, “Demi fajar,” Sahl mengatakan, “Makna harfiahnya yaitu subuh, sementara makna simboliknya yaitu Muhammad, yang darinya memancar cahaya keimanan (anwar al-îmân), cahaya pengabdian (anwâr al-tâ‘ât), dan cahaya dunia dan akhirat (anwâr al-kawnayn) (Tustari 1911:120). Walhasil, dalam persepsi sufi yang diyakini Sahl, Muhammad mempunyai tugas paling besar dalam mengirimkan cahaya isyarat yang berasal dari Tuhan bagi hati manusia dalam memperoleh pencerahan dirinya dengan mendapatkan cahaya Tuhan dan mengetahui jalan kembali menuju Tuhannya. Hal ini pulalah yang menciptakan Sahl merasa penting untuk menggagas ketinggian status Muhammad dalam konsepsi-konsepsi gaib yang berkaitan melalui analoginya kepada fenomena kosmik alam atas yang merujuk langit dan semua isinya.
B. Simbolisasi Alam Atas
Bumi yang diciptakan dalam kerendahan, dikontraskan dengan penciptaan langit yang berada dalam posisi tinggi. Simbolisasi yang menandai fenomena kosmik langit dan benda-benda kosmik yang menghiasinya: matahari, bulan, serta bintang-bintang memiliki signifikansi yang penting bagi analogi kosmik yang diambilkan Sahl untuk makna kejiwaan insan. Ketinggian posisi benda-benda langit itu memberi ruang bagi Sahl untuk menguatkan pikiran akan ketinggian bagian-unsur spiritual, di tambah dengan peran benda-benda kosmik tadi selaku pembawa cahaya bagi kegelapan yang digambarkan sebagai ketertupan bumi dari pancaran sinar matahari. Bumi yang diciptakan rendah, sungguh sempurna digambarkan sebagai unsur-elemen material dalam bentuk jasad fisik, juga elemen organik jiwa, yang kegelapannya tidak akan pernah sirna tanpa kehadiran benda-benda yang berperan sebagai sumber cahaya bagi bagian-komponen korporeal tadi. Dalam hal ini, tugas Sahl juga bernilai krusial saat beliau menempatkan posisi eksklusif Muhammad yang sungguh diagungkan dalam tradisi sufi selaku biro pencerahan bagi dunia dalam posisi dan peranannya yang sungguh signifikan dalam dimensi spiritual agama dan keperluan dan ketergantungan manusia kepada keberadaan Rasul seperti yang hendak dijelaskan di bawah.
1. Matahari dan Bulan
Benda kosmik yang menandai kecemerlangan siang, matahari, dalam penafsiran simbolik Sahl al-Tustarî dimaknai selaku cahaya penglihatan hati (nûr bashar al-qalb), sementara bulan yang merefleksikan cahaya matahari dan menunjukkan penerangan malam dimaknai selaku cahaya pandangan mata-kepala (nur bashar ‘ayn al-ra’s). Dalam penafsiran simbolik yang dilakukan Sahl, nampak bahwa kedua benda kosmik ini dijadikan sebagai simbol yang menandai kapabilitas berpeluang yang dimiliki manusia dalam mencerap bagian cahaya, pencerahan yang berasal dari luar dirinya. Menafsirkan fenomena kiamat yang ditandai dengan hilangnya cahaya bulan dalam QS 75:9, “Dan matahari dan bulan dikumpulkan,” Sahl memaknai bulan selaku cahaya penglihatan (nûr al-bashar) yang kesempatanpancarannya dimiliki oleh mata (‘ayn al-ra’s), sementara matahari dalam proses analogi yang dijalankan Sahl menjadi makna simbolik untuk cahaya pandangan yang dimiliki oleh hati. Bulan yang muncul di waktu malam membawa konsekuensi jikalau cahaya pandangan mata merupakan bab yang tak terpisahkan dari jiwa alamiah (nafs al-thaba‘) insan, sedangkan cahaya pandangan hati, sebagaimana digambarkan dalam fenomena matahari yang timbul pada ketika siang hari, menjadi bab dari jiwa ruhaniah insan (nafs al-rûh) (Tustari 1911:112). Kedua hal tersebut sejalan dengan makna simbolik yang diberikan Sahl untuk fenomena malam dan siang mirip yang telah dijelaskan di wajah.
Sudah menjadi huruf utama yang lekat dalam penafsiran sufi periode permulaan kalau keterkaitan unsur-bagian spiritual dengan komponen-unsur jasmaniah menjadi ciri pokok pemikiran akhlak komunitas elite spiritual yang menyebut dirinya sufi ini. Dalam kaitan simbolisasi matahari dan bulan, Sahl menyebut kelanjutan penjelasannya saat menjawab pertanyaan insan lazimnya yang menandai kebingungan mereka pada hari simpulan nanti dalam QS 75:10, “Pada hari itu insan berkata, ‘Ke manakah daerah (untuk) (me)lari(kan) (diri)?’ Sahl memperlihatkan penafsiran untuk istilah ini seraya berkata, “Pada hari Pembalasan saat dua cahaya ini disatukan, para pendusta akan bertanya, ‘di manakah daerah yang mampu melepaskan diri dari siksa Tuhan?’” (Tustari 1911:112) Pertanyaan retoris al-Qur’ân ini pada pada dasarnya mengakui ketiadaan jalan lain untuk mengelak dari siksa Tuhan. Ayat ini juga bisa menjadi landasan bagi konsepsi mistik yang digagas Sahl di bab mukaddimah tafsirnya berkenaan dengan konsepsi wacana qalb Muhammad yang memastikan ketergantungan manusia kepada Tuhannya, juga al-Qur’ân, dan Nabi Muhammad selaku satu-satunya jalan yang menghubungkan seorang hamba kembali menuju Tuhan.
2. Langit dan Bintang-bintang
Langit ditunjukkan dengan kata samâ’ atau bentuk jamaknya samâwât. Penafsiran kata ini dalam tafsîr Sahl al-Tustarî cukup menarik perhatian karena berkaitan dengan beberapa konsepsi gaib yang membutuhkan klarifikasi lebih lanjut di luar analisis yang menguraikan ulasan simbolisasinya. Dalam menafsirkan QS 86:1-3, “Demi langit dan yang tiba pada waktu malam. Tahukah kamu apa yang tiba di waktu malam itu? Yaitu bintang yang cahayanya menembus (al-najm al-tsâqib);” Sahl menerangkan bahwa secara harfiah kata samâ’ dapat diartikan selaku “ketinggian” dari akar semantik al-sumuw atau al-‘uluw. Makna kiasan yang mampu dipraktekkan menurut makna harfiah kata ini, menurut Sahl, yaitu rûh Muhammad yang tinggal berdekatan dengan Tuhan. Sedangkan bintang yang cemerlang dimaknai selaku lambang untuk hati Muhammad (qalb Muhammad) yang terbit dari keesaan Allah, yang disucikan oleh Allah, dan yang senantiasa mengenang-Nya, serta diberikan kesempatan untuk menyaksikan-Nya (Tustari 1911:118). Penafsiran simbolik yang memaknai langit bagi status ketinggian pribadi Muhammad yang dirujuk sebagai ketinggian posisi ruhaniahnya sejalan dengan pandangan ontologis kaum sufi yang menatap ruh Muhammad berada dalam posisi yang paling tinggi di segi Allah. Sedangkan konsepsi hati Muhammad (qalb muhammad) menjadi dasar epistemologi perihal asal semua wawasan dikala qalb Muhammad dirujuk sebagai lokus pengakuan tauhid yang tidak lain merupakan manifestasi cahaya keimanan yang menunjuki orang-orang yang beriman kembali ke kawasan asalnya di sisi Tuhan.
Dalam penafsiran terdahulu kegelapan malam dimaknai selaku simbol jiwa alamiah manusia yang berada dalam kegelapan abad jahiliah. Di sini, jika langsung Muhammad secara historis disimbolkan sebagai fajar yang membawa semburat cahaya keimanan di waktu subuh menjelang terbit matahari, rancangan gaib perihal hati (qalb) Muhammad menjinjing sufi pada analogi yang lebih dahsyat lagi. Sebagai lokus keesaan Tuhan, qalb Muhammad memang terasa pas disimbolkan sebagai bintang yang cahayanya menembus (al-najm al-tsâqib). Tidak saja karena bintang dinilai selaku benda kosmik yang mempunyai cahaya sendiri, tidak mirip rembulan yang cuma sebentuk refleksi cahaya matahari, tetapi kecemerlangan bintang yang mampu memancarkan cahaya menembus kegelapan malam menjadi poin penting yang menandai kecemerlangan cahaya îmân yang dibawa Muhammad dalam menerangi kegelapan dan kejahiliahan ummat insan pada masanya. Hal ini pula agaknya yang membawa Sahl untuk memaknai al-najm al-tsâqib ini juga sebagai kiasan untuk “hati orang-orang yang beriman (qalb al-mu’min)” yang terterangi melalui hidayah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Analogi yang mengkiaskan Muhammad selaku makna simbolik untuk bintang juga dijelaskan Sahl dalam penafsiran simbolik terhadap QS 53:1-3, “Demi bintang ketika terbenam, Sahabatmu tidaklah kehilangan arah, tidak pula keliru, dan tidak berujar berdasarkan hawa nafsunya.” Ayat-ayat yang menandai permulaan surat al-najm ini dan ayat-ayat selanjutnya berbicara seputar perjalanan Nabi Muhammad kembali turun dari langit sehabis melaksanakan mi‘râj. Oleh alasannya itu, selain juga dikuatkan oleh ayat kedua dan ketiga yang cukup menawarkan kejelasan, ayat pertama surat al-Najm ini yang menyatakan, “Demi bintang ketika terbenam” dimaknai oleh Sahl dengan ungkapan kiasan, “Inilah Muhammad ketika dia kembali dari langit. Kawanmu tidaklah sesat, tidak pula keliru…” ayat-ayat ini menegaskan sebuah doktrin bahwa Nabi Muhamamd SAW tidak akan menyimpang dari ketauhidan yang sebenarnya (haqîqat al-tawhîd), dan tidak pula mengikuti setan dalam keadaan apapun.”[10] Simbolisasi ini juga berdekatan dengan makna kiasan yang diberikan Sahl terhadap fenomena fajar —ketika waktu terbenamnya bintang memberikan era tamat malam yang serupa saja dengan waktu terbitnya fajar— yang dalam pengertian Sahl kepada QS 89:1 dimaknai pula sebagai lambang langsung Muhammad (Tustari 1911:120).
Walhasil, secara ringkas fenomena alamiah yang menandai kosmologi Sahl al-Tustarî menyebut bumi sebagai alam bawah yang menjadi simbolisasi untuk hati insan. Selubung kabut yang menyelimuti bumi dimaknai selaku selubung kekerasan hati yang menghalanginya dari proses pencerahan yang dilaksanakan lewat kegiatan dzikir. Lautan yang menjadi bab bumi yang sering bergolak dengan pasang surut gelombang menandai abjad hati nuraniah yang menjadi kawasan kepercayaan dengan sifat yang senantiasa berganti (taqallub) bertambah dan berkurang, sedangkan daratan diibaratkan dengan bagian organik dari hati dalam wujud jasmaniahnya. Pergantian waktu yang menandai malam dan siang menjadi simbol bagi adanya dua jenis abjad kejiwaan manusia (anfus). Malam memberikan jiwa alamiah, sedangkan siang merupakan jiwa ruhaniahnya. Waktu antara, mirip dhuhâ yang menandai masa semenjak matahari naik sepenggalan hingga menjelang tengah hari menjadi ungkapan bagi jiwa ruhaniah yang tercerahkan, beberapa waktu subuh saat fajar menyingsing dikaitkan dengan eksistensi Muhammad dalam bingkai historisnya yang menjinjing dakwah Islam menerangi kegelapan abad Jahiliah kaum Quraisy. Waktu subuh yang menandai tamat malam juga identik dengan waktu ketika bintang terbenam. Waktu ini ditandai dengan obyek petanda yang serupa, yaitu eksklusif Muhammad yang menunjukkan petunjuk ke arah keimanan terhadap Allah. Kesemua fenomena alamiah yang terkait dengan bumi selaku alam bawah dalam persepsi Sahl menandai keterikatan asal dan huruf kemanusiaan yang ditandai oleh faktor yang bersifat jasmani, terkait dengan bahan, rendah, dan membutuhkan ketercerahan kondisi yang datang dari kekuatan supra-natural yang berada dalam alam atas agar dapat terbebas dari belenggu kegelapan yang melingkupi abjad alamiahnya.
Sementara itu, komponen-komponen ketinggian yang dilambangkan dengan langit dan segenap isinya menjadi aspek-faktor ruhaniah yang menjadi elemen pencerahan yang diharapkan seorang hamba. Matahari yang menyoroti siang dengan cahayanya ialah lambang bagi cahaya pandangan mata hati yang bersifat batini, sementara bulan yang memantulkan cahaya matahari guna menyinari pekatnya malam dimaknai sebagai cahaya pandangan mata kepala yang bersifat fisik. Langit sendiri menjadi lambang bagi keberadaan rûh Muhammad yang menempati posisi sungguh tinggi di bersahabat Tuhan. Bintang yang memiliki cahaya gemerlap di malam hari juga dilambangkan dengan eksklusif Muhammad, dan bahkan juga persona qalb Muhammad yang memancarkan cahaya doktrin ditafsirkan selaku bab dari sumber cahaya ketika dikaitan dengan penafsiran al-najm al-tsâqib, bintang yang cahayanya menembus. Fenomena ini menandai kecemerlangan cahaya iktikad yang menerangi kegelapan insan, sebagaimana simbol-simbol kosmik ini juga dikenakan selaku simbol bagi “hati kaum yang beriman”. Keseluruhan simbolisasi kosmik perihal fenomena alam makrokosmos seperti yang telah diuraikan di tampang, mampu diringkas dalam skema berikut yang menawarkan keadaan kejiwaan yang menandai kesamaan karakternya.
Simbolisasi fenomena kosmik yang dilaksanakan Sahl lewat penafsiran simboliknya membentuk struktur kosmik dan pemaknaannya dalam sebuah rancangan kosmologi yang berpola sangat dualistik dan berlawanan secara diametral. Pola pemikiran yang menaunginya adalah iman anutan filsafat dualisme yang membedakan antara cahaya dan kegelapan. Pemikiran ini sangat mungkin diwarisi oleh Sahl dari tradisi fatwa Persia sebagai efek fatwa agama Zoroaster yang berkembang di tanah Persia. Di sini, latar belakang akademik Sahl yang meningkat di Tustar (atau Shushtar dalam bahasa Persianya) mejadi penting saat sejarah perkembangan kota ini semenjak era Raja Darius dan Ardashir I dari dinasti Sasania yang menandai kejayaan Persia pra-Islam (lihat Bosworth 2001:ix,512a). Dalam simbolisme sufistik Sahl, perlawanan antara jelas dan gelap sungguh kentara dalam dualisme yang ditampilkan dalam struktur analogi yang saling diperhadapkan antara satu dengan lainnya: Bumi dan langit, daratan dan lautan, malam dan siang, matahari dan bulan dengan segenap makna-makna kiasannya yang menandai simbolisasinya. Kesemua unsur kosmik dan pemaknaannya secara psikologis secara biasa mencerminkan dualisme fenomenal yang terbagi ke dalam alam bawah yang menandai keterikatan manusia secara material dengan aksara yang gelap tak tersentuh cahaya, dan alam atas yang menandai unsur spiritual/ruhaniah, yang juga menjadi sumber cahaya dan pencerahan yang diharapkan biar mampu kembali menuju Tuhan yang diyakini selaku realitas yang bekerjsama. 
Meskipun begitu, ada hal yang cukup vokal dalam simbolisasi Sahl kepada fenomena alam semesta di luar efek pemikiran filsafat dualisme yang kemungkinan besar diwarisi dari tradisi Persia lama, ialah perihal peran besar langsung Muhammad dalam membentuk konsep ontologi sufistik yang menjadi konsekuensi aliran simbolismenya. Dalam pengirim kajian di dalam tafsirnya, Sahl telah menguraikan tugas besar Muhammad dengan menyebut ketergantungan mutlak seorang hamba dengan Tuhan, al-Qur’ân, dan langsung Muhammad, adalah konsepsi ihwal wacana cahaya yang memancar melalui qalb Muhammad. Muara pembahasan tentang konsepsi gaib ini lebih mengarah pada pembentukan kepercayaan sufi pada tataran epistemologi, di mana Muhammad berperanan besar bagi proses tercerahkannya hati orang-orang mu’min, saat sufi meyakini bahwa lewat hati Muhammadlah cahaya tauhid menyembur ke dunia dan menunjuki orang-orang yang beriman ke arah jalan kembali menuju Tuhan (Tustari 1911:3).
Hal yang lebih penting dalam pembahasan mengenai konsepsi ontologis, seperti ditunjukkan dalam simbolisasi langit dengan merujuk makna kiasan rûh Muhammad yang berada di akrab Tuhan, yaitu alasannya pedoman ini diyakini menjadi dasar bagi nyaris semua persepsi sufi yang menganggap ketinggian posisi langsung Muhammad dan peranan penting yang diembannya dalam kaitan dengan proses penciptaan alam semesta itu sendiri. Untuk itulah kita merasa perlu untuk membahas kaitan antara simbolisasi sufi terhadap fenomena alam ini dengan konsepsi ontologis sufi perihal doktrin gaib nûr Muhammad, yang pada hakikatnya menjadi inti anutan gaib Sahl al-Tustarî sendiri.
C. Konsepsi Mistik Nûr Muhammad
Dalam dunia tasawwuf Islam, Sahl al-Tustari dianggap sebagai salah seorang narasumber yang turut memperkenalkan pemikiran nûr Muhammad. Sumber lain yang juga dirujuk selaku penggagas gagasan gaib ini yakni ‘Alî bin Abî Thâlib (Ibn ‘Arabî 1972:ii,361). Hanya saja tidak ada info yang jelas, apakah Sahl juga mengambil gagasan ihwal konsep ini dari ‘Alî RA. Akan tetapi, kita mampu mengaitkan ilham ini dalam gagasan mistik Sahl lewat riwayat permulaan yang yang dirujuk berasal dari Imam Ja‘far al-Sâdiq. Dalam penafsirannya ihwal ayat nûr, Ja‘far menyebutkan lebih dari 40 jenis cahaya (Sulamî 2001:ii,47). Kesemua jenis cahaya ini, berdasarkan Ja‘far cuma cocok untuk Muhammad, sebagaimana dia menyatakan komentarnya, “Semua cahaya berasal dari cahaya Tuhan, di mana setiap hamba ialah pancaran dari cahaya-cahaya ini, dan bahkan bab-bagiannya merupakan campuran dari dua atau tiga jenis cahaya, yang kesemuanya tidak akan sesuai secara sempurna bagi siapapun kecuali Muhammad SAW.
Figur Muhammad dinilai cocok bagi konsepsi ontologis ini lantaran Muhammad berada sangat erat Tuhan dalam segala kondisi kesahihan ibadah, dan tingkatan mahabbah. Muhammad ini merupakan cahaya yang berasal dari Tuhan dan akan senantiasa berada dalam naungan cahaya Tuhannya. Meskipun begitu, kaitan wangsit ini dengan ide gaib Sahl masih sungguh samar dan tidak cukup bukti akan adanya imbas langsung antara keduanya, lantaran Sahl tidak tergolong dalam garis imamat kaum Syi’ah yang mendapatkan anutan berdasarkan wasiat imam secara turun temurun. Dengan begitu, hanya faktor waktu saja yang bisa mengaitkan dua faktor ini, ketika Sahl hidup pada kala yang lebih belakangan dibandingkan dengan Imam Ja‘far, maupun ‘Alî. Kenyataan ini bisa memberi ruang pada adanya imbas ajaran Syi’ah dalam gagasan mistik Sahl, walaupun hal ini pun masih mampu diperdebatkan, dengan mempertimbangkan fakta yang diterima secara luas bahwa riwayat-riwayat Imam Ja‘far juga diterima dengan baik dan diakui validitasnya oleh golongan Sunni dan diterima selaku bagian dalam tradisi pemikiran mereka.
Dalam ide mistik Sahl, tergambar kaitan yang jelas antara konsep gaib wacana nûr Muhammad dan interpretasi simbolik terhadap ayat nûr dalam QS. 24:35 (Tustari 1911:68). Meskipun begitu, detail uraian mengenai rancangan ini diterangkan di tempat berbeda, tepatnya saat ia menjelaskan kaitan doktrin mistik nur Muhammad dengan proses penciptaan Adam selaku khalifah di atas bumi yang digambarkan dalam QS 2:30. Sahl menerangkan, “Sebelum membuat Adam AS, Allah berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh akan Kuciptakan seorang khalifah di bumi’. Dia kemudian membuat Adam dari tanah yang mempunyai kemuliaan yang kuasa, ialah dari nûr Muhammad.” (Tustari 1911:10)
Selain beberapa tautan ringkas, seperti dijelaskan di wajah, konsepsi nûr Muhammad mendapatkan klarifikasi yang cukup memadai dalam pemahaman Sahl kepada pembagian terstruktur mengenai keturunan Adam yang dikaitkan dengan penafsiran terhadap kesaksian primordial ummat insan yag tertuang dalam QS 7:172. Sahl membedakan tiga kalangan asal keturunan manusia, yakni: Muhammad, Adam, dan anak keturunan Adam berikutnya. Dalam hal ini, kepercayaan perihal nûr Muhammad ialah tahapan-tahapan awal dalam proses emanasi penciptaan dunia, di mana Muhammad dianggap sebagai obyek penciptaan pertama, yang darinyalah lalu makhluk-makhluk lain di dunia ini diturunkan. Sahl memulai klarifikasi mengenai proses emanatif ini dengan menyampaikan bahwa Tuhan memancarkan suatu cahaya dari cahaya-Nya. Ketika cahaya-Nya ini mencapai tabir keagungan (hijâb al-uzhmâ) sesuatu bersujud di hadapan Tuhan. Kemudian Tuhan menciptakan dari sesuatu yang bersujud itu sebuah tabung yang besar (‘amûd ‘azhîm) yang bab dalamnya seperti kaca yang terbuat dari cahaya, sedangkan bab luarnya ditaruh di atas pribadi (‘ayn) Muhammad. Lama sebelum mengawali proses penciptaan, cahaya ini sudah menetapkan dirinya untuk berkhidmat terhadap Allah selama berjuta-juta tahun, pada saat yang sama Tuhan juga menganugerahkan kehormatan baginya dengan menyaksian Tuhan secara eksklusif (musyâhada) (Tustari 1911:41).
Menurut Sahl, sebagaimana Adam dijadikan dari nûr Muhammad, proses emanasi lanjutan dalam proses penciptaan alam semesta juga melibatkan tugas nûr para Nabi yang lain (nûr al-anbiyâ’), nûr kerajaan langit (malakût), dan nûr dunia serta nûr darul baka (Tustari 1911:47). Dalam hal ini, terkait dengan imbas tradisi fatwa antik yang mungkin diserap oleh Sahl al-Tustari, beberapa andal menduga konsep emanatif yang mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Sahl yang menyertakan tugas serta nûr para Nabi dalam proses penciptaan alam semesta juga dijumpai dalam literatur yang menampung fatwa kaum Gnostik Sumeria mengenai pre-existence Musa.[11] Menurut usulan Qâsim al-Samarrâ’î, persepsi serupa juga ditemui di dalam tradisi Zoroaster di Persia. Sebuah dongeng kuno yang disebutkan di dalam buku Dasatir-i Asmanil, memperlihatkan gambaran serupa tentang proses pembagian cahaya yang serupa juga disebut sebagai tahapan awal penciptaan alam sampai lalu dibagi ke dalam bagian-bab lain yang bervariasi (Samarra’i 1968:149).
Sebuah pengaruh yang nyata dari pemikiran mistik Sahl terhadap ajaran sufi selanjutnya tertuang dalam sebuah elaborasi emanatif sejenis yang dicetuskan oleh al-Hallâj dalam bukunya Tawâsin. Hallâj menyebut gagasannya wacana sebuah sebuah rancangan metafisika yang dinamai dengan istilah Tâ Sîn al-Sirâj (Lampu). Ia mengatakan bahwa cahaya para Nabi berasal dari cahaya Tuhan (Hallaj 1989:4). Dalam hal ini Hallâj juga oke dengan Sahl bahwa nûr Muhammad lebih bercahaya, lebih transparan, dan lebih dahulu ada dalam alam kekekalan (qidam) dibandingkan dengan cahaya-cahaya kenabian yang lain. Hallâj menyebut Muhammad sebagai pemimpin seluruh ummat manusia di bumi ini, yang nama bergotong-royong yakni Ahmad dan juga dijuluki dengan sebutan awhad, yang bermakna “seseorang yang mengakui keesaan Tuhan. Hal inilah yang mungkin menghubungkan Hallâj dengan pemikiran mistik Sahl tentang Muhammad yang hatinya menjadi lokus legalisasi terhadap keesaan Tuhan (Tawhîd) (lihat Tustari 1911:3), di samping konsepsi ontologisnya melalui gagasan mistik nûr Muhammad.
Gagasan gaib tentang nûr Muhammad inilah yang menjadi landasan berfikir sufistik dalam anutan Sahl al-Tustari dalam memandang keberadaan dan proses penciptaan dunia. Pandangan ini pulalah yang menjadi landasan bagi penggambaran simbolisasi kosmik dalam penafsiran simbolik yang dikerjakan Sahl al-Tustari terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pandangan ontologi sufi yang bertumpu pada konsepsi nur Muhammad ini pada gilirannya menjadi pondasi yang cukup besar lengan berkuasa bagi turut terciptanya rancangan-rancangan gaib yang lain yang menambahkan keterkaitan tugas dan status Muhammad dalam faktor epistemologis,[12] dan bahkan soteriologis,[13] di mana Muhammad tidak saja berperan sebagai model yang mesti ditiru, tetapi juga agen yang berperan bagi keamanan dan keterlepasan insan dari selubung materi yang membungkusnya yang menandai keberadaannya di dunia ini dalam persepsi sufi, sehingga mereka perlu untuk melakukan upaya penyucian jiwa dalam latihan-latihan batin dalam riyadhah sufi guna menelusuri kembali jalan pulang menuju Tuhan. []
DAPTAR PUSTAKA;
  • Abū Nu‘aym. (1938) Hilyat al-Awliya’ wa £abaqāt al-Aîfiyā’. Cairo, 10 vol.
  • Ahmad, Rasyid (1968) “Qur’ânic Exegesis and Classical Tafsîr” The Islamic Quarterly, xii, 100.
  • Attâr, F. (1979), Muslim Saint and Mystic (terj. AJ. Arberry). London: Routlege and Kegan Paul.
  • Basyūnī, Ibrāhīm. (1976) Al-Imām al-Qushayrī sīratuhu āthāruhu madhhabuhu fi al-taîawwuf. Cairo: Majmā‘ BuÊūth al-Islāmiyya.
  • Böwering, G. (1980) The Mystical Vision of Existence in Classical Islam. Berlin: Walter de Gruyter.
  • Bosworth, C E. (2001) “Shushtâr” dalam EI2, Leiden: Brill, ix, 512a.
  • Butchvarov, Panayot (1999) “Metaphysics” dalam Robert Audi (Ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, second edition, hal. 563.
  • Hallaj, usayn b. Manîūr. (1989) Kitāb al-Tawāsīn. Cairo: Dār al-Nadim.
  • Hirsch, Jr., E.D (1967) Validity in Interpretation, New Haven: Yale University.
  • Ibn al-Athīr, al-asan Ali b MuÊammad. (1965) Al-Kāmil fī al-Tārīkh. Beirut: Dār al-Sādir, 13 vols.
  • Ibn Arabī. (1972) FutuÊāt al-Makkiyya. Cairo: Al-ayāt al-Miîriyya li‘āmmat a-kitāb, 4 vols.
  • Ibn Khallikân. (1948) Wafayât al-A‘yân wa Anbâ’ Abnâ’ al-Zamân. Kairo: al-Nahdha al-Mishriyya, 7 jilid.
  • Ja’far, M.K. Ibrâhîm. (1974) Min al-Turâth al-Sufi. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, i, 57-8.
  • Makkī, Abū £alib. (1932) Qūt al-Qulūb, Cairo: al-Maðba‘a al-Miîriyya, 4 vols.
  • Massignon, L. (1982) The Passion of Hallâj Mystic and Martyr of Islam (terjemah H. Mason). Princeton: Princeton Univ. Press, 4 vol
  • Nwyia P. (Ed.) (1968a) Trois euvre inedites de mystique musulmans. Beyrouth: Dar el Machreq.
  • Nwyia P. (Ed.) (1968b) “Sentences de Nūrī par Sulamī dans Haqā’iq al-Tafsīr” Melanges de l’uiversite saint-joseph. Imorimerie Catholique, Appendice A, pp. 30-33.
  • Nwyia P. (Ed.) (1970) Exegese coranique et langage mystique. Beyrut: Dar el-Machreq, pp. 316-48.
  • Purjavadi, Nasrullāh (ed.). (2000) Majmū‘a āthār Abī ‘Abd al-RaÊmān al-Sulamī. Tehran: Markaz Nashr Danshikāhi, 2 vols.
  • Qushayrī, (1990) Al-Risāla al-Qushayrīyya fī ‘ilm al-Taîawwuf. (Eds. Ma‘rūf Zurayq and ‘Alī ‘Abd al-amīd Balðahjī). Beirut: Dār al-Khayr.
  • Qushayrī. (1971) Laðā’if al-Ishārāt Tafsīr Sūfī Kāmil li al-Qur’ān al-Karīm (ed. Ibrahīm Basyūnī). Cairo: Al-Hay’a al-Miîriyya al-‘āmma, 6 vols.
  • Samarrā’ī, Qāsim. (1968) The Themes of Ascension in Mystical Writings Baghdad.
  • Sarrāj al-Tusī, Abū Naîr. (1960) Luma‘ (eds. ‘Abd al-alīm MaÊmūd and £ahā ‘Abd al-Bāqī Surūr). Cairo: Dār al-kutub al-adītha.
  • Sulamī. (1960) Abū ‘Abd al-RaÊmān MuÊammad b al-usayn al-. £abaqāt al-Sūfiyya. Ed. J. Pedersen. Leiden: E.J. Brill.
  • Sulami. (2001) aqā’iq al-Tafsīr Tafsīr al-Qur’ān al-Azīz (ed. Sayyid ‘Imrān). Beirut: Dār al-Kutub al-‘ilmiyya, 2 vols.
  • The University of Chicago Press. (2003) The Chicago Manual of Style, The Essential Guide for Writers, Editors, and Publishers. London: The University Chicago Press, 15th ed.
  • Tunc, Cihad. (1970) Sahl b Abd Allah al-Tustari und die salimiyya. Bonn.
  • Tustarī. (1911) Sahl b ‘Abd Allāh. Tafsīr al-Qur’ān al-Azīm, Cairo: Dār al-kutub al-‘arabiyya al-kubrā.
  6 Rukun Iman
[1] Tentang perbedaan antara makna dan signifikansi dalam teori penafsiran lihat Hirsch, Jr. (1967)
[2] Dalam hal ini, beliau menegaskan bahwa cakupan bidang kajian metafisika lebih luas daripada sains: ilmu fisika atau kosmologi, alasannya adalah salah satu persoalan metafisika yang menjadi perhatian tradisionalnya mencakup konsepsi perihal eksistensi entitas non-fisik, contohnya, ihwal Tuhan (Butchvarov 1999:563).
[3] Bukti yang cukup kuat untuk kecenderungan ini yakni karyanya yang oleh murid-muridnya dituliskan dan diberi judul Kitâb al-Mu‘ârada wa al-radd ‘alâ ahl al- firaq wa ahl al- da‘âwâ fî al-ahwâl. Kitab ini dengan terperinci memberikan bagaimana Sahl dengan sungguh aktif terlibat dalam polemik dilema teologis dan persoalan keagamaan yang lain. Judul karya ini dengan terperinci pula menggambarkan sebuah apologi kaum tradisionalis moderat, di mana Sahl al-Tustarî mampu diklasifikasikan selaku bab dari kelompok ahl al-sunna (lihat Tunc 1970).
[4] Beragam analisis yang membicarakan hubungan antara Sahl al-Tustari dengan Dzu al-Nun terekam dalam Qusyairi (1990:66); Ibn Khallikân (1948:i, 389); Abu Nu‘aym (1938:x, 190); dan Ja’far (1974:i, 57-58).
[5] Ada enam manuskrip yang menampung naskah tafsir ini dan dua buah edisi sudah cetak. Enam manuskrip itu yakni: Gotha 529, Fâtih 638, San‘â 62, Fâtih 3488/2, Zhâhiriyya 515, dan Cairo2 I 38. Sedangkan edisi cetaknya ialah Cairo 1326/1908 dan Cairo 1329/1911 (lihat Bowering 1980:100).
[6] Ia dilahirkan tahun 244/846 di Tur, suatu kota di distrik Bayda (Fars). Hallâj mengakui Sahl sebagai guru pertamanya di bidang tasawwuf. Ia menjadi murid Sahl di usianya yang keenambelas, dan tinggal bareng Sahl selama dua tahun dari tahun 260/873 sampai tahun 262/875 (Massignon 1982: i, 63).
[7] Untuk detail desain yang diajarkan oleh tarikat ini lihat Makki (1932) 4 volume.
[8] Untuk rincian biografinya lihat Sulami 1960:253-259. Di sini, Bowering memberi catatan bahwa Jurayrî memiliki efek yang luas dalam aktivitas sufi pertengahan era ke-4/10 di Basra. Ia meninggal dunia sekembalinya dari perjalanan ke Mekkah, ketika dia mengalami kehausan dan kepanasan di tengah padang pasir setelah sebelumnya terluka di Habir balasan serangan kalangan pemberontak Qarâmitha kepada karafan haji yang membawanya (Bowering 1980:82-3). Sementara itu Muzayyin juga menjadi murid al-Junayd di Baghdad yang diakui sebagai anggota lingkaran sufi Baghdad, dan diberikan gelar sebagai guru yang paling wara‘, dan salah seorang gaib terbaik. Ia lalu tinggal di Mekkah selama beberapa tahun dan wafat di sana pada tahun 328/939 (Sulami 1960:396-400).
[9] Karya Sulami yang terkenal di bidang corak penafsiran Sufi adalah Haqa’iq al-Tafsir (2001) yang sungguh kontroversial dari judul kompilasinya. Edisi lengkap tafsir ini dapat dilihat pada Sulami (2001) 2 volume, sementara beberapa ekstrak penafsiran Sulami mampu pula dilihat dalam beberapa analisis terpisah yang dijalankan P. Nwyia (lihat Nwyia 1968a, 1968b, dan 1970). Di samping itu terdapat pula karya kompilasi yang memuat nyaris seluruh karya Sulami yang sudah diteliti sebelumnya (lihat Purjavadi (2000) 2 vols., sementara Qusyairi menuliskan sebuah kitab tafsir yang lebih moderat dalam corak penafsiran isyari dengan judul Lata’if al-Isyarat (1971) 6 volume, sedangkan studi analisis perihal penafsiran Qusyairi lihat Basyuni (1976).
[10] Lihat Tustari 1911:95. Bandingkan pula dengan dogma ‘ismah, keterbebasan Nabi SAW dari segala kesalahan yang menjadi jaminan bahwa segala tingkah lakunya selalu diawasi oleh Allah, dan bilapun dianggap mengandung kesalahan akan dengan cepat diberikan koreksi oleh Allah dengan turunnya wahyu yang mengumumkan kesalahannya.
[11] Di sini diterangkan bahwa pre-existence Musa yang berbentuk setitik cahaya dari generasi ke generasi telah berjalan melalui pengetahuan Yahweh, sejak kala penciptaan Adam, lalu Tuhan menurunkannya ke dalam rahim Jochebed untuk dilahirkan (Samarra’i 1968:148-9).
[12] Konsepsi epistemologis ini ditandai dalam ragam macam tahapan-tahapan penyucia jiwa yang diketahui dengan ungkapan maqamat dan ahwal , di mana masing-masing sufi bisa saja menetapkan tata urutan yang berbeda dibandigkan dengan sufi yang lain. 
[13] Terkait dengan penjelasan Sahl al-Tustari dalam tafsirnya, faktor soteriologis diugkapkannya melalui penukilan suatu hadis yang secara musnad disandarkan kepada Nabi dari jalan Ibn Abbas yang menjawab pertanyaan perihal jalan keamanan di darul baka kelak. Hadis ini terkait erat dengan karakter al-Qur’an secara lazim dalam pandangan sufi (lihat Tustari 1911:2).