MAKALAH TATA PERGAULAN
By: Rahma
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagian umat Islam, kita pasti mengenali dengan baik bahwa Allah SWT sudah menetapkan batas-batas dalam pergaulan. Yang mana dalam pergaulan kadang kala manusia tidak lepas dari kesalahan, dosa, dan kekhilafan. Untuk itu perlu rujukannya dalam berperilaku laris. Rujukan tersebut diantaranya ialah hadits-hadits sabda Rasulullah SAW, alasannya adalah risalah pertama yang disampaikan terhadap umat Islam yakni ihwal akhlak. Hendaknya dalam kehidupan sehari-hari kita mengikuti isyarat -isyarat yang telah disampaikan pada kita secara terang. Agar dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak melampaui batas yang telah ditetapkan, maka kita harus dapat mengerti sabda-sabda Rasulullah tersebut.
Seperti yang kita pahami bersama, bahwa cuma pergaulan bebas dan semacamnya hampir-nyaris tidak memiliki rem atau batas-batas, kaum muda dikala ini berbuat sekehendak hatinya. Begitu pula halnya kebiasaan nongkrong atau duduk dipinggir jalan nyaris jadi tradisi serta korelasi silaturrahmi pun jarang dikerjakan.
Pengetahuan perihal tata pergaulan yaitu salah satu hal yang penting diketahui untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kepada sesama manusia lazimnya .
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata pergaulan?
2. Jelaskan ihwal larangan berdua-duaan tanpa mahram?
3. Jelaskan tentang Sopan santun duduk di pinggir jalan ?
4. Jelaskan bagaimana cara menyebar luaskan salam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pergaulan
Pergaulan yakni salah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan orang lain menjadi satu keperluan yang sangat fundamental, bahkan mampu dikatakan wajib bagi setiap insan yang “masih hidup” di dunia ini untuk merealisasikan ukhwah Islamiyah.
Allah menciptakan kita dengan segala perbedaannya selaku wujud keagungan dan kekuasaan-Nya. Maka dari itu, janganlah perbedaan menjadi penghalang kita untuk bergaul atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar kita. . Tak ada yang dapat membedakan kita dengan orang lain, kecuali karena ketakwaannya kepada Allah swt.[1]
2. Pandangan Islam Mengenai Pergaulan
Manusia diharuskan untuk memelihara dua bentuk kekerabatan adalah hubungan dengan Allah (habluminallah) dan hubungan sesama manusia (habluminannas). Agama islam menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan pergaulan diantara kaum muslimin. Karena dengan pergaulan, kita dapat saling berafiliasi menyelenggarakan pendekatan satu sama lain, bisa saling tunjang menunjang dan saling isi mengisi dalam kebutuhan. Juga dengan pergaulan kita mampu meraih sesuatu yang berkhasiat untuk kemaslahatan masyarakat yang adil dan makmur, dalam membina masyarakat yang berakhlakul karimah. Kemaslahatan masyarakat yang dilandasi dengan akhlakul karimah tidak akan terwujud kecuali dengan kebaikan pergaulan antara mereka.
Dalam kaitannya dengan pergaulan, agama memutuskan rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya supaya tidak terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Larangan bagi yang bukan mahram untuk berduaan, apalagi di tempat yang di duga dapat mengundang lahirnya pelanggaran agama, ialah salah satu contoh dari rambu pembatas itu. [2]
Akhlak Pergaulan yang baik adalah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang tidak berlawanan dengan Hukum syara’, serta memenuhi segala hak yang berhak menerimanya masing-masing berdasarkan kadarnya.
Kita di galakan untuk saling mengetahui antara satu sama lain dan ini amat bertepatan dengan firman Allah swt dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi “wahai umat manusia, sebenarnya kami telah membuat kamu dari pria dan wanita, dan kami telah mengakibatkan kamu aneka macam bangsa bersuku pula, semoga kamu saling kenal-mengenal.
A. Larangan Berduaan Tanpa Mahram
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا، سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَقُولُ: «لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ, وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ اِمْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي اِكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «اِنْطَلِقْ، فَحُجَّ مَعَ اِمْرَأَتِكَ». ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ﴾
Artinya: Ibnu Abbas ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam berkhutbah seraya bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali perempuan itu diikuti mahramnya. Dan seorang wanita juga dihentikan bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.” Tiba-datang berdirilah seorang pria dan bertanya, “Ya, Rasulullah, sebetulnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan saya telah ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana ini?” Rasulullah şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Tunaikanlah ibadah haji bersama isterimu.” (Şaĥīĥ Muslim )[3]
1. Penjelasan Hadits
Larangan tersebut, antara lain dimaksudkan selaku batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menyingkir dari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini sebab kesenangan dan keleluasaan dijadikan selaku acuan utama. Akibatnya, perzinahan sudah bukan hal yang gila, tetapi telah biasa terjadi, bahkan di tempat-daerah biasa sekalipun. Kalau demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan binatang ?
Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, namun lebih dari itu adalah, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan musuh jenis ialah salah satu langkah pertama kepada terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan tindakan tersebut, bantu-membantu sebagai langkah preventif (bersifat menghalangi) supaya tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang sudah disepakati penduduk .
Adapun larangan kedua, ihwal wanita yang bepergian tanpa mahram, terjadi perbedaan usulan di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang bersahabat maupun yang jauh, harus diikuti mahram. Ada yang beropini bahwa perjalanan tersebut ialah perjalanan jauh yang membutuhkan waktu sekurang-kurangnyadua hari. Ada pula yang beropini bahwa larangan tersebut ditujukan bagi perempuan yang masih muda-muda saja, sedangkan bagi wanita yang telah bau tanah diperbolehkan, dan masih banyak usulan lainnya.
Sebenarnya, bila dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar (perjalanan) yakni sangat kondisional. Seandainya perempuan tersebut dapat menjaga diri dan meyakini tidak akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia akan menyibukkan mahramnya setiap kali akan pergi. Maka perjalanannya dibolehkan. Misalnya pergi untuk kuliah, kantor dan lain-lain. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh mahramnya, kalau tidak merepotkan dan menganggunya.
Dengan demikian, yang menjadi patokan yakni kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji, bila diperkirakan akan aman, terlebih pada saat ini telah ada petugas pembimbing haji yang mau bertanggung jawab kepada keselamatan dan kelancaran para jamaah haji, maka seorang perempuan yang pergi haji tidak diikuti mahramnya diperbolehkan bila memang ia sudah menyanggupi kriteria untuk melakukan ibadah haji.
B. Sopan santun duduk di pinggir jalan
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Artinya:Dari Abu Said Al Khudri RA dari Nabi Muhammad SAW, bekerjsama ia bersabda, “Janganlah kau duduk-duduk dijalan!” Para teman bertanya, “Ya Rasulullah, kami tidak mendapatkan tempat lain pengganti dari daerah duduk-duduk kami. Bukankah kami hanya mengobrol saja di sana?” Rasulullah SAW menjawab, “Kalau kalian masih ingin duduk-duduk di sana, maka berikanlah hak jalan.’ Para sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu ya Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Memelihara pandangan mata, mencegah kejahatan, menjawab salam, dan amr ma’ruf nahi munkar (memerintah kebaikan dan menangkal kemungkaran).” Muslim [4]
1. Penjelasan Hadits
Rasulullah SAW melarang duduk di pinggir jalan, baik di daerah duduk yang khusus, seperti diatas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan berarti larangan pada kawasan duduknya, adalah bahwa membuat daerah duduk di pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sobat merasa keberatan dan berargumen bahwa cuma itulah kawasan mereka mengobrol. Rasulullah SAW. pun membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhi hak jalan, yakni berikut ini.
a. Menjaga Pandangan Mata
Menjaga pandangan merupakan sebuah kewajiban begi setiap muslim atau muslimat, sesuai dengan perintah Allah SWT. Dalam al-Qur’an :
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُو
Artinya : “Katakanlah kepada orang pria yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu yakni lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengenali apa yang mereka perbuat”.(Q.S.An-nur ayat 30)
Hal itu mustahil dapat disingkirkan bagi mereka yang sedang duduk dipinggir jalan. Ini karena akan aneka macam orang yang lewat, dari aneka macam usia dan berbagai tipe. Maka bagi para lelaki jangalah memandang dengan sengaja kepada para perempuan yang bukan muhrim dengan pandanagan syahwat. Begitu pula, tidak boleh menatap dengan pandangan sinis atau iri terhadap siapa pun yang melalui. Pandangan seperti tidak hanya akan melanggar hukum Islam. Tetapi akan menimbulkan kecurigaan, persengketaan dan kemarahan dari orang yang dipandangnya, apalagi begi mereka yang gampang tersinggung. Oleh alasannya itu, mereka yang sedang duduk dipinggir mesti sungguh-sungguhmenjaga pandangannya.
b. Tidak Menyakiti
Tidak boleh menyakiti orang-orang yang melalui, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain. Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan misalnya melempar dengan batu-kerikil kesil atau benda apa saja yang hendak menjadikan orang lewat sakit dan tersinggung, tidak memercikkan air, dan lain-lain yang akan menyakiti orang yang lewat atau menyinggung perasaannya.
c. Menjawab Salam
Menjawab salam hukumnya adalah wajib walaupun mengucapkan- nya sunnat. Oleh alasannya adalah itu, jika ada yang mengucapkan salam dikala duduk dijalan, aturan menjawabnya adalah wajib.
d. Memerintahkan kepada Kebaikan dan Melarang terhadap Kemungkaran.
Apabila sedang duduk di jalan lalu melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau sambil mabuk atau menggunakan kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, diwajibkan menegurnya atau memberinya hikmah dengan cara yang bijak. Jika tidak bisa, alasannya kurang memiliki kekuatan untuk itu, doakanlah dalam hati biar orang tersebut menyadari kekeliruan dan kesombongannya.
Dari penjelasan hadits tersebut memang di benarkan bahwa tidak bolek duduk-duduk di pinggir jalan, karena dapat menggagu orang yang melalui. Dan larang tersebut dimaksutkan dihentikan membuat tempat duduk di pinggir jalan. Serta dibolekan duduk-duduk asalkan sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Rasulullah.
C. Menyebar luaskan salam
عَنْ سَيَّارٍ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ ثَابِتٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ أَنَسٍ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ أَنَسٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
Artinya: Dari Sayyar, dia berkata, “Saya pernah berjalan bersama Tsabit Al Bunani melewati anak-anak seraya mengucapkan salam terhadap mereka.” Tsabit berkata, sesungguhnya ia pernah berjalan bareng Anas melalui bawah umur dan Anas pun mengucapkan salam kepada bawah umur. Anas berkata sebetulnya beliau pernah berjalan bareng Rasulullah SAW melalui anak-anak, lalu dia mengucapkan salam kepada mereka.” Muslim
1. Penjelasan Hadits
Salam merupakan salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antara sesama muslim setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut akad ulama, hukumnya ialah sunat mu’akkad. Firman Allah SWT di dalam Al-Quran:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
Artinya: “Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kau,balaslah hormat (salamnya) itu dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa dengan penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala sesuatu.(Q.S.An-Nisa- 86)
Mengucapkan salam tidak hanya disunnahkan dikala berjumpa dengan orang yang dikenal sahaja, tetapi juga ketika berjumpa dengan orang yang tidak diketahui,orang yang di dalam kenderaan terhadap yang berjalankaki, orang yang berlangsung terhadap yang duduk, kalangan yang sedikit terhadap yang ramai.
Bagi urusan menjawab salam bagi orang bukan Islam, para ulama berpakat bahawa menjawab salam Ahli Kitab dengan lafaz “wa’alikum”, jika sekiranya Ahli Kitab tersebut memberi salam “al-samu’alaikum” atau ragu dengan apa yang beliau katakan. Manakala Ibnu Hajar menyatakan bahawa menjawab salam dzimmi adalah fardhu kerana ayat menjawab salam itu berisi perintah menjawab salam secara umum. Manakala tentang lafaz “assalamu’alaikum”, Ibn Qayyim berkata “menurut dalil-dalil dan kaidah-kaidah syariat, jawaban kepadanya adalah “wa ‘alaika al-salam” kerana ia termasuk perilaku yang adil dan Allah juga menyuruh tindakan yang baik.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut mampu disimpulkan sebenarnya:
1.Larangan berduaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2.Larangan bepergian kecuali dengan mahramnya.
3.Kemudian larangan duduk dipinggir jalan, disini Rasulullah SAW, membolehkan dengan syarat mesti memenuhi hak jalan antara lain :
a. Menjaga pandangan mata
b.Menjawab salam
c. Memerintahkan kepada kebaikan dan melarang terhadap kemungkaran.
4.Salam, ialah salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama muslim setiap kali berjumpa .
DAFTAR PUSTAKA
http://id. shvoong. com/humanities/1775913-adat-pergaulan-berdasarkan-islam/
Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)
Nashiruddin Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1991 no. 2467
Nashiruddin Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1425 no. 20
[2] Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)
[3] Nashiruddin Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1991 no. 2467
[4] Nashiruddin Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1425 no. 20