Melacak Jejak Angklung
Meski lekat pencitraannya dengan kebudayaan Sunda, informasi seputar asal-seruan alat musik angklung di Jawa Barat sebelum era ke-19 tidaklah begitu terperinci. Dari sisi bahasa, kata angklung berdasarkan mahir karawitan Bali, I Wayan Rembauh (dalam Sopandi dkk, 1987: 64) berasal dari kata ‘angka’ yang mempunyai arti nada, dan ‘lung’ yang tujuannya ‘patah’ atau ‘hilang’. Maksud dari campuran dua kata ini yaitu “ada nada yang hilang.” Nada-nada pada angklung di Baduy yang terdiri dari empat rumpung (bilah [kingking, panempas, jongjrong, dan gonggong]) pertanda makna tersebut . Versi lainnya menyebutkan asal kata angklung adalah angkleung, sebutan kepada “suatu benda yang terapung-apung di atas air”. Ini yaitu kias untuk memaknai gerakan-gerakan angklung yang sedang dibunyikan menyerupai terapung-apung di atas air. Gerak-gerak angklung yang dibawa para pemain dalam upacara helaran (pawai) seperti “angkleung-angkleungan” (terapung-apung).
Jika itu menyoal ketidakpastian etimologi, maka dalam hal riwayatnya, etno-musikolog, J. Kunst (1936: 814) dalam penelitiannya beranggapan bahwa alat musik dari bambu –secara lazim– yang ada di Indonesia berasal dari masa pra-Hindu. Kemungkinan permulaannya bersahabat terkait dengan kala sebelum Masehi saat terjadi migrasi manusia dari daratan Asia yang kemudian menjadi nenek moyang suku bangsa Melayu-Polinesia.
Terkait migrasi manusia tersebut, dalam ranah arkeologi, beberapa di antaranya menawarkan info penting, bahwa temuan di Indonesia memiliki keserupaan dengan kebudayaan Dongson purba (Vietnam). Seperti halnya temuan prasejarah di kawasan Banten, Bogor, Cianjur, dan Cirebon ca. 300 SM. Di samping ditemukan peralatan musik berbentukgendang belangga (kettle drums) serta alat musik dari kerang dan tanduk, agaknya flora bambu yang berkembang liar dimanfaatkan juga sebagai material alat musik (Kartomi, 1985: 6).
Kunst (dalam van Zanten, 1989: 81) membicarakan kemajuan alat musik pada kurun Hindu yang terlihat dalam relief candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kecuali kacapi, suling, dan rebab, dari keseluruhan gambaran yang ada dalam relief tersebut, begitu sedikit dikenali adanya yang menurunkan alat musik di Jawa Barat pada kala kemudian, terlebih tidak ada sama sekali jejak angklung.
Terkait hal tersebut, ada hal menarik dikala membaca sebuah hasil observasi Roosenani Kusumastuti (1981), Alat Musik pada Relief Candi Borobudur, dengan konsentrasi risetnya yang banyak terkonsentrasi pada lapisan kaki candi (Karmawibhangga). Lapisan tersebut menampung 160 relief, di antaranya alat-alat musik. Namun, dalam pengamatannya tidak ada banyak isyarat perihal angklung, alat musik bambu yang terpindai hanyalah suling dan gambang. Tulisan Jaap Kunst, Over Toonschalen en Instrumenten van West-Java (1923: 28) yang juga digunakan dalam riset Kusumastuti tersebut pun memang menunjukkan demikian, bahwa dalam salah satu satu relief candi terdapat citra fisik berupa alat musik hibrid dari bambu dan kayu yang disebutnya “tjaloeng-gambang”.
Apabila itu dalam gambaran relief, terdapat juga info seputar eksistensi angklung dalam naskah-naskah kurun Hindu yang meski tidak terlalu banyak, tetapi memperlihatkan kejelasan keberadaan dan fungsinya pada masa Hindu. Dalam De Gamelan te Jogjakarta, J. Groneman (dalam Wiramiharja, 1989) menyampaikan bahwa angklung telah ada pada kala kebudayaan Hindu bekembang di Nusantara. Bukti paling bau tanah, merujuk pada riset Pieter Eduard Johannes Ferdinandus (1999: 314), terdapat dalam Prasasti Bebetin berangka tahun 818 Saka (896 M) yang menyebutkan bahwa pembayaran pajak bangunan suci salah satunya dikenakan terhadap pabunjing (pemain angklung bambu). Keterangan yang lain terdapat dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (ENI, 1921: 25, jilid 3) dengan entri Soendanezen, Oerang Soenda, Orang Soenda of Orang Goenoeng, dikatakan bahwa angklung yakni alat musik yang ada dan dipakai di kerajaan Hindu Pajajaran. Dalam entri Muziek en Muziekinstrumenten (ENI, 1918: 821) dikatakan angklung selaku penyemangat dalam “barisan Padjadjaran” (sic.) dan pada tahun berangka 1486 Sangkálá, diberitakan angkloeng (sic.) digunakan sebagai pengiring wajang-běběr gědog. Selain itu, dalam Serat Cebolang, kata angklung pun disinggung sebagai instrumen, dikala Mas Cebolang mempertunjukkan keahliannya menyanyi dan bermain musik di depan Bupati Dhaha, Kediri (Wiramiharja, 1989).
Informasi-berita tersebut jika ditarik suatu benang merah mencitrakan fungsi angklung, di samping sebagai alat musik ritual dalam tradisi ladang, dalam riwayat mulanya digunakan untuk memompa semangat pasukan militer kerajaan Pajajaran; dan selaku pengiring sebuah perhélatan kesenian. Adapun mirip apa wujud dan keterangan permainan angklung itu sendiri tidak didapatkan kejelasan yang membuat puas.
Entah apa yang melandasi ketidakjelasan jejak angklung ini. Namun ada hal yang menawan kalau mengaitkannya dengan larangan atau tabu untuk memainkan dalam kepercayaan/mitos penduduk Sunda. Salah satu buktinya yaitu laporan Baron van Hoevell (1845: 420-21), saat dirinya menceritakan mitos yang meningkat di Priangan sampai era ke-19, perihal barangsiapa pemain angklung yang melanggar tabu, kelak saat mati ia akan berubah menjadi seekor kadal besar. Hoevell menuturkan sisindiran yang berbunyi: “kaduhung jadi pangangklung//ari paeh jadi bayawak” (kepalang menjadi pemain angklung, (alasannya) kalau mati kelak mati menjadi kadal). Sisindiran menjadi hewan ini semacam kiasan betapa jeleknya gambaran selaku pemain angklung. Orang-orang di Gunung Padang, Cianjur, mempercayai mitos bahwa jika ingin memasarkan jiwa dengan jalan selaku pemain alat musik ini, ada dua opsi untuk: mati masuk akal sebagai manusia dan/atau mati tidak masuk akal menjadi (mirip) binatang.
Selebihnya sampai sesudah kurun Hindu, disebutkan informasi dalam ENI (1918: 821), bahwa alat musik bernama angklung itu tidak dimengerti hingga kurun kala ke-18 dan –terutama– periode ke-19 ketika dikenalnya alat musik pukul berjulukan angklung. Di beberapa daerah di Pulau Jawa ungkapan angklung digunakan, tetapi wujud dan teknik permainannya amat berlainan. Di Jawa Timur, perumpamaan angklung bermakna merujuk pada gamelan berbentukbonang dan sarong. Namun di Jawa Barat, terutama di Banten dan Priangan, angklung ialah instrumen bambu yang dikocok/digoyang.
Meski beberapa instrumen yang ada di tengah dan timur pulau Jawa ada yang memperlihatkan efek bagi instrumen musik di Jawa Barat –atau sebaliknya, karakternya dibilang Kunst (1973: 286):
“The Sundanese racial character is less complex, less stylized, more open and a little more rustic than the Javanese. In accordance with this, music in the Sunda districts is, generally speaking, simpler of construction, and the orchestras are less comprehensive”
Alasan tidak banyaknya dampak seni musik Jawa di Tatar Sunda, sepertinya dilandasi tidak berhasilnya imbas budaya keraton masuk ke wilayah kerajaan Taruma, Galuh, sampai periode Pajajaran. Dengan demikian, seni musik Jawa tidak populer di Tatar Sunda. Karakter yang dikatakan Kunst kurang menyesuaikan mode, lebih terbuka dan agak “dusun” dibandingkan dengan alat musik Jawa, justru menawarkan kemiripannya dengan (alat) musik Bali. Dalam Angkloeng Gamelans in Bali, Colin McPhee (1937: 322) dengan merujuk Raffles (1817: 528) menyampaikan ada kesamaan bentuk angklung di wilayah Sunda dengan yang ada di Bali. Namun, bagaimana kesamaan atau kekerabatan kultural ini bisa terjadi, masih menjadi tanda tanya.
Evolusi Angklung
“…wier krijgsmuziek die van de angkloeng was,
gevaarlijk werd geacht voor een rustig bestuur
en anleiding was”
(ENI, 1918: 821)
Jika meréka kembali laporan van Hoëvell, ada yang menawan sekaligus menggelitik akal apabila mengaitkannya dengan fungsi angklung itu sendiri sebagai penyemangat perang sejak masa kerajaan Hindu-Pajajaran, bagi mereka “barisan Pajajaran”. Namun, pada kurun kolonial, di Jawa, angklung dihentikan dimainkan. Alasannya untuk meredam ancaman pemberontakan (Piper, 1989: 68). Sehingga dikatakan dalam kutipan di atas, angklung mengganggu keamanan dan ketertiban pemerintahan Hindia Belanda.
Barangkali, sisindiran yang dibilang van Hoëvell, sebentuk konstruksi yang dilestarikan pemerintah untuk menabukan angklung supaya tidak dimainkan dalam ruang-ruang sosial. Dalam majalah Indie (1917: 330), angklung di Priangan, bahkan dikatakan: “En qeen wonder: de angkloeng is militaire muziek” (dan tidak aneh: angklung memang musik militer). Senada dengan itu, dalam majalah majalah D’Orient (1938) dikatakan: over het algemeen draagt angkloeng muziek een opwekkend en vroolijk huruf, maar het heeft ook zijn krijgslystige en mystiekezijde (pada umumnya musik Angklung menumbuhkan hasrat dan menyenangkan, namun juga mampu menyebabkan semangat usaha dan gaib).
Menjadi jelas informasi-informasi berdasarkan observasi tersebut. Dan, bila merujuk pada evaluasi tersebut tidaklah heran jika pada medio pertama kala ke-19 ketika kala Cultuurstelsel (tanampaksa), pemerintah Hindia Belanda melarang permainan angklung. Alasannya, permainan angklung kuat terhadap semangat perlawanan rakyat terhadap kekuasaan pemerintah jajahan. Namun, dalam larangan itu permainan angklung dikecualikan bagi belum dewasa dan pengemis/pengamen, dengan argumentasi –barangkali– dianggap tidak menimbulkan kegelisahan dan tidak membahayakan bagi ketentraman pemerintahan jajahan Belanda. Sejak itulah Angklung turun derajatnya dari alat musik militer dan alat musik upacara yang sakral menjadi alat musik yang umum digunakan pengemis untuk mencari nafkah sepanjang jalan alias mengamen (Wiramiharja, 1989).
Kondisi ini sampai tamat kurun ke-19, memendam jejak angklung tradisi ditambah keadaan akidah penduduk setempat. Salah satu misalnya, menurut laporan Royal Batavia Society (1893) mengenai keadaan Banten pada 1875, di antaranya disinggung wacana begitu memprihatinkannya perhatian atas alat musik bambu. Pada 1875 dilaporkan berdirinya sebuah “Komedie Jawa” (golongan sandiwara) yang didirikan Bupati Serang, Raden Adipati Sutadiningrat. Sandiwara yang ditampilkan seperti cerita 1001 Malam dan Abu Nawas diiringi alat musik Jawa, gamelan. Pada 1878, van Gorkom, seorang kepala inspektur, dikala melakukan perjalanan di Banten memberikan info pemanis, bahwa gamelan sebagai iringan sandiwara itu pun cuma dimainkan selain hari Jum’at, dan ditabukan untuk dimainkan dikala Kamis sore hingga Jum’at sore; sejak 1-15 Mulud; dan selama bulan ampunan (Ramadhan).
Dimaksudkan untuk tidak melanggar norma tersebut, dengan alasan selaku pengisi waktu luang orang-orang di Banten Selatan, maka Bupati Banten mengganti gamelan dengan instrumen berbentukcalung, beberapa angklung, suatu suling, dan suatu bedug untuk kemudian dimasukkan dalam komedi tersebut menggantikan gamelan. Penggantian instrumen-instrumen itu dilandasi larangan pada waktu-waktu tertentu memainkan dan menyimak gamelan bagi orang-orang Islam di Desa Cimanuk, Desa Kasuniaten, dan Kampung Kupluk di Menes yang tidak suka musik gamelan (Kunst, 1973: 289-290).
Sejak akhir periode ke-19, mulailah muncul transisi sifat dan fungsi angklung dari mulanya sebagai tradisi (sakral dan militer) menjadi alat musik pentasrakyat, seperti reog atau ogel. Awal kala ke-20, kesadaran berkesenian bermunculan. Dalam De Inheemse Muziek en de Zending (1947: 25-26), J. Kunst menyinggung sosok Radén Machjar Angga Koesoemadinata, seorang guru di Sumedang yang mengembangkan (alat) musik rakyat yang diadaptasi dengan nada-nada Barat, seperti dipakai untuk mengiringi acara-aktivitas zending.
Koesoemadinata-lah yang menyampaikan bahwa: “abjad musik ‘da mi na ti la’ itu kami tjiptakan dulu pada th. 1923…” selaku ketidakcocokannya menilai perangkat nada Eropa “do re mi fa so la ti” untuk digunakan dalam perangkat nada alat musik Indonesia (Kusumadinata, 1951: 27 – 29). Dalam sembilan tahun (1933 – 1942) dibilang Koesoemadinata (1951: 29) bahwa bahwa da mi na ti la ini telah tersebar di Jawa Barat. Mudahnya penyebarannya ini dikatakan karena gampang dipelajari guru-guru untuk lalu diajarkan ke bawah umur didiknya.
Pada 8 Desember 1951, satu rombongan anak-anak sekolah yang dinamakan “Angklung Asli” dari Bandung mendapat ajakan untuk melakukan pementasan di Jakarta. A. Suparman yang menciptakan laporan pementasan rombongan ini mengatakan ihwal orkestra angklung yang menawan audiensi: “untuk melatihnja sebagaimana Angklung Modern setjara Barat, menggunakan not hanja jang dipakainja jaitu sistim da mi na ti la tjiptaan Pak R.M.A. Kusumadinata dengan memakai laras Pelog dan Salendro…” (Budaja, No. 25 1951: 44).
Nama Koesoemadinata pada medio pertama abad ke-20 memang dikenal selaku pelopor teknik pembiasaan nada ciptaannya –yang dikatakannya asli Indonesia ini– untuk perangkat musik tradisional seperti angklung. Namun, selain dan semasa periode Koesoemadinata, pada masa menjelang Pendudukan Jepang, angklung juga bahwasanya mengalami pertumbuhan penting di tangan seorang guru di Kuningan, Daeng Sutigna. Sejak 1938 Daeng Sutigna menyelenggarakan serangkaian eksperimentasi biar angklung dikembangkan untuk diketahui di golongan penduduk . Untuk mempopulerkannya, tangga nada angklung diubah dari pentatonis menjadi diatonis (Wiramiharja, 1989). Tampaknya popularitas Daeng Soetigna mengemuka dikala kreasi angklungnya dimainkan pada dikala Perjanjian Linggajati (1948) dan puncaknya dikala Konferensi Asia Afrika (1955). Pada dasawarsa 1970-an, apresiasi kepada angklung tidak terbatas di Indonesia, melainkan melintasi juga ke negara jiran. Ratusan set angklung saat itu mulai diekspor ke Malaysia setiap tahunnya (Sumarsono & Pirous, 2007; Wiramiharja, 1989). Maka, tidak heran, jika ketika ini di dalam negeri hingga mancanegara, angklung kini (seolah) dikenal sebagai sebuah budaya komunal; apalagi sarana teknologi isu dan komunikasi saat ini memungkinkan hadirnya fenomena diaspora kebudayaan.
Penutup
Sejak lampau hingga masa kini, angklung mengalami abad transisi yang menarik: bermula dari sifat dan fungsinya selaku alat musik tradisi menjadi instrumen pertunjukkan yang biasanya diketahui kini. Pada alhasil, diketahui sebagai sebuah ikon budaya yang dibilang khas Sunda atau malah ada kehendak mematenkannya sebagai milik bangsa Indonesia, mengingat konfrontasi dan klaim budaya yang terjadi bertahun-tahun akhir-akhir ini.
Tentu saja, dalam percaturan global, kebudayaan setempat semacam angklung memiliki potensi mengalami diaspora, mengingat juga latar belakang universalitas budaya bambu yang memungkinkan terjadinya pembiasaan budaya, seperti halnya terjadi di masa silam. Glokalisasi (glocalisation, sebuah hibridasi global dan lokal) yakni suatu fenomena kebudayaan yang saat ini kita hadapi; dikonsepsikan Keith Hampton dan Barry Wellman (2002) sebagai jaringan acara manusia dalam batas setempat dan global. Tentu saja, dengan acuan perkara angklung sebagai salah satu saja dari sekian budaya setempat lainnya, diharapkan suatu taktik kebudayaan yang lebih berwibawa untuk menampilkan identitas kebudayaan lokal (baca: Sunda) di tengah-tengah kumparan global. Bukan sekedar aksi-agresi klaim, tentunya. Sumber