Masjid Islah

Dibangun oleh Empat Tuangku

masjid islah

Masjid Islah ini terletak di Desa Pariangan, Kecamatan Patar, Sumatra Barat. Masjid ini merupakan salah satu masjid bersejarah lantaran berada di Luhak Nan Tuo (desa tertua). Letaknya cukup strategis, kira-kira 50 meter dr jalan utama Padang Panjang-Batusangkar.

Dari segi fisik, Masjid Islah ini sudah mengalami dua kali perbaikan (renovasi), yg pertama tahun 1920 & terakhir tahun 1994, meskipun sedikit berlainan dgn bangunan aslinya. Renovasi itu dijalankan atas swadaya murni masyarakat, baik yg berasal dr warga desa maupun dr para perantau asal Desa Pariangan yg tersebar di banyak sekali kawasan. Dana yg berhasil dihimpun sebesar Rp.l08 juta.

Karena letaknya yg cukup strategis, Masjid Islah senantiasa memanggil pesona turis, baik domestik maupun luar negeri yg menyelenggarakan kunjungan wisata ke kota “budaya” Batusangkar. Karena Desa Pariangan merupakan desa tertua di Luhak Nan Tuo yg banvak mempunyai nilai sejarah, di desa ini masih banyak didapatkan rumah-rumah beratap gonjong selaku ciri khas alam Minangkabau. Keberadaan Desa Pariangan ini pula didapatkan dlm tambo akhlak alam Minangkabau.

Masjid Islah ini dahulunya dibangun oleh Syekh Burhanuddin,tokoh pengembang aliran Islam di kawasan Minangkabau, atas persetujuaan Tuangku Nan Barampek, yaitu Tuangku Labai, Tuangku Katik Basa, Tuangku Aji Manan, & Tuangku Kali Bandar, dgn sejumlah tukang yg dipimpin Datuk Garang.

Masjid Islah ini berukuran 16 x 24 m dgn empat buah tiang penyangga yg terbuat dr kayu andaleh, di mana empat buah tiang (tonggak) itu ditanggung oleh empat tuangku tersebut dgn lebar 12 meter persegi dgn puncak menara gonjong berupa teratai.

  Masjid Darul Falah

Keunikan lain dr Masjid Islah ini ialah tersedia pancuran air angek ‘panas’ yg berasal dr Gunung Merapi untuk berwudhu & mandi. Sebelum dilengkapi dgn tempat berwudhu seperti kini ini, dahulunya merupakan tapian mandi ‘tempat mandi’ ninik mamak nan  tujuah, yakni Dt. Suri Dirajo, Dt. Nan Capuak, Dt. Majo Empang, Dt Sinaro, Dt. Basa, Dt. Kayo, masing-masing anak kemenakan dr ninik mamak harus mandi di tapian mandi yg mereka miliki itu.

Dan, dianggap selaku “pembangkangan” atau menciptakan aib makak jika anak kemenakan Dt. Suri Dirajo misalnya, mandi di tapian Dt Sinaro, & sebaliknya. Sedangkan, tempat mandian urang sumando lain pula tempatnya, dlm arti kata tak menjadi satu dgn ninik mamak.

Pancuran air angek itu sampai sekarang dianggap selaku air ‘mukjizat”, tak saja bagi penduduk yg tinggal di Tanah Datar, stapi pula bagi penduduk Sumatra Barat, karena dinilai mampu meng- obati penyakit gatal-gatal, kudis, panu, & sakit lumpuh. Namun, sampai sejauh mana keampuhannya, pasti mereka yg tiba itu sendirilah yg merasakannya.

Oleh kerena itu, kalau Anda sempat berkunjung ke masjid ini untuk shalat, janganlah tergesa-gesa mengambil air wudhu, lantaran di samping pancuran air angek itu ada pula air biasa (tidak panas). Sebab, kalau tak mengenali atau tak mengajukan pertanyaan dulu sebelum berwudhu, tentu muka kita akan kepanasan, alasannya bukan tidak mungkin air wudhu yg kita ambil berasal dr pancuran air angek tersebut.

Kemudian, untuk memeriahkan siar Islam, di samping dimanfaatkan untuk berjamaah & wirid pengajian, di masjid ini pula diresmikan TPA untuk mendidik generasi muda belajar Al-Qur’an.