BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembaharuan dalam islam dikenal juga dengan modernisasi islam, yang mempunyai tujuan untuk menyesuaikan aliran yang terdapat dalam agama dengan ilmu wawasan dan Falsafah modern, tetapi perlu dikenang bahwa dalam islam ada pemikiran yang tidak bersifat mutlak, ialah penafsiran atau interpretasi dari pemikiran-pemikiran yang bersifat abadi dari kurun ke kala. Dengan kata lain pembaharuan mengenai anutan-fatwa yang bersifat mutlak tak mampu diadakan alasannya adalah sudah tidak mampu lagi diganggu gugat seperti pada hukum- aturan yang tercantum dalam Al-Qur’an. Pembaharuan mampu dikerjakan dengan meninjau kembali beberapa aspek yang memang memerlukan untuk diperbaharui seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern sehingga mampu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari seperti sekarang ini.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh sebuah proses yang panjang. Sejak permulaan kala ke-2 H (8M). Islam dalam kemajuan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan ajaran antara Islam dengan pedoman aneh. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membicarakan aqidah Islam dari berbagai sisi. Termasuk mengemukakan alasan untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi sehabis shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf sudah membahas lebih jauh ihwal dzat Allah dengan memakai metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menimbulkan akal selaku dasar aliran untuk membicarakan segala hal wacana akidah.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan anutan filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang bantu-membantu. Hal ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke badan umat Islam. Mereka merekayasa anutan dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru menyebabkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi semenjak kurun ke-7 H, menyebabkan Islam makin mengalami kemerosotan.
Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang abnormal. Tsaqofah Islam makin melemah. Upaya-upaya pembaruan kian merebak. Para pembaru menatap perlunya menangani duduk perkara dengan melakukan interpretasi aturan-hukum Islam semoga sesuai dengan keadaan yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum jelas sesuai dengan persepsi tersebut. Bahkan mereka menciptakan kaedah lazim yang tidak menurut perspektif wahyu (Al-Alquran dan Hadits).Maka dari itu penulis mengambil judul perihal tokoh-tokoh pembaharuan dalam islam
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian pembaharuan dalam Islam?
2. Bagaimana Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami rancangan pembaharuan dalam Islam.
2. Memahami Pemikiran Tokoh-tokoh Pembaharu dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Pembaharuan Islam ialah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan kemajuan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1] Dalam bahasa arab Pembaharuan Islam disebut Tajdidsecara harfiah tajdid berarti pembaharuan dan pelakunya disebut Mujaddid. Dengan demikian pembaharuan dalam Islam bukan mempunyai arti mengganti, meminimalisir atau menambahi teks Al-Alquran maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya.
Sesuai dengan perkembangannya zaman, hal ini dijalankan sebab betapapun hebatnya paham-paham yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya dan senantiasa dipengaruhi oleh kecenderungan, pengetahuan, situasional, dan sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di abad kini mungkin masih banyak yang berhubungan dan masih mampu dipakai, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak cocok lagi. Kata tajdid sendiri secara bahasa mempunyai arti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang sebaiknya”.
Dalam bahasa Arab, sesuatu dibilang “jadid” (baru), kalau bab-bagiannya masih akrab menyatu dan masih terang. Maka upaya tajdid sebaiknya ialah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih terperinci, Thahir ibn ‘Ansyur mengatakan, Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan insan di dunia. Baik dari sisi ajaran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari segi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari segi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa[2]
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
” Sesungguhnya Allah akan mewakilkan (mendatangkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang hendak memperbaharui (problem) agama mereka pada setiap final seratus tahun” (HR. Daud)
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini pasti bukanlah mengganti atau mengganti agama, akan tetapi mirip diterangkan oleh Abbas Husni Muhammad tujuannya adalah mengembalikannya mirip sediakala dan memurnikannya dari banyak sekali kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman.
Tema “mengembalikan agama mirip sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, namun maknanya ialah menawarkan tanggapan terhadap kala kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala sehabis ia dimurnikan dari kebatilan yang disertakan oleh tangan jahat insan ke dalamnya. Itulah sebabnya, di ketika yang sama, upaya tajdidsecara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (duduk perkara-dilema baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan tata cara yang menyelisihi ijma’ ulama Islam[3]. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, mampu disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama sehabis perjalanannya berabad-kala lamanya dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya pastinya yakni kembali terhadap bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap masalah baru yang muncul dan berlainan dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus dikenang, bahwa “menunjukkan tanggapan” sama sekali tidak identik dengan mengijinkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam memiliki tanggapan terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita mampu memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu meliputi seluruh bagian fatwa Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid mampu saja dilakukan terhadap aqidah, bila aqidah umat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.
Pembaruan Islam mampu pula memiliki arti mengubah kondisi umat agar mengikuti anutan yang terdapat didalam Al Alquran dan Al-Sunnah. Diperlukan alasannya adalah terjadi kesenjangan antara yang diharapkan Al Quran dengan kenyataan di penduduk . Al Alquran contohnya mendorong umatnya semoga menguasai wawasan agama dan pengetahuan modern serta teknologi secara sepadan: hidup bersatu, rukun dan tenang yang bersifat dinamis, inovatif, kreatif, demokratis, terbuka, menghargai pertimbangan orang lain, menghargai waktu dan menggemari kebersihan.[4]
Pembaharuan dalam Islam telah banyak mengemukakan ilham pembaruan dalam Islam dengan maksud seperti diungkapkan diatas, Muhammad Abduh dengan cara menetralisir bid’ah yang terdapat dalam fatwa Islam kembali terhadap ajaran Islam yang sebetulnya dibuka kembali ke pintu ijtihad. Sementara itu, Sayyid Ahmad Khan bahwa untuk meraih perkembangan perlu meninggalkan paham qadariah , perlu percaya bahwa aturan alam dengan wahyu yang ada dalam Al Quran tidak berlawanan.
B. Tokoh Pembaharuan Dalam Islam daerah Timur
1. Jamaluddin Al-Afghani
a. Biografi
Jamaluddin Al-Afghani lahir di As’adabad, bersahabat Kanar di Distrik Kabul, Afghanistas tahun 1839 dan meninggal di Istambul tahun 1897.[5] Tetapi penelitian para sarjana menunjukkan bahawa ia bergotong-royong lahir di kota yang bernama sama (As’adabad) namun bukan di Afghanistan, melainkan di Iran. Ini menjadikan banyak orang, utamanya mereka di Iran lebih suka menyebut pemikir pejuang muslim modernis itu Al-As’adabi, bukan Al-Afghani, walaupun dunia sudah terlanjur mengenalnya sebagaimana dikehendaki oleh yang bersangkutan sendiri, dengan istilah Al-Afghani.[6]Ia mempunyai pertalian darah dengan Husein bin Ali lewat Ali At-Tirmizi,hebat hadis populer. Keluarganya mengikuti mazhab Hanafi. Ia adalah seorang pembaharu yang besar lengan berkuasa di Mesir. Ia menguasai bahasa-bahasa Afghan, Turki, Persia, Perancis dan Rusia.
b. Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Menurut Afgany, ilmu wawasan yang dapat menundukkan suatu bangsa, dan ilmu pula bahu-membahu yang berkuasa di dunia ini yang kadangkala berpusat di Timur ataupun di Barat. Ilmu juga yang berbagi pertanian, industri, dan perdagangan, yang menyebabkan penumpukan kekayaan dan harta. Tetapi filsafat menurutnya ialah ilmu yang laping teratas kedudukannya di antara ilmu-ilmu yang lain.[7]
Selain itu ia juga dikenal sebagai pejuang prinsip egaliter yang universal. Salah satu gagasannya yaitu persamaan insan antara pria dan perempuan. Menurutnya keduanya mempunyai logika untuk berpikir, maka tidak ada tantangan bagi wanita bekerja di luar kalau suasana menghendaki.[8]
Ini membuktikan bahwa pendidikan bagi beliau menerima prioritas utama biar umat Islam bisa berdiri dari keterpurukan menuju kemajuan. Dalam hal menuntut ilmu tidak dibatasi terhadap pria saja melainkan wanita pun harus ikut andil dalam bidang pendidikan tersebut.
2. Tahtawi
a. Biografi
Al-Tahtawi memiliki nama lengkap Rifa’ah Badawi Rafi’ al-Tahtawi, ia merupakan pembawa anutan pembaharuan yang besar pengaruhnya di pertengahan pertama dari periode ke-19. Ia lahir di Tahta pada tahun 1801, Tahta ialah kota yang berada di bab selatan mesir dan wafat pada tahun 1873 di kairo. Ketika Muhammad Ali mengambil alih kekayaan di Mesir, harta orang tua al-Tahtawi tergolong dalam kekayaan yang dikuasai itu dan beliau terpaksa menempuh pendidikan periode kecilnya oleh tunjangan dari keluarga ibunya. Ketika berumur 16 tahun al-Tahtawi memutukan untuk melanjutkan studinya ke al-Azhar dan pada tahun 1822 ia menyelesaikan studinya.
Al-Tahtawi merupak murid kesayangan dari gurunya Syaikh Hasan al-Attar yang banyak memiliki relasi dengan Napoleon saat beliau tiba ke mesir. Gurunya al-Tahtawi ini sering mengadakan kunungan terhadap andal-mahir dari Prancis tersebut untuk mengetahui kemajuan ilmu wawasan mereka. Dan mereka pun mendapatkan kunjungan itu dengan senang hatu alasannya adalah mereka bisa mencar ilmu bahasa arab dari gurunya al-Tahtawi.
b. Pemikiran
Di antara usulan baru yang dikemukakannya ialah ilham pendidikan yang universal. Sasaran pendidikannya khususnya ditujukan terhadap pemberian potensi yang sama antara pria dan perempuan di tengah masyarakat. Menurutnya, perbaikan pendidikan hendaknya dimulai dengan menawarkan peluang belajar yang serupa antara laki-laki dan perempuan, sebab wanita itu memegang posisi yang memilih dalam pendidikan. Wanita yang terdidik akan menjadi isteri dan ibu rumah tangga yang berhasil. Mereka yang diperlukan melahirkan putra-putri yang pintar.[9]
Bagi al-Tahtawi, pendidikan itu semestinya dibagi dalam tiga tahapan. Tahap I yaitu pendidikan dasar, diberikan secara biasa terhadap belum dewasa dengan materi pelajaran dasar tulis baca, berhitung, al-Qur’an, agama, dan matematika. Tahap II, pendidikan menengah, materinya berkisar pada ilmu sastra, ilmu alam, biologi, bahasa ajaib, dan ilmu-ilmu keahlian. Tahap III, yaitu pendidikan tinggi yang tugas utamanya yakni menyiapkan tenaga jago dalam berbagai disiplin ilmu.[10]
Dalam proses belajar mengajar, al-Tahtawi menganjurkan terjalinnya cinta dan kasih sayang antara guru dan murid, laksana ayah dan anaknya. Pendidik hendaknya memiliki ketekunan dan kasih sayang dalam proses belajar mengajar. Ia tidak menyepakati penggunaan kekerasan, pemukulan, dan semacamnya, sebab menghancurkan kemajuan anak didik.[11]
Dengan demikian, dimengerti bahwa al-Tahtawi sungguh mengamati sistem mengajar dengan pendekatan psikologi berguru.
3. Muhammad Abduh
a. Biografi
Syekh Muhamad Abduh berjulukan lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1850 M/1266 H, berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya dan bukan pula keturunan bangsawan.
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Namun demikian, ayahnya diketahui selaku orang terhormat yang suka memberi pemberian. Semua saudaranya membantu ayahnya mengurus usaha pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya diperintahkan untuk menimba ilmu wawasan. Pilihan ini mampu jadi cuma suatu kebetulan atau mungkin juga alasannya adalah ia sangat dicintai oleh ayah dan ibunya. Hal tersebut terbukti dengan sikap ibunya yang tidak tabah ketika ditinggal oleh Muhammad Abduh ke desa lain, baru dua ahad sejak kepergiannya, ibunya telah datang menjenguk. Beliau dikawinkan dalam usia yang sungguh muda ialah pada tahun 1865, saat beliau baru berusia 16 tahun.
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dari Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 Km. dari Kairo) untuk mempelajari tajwid Al-Qur’an. Setelah dua tahun berjalan di sana, pada tahun 1864 dia menetapkan untuk kembali ke desanya dan bertani mirip saudara-kerabat dan kerabatnya. Waktu kembali ke desa inilah ia dikawinkan.
b. Pemikiran
Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk menyelenggarakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis. Gagasannya yang paling fundamental dalam metode pendidikan adalah bahwa beliau sungguh menentang metode dualisme. Menurutnya, dalam forum-lembaga pendidikan umum mesti diajarkan agama. Sebaliknya, dalam forum-lembaga pendidikan agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern.
Usaha yang dilakukan oleh Abduh dalam merealisasikan ide pembaharuannya adalah lewat Universitas al-Azhar. Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan diubahsuaikan dengan kebutuhan dikala itu. Ilmu-ilmu filsafat dan nalar yang sebelumnya tidak diajarkan, dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di al-Azhar.[12]Dengan memasukkan ilmu wawasan modern ke forum-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan andal modern, dan dibutuhkan kedua kalangan ini bersatu dalam menuntaskan problem-persoalan yang timbul di zaman terbaru.
4. Rasyid Redha
a. Biografi
Nama lengkap Muhammad Rasyid Rida yakni al-Sayyid Muhammad Rasyid Rida ibn Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baharuddin ibn al-Sayyid Munla Ali Khalifah al-Baghdadi.[13] dia dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 Km dari Tripoli, Libanon, pada bulan Jumadil ‘Ula 1282 H (1864 M). Dia yakni seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan pribadi dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw.[14]
Pada tahun 1898 M. Muhammad Rasyid Rida hijrah ke Mesir untuk menyebarluaskan pembaharuan di Mesir. Dua tahun lalu ia mempublikasikan majalah yang diberi nama “al-Manar” untuk menyebar luaskan pandangan baru-idenya dalam usaha pembaharuan.
b. Pemikiran
Dalam bidang pendidikan, Rasyid Ridha menatap bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Oleh sebab itu, peradaban Barat terbaru mesti dipelajari oleh umat Islam. Hal ini berhubungan dengan pertimbangan gurunya (Muhammad Abduh) bahwa ilmu wawasan yang meningkat di Barat wajib dipelajari umat Islam untuk pertumbuhan mereka.[15]Beliau juga beropini bahwa mengambil ilmu wawasan Barat terbaru bahu-membahu mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.[16]
Usaha yang dikerjakan di bidang pendidikan ialah membangun sekolah misi Islam dengan tujuan utama untuk mencetak kader-kader Muballig yang tangguh, sebagai imbangan terhadap sekolah misionaris Nasrani. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1912 di Kairo dengan nama Madrasah al-Dakwah wa al-Irsyad.[17]
Dalam lembaga tersebut Ridha memadukan antara kurikulum Barat dan kurikulum yang umum diberikan madrasah tradisional.
5. Qasim Amin
a. Biografi
Qasim Amin di lahirkan di kota Cairo paada tahun 1863, dari seorang ayah Muhammad Beik Amin yang berdarah Turki dan Ibundanya berdarah Mesir Kelahiran Sha’id. Keluarga Muhammad Beik berasal dari keluarga penguasa negara dan tergolong kaya.
Muhammad Beik juga ialah sosok pratisi yang termasuk ilmuan dan kaya dengan pengalaman praktis, utamanya dari pengalaman selaku pegawai tinggi Turki, Beliau juga turut berperan dalam karir Amin. Karena sang ayah tidak rela bila anaknya hanya sekedar mempunyai kesanggupan teoritis.
Cara Beliau merealisasikan kepeduliannya adalah dengan cara menjalin hubungan yang baik dengan Mustafa Fahmi. Yaitu dengan cara, menitipkan putranya untuk dilatih secara praktis di kantor pengacara tersebut.
Qasim Amin adalah sosok intelektual Mesir yang memiliki basis pendidikan dan pergaulan yang luas, perjalanannya pun mulai dari Dunia Arab khas Timur Tengah sampai dunia Eropa dan Amerika yang metropolis. Qasim Amin bisa diandaikan selaku “ikon” yang begitu getol memperjuangkan terciptanya peradaban baru islam yang berbingkai keadilan, kesetaraan dan kemuliaan bagi pria dan perempuan sekaligus.
b. Pemikiran
Usaha Amin mempekerjakan dan mengangkat martabat wanita, di mata Amin, adalah usaha untuk menegakkan apa yang di pandangnya selaku prinsip ideal Islam vis avis realitas sosial perempuan Mesir, dan juga demi sebuah perkembangan bangsa.
Gagasan ini muncul sebagai refleksi dan wujud kepedulisn intelektual Amin kepada realitas wanita Mesir. Ia juga melihat perempuan di Mesir telah dipinggirkan dalam relasi pria. Ide emansipasi wanita yang dicetuskan oleh Qasim Amin muncul alasannya sentakan tulisan wanita prancis Duc. D’ Haorcourt yang mengkritik struktur sosial penduduk Mesir, terutama kondisi perempuan di sana.[18]
Qasim Amin begitu menaruh impian kepada kaum wanita untuk dapat menempuh pendidikan. Karena terdapat hubungan yang faktual antara pendidikan perempuan dengan perkembangan perempuan. Pendidikan untuk wanita di yakini sebagai salah satu cara untuk melepaskan kaum wanita Mesir dari perlakuan diskriminatif.
6. Thaha Husein
a. Biografi
Thaha Husein dilahirkan tahun 1889 M. di Izbat al-Kilu. Ketika berumur dua tahun telah terkena penyakit optualmia (kebutaan), penyakit yang umum menyerang bawah umur saat itu, namun penyakit tersebut tidak menghalanginya belajar. Ia belajar al-Alquran dan mampu menghafalnya pada usia sembilan tahun.
Pada tahun 1902, beliau dikirim orang tuanya untuk berguru di al-Azhar dengan keinginan supaya kelak Thaha Husein menjadi alim Azhar, memberi palajaran agama dalam halaqah yang besar.
Akan tetapi Thaha Husein keluar dari al-Azhar, beliau kecewa dengan metode pengejarannya yang sempit dan tidak meningkat serta bahan pelajarannya amat tradisonal dan menjemukan. Pada tahun 1905, ia mendalami pemikiran Muhammad Abduh, salah satu yang amat mencolokdari keterpengaruhannya ialah sikapnya yang menentang praktek tawassul di desanya sehingga dicap sebagai seorang yang tersesat dan menyesatkan.
Pada tahun 1908 serentak dengan dibukanya Universitas Kairo, Thaha Husein mendaftarkan diri, di sinilah ia berkenalan dengan sederatan orientalis semisal Iguazio Buidi, Enno Litman, Santillana, Nallino dan Masignon. Pada tanggal 5 Mei 1914 Thaha Husein menjaga disertasinya yang berjudul Dzikra Abi al-‘Ala dan sukses yudisium jayyid jiddan pada tahun itu juga Thaha Husein diantarke Perancis untuk belajar sejarah.
b. Pemikiran
Untuk meningkatkan intelektual umat Islam, ia melihat bahwa akademi tinggi ialah sarana terbaik mencetak ilmuwan dan tenaga jago yang dibutuhkan melaksanakan pergeseran-pergeseran fundamental yang dapat meningkatkan Mesir yang saat itu masih berada pada keadaan yang memprihatinkan dan terkebelakang dalam aneka macam bidang utamanya pendidikan, di banding dengan Dunia Barat.
Menurut ia, universitas tersebut mencerminkan intelektual, keilmiahan, dan mempunyai metode analisis modern. Kemerdekaan intelektual dan kemerdekaan jiwa menurutnya hanya mampu diperoleh lewat kemerdekaan ilmu dan intelektual.[19]
Untuk menerima kemerdekaan ilmu dan intelektual, maka beliau memastikan biar tata cara pendidikan Mesir harus didasarkan pada tata cara dan tata cara Barat semenjak tingkat menengah hingga ke Perguruan Tinggi, demikian juga metode penelitiannya.[20]
Gagasan Thaha Husain ini memiliki arti penting bagi kemajuan ilmu wawasan di Mesir alasannya mampu melahirkan inovasi-penemuan gres dalam bidang pendidikan dan di sinilah timbul kemampuan berguru efektif dalam mencar ilmu yang sebenarnya.
7. Sultan Mahmud II
Kegagalan Sultan Sanlim III tidak menyulutkan penggantinya Sultan Mahmud II untuk mengadalan pembaharuan. Pada tahun 1826 Sultan Mahmud II membentuk korp tentara baru di luar Jeniseri dan memakai instruktur dari Mesir tidak berasal dari Eropa agar tidak direspon negatif oleh ulama dan segera membubarkan.
Jeniseri serta melarang Tarekat Bektasy, menyelenggarakan peniadaan wajir agung diganti dengan perdana menteri, wajir agung pada dikala itu dipegang oleh syaikh al-Islam, pembaharuan metode hukum yang memberlakukan aturan sekuler di samping aturan syari’ah, peradilan syariah diserahkan kepada syaikh al-Islam sedangkan peradilan sekuler diserahkan kepada Majlich-I Ahkam-I Adliye, dan pembaharuan di bidang pendidikan dengan membentuk sekolah biasa ( Mekteb-I Ma’arif) dan sekolah sastra ( mekteb-i ‘Ulum-u Edebiye).[21]
8. Tanzimat
Sepeninggal Sultan Mahmud II, gerakan pembaharuan dilakukan oleh Abdul Majid (1839-1861) dengan perdana menteri Rasyid Pasya. Periode ini disebut masa Tanzimat yang mengandung arti peraturan dan perundang-ajakan gres. Tokoh-tokoh Tanzimat antara lain: Rasyid Pasya, Mehmed Sadik Rifat Pasya, dan Muhammad Ali Pasya dan Fuad Pasya.
Diantara beberapa peraturan perundang-seruan yang dihasilkan pada kala tanzimat antara lain:[22]
a. Piagam Hatt-I Sherif Gulhane tahun 1839 sebagai dasar pembaharuan di bidang manajemen, perpajakan, aturan, pendidikan, kamu minoritas dan militer yang menimbulkan perang di Crimea akhir penolakan kaum ulama akhir dari reduksi peran ulama.
b. Piagam Hatt-I Humayun ( 1856 M) yang mengakomodir hak-hak minoritas. Piagam ini mendapat reaksi keras dari ulama dan kalangan masyarakatyang berpendidikan Barat yang tergabung dalam Usmani Muda.
9. Sayyid Ahmad Khan
a. Biografi Singkat
Ia lahir di Delhi pada tahun 1817 dan menurut keterangan berasal dari keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad saw melalui Fatimah dan Ali. Ia mendapat pendidikan tradisional dalam pengetahuan agama dan di samping bahasa Arab, dia juga belajar bahasa Persia. Ia orang yang tekun membaca buku dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan. Sewaktu berusia depalan belas tahun beliau masuk bekerja pada Serikat India Timur, lalu beliau melakukan pekerjaan pula sebagai hakim. Tetapi di tahun 1846 ia pulang kembali ke Delhi untuk meneruskan studi.
b. Pemikiran-pedoman Pembaharuan
1) Bidang Politik :
a) Peningkatan perkembangan umat Islam di India mampu diwujudkan bukan melawan penjajah Inggris, tetapi harus bekerja sama dengan Inggris sebagaimana yang dikerjakan umat Hindu.
b) Umat Hindu lebih maju peradabanya dari pada umat Islam karena umat Hindu lebih bahagia bekerja sama dengan Inggris.
c) Inggris maju dalam hal peradabannya karena lebih menguasai ilmu wawasan dan teknologi, oleh karena itu umat Islam mesti berguru Iptek dari penjajah Inggris
d) Memberontak atau melawan Inggris tidak ada artinya bila umat Islam belum bisa melawan.
e) Berusaha meyakinkan pihak Inggris bahwa umat Islam bukan musuh tetapi umat yang cinta hening.
f) Umat Islam adalah satu umat yang tidak mampu membentuk sebuah Negara dengan umat Hindu, oleh alasannya itu umat Islam harus mempunyai Negara sendiri.
2) Bidang agama :
a) Umat Islam mundur dikarenakan faham fatalist (jabbariyah), yaitu paham bahwa nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak mampu merubahnya. Akibat dari paham ini menimbulkan umat Islam tidak mempunyai kemauan keras untuk maju, pasrah tanpa usaha serta lebih bahagia menyerahkan persoalannya terhadap Tuhan. Padahal Tuhan sudah menawarkan logika dan potensi lain yang dianugerahkan kepada manusia untuk mencapai kemjuan-pertumbuhan.
b) Sebenarnya manusia diberikan kebebasan untuk memaksimalkan peran akalnya (free will) dan berbuat sesuatu secara bebas (free act) tetapi tetap dalam koridor tauhid terhadap Allah dan tidak bertentangan dengan hukum Allah.
c) Kebebasan dalam berfikir umat Islam terhenti karena pertimbangan , bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Akibat dari usulan ini umat Islam tidak mempunyai gairah untuk mendapatkan teori-teori baru melalui jalan ijtihad sebagaimana sudah terjadi pada abab II H, di mana umat Islam pernah mencapai kejayaan di semua bidang pengetahuan.
d) Dalam kehidupan ini, Allah telah menentukan aturan alam (nature law) yang sudah ditetapkan sesuai kehendaknya. Hukum itu berupa aturan karena balasan yang berlaku bagi setiap orang /manusia. Dalam menentukan hukum alam ini , insan diberikan keleluasaan untuk memilih (ikhtiyar) antara baik atau buruk, dan antara maju atau mundur.
10. Cak Nur (Nurcholis Madjid)
Cak Nur atau umumdi sebut nurcholis madjid dianggap selaku ikon pembaruan pedoman dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya wacana pluralisme telah menempatkannya selaku intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di ketika Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan bahaya disintegrasi bangsa.
Cak Nur diketahui dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an iman di Indonesia. Menurut Cak Nur, kepercayaan yakni hak primordial setiap insan dan keyakinan meyakini eksistensi Tuhan ialah dogma yang fundamental. Keyakinan tersebut sungguh mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan lainnya, meskipun memeluk agama yang serupa.
Hal ini berdasar terhadap kesanggupan nalar insan yang berlawanan-beda, Cak Nur mendukung konsep keleluasaan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan selaku keleluasaan dalam melaksanakan agama tertentu yang dibarengi dengan tanggung jawab penuh atas apa yang diseleksi. Cak Nur meyakini bahwa insan selaku individu yang paripurna, dikala menghadap Tuhan di kehidupan yang mau tiba akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis.
Manusia akan bertanggung jawab secara eksklusif atas apa yang beliau kerjakan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara percaya dia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, mirip halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan pemikiran -gagasan yang dianggap kontroversial khususnya pemikiran perihal pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap selaku sumber pluralisme dan keterbukaan tentang ajaran Islam khususnya sesudah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan aliran Islam yang moderat.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, mirip halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan pemikiran -gagasan yang dianggap kontroversial khususnya pemikiran perihal pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap selaku sumber pluralisme dan keterbukaan tentang ajaran Islam khususnya sesudah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan aliran Islam yang moderat.
Namun demikian, dia juga berjasa saat bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta hikmah oleh PresidenSoeharto utamanya dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan efek krisis 1997. Atas rekomendasi Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Ide dan Gagasan Cak Nur wacana sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan penduduk Islam Indonesia. Terutama di kelompok masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber pemikiran Islam. Mereka menilai bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial yaitu dikala dia mengungkapkan pemikiran “Islam Yes, Partai Islam No?” yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan semenjak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang serentak sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi pemikiran ini tidak pernah berganti ketika sesudah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama.
11. K.H. Ahmad Dahlan
Muhammad Darwisy (Nama Kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan), Beliau yakni pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah putera keempat dari tujuh bersaudara. Bapaknya berjulukan K.H. Abu Bakar. K.H. Abu Bakar ialah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogjakarta pada era itu. Ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat sebagai penghulu Kasultanan Yogyakarta pada era itu. K.H. Ahmad Dahlan meninggal dunia di Yogyakarta, tanggal 23 Februari 1923. Beliau juga diketahui sebagai seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia ialah anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah beliau tergolong keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang ternama diantara Walisongo, yang ialah pencetus pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Makkah selama lima tahun. Pada abad ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pedoman-fatwa pembaharu dalam Islam, mirip Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, dia berubah nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun.
Pada periode ini, beliau sempat mencar ilmu kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, beliau mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Sepulang dari Makkah, dia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak diketahui dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak adalah Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Beliau dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.[23]
K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan sudah menenteng pembaharuan dan membuka kacamata terbaru Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan permintaan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar penduduk tidak hanya akil membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dibutuhkan akan membuahkan amal tindakan sesuai dengan yang diperlukan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan penduduk sebelumnya cuma mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu iman yang mati.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan anggapan-anggapan pembaruan Kyai Dahlan,secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut ialah rintisan lanjutan dari ”sekolah” (aktivitas Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memperlihatkan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan wawasan biasa di beranda rumahnya. Dalam goresan pena Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, ialah ”Sekolah Muhammadiyah”, ialah sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau mirip kebanyakan acara umat Islam waktu itu, namun bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu lazim.
Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi metode pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak terang antara jenjang dan sistem yang diajarkan karena mengutamakan hafalan dan tidak menyikapi ilmu pengetahuan umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan menunjukkan pelajaran pengetahuan biasa serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, ia pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah lazim. Kiai Dahlan terus membuatkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau sudah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan fatwa pembaruannya. Di antara fatwa utamanya yang populer, ia mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, dia juga memurnikan agama Islam dari percampuran pemikiran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.
Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum perempuan. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga ialah bagian dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum perempuan dalam hidup dan perjuangannya selaku pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk cowok, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para cowok diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, seperti Pramuka sekarang.
Pemikiran-pemikirannya
a. Berkaitan dengan sosial kemasyarakatan yang ada di Jawa terutama, Ahmad Dahlan memperlihatkan 3 desain fatwa, ialah modernisme, tradisionalisme dan jawanisme. Menghadapi modernisme Dahlan menyikapinya dengan mendirikan sekolah-sekolah model Barat. Tradisionalisme disikapi Ahmad Dahlan dengan tata cara tabligh, ialah mengunjungi murid-muridnya untuk melakukan pengajian, ini merupakan perlawanan terhadap pemujaan tokoh dan perlawanan terhadap mistisisme agama yang bertentangan ajaran Islam. Sedangkan dalam menghadapi jawanisme, Ahmad Dahlan menyikapinya dengan sistem positive action yang mengedepankan amar ma’ruf nahi munkar. Dengan sistem ini Ahmad Dahlan menekankan bahwa keberuntungan hidup semata-mata keinginanTuhan yang diperoleh insan melalui shalat, bukan lewat jimat, pengeramatan kuburan, dan tahayul.
b. Pembaharuan Islam dilakukan melalui jadwal perbahan sosial dengan tata cara ijtihad dan tajdidnya. Ahmad Dahlan dalam melakukan proses ijtihad tanpa harus memperhatikan banyak sekali standar yang ketat bagi seorang mujtahid. Hal penting dalam berijtihad adalah berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Hadits.
c. Melakukan perbaikan kehidupan penduduk Jawa agar sesuai dengan pengertian Islam yang benar yakni kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pemurnian pedoman tauhid dan tidak beriman secara taqlid.
12. K.H. Hasyim asy’ari
a. Biografi
K.H. Hasyim Asy’ari nama aslinya yaitu Muhammad Hasyim, lahir di Demak pada tahun 1876 M. Dilihat dari silsilah, mampu dimengerti bahwa M. Hasyim berasal dari keluarga dan keturunan pesantren yang terkenal. Pendidikan ke aneka macam pesantren ditempuh Muhammad Hasyim mulai beranjak usia lima belas tahun, berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa dan Madura. Dikabarkan bahwa dia pernah berguru tolong-menolong dengan K.H. Ahmad Dahlan di Semarang sebagai mitra sekamar.
Muhammad Hasyim selama tujuh tahun berdomisili di Mekkah, di antaranya berguru kepada Syeikh Mahfudz Al-Tarmisi (mahir Hadits) dan Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau. Dari banyak sekali perjalanan mencari ilmu dari pesantren ke pesantren baik Indonesia maupun mancanegara pengetahuannnya pun makin luas. Oleh alasannya itu, dada Muhammad Hasyim sudah dipenuhi ilmu agama, sehingga beliau diberi gelar Kiai.
Muhammad Hasyim mendirikan organisasi yang berjulukan “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 M./ 16 Rajab 1344 H. Berdirinya organisasi NU ini dilatarbelakangi berdirinya “Komite Hijaz” yang mengutus delegasinya ke Mekah untuk mewakili kepentingan-kepentingan tradisional dalam muktamar Alam Islami kedua tahun 1926 yang diselenggarakan di Saudi Arabia. Komite mengurtus delegasi yakni K.H. Bisri Syamsuri dan K.H. R. Asnawi untuk pergi ke tanah Hijaz, tetapi kemudian gagal dilakukan sebab keduanya ketinggalan kapal. Sebagai gantinya Komite Hijaz mengawatkan lewat telegram empat pesan untuk Raja Ibnu Saud, ialah :
1) Meminta Raja Ibnu Saud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermazhab empat;
2) Memohon tetap diresmikannya tempat-daerah bersejarah yang sudah diwakafkan untuk masjid, seperti kelahiran Siti Fatimah dan Khoizyran;
3) Memohon semoga disebarkan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum hadirnya bulan haji perihal hal ihwal haji, seperti ongkos haji dan syeikh haji;
4) Memohon semua aturan yang berlaku di Hijaz ditulis selaku Undang-Undang, agar tidak terjadi pelanggaran hanya sebab belum tertulis.
b. Pemikiran-pemikirannya
1) Berusaha melestarikan aliran Islam berhaluan Ahlussunnah wal jamaah yang bermazhab, dalam bidang theologi bermazhab terhadap Abu Hasan Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, dan bidang fiqh (aturan) bermazhab kepada 4 mazhab, yakni Abu Hanifah, Anas bin Malik, Muhammad Idris As Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, dan bidang tasawuf mengikuti tasawuf Imam Ghazali dan bidang tihariqah mengikuti Thariqoh Qadariyah dan Naqsabandiyah.
2) Melestarikan budaya dan akhlak istiadat yang mempunyai kemanfaatan serta yang tidak bertentangan dengan aqidah islamiyah.
3) Ijtihad telah tertutup, dengan argumentasi standar untuk menjadi seorang mujtahid mesti memilki tolok ukur yang cukup berat dan problem hukum sudah cukup betittiba’/taqlid terhadap 4 mazhab
4) Di bidang pendidikan NU banyak mengelola pesantren sebagai basis perjuangan mengusir penjajah di samping sebagai daerah belajar agama.
5) Selain pesantren NU juga mendidrikan madrasah-madrsah, selaku upaya pengembangan kemajuan terhadap system pesantren.
13. Abdul Karim Amrullah
Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.
Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga diketahui selaku Tuanku Kisai, ialah syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir.
Pada tahun 1894, dia diantaroleh ayahnya ke Mekkah untuk berguru dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, ialah Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, diketahui banyak orang selaku ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.[24]
Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.[24]
Pemikirannya tentang bagian pendidikan yang meliputi tujuan pendidikan islam, keharusan kedua orangtua sebagai pendidik pertama dann utama dalam menanamkan nilai adat pada seorang anak, keharusan guru dan tolok ukur guru yang ideal, tata cara pendidikan, memperlihatkan peluang kepada anak asuh untuk berfikir secara kritis dan merdeka, integralitas materi pendidikan islam, serta peranan pemerintah dalam pendidikan.
Dinamika aliran inovatifnya wacana pendidikan Islam mampu terlihat dari upayanya menggeser tata cara pendidikan tradisional yang masih sederhana, terhadap tata cara pendidikan modern yang kompleks dan sistematis. Proses ini ialah perwujudan pemahamannya kepada inklusivitas fatwa Islam yang dinamis. Melalui peahaman tersebut, beliau berusaha mengolaborasi metode pendidikan umat Islam yang lebih adatif dan proposional. Dengan sistematika model pendidikan yang demikian, pelaksanaan pendidikan diperlukan akan mampu mengirimkan peserta ddidik menjawab dinamika zaman secara aktif, tanpa melepaskan diri dari norma-norma pemikiran agamanya.
Wacana pemikirannya ihwal pendidikan dijalankan selaku respon terhadap realitas sosialnya, utamanya kepada praktek pendidikan tradisional yang masih dipertahankan umat Islam waktu itu. Ia menjajal merombak dan sekaligus melaksanakan pembaruan terhadap orientasi pendidikan Ilsam yang selama ini masih rendah dan tertutup (eksklusif). Upaya tersebut dikerjakan melalui pendapatan modern drngan menekankan pada adspek religiusitas. Di sini tampakbagaimana pandangan baru-inspirasi pembaruannya ihwal pendidikan Islam serta informasi dalam upayanya ikut menanggapi situasi sosial yang sedang dihadapi umat Islam. Ia menjajal membangun suatu “Terobosan gres” kultural maupun keagamaan untuk mengembalikan daya gerak psikologis (psychological stricking force)umat Islam yang selama ini terbelenggu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaharuan Islam yaitu upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan kemajuan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu wawasan dan teknologi terbaru. Maka pembaruan Islam bukan mempunyai arti mengganti, meminimalisir atau menyertakan teks Al Quran maupun teks al hadist. Melainkan cuma menyesuaikan paham atas keduanya sesuai dengan kemajuan zaman.
Pembaruan Islam nyaris setiap tokoh memprioritaskan pembaharuan dalam tata cara menimba ilmu dalam hal ini pendidikan. Agar Ummat mengubah kondisi umat supaya mengikuti pemikiran yang terdapat didalam Al Quran dan al-sunnah. Diperlukan sebab terjadi kesenjangan antara yang diharapkan Al Quran dengan realita di masyarakat. Al Quran contohnya mendorong umatnya biar menguasai pengetahuan agama dan wawasan terbaru serta teknologi secara seimbang: hidup bersatu, rukun dan damai yang bersifat dinamis, kreatif, inovatif, demokratis, terbuka.
B. Saran
Penulis menyadari Makalah ini masih belum tepat maka dari itu kami menghendaki Kritik serta saran yang bermanfaat serta membangun biar kelak dikemudian hari penulis mampu menciptakan makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990.
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa, Bandung: Remaja /Rosdakarya.
Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab .Cet. II; Jakarta: Logos, 1999.
Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.
H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Jakarta : Bulan Bintang, 1994.
John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mukhadumar.2013.tokoh pembaharu islam
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi .Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,Jakarta: Djambatan, 1992.
Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan Islam. Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada
[1] Harun Nasution, Pembaharuna dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
[3]Harun Nasution, Pembaharun dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), cet 1, hlm.10
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), cet 20, hlm. 378
[5] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, op cit hal. 130
[6] Eka Yanuarti.Kumpulan Materi Pemikiran Modern Dalam Islam.hal 203
[7] Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab (Cet. II; Jakarta: Logos, 1999), h. 158
[8] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedi Islam Indonesia,( Jakarta: Djambatan, 1992.), h. 300
[9] Tim Penyusun Text Book Sejarah dan Kebudayaan Islam IAIN Alauddin.Sejarah dan Kebudayaan Islam. (Ujungpandang: IAIN Alauddin, 1993.) h, 220
[10] Ibid, h. 221
[11] Ibid, h. 221-222
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, t.th.), h. 181.
[13] A. Athaillah, Aliran Akidah Tafsîr al-Manar, (Banjarmasin: Balai Penelitian IAIN Antasari, 1990), h. 13
[14] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Pengantar Ilmu al-Alquran / Tafsir, (Jakarta : Bulan Bintang, 1994), h. 280.
[15] Harun Nasution, op. cit., h. 151.
[16] Ibid, h. 75
[17] Redaksi Ensiklopedi Islam, Op. Cit., h. 163.
[18] Qasim Amin, Sejarah Penindasan Perempuan, Menggugat Islam Laki-Laki, Menggurat Perempuan Baru, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h. 85-109
[19] Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 99
[20] Ibid
[21] H.M. Yusran Asmuni. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 3
[22] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke kala, Bandung: Remaja Rosdakarya, hal. 283
[23] Anshoriy, Nasruddin. 2010. Matahari Pembaruan; Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher. Hal 45
[24] Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Hal 89