Masyarakat Kalimantan Barat Mengkritisi Ujian Nasional

MAKALAH PADA SEMINAR SEHARI
MASYARAKAT KALIMANTAN BARAT MENGKRITISI UJIAN NASIONAL
Oleh : HAMID DARMADI
Guru Besar Kopertis Wilayah XI Kalimantan DPK Pada STKIP-PGRI Pontianak
Seminar sehari ihwal existensi Ujian Nasional ini diberi Tema: ”Masyarakat Kalimanatan Barat Mengkritisi Ujian Nasional”. Latar belakang diselenggarakannya Ujian Nasional yang biasa disingkat UN/UNAS adalalah Sistim Evaluasi Standar Pendidikan Dasar dan Menengah secara  Nasional yang ditujukan  pada persamaan kualitas tingkat pendidikan antar kawasan yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Kementerian Pendidikan Nasional. Dalam  Undang- Undang  Republik Indonesia Nomor  20  Tahun 2003  dinyatakan bahwa  “Dalam rangka pengendalian  mutu pendidikan secara nasional dilakukan penilaian sebagai  bentuk akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan”.
Kementerian Pendidikan Nasional mengindikasikan bahwa:“Penentuan Standar Pendidikan diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan”. Lebih lanjut Kementerian Pendidikan Nasional menyampaikan  bahwa; Seseorang dikatakan lulus ujian apabila sudah melalui nilai batas tersebut berupa nilai batas antara penerima didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan penerima ajar yang belum menguasai kompetensi tertentu itu”. Bila itu terjadi pada cobaan nasional atau sekolah maka nilai batas itu berfungsi untuk memisahkan antara peserta latih yang lulus dengan yang tidak lulus. Sedangkan acara penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
Disatu sisi kita semua menyadari bahwa bahwasanya Ujian Nasional (Unas) diselenggarakan dengan tujuan untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan akseptor latih secara nasional sebagai hasil dari proses pembelajaran dan sekaligus sebagai pemetaan tingkat pencapaian hasil belajar siswa baik pada tingkat sekolah maupun tingkat tempat. Disisi lain selama ini penentuan batas kelulusan Ujian Nasional diputuskan berdasarkan komitmen antara pengambilan keputusan saja. Batas kelulusan itu diputuskan sama untuk setiap mata mata pelajaran. Pada hal karakteristik mata pelajaran dan kemampuan akseptor asuh (siawa) menguasai materi untuk setiap mata pelajaran itu tidak sama. Hal ini tidak menjadi pendapatpara pengambil Kebijakan Pendidikan. Pada hal belum pasti dalam satu jenjang pendidikan tertentu, tiap mata pelajaran itu memiliki tolok ukur yang sama sebagai persyaratan minimum pencapaian kompetensi. Ada mata pelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi minimum yang tinggi, sementara ada mata pelajaran lain menentukan tidak setinggi itu. Keadaan sperti ini menjadi tidak adil bagi peserta latih, alasannya mereka dituntut melampaui kapasitas kemampuan maksimal yang dimilikinya.
Para akil berakal mengisyaratkan ada tiga macam  pendekatan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan tolok ukur kelulusan yakni;
1.    Penentuan kriteria berdasarkan kesan lazim kepada tes
2.    Penentuan kriteria menurut isi setiap soal tes
3.    Penentuan patokan berdasarkan skor tes
Kemudian pada tiap-tiap simpulan tahun pelajaran diambil kesimpulan dan pembukuan tolok ukur setting menurut tiga pendekatan tersebut untuk memilih batas kelulusan.
Hingga dikala ini Pemerintah bersikeras tetap melaksanakan Ujian Nasional alasannya sampaumur ini penyelenggaraan kegiatan pendidikan diatur dalam paradigma manajemen korporasi, sehingga seluruh asfek penyelenggaraan pendidikan  mengacu pada standar standar.
Sementara itu di penduduk umum,meningkat persepsi bahwa pendidikan merupakan suatu perjuangan yang bernuansa humanisme ialah upaya memanusiakan insan. Karena itu menurut mereka hasil pendidikan mustahil distandari-  sasikan. Akibat perbedaan sudut pandangan ini Korporasi vs Humanisme, Kompetensi vs Humanisasi menghasilkan berbagai silang pendapat. Sehingga penduduk  mencicipi ketidak adilan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.   
Masih terngiang dalam ingatan kita bahwa, Tahun 2009 yang kemudian, penduduk yang merasa dirugikan oleh Ujian Nasional, melayangkan somasi (citizen lawsuit) kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini mereka menggugat; Presiden Republik Indonesia. Wapres Republik Indonesia,Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) atas dilakukannya Ujian Nasional yang menjadi salah satu syarat kelulusan siswa.
Berkenaan dengan itu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 21 Mei 2009 kemudian menetapkan bahwa para tergugat dianggap gegabah dalam menunjukkan pemenuhan dan derma Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap warganegara yang menjadi korban Ujian Nasional.
Gugatan masyarakat melalui citizen lowsuit  berkenaan dengan  penyeleng- garaan Ujian Nasional kembali dimenangkan oleh Mahkamah Agung. Kasasi yang diajukan Pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan Ujian Nasional dinyatakan ditolak oleh Mahkamah Agung dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009. Namun demikian Pemerintah tetap besikukuh menggelar Ujian Nasional hingga tahun 2012 ini.
Terpetik pula kabar bahwa dalam waktu dekat Wantimpres akan mendorong Presiden SBY untuk menghentikan dahulu pelaksanaan Ujian Nasional. Hal ini terkait dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengisyaratkan semoga Pemerintah menghentikan dahulu pelaksanaan Ujian Nasional  kalau syarat-syarat pemerataan mutu dan layanan pendidikan disemua jenjang Pendidikan Sekolah belum terpenuhi
Pertanyaan utama yang perlu segera kita jawab adalah “Ujian Nasional  diteruskan atau dilarang”?  Atau adakah alternatif lain yang mungkin lebih manusiawi. Jawaban atas pertanyaan ini mendorong Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat untuk menyelenggarakan Seminar Sehari dengan tema: ”Masyarakat Kalimantan Barat Mengkritisi Ujian Nasional di Kalimantan Barat”.
Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat selaku forum Indipenden dan berdikari yang beranggotakan banyak sekali unsur masyarakat, yang mewadahi peranserta penduduk dalam rangka pemerataan dan ekspansi jalan masuk pendidikan, kenaikan mutu dan relevansi serta penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Siap menganjurkan hasil seminar yang bertemanasional dan terbungkus dengan kearifan setempat ini kepada pihak-pihak yang berkompetensi mendapatkannya, baik kepada lembaga eksekutif maupun terhadap lembaga legislatif. Dengan expektasi (harapan) yang tinggi, kedepan hasil seminar sehari ini dapat dijadikan ”Grand Design Ujian Nasional” (National Exammanation Design) di Provinsi Kalimantan Barat ini tersayang ini.
Sesuai dengan peran pokok dan fungsinya maka Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat bertujuan untuk :
(1)      Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa penduduk dalam melahirkan kebijakan dan program pendidikan umum dan keagamaan di daerah Provinsi Kalimantan Barat.
(2)      Meningkatkan tanggung jawab dan peranserta aktif dari seluruh lapisan penduduk dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan lazim dan keagamaan di tempat Provinsi Kalimantan Barat.
(3)      Menciptakan suasana dan situasi yang transparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya pula maka Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat senantiasa berperan sebagai :
(1)      Pemberi Pertimbangan (advisory agency) dalam perumusan kebijakan, program penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan;
(2)      Pendukung (Supporting agency) menawarkan kode dan tunjangan dalam bentuk tenaga, ide, prasarana dan sarana;
(3)      Pengontrol (Controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan da keluaran pendidikan;
(4)      Mediator antara Pemerintah (administrator) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (legislatif) dengan penduduk .
Demikian hidangan makalah ini, semoga berguna bagi kemajuan dan pengelolaan pendidikan di Kalimantan Barat