Abu Dzaar al-Ghifari Nama aslinya yakni Jundab bin Junadah dinisbatkan pada kakeknya Junadah yg berasal dr Ghifar, ia seorang Kinani. Abu Dzarr orang yg jago ibadah sebelum diutusnya Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ia yakni sahabat kelima yg lebih dulu masuk Islam, Ia baru bisa Hijrah sesudah perang Khandaq.
Abu Dzar seorang yg zuhud tak pernah menyimpan masakan untuk hari esok. Namun dimasa pemerintahan Utsman, ia mengajak orang orang untuk mendirikan semacam baitul mal, hal ini didorong rasa kemanusiaan namun Utsman bin Affan tak terpesona akan gagasan itu & selanjutnya ia mengasingkan ke Rabadzah & menetap disitu sampai wafatnya. Pada saat wafatnya yg kebetulan Ibnu Mas’ud lewat ke Rabadzah & menshalatkannya jenazahnya.
Abu Dzaar meriwayatkan hadits dr Umar, Ibnu abbas, Ibnu Umar & lainnya. Yang diriwayatkan darinya antara lain Al-Hanaf bin Qais, Abdurahman bin Ghanam & Atha’.
Sanad paling shahih yng berpangkal daripadanya merupakan yg diriwayatkan dr penduduk syam dr jalur Sa’id bin Abdil Aziz, dar Rabi’ah bin Yazid, dr Abu Idris al-Khaulani, dr Abu Dzarr.
Abu Dzarr meriwayatkan hadits sebanyak 281 hadits.
Beliau ini adalah seorang sobat yg masuk Islam dr semenjak dini. Semasa Jahiliah dia ini telah melarang minum khamar & beliau tak pernah ikut menyembah berhala oleh alasannya itu ia terkenal orang takwa. ia selalu mengajak fakir miskin semoga integrasi dgn orang kaya. Beliau ini mengikuti penaklukan Baitul maqdis bareng khalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah bersabda perihal beliau “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya pada Abu Zar, yg hidup menyendiri, mati menyendiri & akan dibangkitkan sendiri pula”.
Meski tak sepopuler sobat-teman besar mirip Abu Bakar, Umar, Utsman, & Ali, tetapi sosoknya tak mampu dilepaskan selaku tokoh yg paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dlm hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya siapa saja yg condong memupuk harta untuk kepentingan eksklusif, tergolong sahabat-sahabatnya sendiri.
Di masa Khalifah Utsman, usulan kerasnya tentang tanda-tanda nepotisme (KKN) & penumpukan harta yg terjadi di golongan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan pada pemerintahan Muawiyah yg menjadi gubernur Syiria. Baginya, yaitu keharusan setiap muslim sejati menyalurkan keunggulan hartanya pada kerabat-saudaranya yg miskin.
Kepada Muawiyah yg membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, Abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dgn duit negara, mempunyai arti Anda telah menyalahgunakan duit negara. Kalau Anda membangunnya dgn duit Anda sendiri mempunyai arti Anda sudah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.
Dukungannya pada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya pada kaum miskin, bukan hanya dlm ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan pada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ & zuhud senantiasa jadi sikap hidupnya. Sikapnya inilah yg disanjung Rasulullah . ,Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. ia tak akan berubah meskipun gue meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga final hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dlm kesederhanaan & sungguh shaleh.
Abu Dzar terlahir dgn nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yg mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yg melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk menemukan harta dgn cara mudah. Hidupnya sarat dgn kejahatan & kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur jual beli Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.
Namun begitu, hati kecil Abu Dzar bahwasanya tak mendapatkannya. Pergolakan batin menjadikannya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan & kekayaan yg dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu mengakibatkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu & kerabat laki-lakinya, Anis, & menetap di kediaman pamannya.
Di daerah ini pun ia tak usang. Ide-idenya yg revolusioner berkait dgn sikap hidup tak mengabaikan sesama & mendistribusikan sebagian harta yg dimiliki, menjadikan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan pada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung akrab Mekkah. Di kawasan inilah ia mendapat kabar dr Anis, perihal kehadiran Rasulullah dgn pedoman Islam.
Abu Dzar secepatnya menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yg sejalan dgn sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa tidak yakin, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, dikala siapa saja masih merahasiakan karena khawatir akan jadinya. Tentu saja pernyataan ini menjadikan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli & nyaris saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tak melerai & mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar yakni warga Ghiffar yg akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.
Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yg diembankan Rasul di pundaknya yaitu mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu & saudaranya, namun nyaris seluruh kaumnya yg suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yg menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan pula pada mereka. Namun, tak semua menggemari tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dr kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.
Suatu kali pernah Muawiyah yg kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengontrol perdebatan antara Abu Dzar dgn para andal ihwal sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar mengizinkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, perjuangan itu tak menggoyahkan kesabaran pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan pada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera mengundang Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah.
Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah & tinggal di Rabza, suatu kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.
Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yg menguburkan teman Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yg menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti & menshalati mayit dgn imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam ternama masa itu.
Ia wafat pada tahun 32 H.