Makalah Kerajaan Majapahit

BAB I
 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Majapahit adalah suatu kerajaan antik di Indonesia yang berpusat di Jawa Timur yang pernah bangun dari sekitar tahun 1293 sampai 1500 M oleh Raden Wijaya, tepatnya di daerah Trowulan yang sekarang menjadi Mojokerto. Berdirinya Kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan dari Kerajaan Singosari yanng runtuh akibat serangan dari bangsa Mongol. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai daerah yang luas di Nusantara pada abad kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 sampai 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara paling besar dalam sejarah Indonesia. Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terhampar di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), sampai Indonesia timur, meskipun kawasan kekuasaannya masih diperdebatkan.
1.2 Rumusan Masalah
1.Dimanakah letak kerajaan majapahit ?
2.Bagaimana sejarah berdirinya kerajaan majapahit ?
3.Bagaimana kehidupan dalam aneka macam bidang dalam kerajaan majapahit ?
4.Faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan majapahit ?
1.3 Tujuan Masalah
1.Untuk mengetahui dimana letak Kerajaan Majapahit.
2.Untuk mengenali sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit.
3.Untuk mengenali bagaimana kehidupan dalam aneka macam bidang dalam Kerajaan Majapahit.
4.Untuk mengetahui faktor-aspek penyebab runtuhnya Kerajaan Majapahit.
1.4 Metodelogi Penulisan
Untuk mendapatkan data yang diperlukan observasi ini dilakukan dengan cara: observasi kepustakaan (Library Research) observasi dikerjakan dengan cara mempelajari teori dan rancangan yang berkaitan dengan duduk perkara yang diteliti. Hasil observasi ini dijadikan sebagai landasan teori dari penelitian yang dikerjakan.
Pada penyusunan makalah ini data yang diperoleh bersumber dari buku-buku dan internet perihal kerajaan – kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf.
                                                                                         
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Letak Geografis
Secara geografis letak Kerajaan Majapahit sungguh strategis karena adanya di tempat lembah sungai yang luas, yakni Sungai Brantas dan Bengawan Solo, serta anak sungainya yang mampu dilayari hingga ke hulu, dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan Mojokerto, Jawa Timur.
2.2 Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Majapahit
Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas menghadang bab utara, ternyata serangan yang lebih besar justru dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya kembali ke istana, beliau melihat istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar Kertanegara sudah terbunuh bersama pembesar-pembesar yang lain. Akhirnya ia melarikan diri bareng sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu masyarakatdesa Kugagu. Setelah merasa kondusif beliau pergi ke Madura meminta perlindungan dari Arya Wiraraja. Berkat bantuannya ia berhasil menduduki tahta, dengan menghadiahkan daerah tarik kepada Raden Wijaya sebagai kawasan kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara, maka Raden Wijaya memanfaatkan suasana itu untuk melakukan pekerjaan sama menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatwang terbunuh, serdadu Mongol berpesta pora merayakan kemenangannya. Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk berbalik melawan tentar Mongol, sehingga prajurit Mongol terusir dari Jawa dan pulang ke negerinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.
2.3 Berkembangnya Kerajaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit meraih puncak kejayaannya dengan santunan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, bertahun-tahun sehabis ajal Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang, menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, kawasan kekuasaan Majapahit mencakup Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa kawasan-tempat kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh jual beli yang mungkin berupa monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki kekerabatan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Adapun raja-raja yang sempat memerintah di Kerajaan Majapahit antara lain:
1.Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
2.Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
3.Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
4.Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
5.Wikramawardhana (1389 – 1429)
6.Suhita (1429 – 1447)
7.Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
8.Sri Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
9.Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
10.Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
11.Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478)
12.Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
13.Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
2.4 Kehidupan Politik
a. Raden Wijaya (1293-1309 M)
Raden Wijaya memerintah kerajaan Majapahit dari tahun 1293-1309 M. Raden Wijaya sempat memperistri ke empat putri Kertanegara, adalah Tribhuwana, Narendraduhita, prajnaparamita, dan Gayatri. Pada permulaan pemerintahannya terjadi pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-teman seperjuangan Raden Wijaya mirip, Sora, Ranggalawe, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu terjadi sebab rasa tidak puas atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja. Akan tetapi, pemberontakan itu dapat dipadamkan.
b. Raja Jayanegara (1309-1328 M) 
Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang berjulukan Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara (Raja Jayanegara) pada tahun 1309 M. Masa pemerintahan Jayanegara sarat dengan pemberontakan dan juga dikenal selaku sebuah masa yang suram dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Pemberontakan-pemberontakan itu tiba dari Juru Demung (1313 M), Gajah Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).
Pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan nyaris meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke Desa Bedander (tempat ini belum dapat diputuskan dimana letaknya) yang diikuti oleh sejumlah pasukan Bhayangkara (pengawal pribadi raja) dibawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari menetap di Desa Bedander maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk meninjau suasana. Setelah dimengerti keadaan rakyat dan para darah biru istana tidak oke dan bahkan sungguh benci kepada Kuti, Gajah
Mada akibatnya merencanakan sebuah siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan siasat jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawannya dapat dilenyapkan.
Raja Jayanegara mampu kembali lagi ke istana dan menduduki tahta Kerajaan Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka beliau pribadi diangkat menjadi Patih di Kahuripan (1319-1321 M), tidak lama kemudian diangkat menjadi Patih di Kediri (1322-1330 M).
c. Raja Tribhuwanatunggadewi (1328-1350 M)
Raja Jayanegara meninggal tanpa meninggalkan seorang putra mahkota. Tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara yang masih hidup. Namun, alasannya adalah beliau telah menjadi seorang pertapa, tahta kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi.
Pada abad pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M). Nama Sadeng sendiri yaitu nama sebuah tempat yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat dipadamkan oleh Gajah mada dan Adityawarman. Karena jasa dan kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit menggantikan Arya Tadah. Saat upacara peresmian, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang populer dengan nama sumpah Palapa (Tan Amukti Palapa) yang menyatakan bahwa Gajah Mada tidak akan hidup mewah sebelum Nusantara sukses disatukan dibawah panji Kerajaan Majapahit. Sejak dikala itu, Gajah Mada menjadi pejabat pemerintahan tertinggi setelah raja. Ia mempunyai wewenang untuk menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
d. Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M)
Raja Hayam Wuruk yang terlahir dari akad nikah Tribhuwanatunggadewi dengan Cakradara (Kertawardhana) yaitu seorang raja yang mempunyai pandangan luas. Kebijakan politik Hayam Wuruk banyak mempunyai kesamaan dengan politik Gajah Mada, yakni mencita-citakan persatuan Nusantara dibawah panji Kerajaan Majapahit.
Pada periode pemerintahannya, Gajah Mada tetap merupakan salah satu tiang utama kerajaan Majapahit dalam meraih kejayaannya. Bahkan Kerajaan Majapahit mampu disebut sebagai Kerajaan nasional sesudah Kerajaan Sriwijaya.
Selama hidupnya, Patih gajah Mada mengerjakan politik persatuan nusantara. Cita-citanya dilaksanakan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan Peristiwa Sunda yang terjadi tahun 1351 M. Peristiwa itu, berawal dari usaha Raja Hayam Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri baduga beserta putri dan pengikutnya pergi ke Majapahit, dan beristirahat di Lapangan Bubat erat pintu gerbang Majapahit. Selanjutnya, timbul pertikaian paham antara Gajah Mada dan pimpinan laskar pajajaran. Gajah Mada ingin menggunakan potensi ini supaya Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, adalah dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka selaku selir Raja Hayam Wuruk dan bukan selaku permaisuri. Hal ini tidak mampu diterima oleh Pajajaran alasannya dianggap merendahkan derajat.
Akhirnya, pecah pertempuran yang menimbulkan terbunuhnya Sri Baduga dengan putrinya dan seluruh pengikutnya di Lapangan Bubat. Akibat insiden itu politik Gajah Mada menemui kegagalan, karena dengan adanya Peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah Kerajaan Majapahit. Bahkan Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara terpisah dari Majapahit.
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan orang yang sungguh dipercaya dalam memerintah kerajaan. Oleh alasannya itu, Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk menetapkan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak ada satu orangpun yang mampu mengambil alih Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang menteri dibawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berjalan lama, keempat orang menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri, yakni Gajah Enggon dan gajah Manguri. Akhirnya, Hayam Wuruk menetapkan untuk mengangkat Gajah Enggon selaku Patih Mangkubumi menggantikan posisi Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit bertambah suram dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang mahir. Kemunduran Kerajaan Majapahit kian jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah era kejayaan Majapahit.
e. Wikrama Wardhana (1389-1429 M)
Raja Hayam Wuruk digantikan oleh putrinya yang bernama Kusuma Wardhani. Putri ini menikah dengan Wikrama Wardhana. Tetapi Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra (yang lahir dari selir) bernama Wirabhumi. Wirabhumi diberi kekuasaan diujung timur Pulau Jawa, yaitu di tempat Blambangan sekarang.
Pada mulanya antara Wikrama dan Wirabhumi terjalin suatu hubungan yang baik. Tetapi pada tahun 1400 M, Kusuma Wardhani wafat, sementara Wikrama Wardhana mempunyai maksud untuk menjadi bhiksu. Hal ini menimbulkan kekosongan dalam pemerintahan Majapahit. Wirabhumi memenfaatkan peluang ini untuk merebut kekuasaan di majapahit, sehingga menimbulkan Perang Paregreg antara tahun 1401-1406 M. Dalam perang ini Wirabhumi dapat dibunuh. Meskipun Perang Paregreg telah selsai, kondisi Kerajaan Majapahit semakin melemah. Satu persatu tempat kekuasaan melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Seiring dengan itu, muncul kekuassaan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir.
Suatu tradisi verbal yang terkenal di Pulau Jawa menyatakan bahwa Kerajaan Majapahit hancur balasan serangan dari pasukan-pasukan Islam dibawah pimpinan Raden Patah (Demak). Pada waktu itu disebutkan bahwa raja yang memerintah di Majapahit ialah Brawijaya V yang ialah raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, alasannya adalah setelah wafatnya Kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan (sekitar awal periode ke-16 M).
2.5 Kehidupan Ekonomi
Majapahit ialah negara agraris dan juga sebagai negara laut. Kedudukan sebagai negara agraris terlihat dari letaknya di pedalaman dan bersahabat aliran sungai. Kedudukan selaku negara bahari tampak dari kemampuan angkatan maritim kerajaan itu untuk menanamkan pengaruh Mjapahit diseluruh Nusantara. Dengan demikian, kehidupan ekonomi masyarakt Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian dan pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi dua kali dalam setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau, rempah-rempah dll. Buah-buahan banyak jenisnya, antara lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, dan semangka. Sayur mayur berlimpah macamnya. Jenis hewan juga banyak.
Untuk menolong pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan Bendungan Trailokyapur untuk mengari kawasan hilir.
Majapahit mempunyai mata uang sendiri yang berjulukan gobog merupakan duit logam yang yang dibuat dari campuran perak, timah hitam, timaah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang ditengahnya. Dalam transaksi jual beli, selain menggunakan mata duit gobog, penduduk Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari banyak sekali dinasti. Menurut catatan Wang Ta-yuan penjualdari Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada ketika itu yaitu lada, garam, kain, dan burung abang renta. Sedangkan komoditas impornya yakni mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi.
2.6 Kehidupan Sosial
Pola tata penduduk Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan penduduk (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta mirip India, yang lebih diketahui dengan catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat kalangan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula kelompok yang berada diluar lapisan ini, ialah Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan kelompok terbawah dari lapisan penduduk Majapahit.
Brahmana (kaum pendeta) memiliki kwajiban mengerjakan enam dharma, ialah : mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan mendapatkan dukungan (sedekah) untuk meraih kesempurnaan hidup, dan bersatu dengan Brahman (Tuhan). Mereka juga mempunyai imbas didalam pemerintahan, yang berada pada bidang keagamaan dan dikepalai oleh dua orang pendeta dari agama Siwa (Saiwadharmadhyaksa) dan agama Buddha (Buddhadarmadyaksa). Saiwadyaksa mengepalai kawasan suci (pahyangan) dan daerah pemukiman empu (kalagyan). Buddhadarmadyaksa mengepalai kawasan sembahyang (kuti) dan bihara (wihara).  Menteri berhaji mengepalai para ulama (keresyan) dan para pertapa (tapaswi). Semua rohaniawan menghambakan hidupnya kepada raja yang disebut selaku wikuhaji. Para rohaniawan biasanya tinggal disekitar bangunan agama, yaitu: mandala, dharma, sima,wihara, dsb.
Kaum Ksatria ialah keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai peran memerintah tampuk pemerintah. Keluarga raja dapat dikatakaan ialah keturunan dari Kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, sebab mereka melakukan metode poligami secara meluas yang disebut selaku wargahaji atau semua anggota keluarga raja masing-masing diberi nama atas gelar, umur, dan fungsi mereka didalam masyarakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar kepada para putri dan putra raja didasarkan atas nama tempat kerajaan yang akan mereka kuasai selaku wakil raja.
Waisya merupakan masyarakat yang menggeluti bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja selaku pedagang, peminjam duit, penggara sawah, dan beternak.
Kemudian kasta yang paling rendah dalam catur warna adalah kaum sudra yang memiliki kewajiban untuk mengabdi terhadap kasta yang lebih tinggi, utamanya pada kalangan brahmana.
Golongan terbawah yang tidak tergolong dalam catur warna dan sering disebut selaku pancama (warna kelima) adalah:
Candala ialah anak dari perkawinan adonan antara laki-laki (kalangan sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan yang lain: brahmana, ksatria dan waisya).sehingga sang anak memiliki status lebih rendah dari ayahnya
•Mleccha yaitu semua bangsa diluar Arya tanpa menatap bahassa dan warna kulit, ialah para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu.
•Tuccha yakni kalangan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya ialah para penjahat. Ketika mereka dikenali melakukan tatayi, maka raja dapat menjatuhi eksekusi mati terhadap pelakunya. Perbuatan tatayi adalah aben rumah orang, meracuni sesama, mengamuk, menghancurkan, dan memfitnah kehormatan perempuan.
Dari faktor kedudukan dalam masyarakat Majapahit, perempuan mempunyaai status yang lebih rendah dari laki-laki. Hal ini tampakpada keharusan mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam permasalahan apapun, selain mengurusi daapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah dihentikan bercakap-piawai dengan laki-laki lain, dan sebaliknya. Hal ini bermaksud untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum laki-laki dan perempuan.
2.7 Kehidupan Budaya
Nagarakertagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan bagus, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) saat semua delegasi dari semua kawasan taklukan Majapahit tiba ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton tergolong kawasan ibukota dan sekitarnya; kawasan-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta kawasan-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.
Perkembangan budaya di Kerajaan Majapahit mampu dimengerti dari peninggalan-peninggalan berikut;
1. Candi
Candi peninggalan Kerajaan Majapahit antara lain Candi Panataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare, Kediri), Candi Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (Blitar), Candi Tikus (Trowulan), dan bangunan-bangunan purba yang lain, utamanya yang terdapat di daerah Trowulan.
2. Sastra
Hasil sastra zaman Majapahit mampu kita bedakan menjadi, Sastra zaman Majapahit awal, hasil sastra pada zaman ini ialah: Kitab Negarakartagama karangan Mpu Prapanca (1365 M), Kitab Sutasoma dan Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, Kitab Kunjarakarna tidak dimengerti pengarangnya.
Sastra zaman Majapahit tamat, hasil sastra pada zaman Majapahit tamat ditulis dalam bahasa Jawa Tengah, diantaranya ada yang ditulis dalam bentuk tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Hasil sastra paling penting antara lain:
a. Kitab Pararaton, menceritakan riwayat raja-raja Singhasari dan Majapahit
b. Kitab Sundayana, menceritakan Peristiwa Bubat
c. Kitab Sorandaka, mencerikatan Pemberontakan Sora
d. Kitab Ranggalawe, menceritakan pemberontakan Ranggalawe
e. Panjiwijayakrama, menguraikan riwayat Raden Wijaya hingga menjadi raja
f. Kitab Usana Jawa, wacana penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar, pemindahan keraton Majapahit ke Gelgel, dan penumpasan raja raksasa Maya Denawa
g. Kitab Usana Bali, tentang kesemrawutan di Pulau bali balasan keganasan Maya Denawa yang alhasil dibunuh oleh tuhan.
h. Selain kitab-kitab tersebut, masih ada kitab-kitab sastra yang lain seperti Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang, Korawasrama, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra
2.8 Kehidupan Agama
Pada masa kerajaan Majapahit meningkat agama Hindu Syiwa dan Buddha. Kedua umat beragama itu mempunyai toleransi yang besar sehingga tercipta kerukunan umat beragama yang bagus. Raja Hayam Wuruk beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun, mereka mampu melakukan pekerjaan sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa-Buddha. Hal itu ditegaskan lagi dalam Kitab Sutosoma dengan kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya walaupun bervariasi, teta dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua
2.9 Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Kemunduran Majapahit berawal semenjak wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Hayam Wuruk tidak mampu menemukan ganti yang secakap Gajah Mada. Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) diberikan terhadap tiga orang. Setelah Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Majapahit sungguh-sungguh mengalami kemunduran.
Masa sesudah Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan abad kemunduran Kerajaan Majapahit. Beberapa hal yang menjadikan kemunduran Majapahit adalah selaku berikut.
1. Tidak ada tokoh pengganti yang mahir dan berwibawa setelah wafatnya Hayam Wuruk (1389) dan Gajah Mada (1364).
2. Perang Paregreg (1401-1406) antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana sudah melemahkan Majapahit secara keseluruhan.
3. Banyak negeri bawahan Majapahit yang menjajal melepaskan diri.
4. Armada Cina dibawah pimpinan Laksamana Ceng-ho sering menciptakan kekacauan di daerah maritim Majapahit.
5. Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai utara Pulau Jawa telah menghemat derma terhadap Kerajaan Majapahit.
6. Pada final periode ke-14 dan awal periode ke-15, imbas Majapahit di seluruh Nusantara mulai menyusut. Pada ketika berbarengan, suatu kerajaan jual beli gres yang menurut Islam, yakni Kesultanan Malaka.
7. kekuatan Majapahit telah melemah akhir pertentangan dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya periode dianggap sebagai waktu biasa perubahan dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan) sampai tahun 1527. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca selaku 0041, adalah tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini yaitu “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut yakni gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia sudah mengalahkan Kertabhumi dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini menyebabkan perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, sebab penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan eksekusi dari Demak akhir selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi. Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal masa ke-16 kesudahannya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kerajaan Majapahit ialah Kerajaan bercorak Hidhu terakhir terbesar di Pulau jawa. Kerajaan Majapahit didirikan pada tahun 1293 di Hutan Tarik, Mojokerto
Adapun raja-raja yang sempat memerintah di Kerajaan Majapahit antara lain:
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 – 1309)
2. bergelar Sri Jayanagara (1309 – 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 – 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 – 1389)
5. Wikramawardhana (1389 – 1429)
6. Suhita (1429 – 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 – 1451)
8. Sri Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 – 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 – 1466)
10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 – 1468)
11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 – 1478
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 – 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Beberapa hal yang menjadikan kemunduran Majapahit yakni selaku berikut.
1. Tidak ada tokoh pengganti yang piawai dan berwibawa sesudah wafatnya Hayam Wuruk (1389) dan Gajah Mada (1364).
2. Perang Paregreg (1401-1406) antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana telah melemahkan Majapahit secara keseluruhan.
3. Banyak negeri bawahan Majapahit yang menjajal melepaskan diri.
4. Armada Cina dibawah pimpinan Laksamana Ceng-ho sering menciptakan kesemrawutan di kawasan laut Majapahit.
5. Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai utara Pulau Jawa telah meminimalkan perlindungan terhadap Kerajaan Majapahit.
6. Pada final masa ke-14 dan awal era ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada ketika bersama-sama, suatu kerajaan jual beli gres yang berdasarkan Islam, yakni Kesultanan Malaka.
7. kekuatan Majapahit sudah melemah akibat pertentangan dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
8. Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada periode waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya masa dianggap selaku waktu lazim pergeseran dinasti dan berakhirnya sebuah pemerintahan) hingga tahun 1527.
3.2 Saran
Semoga apa yang dijelaskan didalam makalah kami dapat dimengerti dan dipelajari oleh pembaca. Selain itu, dengan makalah ini biar kita mampu mengetahui sejarah-sejarah kerajaan Hindhu-Budha utamanya Kerajaan Majapahit.
DAFTAR PUSTAKA
ayha-samsuel.blogspot.com/2013/10/makalah-kerajaan-majapahit.html.