Manusia semenjak Zaman dahulu mengakibatkan malam dan siang selaku ukuran waktu. Karena waktu itu belum ada jam selaku ukuran waktu. Hanya gejala alam yang mampu dijadikan sebagai ukuran waktu. Malam dan siang terang bedanya, gelap dan jelas. Perbedaan itu bisa dijadikan ukuran. Dalam kehidupan sehari-hari pada kurun sekarang pun, ukuran itu masih dipakai. Kita masih mengenal sebutan “sehari”, “semalam” atau “sehari semalam”.
Dalam hadis pun Nabi menunjukkan isyarat wacana waktu shalat dengan memperlihatkan tanda-tanda dialam. Waktu shalat subuh dimulai dengan munculnya cahaya fajar diufuk timur hingga menjelang matahari terbit. Waktu dzuhur saat matahari mulai cenderung ke barat. Bila panjang bayangan sebuah tongkat yang ditegakkan ditanah sama dengan panjang tongkatnya itu memiliki arti telah masuk waktu ashar. Magrib datang jikalau matahari sudah terbenam. Bila cahaya merah diufuk barat mulai hilang, itulah tandanya permulaan waktu isya. Semua gejala itu penunjuk waktu shalat itu bahwasanya menurut pada posisi matahari dilangit.
Penampakan matahari yang senantiasa berulang dijadikan alat penentu waktu. Satu hari yaitu waktu dari dikala matahari terbit hingga matahari terbit selanjutnya. Kemudian diputuskan bahwa satu hari 24 jam. Satu jam sama dengan 60 menit. Sedangkan satu menit sama dengan 60 detik.
Dalam kenyataannya, rentang waktu semenjak matahari terbit sampai terbit selanjutnya tidak selalu sempurna 24 jam. Kadang-kadang lebih dari 24 jam, kadang kala kurang dari 24 jam. Tetapi, jikalau diambil rata-ratanya, dalam satu tahun akan didapatkan angka 24 jam itu.
Kini penentuan waktu itu tidak butuhlagi dilakukan dengan melihat posisi matahari, bagaimana jika matahari tertutup awan sehari penuh? sebab itu, sekarang kita cukup menyaksikan jam. Bahkan dengan pengetahuan yang semakin maju, dikala-dikala matahari terbit dan terbenam juga sudah bisa dihitung dengan menggunakan komputer, termasuk agenda shalat.