Masalah Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Indonesia

Sumber daya air yakni salah satu kekayaan alam Indonesia yang ialah anugerah Tuhan.

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kekayaan wilayah perairan yang hebat namun ketika ini daerah pesisir di Indonesia masih banyak yang belum begitu berkembang. 

Lantas apa yang mengakibatkan wilayah pesisir Indonesia masih lambat meningkat ?.

1.    Kualitas Sumberdaya Manusia Kelautan

Sampai dengan tahun 2000, laju kemajuan penduduk berkisar 1,6 persen dan menjelang tahun 2018 diperkirakan akan menurun menjadi 1,5 persen  per tahun, sehingga mendekati tahun 2018 Indonesia akan mempunyai junlah sumberdaya insan lebih kurang 256 juta jiwa.  

Sebanyak 157 juta dari  256 juta diperkirakan tinggal di Pulau Jawa dan Bali, dan sebagian besar di kawasan pesisir (BPS, 2001).

Dari jumlah yang demikian besar, profil tenaga kerja yang ada pada saat ini diperkirakan 74% berpendidikan dasar termasuk 13% buta huruf, sebanyak 10,9% berpendidikan SLTP dan 13% SLTA, yang berpendidikan tinggi kurang lebih 2,3%.  

Walaupun pada ketika ini telah terjadi pergantian latar belakang pendidikan ke arah yang makin tinggi, tetapi masih timbul pertanyaan apakah kualifikasi pendidikan sumberdaya insan tersebut dapat mendukung pengembangan dan penguasaan IPTEK kelautan mirip yang diharapkan.

Kenyataan diatas juga terjadi di dalam proporsi SDM setiap pemerintah kawasan yang memiliki wilayah pesisir dan bahari.  Hal ini tentu saja sungguh ironis, mengingat beberapa propinsi/kabupaten/kota tersebut ialah kawasan dengan luasanan kawasan bahari yang sangat besar (Aceh, Sulawesi, dll.)

2.    Kerusakan Fisik Lingkungan Pesisir

Tingkat intensitas pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di sebagian besar kawasan pesisir tertentu sudah menjadikan sejumlah pengaruh negatif terhadap keadaan fisik lingkungan pesisir dan bahari.  

Secara ringkas kondisi saat ini kerusakan lingkungan pesisir tersebut dapat dijelaskan selaku berikut :


Pencemaran di pesisir
a.     Kerusakan Fisik Habitat Ekosistem Pesisir dan Lautan

Kerusakan fisik baitat ekosistem daerah pesisir dan bahari di ndonesia biasanya terjadi pada hutan mangrove dan terumbu karang.  

Hutan mangrove ialah ekosistem yang paling produktif dan ialah sumber hara untuk perikanan pantai.  Hutan ini menyokong kehidupan sejumlah besar sepesies binatang dengan menawarkan kawasan berbiak, berpijah, dan makan. 

Spesies tersebut meliputi aneka macam jenis burung, ikan, kerang dan krustasea seperti udang, kepiting.  Hutan bakau juga berfungsi sebagai pelindung pantai dan penstabilisasi serta berperan selaku penyangga pencegah abrasi yang disebabkan oleh arus, gelombang, dan angin.  

Mereka juga memainkan peranan penting selaku pengendali banjir dan pemelihara permukaan air di bawah tanah.

Luas hutan mangrove di Indonseia terus mengalami penurunan dari luas areal yang meraih 5.209.543 hektar pada tahun 1982, menurun menjadi 3.235.700 hektar pada tahun 1987 dan menurun lagi sampai sekitar 2.496.185 pada tahun 1993 ( Dahuri, dkk, 2001) seperti terlihat pada gambar 1 berikut ini.

Penurunan luasan mangrove nyaris merata terjadi di seluruh daerah pesisir Indonesia. Penyebab dari penurunan luasan mangrove tersebut ialah alasannya adalah adanya peningkatan aktivitas yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan ikan mirip pembukaan tambak, pengembangan tempat industri dan pemukiman di tempat pesisir serta eksploitasi (penebangan) hutan mangrove secara besar-besaran.

Nasib yang serupa juga terjadi pada ekosistem terumbu karang.  Berdasarkan Walters (1994) luas terumbu karang Indonesia lebih kurang 60.000 km2.  Sedangkan menurut Tomascik, dkk (1997) menyebutkan 85.707 km2 yang tersebar luas di perairan Indonesia.  

Kondisi terumbu karang di Indonesia telah banyak yang rusak.  Berdasarkan hasil observasi Coral Reef Rehabilition and Management Project (COREMAP) dari luasan seluruhnya hanya tinggal 6,48% kondisinya masih baik, 22,53% baik, dan 28,39% rusak serta 42,59% rusak berat (Gambar 2).  

Dari kondisi terumbu karang tersebut, ternyata terumbu karang di tempat barat indonesia memiliki keadaan yang lebih buruk ketimbang terumbu karang di kawasan tengah dan timur Indonesia.

Pada lazimnya , kerusakan terumbu karang disebabkan oleh acara-acara perikanan yang bersifat desktruktif, ialah penggunaan bahan-bahan peledak, materi beracun (cyanida), dan juga acara penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, aktivitas pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan sedimentasi balasan meningkatnya erosi dan lahan atas.  

b.    Pencemaran dan Sedimentasi

Dari sekian banyak penyebab kerusakan lingkungan bahari dan pesisir, pencemaran merupakan faktor yang paling penting.  

Hal ini disebabkan alasannya adalah pencemaran tidak saja dapat merusak atau mematikan komponen biotik (hayati) perairan, tetapi mampu pula membahayakan kesehatan atau bahkan mematikan manusia yang mempergunakan biota atau perairan yang tercemar.  Selain itu pencemaran juga dapat menurunkan nilai estetika perairan laut dan pesisir yang terkena pencemaran.

Tingkat pencemaran di beberapa daerah pesisir dan lautan di Indonesia pada dikala ini sudah berada pada keadaan yang sungguh memperhatinkan.  

Tingkat beban pencemaran (pollution load) di Indonesia dapat dibagi atas tigga klasifikasi, yaitu tingkat pencemaran tinggi, tingkat pencemaran sedang, dan tingkat pencemaran rendah.  Kawasan yang tergolong kategori tingkat pencamaran yang tinggi ialah Propinsi Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.  

Kawasan dengan kategori tingkat pencemaran sedang ialah Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, DI Aceh, Sumatera Barat, Jambi, DI Yogyakarta, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Maluku.  

Sedangkan kawasan dengan tingkat pencemaran rendah ialah Propinsi Irian Jaya, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, dan Nusatenggara Timur.

Sumber utama pencemaran pesisir dan lautan berisikan tiga jenis aktivitas, ialah aktivitas industri, aktivitas rumah tangga, dan acara pertanian.  

Sementara itu materi utama yang terkandung dalam buangan limbah dan ketiga sumber tersebut berbentuksedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah.  

Jika dianalisis secara mendalam, mampu disimpulkan bahwa tempat-daerah yang termasuk kategori tingkat pencemaran yang tinggi merupakan kawasan-kawasan pesisir yang padat penduduk, tempat industri dan juga pertanian.  

Perairan Indonesia ialah jalur angkutanyang strategis yang menghubungkan negara-negara dari benua Asia maupun Eropa yang mau menuju ke Asia Tenggara maupun Australia ataupun sebaliknya, serta terletak diantara negara-negara produsen minyak dibagian barat dan negara-negara  konsumen di bab Timur.

Indahnya Raja Ampat
Dari seluruh perairan Indonesia, daerah yang rentan kepada pencemaran yang dikaibatkan oleh tumpahan minyak yakni Selat Malaka, Selat Makasar, Pelabuhan, dan jalur-jalur maritim atau selat yang dilalui oleh tangker.  

Posisi strategis tersebut disamping memberikan manfaat secara ekonomi, dilain pihak juga mengandung resiko kepada bahaya kerugian dari segi ekologis.  Kerugian secara ekologis tersebut berpengaruh cukup luas baik secara ekonomis maupun kerusakan sumberdaya alam.   

          Sementara itu, laju sedimentasi yang masuk ke perairan pesisir juga terus meingkat.  Laju sedimentasi yang cukup tinggi terutama terjadi di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.  Bebearapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang sangat besar, akibat tingginya laju sedimentasi.  

Sebagai teladan laju sedimentasi di Sungai Citandui sebesar 5 juta m3 per tahun, Sungai Cikonde sebesar 770 ribu m3 per tahun.  Setiap tahun sekitar 1 juta m3 endapan dari kedua sungai tersebut diendapkan di Segera Anakan (ECI, 1995).  

Penyebab dari tingginya laju sedimentasi ini yakni karena metode pengelolaan kegiatan di lahan atas tidak dilakukan dengan benar, seperti HPH, pertanian, dan lain-lain yang condong mengabaikan pembangunan yang berwawasan lingkungan, khusunya azas konservasi tanah.

c.     Over Eksploitasi Sumberdaya Hayati Laut

Banyak sumberdaya alam di kawasan pesisir dan bahari sudah mengalami overeksploitasi. Sebagai acuan ialah sumberdaya perikanan maritim, meskipun secara agregat (nasional) sumberdaya perikanan maritim gres dimanfaatkan sekitar 58% dari total peluanglestarinya (MSY), (Aziz, et al, 1997), namun dibeberapa kawasan (perairan), beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami keadaan tangkap lebih (overfishing).

Kondisi overfishing ini bukan cuma disebabkan oleh tingkat penangkapan yang melebihi potensi sumberdaya perikanan, namun juga disebabkan alasannya kualitas lingkungan laut sebagai habitat hidup ikan mengalami penurunan atau kerusakan oleh pencemaran dan degradasi hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang yang ialah tempat pemijahan, asuhan, dan mencari makan bagi sebgian besar biota laut tropis.