Daftar Isi
Dibangun di Atas Pusena Tanah
Sejarah pembangunan Masjid Agung Keraton di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, banyak diwarnai mitos. Tetapi, dongeng mitos tersebut boleh jadi mengandung kebenaran jikalau dikaitkan dgn mukjizat para nabi & waliyullah di masa lalu. Atas izin Allah, mereka dapat berbuat sesuatu di luar jangkauan nalar insan. Misalnya, insiden yg terjadi di masa pemerintahan Sultan Mukhiruddin Abdul Majid, Sultan Buton ke-18. Tatkala itu berkobar perang kerabat. Perang itu melibatkan kapitan maritim (pemimpin pasukan pengawal kerajaan) berjulukan Langkariri bareng pendukungnya di lain pihak.
Kemenangan berada pada pihak Langkariri yg kemudian naik takhta. Dengan demikian, perang itu merupakan perebutan kekuasaan yg dilancarkan Langkariri. Ia menilai pemilihan sultan yg ke-18 itu kurang demokratis.
Perlu pembaca pahami, pengangkatan Sultan Buton tak berdasarkan keturunan. Tidak ada ungkapan putra mahkota. Sultan diangkat atau dipilih oleh siolimbona, semacam forum perwakilan rakyat (dewan perwakilan rakyat).
Karena hebatnya peperangan yg berkecamuk selama tiga bulan itu, hingga orang tak mengenal (lupa) hari. Dalam situasi kalut itu seorang penyebar agama Islam yg berdomisili di Keraton Wolio, yg berjulukan Syarif Muhammad, suatu saat mendengar suara azan dr suatu bukit kecil di keraton itu. Ia pun pergi ke bukit kecil itu.
Ternyata bunyi azan tadi keluar lewat sebuah liang yg ada di bukit itu. Selanjutnya, sesudah suara azan, Syarif Muhammad mendengar lagi suara orang banyak sedang melakukan shalat Jumat. Dikatakannya daerah orang shalat itu ialah Mekah.
Serta merta ia menginformasikan pada masyarakatseluruh negeri bahwa hari itu adalah hari Jumat. Karena itu, mereka berbondong- bondong melaksanakan shalat Jumat di atas bukit tadi.
Pada potensi itu, Syarif Muhammad menyampaikan khutbah perdamaian bagi pihak-pihak yg berselisih. Sejak itu kehidupan berangsur wajar . Perang pun usai. Setiap hari Jumat dilaksanakan shalat Jumat di atas bukit yg berliang itu. Sebab, masjid keraton yg dibangun di masa pemerintahan Sultan Kaimuddin, Sultan Buton pertama, telah menjadi puing akibat perang yg gres saja lewat. Penduduk menyebut Kang yg ada di bukit kecil itu selaku Pusena Tanah ‘pusatnya tanah/bumi’, alasannya adalah liang itu sungguh berafiliasi dgn tanah suci Mekah.
Setelah Langkariri naik takhta selaku Sultan Buton ke-19 dgn gelar Sakiuddin Darul Alam, Masjid Agung yg terbakar dibangun kembali. Lokasinya bukan lagi di daerah lama yg disebut Kaliwu Liwuto, melainkan di atas pusena tanah tersebut.
Fondasi Masjid Agung dibangun sedemikian rupa sehingga Pusena Tanah terletak agak di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dlm kondisi sujud.
Peletakan tiang itu di dlm masjid bukanlah dimaksudkan untuk dikeramatkan oleh umat Islam zaman lampau itu, apalagi yg posisinya persis searah dgn kiblat bila menjalankan shalat di masjid tersebut. Liang itu sengaja diposisikan dlm Masjid Agung agar terhindar dr kemungkinan pencemaran oleh insan. Bagaimanapun kedatangan Masjid Agung Keraton di kawasan itu bercikal bakal dr adanya liang atau pusena tanah tersebut.
Tatkala Masjid Agung itu dibangun oleh Sultan Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712, liang yg bantu-membantu yaitu pintu gua di bawah tanah itu berukuran kira-kira sebesar tubuh manusia, pintu gua tersebut tegak lurus menghadap ke atas & konon dalamnya tak dapat terduga.
Rehabilitasi
Pada tahun 1930-an di masa pemerintahan Sultan Hamidi, Sultan Buton ke-37, Masjid Agung itu pertama kali mengalami rehabilitasi tanpa mengubah bentuk aslinya. Rehabilitasi itu antara lain mengganti atap dr rumbia (daun aren) menjadi seng. Mengganti sebagian kedi rangka kayu, konstruksi benteng pengintai ke wilayah Keraton Wolio, yakni susunan batu gunung dgn memakai perekat dr kapur campur supaya-agar.
Ketika dijalankan rehabilitasi itulah pintu gua tadi ditutup dgn semen sehingga liangnya sekarang menjadi kecil & bundar sebesar bola kaki. Liang tersebut diberi penutup dr papan yg mampu dibuka bila ada yg ingin melihat pintu gua bersejarah itu.
Masjid Agung Keraton Buton di Bau-Bau berdiri di atas fondasi berukuran 41 x 42 meter. Fondasi dgn konstruksi dr batu gunung itu terlihat di atas suatu bukit kecil. Bangunan masjidnya berukuran 21 x 22 meter. Diperkirakan masjid antik tersebut mampu menampung seribu orang jamaah.
Seperti halnya benteng keraton, Masjid Agung ini memiliki 12 pintu masuk. Salah satu di antaranya merupakan pintu utama, karena letaknya di atas bukit melalui pintu utama maupun pintu-pintu lainnya & mesti naik tangga beton.
Bangunannya didukung tiang-tiang & kerangka kayu kelas satu. Kerangka kayu tersebut gres sebagian kecil mengalami penggantian sekitar 60 tahun silam. Salah satu benda menarik yg terdapat dlm masjid selain pusena tanah tadi ialah sebuah lampu antik yang dibuat dr perunggu bercabang tiga. Lampu ini tergantung di tengah ruang masjid. Dari tiap cabang lampu tersebut tergantung pula masing-masing tiga mata lampu Konon, lampu semacam ini cuma terdapat di Keraton Yogyakarta & Istana Negara di Jakarta.
Tetapi, yg paling mempesona ialah perangkat syara’ (pegawai) Masjid Agung Keraton Buton yg tergolong besar jumlahnya dibanding dgn masjid bersejarah lainnya di Indonesia. Semuanya berjumlah 60 orang, terdiri atas seorang cjadhi ‘hakim’, seorang imam, empat orang khatib, 12 orang muazin, dua orang tungguna ganda (pemukul beduk), & 40 orang jamaah tetap.
Semua anggota syara’ masjid tersebut diangkat oleh sultan & harus orang darah biru keraton. Disiplin mereka pula kuat, alasannya adalah kalau ceroboh sedikit saja mampu dipecat eksklusif oleh sultan. Hukuman yg paling berat ialah eksekusi komplemen berupa pemecatan dr kebangsawanan, lalu dibuang ke kawasan lain. Tetapi, sekarang perangkat masjid syara’ itu tak seutuh & selengkap dahulu lagi.