BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra selaku cermin masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap selaku dokumen sosial budaya, walaupun unsur-komponen khayalan tidak bisa dilepaskan begitu saja, karena mustahil seorang pengarang dapat berimajinasi bila tidak ada realita yang melandasinya. Karya sastra juga mampu menjadi media untuk memberikan gagasan atau wangsit-inspirasi penulis. Max Adereth dalam salah satu karangannya membahas litterature engage (sastra yang terlibat) yang memperlihatkan ide perihal keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi (Damono, 2002:15).
Pencetus teori sastra yang pertama kali adalah Georg Lukacs dengan bukunya The Theory of Novel, pertama kali diterbitkan dalam bahasa Jerman pada tahun 1916 yang lalu melahirkan teori sosiologi sastra. Di dalam negeri sendiri yakni Umar Junus yang mengemukakan, bahwa yang menjadi obrolan dalam telaah sosiologi sastra yakni karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Sedangkan berdasarkan Damono, sastra memperlihatkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri yakni suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan meliputi hubungan antar penduduk , antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1)
Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan ‘realita’. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling bau tanah usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) perihal ‘mimesis’ itu baru mulai dikembangkan pada masa 17-18 ialah zaman positivisme ilmiah oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada permulaan masa ke-19 dengan dicanangkannya iktikad Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels. Studi-studi sosiologis terhadap sastra menciptakan persepsi bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan mulut masyarakat dan bab dari sebuah masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik minatpara teoretisi sosiologi sastra untuk menjajal menerangkan acuan dan model relasi resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan memakai sistem-tata cara ilmu niscaya menawan perhatian, tetapi ciri positivistis dalam teorinya mengakibatkan urusan yang rumit perihal hakikat karya sastra sebagai ‘karya fiksi’. Teori-teori Marxisme, yang menatap seni (sastra) sebagai ‘alat usaha politik’ terlalu menekankan faktor pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra. Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan relasi ekonomi sebuah masyarakat. Asumsi epistemologis mereka yakni bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang bahu-membahu dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara terperinci.
Sosiologi sastra ialah salah alat kritis sastra. Sastra sendiri merupakan bab dari penduduk , jadi tidak asing jika dibilang bahwa sastra yaitu produk kebudayaan sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaban insan dikarenakan sastra menceritakan tentang kehidupan dari masyarakat itu sendiri.
Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang selaku aspek terkecil dari masyrakat yang sering menjadi materi sastra, yaitu pantulan korelasi seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan perilaku sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra lahir dari latar belakang dan dorongan dasar insan untuk mengungkapkan keberadaan dirinya. Karya sastra dipersepsikan sebagai ungkapan realitas kehidupan dan konteks penyajiannya disusun secara terencana, mempesona dan disusun lewat refleksi pengalaman dan wawasan sehingga mencerminkan kehidupan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka konsentrasi dilema yang akan di diskusikan pada makalah ini antara lain:
1. Apa itu sosiologi sastra?
2. Bagaimana posisi sosiologi sastra selaku sebuah jenis pendekatan?
3. Bagaimana sejarah pertumbuhan desain sosiologi sastra?
4. Hal-hal apa saja yang tergolong target penelitian sosiologi sastra?
5. Bagaimana korelasi antara sastra dan masyarakat?
C. Tujuan Penulisan
Bertolak dari rumusan persoalan di atas, penulisan makalah ini bermaksud untuk mendeskripsikan:
1. Apa itu sosiologi sastra.
2. Bagaimana posisi sosiologi sastra selaku sebuah jenis pendekatan.
3. Bagaimana sejarah kemajuan desain sosiologi sastra.
4. Hal-hal apa saja yang termasuk target penelitian sosiologi sastra.
5. Bagaimana hubungan antara sastra dan penduduk .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang bermakna bersama, bersatu, mitra, teman, dan logi (logos) bermakna sabda, perkataan, ungkapan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) mempunyai arti mengarahkan, mengajarkan, memberi isyarat dan kode. Akhiran tra mempunyai arti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya mempunyai objek yang sama yakni manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berlawanan bahkan berlawanan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi remaja ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.
Sosiologi sastra yaitu suatu telaah yang objektif dan ilmiah ihwal insan dalam masyarakatdan ihwal sosial dan proses sosial. Sosiologi menelaah ihwal bagaimana penduduk itu tumbuh dan meningkat . Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan duduk perkara-duduk perkara perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain. (Atar Semi: 52).
Pandanga Atar Sami mendeskripsikan kajian sosiologi sastra tidak jauh beda dengan bagian-unsur ekstrinsik karya sastra. Sosiologi sastra ingin mengaitkan penciptaan karya sastra, keberadaan karya sastra, serta peranan karya sastra dengan realitas sosial (Ratna, 2009:164). Lebih jauh Wolf (Faruk dalam Endraswara, 2004:77) menunjukkan defiinisi bahwa sosiologi sastra ialah disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari studi, studi empiris dan aneka macam percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya memiliki masalah dengan hubungan sastra dengan penduduk .
Generalisasi dari aneka macam pendapat perihal sosiologi sastra di atas, sosiologi sastra merupakan telaah kepada suatu karya sastra dalam kaitannya dengan pengaruh sosial-budaya yang ikut mempengaruhi dongeng dalam karya sastra.
Telaah sosiologis itu memiliki tiga penjabaran (Wellek dan Werren dalam Atar Semi: 53) ialah:
- Sosiologi pengarang, ialah yang mempermasalahkan ihwal status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut status pengarang.
- Sosiologi karya sastra, yakni mempermasalahkan tenatang sebuah karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya
- Sosiologi sastra, adalah mempermasalahkan tentang pembaca dan efek sosialnya terhadap masyarakat Pada prinsipnya, menurut Lauren dan Swingewood (Endraswara, 2004:79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra adalah; (1) Penelitian yang memandang karya sastra selaku dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi suasana pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra selaku cermin situasi sosial penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra selaku manifestasi kejadian sejarah dan keadaan sosial budaya.
Berdasarkan uraian di atas mampu ditarik kesimpulan bahwa sosiologi sastra ialah suatu telaaah ilmu yang mencoba mengungkap fenomena masyarakat yang terdapat dalam suatu karya sastra guna memperlihatkan pandangan yang objektif dalam penilaian karya sastra.
B. Sejarah Pertumbuhan Konsep Sosiologi Sastra
Sejarah kemajuan desain sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan metode dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini timbul pengertian bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berusaha meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan penduduk dalam aneka macam dimensinya (Soemanto, 1993).
Konsep dasar sosiologi sastra bekerjsama sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah ‘mimesis’, yang menyinggung relasi antara sastra dan masyarakat sebagai ‘cermin’. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori wacana seni mirip dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari kala ke masa sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15). Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan sebuah inspirasi. Jika seorang tukang membuat sebuah bangku, maka beliau hanya menjiplak dingklik yang terdapat dalam dunia pandangan baru-wangsit. Jiplakan atau copy itu senantiasa tidak mencukupi seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra senantiasa kalah dari dunia ide. Seni pada umumnya cuma menghidangkan sebuah delusi (imajinasi) tentang ‘realita’ (yang juga cuma tiruan dari ‘Kenyataan Yang Sebenarnya’) sehingga tetap jauh dari ‘kebenaran’. Oleh sebab itu lebih berhargalah seorang tukang dibandingkan dengan seniman karena seniman menggandakan jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato adalah seni menggambarkan realita, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menggandakan realita melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru alasannya ‘realita’ itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam menatap realita. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan selaku suatu istilah atau perwujudan mengenai “universalia” (desain-desain umum). Dari realita yang wujudnya berantakan, penyair memilih beberapa bagian kemudian menyusun sebuah citra yang dapat kita ketahui, sebab memperlihatkan kodrat insan dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa rancangan ‘mimesis’ itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berusaha mengbilangkan perdekatan prinsipial antara sastra modern dan sastra antik dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu ialah ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam zamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli aneka macam negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan terhadap zaman selanjutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia yakni seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang selaku peletak dasar bagi sosiologi sastra terbaru. Taine ingin merumuskan suatu pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan memakai metode-tata cara mirip yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) ia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan berdasarkan tiga aspek, yaitu ras, ketika (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengenali fakta ihwal ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat mengetahui iklim rohani sebuah kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut ia aspek-aspek inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi insan dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) yaitu situasi sosial-politik pada sebuah kala tertentu. Lingkungan mencakup kondisi alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine tentang milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pengertian gres yang berlawanan dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma gres yang segar bagi versi kesusastraan Amerika di kala depan. Sambutan yang hangat khususnya tiba dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus sudah menyerang pikiran yang berlaku pada kala itu bahwa karya sastra seperti ialah meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diharapkan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari kelompok yang percaya pada ‘misteri’ (wangsit). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu bergotong-royong dapat diterangkan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kekurangan tertentu, utamanya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu pertumbuhan fatwa intelektual di lalu hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
C. Sosiologi Sastra Sebagai Suatu Jenis Pendekatan
Pengantar Sosiologi sastra selaku sebuah jenis pendekatan terhadap sastra mempunyai paradigma dengan perkiraan dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang sudah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-observasi sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra yakni verbal dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian mempunyai keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan metode dan nilai dalam penduduk tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai sebuah bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi patokan-kriteria keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan hebat sejarah sastra yang utamanya mengamati hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, keadaan ekonomi dalam profesinya, dan versi pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang semenjak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra ialah suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berhubungan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam membuatkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra menurut prinsip otonomi sastra.
D. Sasaran Penelitian Sosiologi Sastra
1. Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan ada keterkaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam penduduk dan kaitannya dengan penduduk pembaca. Dalam bidang pokok ini tergolong juga aspek-aspek sosial yang dapat mensugesti karya sastranya. Oleh alasannya adalah itu, yang terutama diteliti ialah sebagai berikut.
- Bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian; apakah beliau menerima pertolongan dari pengayom atau dari penduduk secara eksklusif atau melakukan pekerjaan rangkap.
- Profesionalisme dalam kepengarangan membahasa sejauh mana sastrawan menganggap pekerjaannya selaku sebuah profesi.
- Masyarakat yang dituju oleh sastrawan. Dalam hal ini, kaitannya antara sastrawan dan penduduk sangat penting alasannya seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat
Sastra selaku cermin penduduk membicarakan sejauh mana sastra dianggap sebagai mencerminkan kondisi masyarakatnya. Kata “cermin” di sini dapat mengakibatkan citra yang kabur, dan oleh risikonya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam korelasi ini, khususnya harus mendapatkan perhatian yakni:
- Sastra mungkin dapat dibilang merefleksikan penduduk pada waktu dia ditulis, alasannya banyak ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu beliau ditulis.
- Sifat “lain dari yang lain” seorang sastrawan sering mempengaruhi penyeleksian dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya.
- Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu golongan tertentu, dan bukan perilaku sosial seluruh masyarakat.
- Sastra yang berupaya memperlihatkan keadaan penduduk yang secermat-cermatnya mungkin saja tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin penduduk . Demikian juga sebaliknya, karya sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara teliti barangkali masih dapat dipercaya selaku bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat. Pandangan sosial sastrawan mesti diamati apabila sastra akan dinilai selaku cermin penduduk (Damono, 1979:4).
3. Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan mirip “sampai berapa jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”, ada tiga hal yang mesti diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menilai bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
3) Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).
Secara epitesmologis mampu dibilang tidak mungkin untuk membangun suatu sosiologi sastra secara general yang mencakup pendekatan yang dikemukakan itu. Dalam penelitian novel “Sang Pemimpi” karya Andrea Hirata ini, konsep sosiologi sastra sendiri menggunakan pendekatan sastra sebagai cermin penduduk . Hal ini dkan dipakai untuk menerangkan sejauh mana pengarang mampu mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.
E. Sastra dan Masyarakat
Karya sastra mendapatkan dampak dari masyarakat dan sekaligus bisa memberi efek terhadapa penduduk (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan selaku cerminan penduduk , namun tidak mempunyai arti masyarakat semuanya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya yaitu citra problem penduduk secara biasa ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan ningrat, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Sastra selaku cerminan kehidupan penduduk , sebenarnya akrab kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota penduduk . Sehingga secara langsung atau tidak eksklusif daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidup. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran bila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Lebih lanjut dibilang bahwa hubungan antara sastra dan penduduk dapat diteliti dengan cara:
- Faktor – aspek di luar teks, tanda-tanda kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan seterusnya. Faktor-aspek konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
- Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi hukum dengan terang, tetapi diteliti dengan tata cara-sistem dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat memanfaatkan hasil sosiologi sastra, khususnya jika ingin meniti pandangan para pembaca.
- Hubungan antara (faktor-faktor) teks sastra dan susunan penduduk sejauh mana sistem penduduk serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sosiologi sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas relasi antara pengarang dengan masyarakat dan hasil berbentukkarya sastra dengan masyarakat. Namun dalam kajian ini cuma dibatasi dalam kajian tentang gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat. Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan kepada sastra memiliki paradigma dengan perkiraan dan implikasi epistemologis yang berlainan dibandingkan dengan yang telah digariskan oleh teori sastra menurut prinsip otonomi sastra. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi patokan-persyaratan keilmuan dalam menanggulangi objek sasarannya.
Sejarah perkembangan rancangan sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang ialah a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan tata cara dan nilai dalam masyarakatnya.
Sasaran penelitian sosiologi sastra terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Konteks sosial pengarang;
2. Sastra sebagai cerminan masyarakat; dan
3. Fungsi sosial.
Karya sastra mendapatkan dampak dari penduduk dan sekaligus bisa memberi imbas kepada penduduk (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dibilang sebagai cerminan masyarakat, namun tidak memiliki arti penduduk semuanya tergambarkan dalam sastra.
B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran para pembaca biar mampu memperbaikinya menjadi lebih sempurna. Kepada para pembaca diperlukan semoga lebih mengamati pentingnya sosiologi sastra khususnya bagi mahasiswa Program Pascasarjana pendidiakan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra. http://bocahsastra.blogspot.com. Diakses, 16 Maret 2012. Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Sugono, Qodratillah dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat). Jakarta: Gramedia.