Makalah Faraidh

BAB 1
PENDAHULUAN
         
1.1              LATAR BELAKANG
Fara’idh (فرائض) adalah jama dari faridhah (فريضة) adalah yang difardhukan. Fardhu berdasarkan arti bahasa yakni “kepastian” atau taqdir (ketentuan), sedangkan berdasarkan syara’ dalam relasi dengan waris adalah bab yang sudah ditentukan untuk andal waris. Kemudian kata ini menjadi ungkapan baku untuk waris (وراثة), adalah harta peninggalan atau harta pusaka dari seseorang yang meninggal dunia, yang akan dibagikan terhadap hebat waris menurut bab tertentu.
islam menganjurkan, agar pemeluk-pemeluknya mempelajari segala jenis ilmu pengetahuan yang berafiliasi dengan duniawi dan ukhrawi. Dari sekian banyak ilmu, yang tidak kurang pentingnya untuk dipelajari ialah ilmu faraidh (pembagian harta warisan). Rasulullah bersabda :
تَعَلَّمُوْاالْفَرَائِضَ وَعَلِمُوْهَا النَّاسَ فَإِنِّى امْرُؤٌمَقْبُوْضٌ وَاِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُالْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ اِثْنَانِ فِى الْفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ مَنْ يَقْضِى بَيْنَهُمَا ( رواه الحاكم )
“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada manusia. Sesungguhnya saya seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu dan ilmu itupun akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti fitnah-fitnah, sehingga terjadilah perselisihan antara dua orang mengenai warisan, maka tidak didapatinya orang yang mau menawarkan putusan (mengenai pertikaian yang terjadi) di antara keduanya” (H.R. Hakim ) 
1.2              RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pemahaman faraidh ?
2.      Bagaimana rukun waris dan alasannya adalah-sebab memperoleh warisan ?
3.      Bagaimana syarat-syarat pewarisan ?
4.      Apa saja penghalang mendapat warisan ?
5.      Bagaimana masalah jago waris serta klasifikasinya ?
1.3              TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini ialah semoga pembaca mengetahui bagaimana ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ilmu mewaris, yakni pengertian faraidh, rukun waris dan karena-sebab menemukan warisan, syarat-syarat pewarisan, penghalang menerima warisan, dan juga urusan ahli waris beserta klasifikasinya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1       PENGERTIAN FARAIDH
            Dari sisi bahasa, kata mawaris (موارث) ialah bentuk jamak dari kata مِيْرَاثٌ  artinya harta yang diwariskan. Secara perumpamaan, mempunyai arti ilmu ihwal pembagian harta peninggalan sehabis seseorang meninggal dunia. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraidh  (فَرَائِضِ). Kata faraidh dari sisi bahasa merupakan bentuk jamak dari             فَرِيْضَةٌ  yang mempunyai arti ketentuan, bagian atau ukuran.
Dengan demikian, ilmu ini dinamakan ilmu mawaris alasannya mempelajari tentang ketentuan-ketentuan pembagian harta pusaka bagi hebat waris menurut aturan Islam. Disebut ilmu faraidh alasannya adalah membicarakan ketentuan-ketentuan atau bab-bab yang telah diputuskan terhadap masing-masing andal waris. Sebagaimana definisi faraidh di bawah ini :
وَاَمَّافِى الشَّرْعِ فَالْفَرْضُ نَسِيْبٌ مُقَدَّرٌشَرْعًالِمُسْتَحِقِّهِ
“Adapun ilmu faraidh berdasarkan syara’ ialah bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi yang berhak ( hebat waris ).
Orang yang meninggal dunia (yang mewariskan) disebut Al Muwaris (اَلمُوَرِّثْ) bentuk jamaknya اَلمُوَرِّثُوْنَ  sedangkan jago warisnya (yang mewarisi) disebut Al Waris  اَلوَارِثْ ) (  bentuk jamaknya  اَلْوَارِثُوْنَdan harta peninggalan atau harta  pusakanya disebut Al Mirats اَلْمِيْرَاثْ  atau al irst الآِرْثٌ .
Ada beberapa Istilah dalam Fiqh Mawaris yang berhubungan dengan ilmu faraidh antara lain :
1.      Waris, adalah ahli waris yang berhak mendapatkan warisan. Ada mahir waris yang bersahabat hubungan kekerabatannya tetapi tidak mendapatkan warisan, dalam fiqih jago waris semacam ini disebutdzawil  arham.  Waris mampu muncul alasannya korelasi darah, karena kekerabatan perkawinan dan sebab balasan memerdekakan hamba.
2.      Muwaris, artinya orang yang mewarisi harta peninggalannya, yakni orang yang meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki atau secara taqdiry (asumsi), atau lewat keputusan hakim.  Seperti orang yang hilang (al mafqud) dan tidak dimengerti kabar info dan domisilinya. Setelah lewat persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia telah dinyatakan meninggal dunia.
3.       Al Irs, artinya harta warisan yang siap dibagi oleh mahir waris setelah diambil untuk kepentingan pemeliharaan mayat (tajhiz al janazah), pelunasan utang, serta pelaksanaan wasiat.
4.      Warasah,yakni harta warisan  yang sudah diterima oleh andal waris. Ini berlawanan dengan harta pusaka yang di beberapa tempat tertentu tidak mampu dibagi, alasannya adalah menjadi milik kolektif semua jago waris.
5.       Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan mayit, pembayaran utang, dan pelaksanaan wasiat.
2.2       RUKUN MEWARIS
            Rukun waris ada 3 :
1.      Al-muwaris, orang yang diwarisi harta peninggalan atau orang yang mewariskan hartanya.
2.      Al-waris/ahliwaris, orang yang dinyatakan memiliki hubungan kekerabatan.
3.      Al-maurus atau al-miras. Harta peninggalan yang telah meninggal.
2.3       SEBAB-SEBAB MEMPEROLEH  WARISAN
            Menurut Islam, karena-alasannya mewarisi itu ada empat macam sebagai berikut :
1)      Sebab nasab (relasi keluarga).
Hubungan keluarga di sini yang disebut dengan nasab hakiki, artinya kekerabatan darah atau hubungan kerabat, baik dari garis atas atau leluhur si mayit (ushul), garis keturunan (furu’), maupun relasi relasi garis menyamping (hawasyi), baik pria maupun wanita. Misalnya seorang anak akan menemukan harta warisan dari bapak, dan sebaliknya, seseorang akan mendapatkan harta warisan dari saudaranya, dll. Sebagaimana firman Allah SWT.
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang perempuan ada hak bab (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan”. (QS. An Nisa : 7)
2)      Sebab akad nikah yang sah.
Pernikahan yang sah adalah relasi suami istri yang diikat oleh adanya ijab kabul. Dari sebab inilah lahirlah ungkapan-istilah dalam ilmu faraidh, mirip : Dzawil furudh, Ashobah, Furudz Al Muqadzarah. Firman Allah  :
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجِكُمْ ( النّساء:۱۲)
Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu” (QS. An Nisa : 12)
3)      Sebab wala’ (الولاء) atau alasannya adalah jalan memerdekakan budak.
Tuan yang memerdekakan hamba sahayanya kalau hamba sahaya yang dimerdekakan itu mati, maka tuan itu berhak menerima harta pusaka atau warisan peninggalan hamba sahaya itu. Rasulullah SAW bersabda :
 اِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ اَعْتَقَ (متفق عليه)
“Sesungguhnya hak menerima harta pusaka itu bagi orang yang memerdekakan (H.R. Bukhari Muslim)
4)      Sebab kesamaan agama (اتحاد الدين).
Kesamaan agama adalah kalau ada orang Islam yang meninggal dunia sedangkan beliau tidak mempunyai hebat waris (baik alasannya nasab, nikah maupun wala’) maka harta warisan peninggalannya diserahkan kepada baitul mal untuk umat Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
اَناَ وَارِثُ مَنْ لاَوَارِثَ لَهُ (رواه احمد وابو داوود)
Saya yakni mahir waris bagi orang yang tidak memiliki jago waris”  (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
 Rasulullah SAW. terang tidak menerima harta pusaka untuk diri dia sendiri, hanya beliau menerima warisan mirip itu untuk dipergunakan semata-mata untuk kemaslakatan umat Islam.
2.4       SYARAT-SYARAT  PEWARISAN
            Syarat-syarat pewarisan ada tiga , ialah :
1.      Seseorang meniggal secara hakiki atau secara huku.
2.      Ahli waris secara niscaya masih hidup saat pewaris meniggal
3.      Mengetahui kelompok mahir waris.
2.5       BEBERAPA PENGHALANG MENDAPATKAN WARISAN
            Yang dimaksud terhalang di sini adalah Ahli waris baik pria maupun wanita yang semestinya menerima harta warisan tetapi terhalang karena adanya sebab-karena tertentu. Orang tersebut disebut orang yang terhalang (Mamnu’ul Irtsy) atau disebutterhalang alasannya adalah adanya sifat tertentu (Mahjub bil Washfi).
Ahli warismenjadi gugur haknya untuk mendapatkan harta warisan disebabkan sebab  selaku berikut :
1)      Pembunuh (القتل).
Orang yang membunuh saudara keluarganya tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang terbunuh. Sabda Nabi Muhammad SAW :
لَيْسَ لِلْقَا تِلِ مِنَ الْمِيْرَاثِ شَيْئٌ (رواه النسائ(
Tidak berhak menerima harta warisan sedikitpun seorang yang membunuh”.
Mengenai duduk perkara ini, ada perbedaan pertimbangan :
a)      Segolongan kecil beropini, bahwa si pembunuh tetap menerima warisn selaku, selaku mahir wais.
b)      Kemudian kelompok lain memisahkan sifat pembunuhan itu, adalah pembunuhan yang disengaja dan yang tersalah. Siapa yang melaksanakan pembunuhan dengan sengaja, beliau tidak menerima warisan sama sekali. Siapa yang melaksanakan pembunuhan tersalah, ia tetap mendpat warisan. Pendapat ini dianut oleh Malik bin Anas dan pengikut-pengikutnya.
Yang menjadi pangkal pokok perbedaan pertimbangan perihal hal ini yakni, disebabkan sebuah pertimbangan wacana kepentingan biasa . Menurut kepentingan biasa , sudah selayaknya si pembunuh itu tidak menerima warisan, semoga jangan sampai terjadi pembunuhan-pembunuhan, karena menghendaki harta warisan. Demikian penemikian pendapat sebagaian besar ulama. 
2)      Budak (العبد)
Seorang yang menjadi budak tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan dari tuannya, dan juga tuannya tidak berhak untuk menerima harta warisan dari budaknya. Sebagaimana firman Allah SWT :
z>uŽŸÑ ª!$# ¸xsVtB #Y‰ö6tã %Z.qè=ôJ¨B žw â‘ωø)tƒ 4’n?tã  شَيْئٍ (النحل :۷۵)
“Allah menciptakan ungkapan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak mampu bertindak terhadap sesuatupun”.  (QS. An-Nahl: 75)
3)      Orang murtad.
Murtad artinya keluar dari agama Islam. Orang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya.
4)      Perbedaan Agama (الاختلاف الدين)
Orang Islam tidak mampu mewarisi harta warisan dari orang kafir walaupun masih saudara keluarganya. Demikian juga sebaliknya sebagaimana Sabda Rasulullah:
لاَيَرِثُ الْمُسْلِمَ الْكَافِرَ وَلاَ يَرِثُ الْكَافِرَ الْمُسْلِم (متفق عليه)
“Orang Islam tidak mampu mendapatkan harta warisan dari orangkafir, dan orang kafir tidak bisa menerima harta warisan dari Orang Islam (HR. Bukhari Muslim)
Ada beberapa andal waris yang tidak bisa terhalangi haknya meskipun semua andal waris itu ada. Mereka itu yaitu anak pria (ابن) anak wanita (بنت) bapak (اب) ibu (ام) suami (زوج) dan isteri (زوجة )
2.6       PERMASALAHAN AHLI WARIS BESERTA KLASIFIKASINYA
Ahli waris yakni orang-orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan. Ahli waris tersebut yakni baik pria mapun perempuan, baik yang mendapatkan bab tertentu (Dzawil Furudh), maupun yang menerima sisa (Ashabah), dan yang terhalang (Mahjub) maupun yang tidak. Ditinjau dari alasannya adalah-sebab seseorang menjadi jago waris, dapat diklasifikasikan selaku berikut :
1)      Ahli waris Sababiyah
Yaitu orang yang berhak mendapatkan bagian harta warisan karena kekerabatan perkawinan dengan orang yang meninggal adalah suami atau istri.
2)      Ahli waris Nasabiyah
Yaitu orang yang berhak menerima bagian harta warisan sebab korelasi nasab atau  pertalian darah dengan orang yang meninggal. Ahli waris nasabiyah ini dibagi menjadi tiga kalangan yakni :
a)        Ushulul Mayyit, yang berisikan bapak, ibu, kakek, nenek, dan seterusnya ke atas (garis keturunan ke atas).
b)        Al Furu’ul Mayyit, ialah anak, cucu, dan seterusnya sampai ke bawah (garis keturunan ke bawah).
c)        Al Hawasyis, yakni saudara paman, bibi, serta belum dewasa mereka (garis keturunan ke samping) Dari sisi jenis kelamin, ahli waris, dibagi menjadi andal waris laki-laki dan jago waris perempuan.
Yang tergolong andal waris laki-laki ada lima belas orang, adalah:
1.      Suami (زوج)
2.      anak laki-laki (ابْن)
3.      cucu laki-laki (اِبْنُ الاِبْنِ)
Ingatlah : Jumlah mahir waris pria ada 15 dan jika semua ada  Cuma ada tiga  yang mendapat : yaitu suami, anak laki-laki dan bapak.
bapak (أَبٌ)
1.      kakek dari bapak ( أبُوْ الاَبِ) hingga ke atas   (جَدُّ الْجَدِّ جَدُّ الاَبِ)
2.      saudara laki-laki kandung أَخُ الأَبْوَيْنَ)
3.      saudara laki-laki seayah (أَخُ الأَبِ)
4.      saudara laki-laki seibu (أَخُ الأُمِّ)
5.      anak laki-laki saudara laki-laki sekandung  (إِبْنُ الأَخِ لِلأَبَوَيْنِ)
6.      anak pria kerabat pria seayah    (اِبْنُ الأَخِ لِلأِبِ)
7.      paman sekandung dengan bapak (عَمُّ لِلأَبَوَيْنِ)
8.      paman seayah dengan bapak (عَمُّ لِلأَبِ)
9.      anak pria paman sekandung dengan bapak (إِبْنًُ الَْعَمِّ لِلأَبَوَيْنِ)
10.  anak laki-laki paman seayah dengan bapak(إِبْنُ الْعَمِّ لِلأَبِ)
11.  orang yang memerdekakan(الْمُعْتِقْ)
Jika semua jago waris pria di atas ada semua, maka yang mendapat warisan yakni suami, anak laki-laki, dan bapak, sedangkan yang lain terhalang مَحْجُوْب
 Adapun mahir waris perempuan ialah :
1.      Istri ( زوجة)
2.      Anak perempuan ( بنت)
3.      Cucu wanita dari anak pria ( بنت الإبن)
4.      Ibu (الام )
5.      Nenek dari ibu  (جدة / أم الام)
6.      Nenek dari bapak (أم الاب)
7.      Seudara perempuan kandung (أخت الابوبين)
8.      Saudara perempuan seayah  (أخت الأب)
9.      Saudara wanita seibu  (أخت للأم)
10.  Orang perempuan yang memerdekakanمُعْتِقَة 
Jika jago waris perempuan ini semua ada, maka yang mendapat bagian harta warisan adalah : istri, anak wanita, ibu, cucu wanita dari anak pria dan kerabat wanita kandung.
 Selanjutnya, jikalau seluruh hebat waris ada baik laki-laki maupun wanita yang menerima bagian ialah suami/istri, Bapak/ibu dan anak ( laki-laki dan wanita ).
Furudhul Muqadzara 
Ketahuilah : Furudhul Muqaddarah terdiri dari :
Furudzul Muqaddarah ialah bagian-bagian tertentu yang sudah ditetapkan Al-Qur’an bagi ahli waris tertentu juga. Bagian tertentu tersebut berdasarkan Al-Qur’an adalah:
1)      Bagian ½ (اَنِّصْفَ)
2)      Bagian ¼ (اَلرُّبْعُ)
3)      Bagian 1/8 (اَلثُّمْنُ)
4)      Bagian 1/3 (اَلثُّلُثُ )
5)      Bagian 2/3 (اَلثُّلُثَانِ)
6)      Bagian 1/6 (اَسُّدُسُ )
Dzawil Furudz
Dzawil Furudh yakni orang-orang dari hebat waris yang menerima bagian tertentu sebagaimana tersebut di atas, disebut juga Ashabul Furudh.
Adapun bab-bab tertentu tersebut menurut Al-Qur’an  yaitu :
1)      Ahli waris yang mendapat bagian ½, ada lima hebat waris selaku berikut :
a)      Anak perempuan (tunggal), dan jika tidak ada anak laki-laki.
Berdasarkan firman Allah :
bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$#  ( النّساء:۱۱)
“bila anak perempuan itu seorang saja, Maka beliau mendapatkan 1/2 harta” (QS. An Nisa/4 : 11)
b)    Cucu perempuan tunggal dari anak pria selama tidak ada :
·         anak pria;
·         cucu laki-laki dari anak laki-laki;
c)    Saudara perempuan kandung tunggal, jikalau tidak ada :
·         Anak pria atau anak wanita;
·         Cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki;
·         Bapak;
·         Kakek ( bapak dari bapak );
·         Saudara laki-laki sekandung.
Firman Allah SWT :
”Jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan memiliki kerabat perempuan, Maka bagi saudaranya yang wanita itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya”. (Q.S. An-Nisa’/4 :176 )
d)   Saudara perempuan seayah tunggal, dan kalau tidak ada :
·         Anak laki-laki atau anak wanita;
·         Cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki;
·         Bapak;
·         Kakek ( bapak dari bapak );
·         Saudara wanita sekandung.
·         kerabat laki-laki sebapak.
  “Dan bagi orang yang meninggalkan kerabat perempuan maka beliau menerima bagian 1/2 dari harta warisan”. (QS. An Nisa/4: 175) .
 e)      Suami,  bila tidak ada :
·         anak laki-laki atau wanita
·         cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.
   
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, kalau mereka tidak mempunyai anak”(Q.S. An-Nisa’/4 :12 )
2)      Ahli waris yang mendapat bagian 1/4
a)      Suami, jika ada :
·         anak pria atau perempuan
·         cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki
فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَركَ ( النّساء:۱۲)
“Apabila istri-istri kau itu memiliki anak maka kamu mendapatkan seperempat harta yang ditinggalkan” (Q.S, an-Nisa/4 : 12)
b)      Istri (seorang atau lebih), jika ada :
·         anak pria atau perempuan
·         cucu pria atau perempuan dari anak laki-laki.
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ ( النّساء:۱۲)
“Dan bagi istri-istrimu mendapat seperempat dari harta yang kamu tinggalkan bila kamu tidak meninggalkan anak”. (Q.S. An-Nisa’/4: 12)
3)      Ahli waris yang mendapat bab 1/8
Ahli waris yang menerima bagian 1//8 adalah istri baik seorang atau lebih, bila ada :
·         anak laki-laki atau perempuan
·         cucu pria atau wanita dari anak pria.
فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ ( النّساء:۱۲)
“Apabila kau mempunyai anak, maka untuk istri-istrimu itu seperdelapan dari harta yang kamu lewati “. (Q.S.An-Nisa’/4 : 12)
 4)          Ahli waris yang menerima bagian 2/3
Dua pertega ( 2/3) dari harta pusaka  menjadi bagian empat orang :
a)      Dua orang anak wanita atau lebih bila mereka tidak memiliki kerabat laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
 “Jika anak itu semua perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”.(Q.S. An-Nisa’ /4 : 11 )
 b)      Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak pria jika tidak ada anak perempuan atau cucu laki-laki dari anak laki-laki.
c)      Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, kalau tidak ada anak wanita atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudarai pria kandung.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
فَإِنْ كَانَتَااثْنَتَيْنِ فَلَهُمَاالثُّلُثَانِ مِمَّاتَرَكَ ( النّساء:۱۷٦)
“Tetapi kalau kerabat perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkannya oleh yang meninggal”.(Q.S. An-Nisa’/4 : 176 )
d)     Dua orang wanita seayah atau lebih, jikalau tidak ada anak atau cucu dari anak pria dan saudara laki-laki seayah.
5)      Ahli waris yang menerima bab 1/3
a)      Ibu, jika yang meninggal tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara-saudara.
jika orang yang meninggal tidak memiliki anak dan beliau diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; kalau yang meninggal itu memiliki beberapa kerabat, Maka ibunya menerima seperenam”. (QS. An Nisa : 11).
b)      Dua orang kerabat atau lebih baik laki-laki atau wanita yang seibu.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
 “Tetapi jika saudara-kerabat seibu itu lebih dari satu orang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu”. (Q.S. An-Nisa’/4 : 12
 6)      Ahli waris yang menerima bagian 1/6.
Bagian seperenam (1/6) dari harta pusaka menjadi milik tujuh orang :
a)      Ibu, kalau yang meninggal itu memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang atau lebih dari kerabat pria atau wanita.
b)      Bapak, bila yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jikalau yang meninggal itu mempunyai anak”.
( Q.S An-Nisa’/4 : 11 ) 
c)      Nenek (Ibu dari ibu atau ibu dari bapak), jikalau tidak ada ibu.
اَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعَلَ لِلْجَدَّةِالسُّدُسَ اِذَالَمْ يَكُنْ دُوْنَهَااُمٌّ ( رواه ابودود والنّساء )
“Bahwasanya Nabi SAW. telah menawarkan bagian seperenam kepada nenek, bila tidak terdapat (yang menghalanginya), yakni ibu”.(H.R. Abu Dawud dan Nasa’i )
 d)     Cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau lebih, jika tolong-menolong  seorang anak wanita .
Sabda Nabi Muhammad SAW :
قَضَى النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السُّدُسَ لِبِنْتِ الاِبْنِ مَعَ بِنْتِ الصُّلْبِ (رواه البخارى)
“ Nabi SAW. telah menetapkan seperenam bagian untuk cucu wanita dari anak pria, kalau bersama dengan anak wanita”. (H.R. Bukhari ).
e)      Kakek, jika yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak ada bapak.
f)       Seorang kerabat seibu (pria atau perempuan),  kalau yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan bapak.
Firman Allah dalam Al-Qur’an :
 “ Tetapi mempunyai seorang kerabat pria seibu saja, atau kerabat perempuan seibu saja, maka bagi masing-masing kedua saudara ibu seperenam harta”. ( Q.S. An-Nisa’/4 : 12 )
g)      Saudara wanita seayah seorang atau lebih, jikalau yang meninggal dunia memiliki saudara wanita sekandung dan tidak ada saudara pria sebapak.
Ahi waris yang tergolong dzawil furudz dan kemungkinan bab masing-masing yaitu selaku berikut :
1)      Bapak mempunyai tiga kemungkinan;
a)      1/6 jika bareng anak pria.
b)      1/6 dan ashabah jikalau bersama anak perempuan atau cucu wanita dari anak laki-laki.
c)      ashabah bila tidak ada anak.
2)      Kakek (bapak dari bapak) mempunyai 4 kemungkinan
a)      1/6 kalau bersama anak pria atau wanita
b)      1/6 dan ashabah  jika bareng anak pria atau perempuan
c)      Ashabah dikala tidak ada anak atau bapak.
d)     Mahjub atau terhalang kalau ada bapak.
3)      Suami memiliki dua kemungkinan;
a)      1/2 jika yang meninggal tidak mempunyai anak.
b)      1/4 kalau yang meninggal mempunyai anak.
4)      Anak wanita mempunyai tiga kemungkinan;
a)      1/2 jika seorang saja dan tidak ada anak pria.
b)      2/3 jika dua orang atau lebih dan jika tidak ada anak pria.
c)      menjadi ashabah, jikalau bersamanya ada anak pria.
5)      Cucu wanita dari anak pria  memiliki 5 kemungkinan;
a)      1/2 bila seorang saja dan tidak ada anak dan cucu pria dari anak pria.
b)      2/3 kalau cucu wanita itu dua orang atau lebih dan tidak ada anak dan cucu laki-laki dari anak pria.
c)      1/6 kalau bersamanya ada seorang anak wanita dan tidak ada anak laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
d)     menjadi ashabah jika bersamanya ada cucu pria.
e)      Mahjub/terhalang oleh dua orang anak perempuan atau anak laki-laki.
6)      Istri memiliki dua kemungkinan;
a)      1/4 kalau yang meninggal tidak memiliki anak.
b)      1/8 kalau yang meninggal mempunyai anak.
7)      Ibu mempunyai tiga kemungkinan;
a)      1/6 jikalau yang meninggal mempunyai anak.
b)      1/3 jika yang meninggal tidak memiliki anak atau dua orang kerabat.
c)      1/3 dari sisa ketika ahli warisnya terdiri dari suami, Ibu dan bapak, atau istri, ibu dan bapak.
8)  Saudara perempuan kandung memiliki lima kemungkinan
a)      1/2 jika dia seorang saja.
b)      2/8 kalau dua orang atau lebih.
c)      ashabah jika bersama anak wanita.
d)     Mahjub/tertutup kalau ada ayah atau anak pria atau cucu pria.
9)      Saudara wanita seayah mempunyai tujuh kemungkinan
a)      1/2 kalau ia seorang saja.
b)      2/3 jika dua orang atau lebih.
c)      ashabah jika bareng anak wanita atau cucu wanita.
d)     1/6 kalau bareng saudara perempuan sekandung.
e)      Mahjub/terhalang oleh ayah atau anak laki-laki, atau cucu pria atau kerabat laki-laki kandung atau saudara kandung yang menjadi ashabah.
10)  Saudara perempuan atau laki-laki seibu memiliki tiga kemungkinan.
a)      1/6 kalau seorang, baik pria atau wanita.
b)      1/3 jikalau ada dua orang atau lebih baik laki-laki atau permpuan.
c)      Mahjub/terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki, ayah atau nenek pria.
11)  Nenek (ibu dari ibu) memiliki dua kemungkinan
a)      1/6 jika seorang atau lebih dan tidak ada ibu.
b)      Mahjub/terhalang oleh ibu.
’Ashabah
          Menurut bahasa ashabah yaitu bentuk jamak dari ”Ashib” yang artinya mengikat, menguatkan relasi kerabat/nasab. Menurut syara’ ’ashabah adalah andal waris yang bagiannya tidak ditetapkan namun bisa menerima semua harta atau sisa harta setelah harta dibagi kepada jago waris dzawil furudz.
Ahli waris yang menjadi ’ashabah kemungkinan menerima seluruh harta, sebab tidak ada ahli waris dzawil furudh, akan menerima sebagaian sisa dikala beliau bersama jago waris dzawil furudh, atau bahkan tidak mendapatkan sisa sama sekali alasannya sudah habis dibagikan terhadap jago waris dzawil furudh.
Di dalam ungkapan ilmu faraidh, macam-macam ‘ashabah ada tiga ialah :
1)      ‘Ashabah Binnafsi ialah menjadi ‘ashabah dengan karena sendirinya, tanpa disebabkan oleh orang lain. Ahli waris yang termasuk ashabah binnafsi adalah :
a)      Anak laki-laki
b)      Cucu pria
c)      Ayah
d)     Kakek
e)      Saudara kandung pria
f)       Sudara seayah laki-laki
g)      Anak pria kerabat laki-laki kandung
h)      Anak pria saudara laki-laki seayah
i)        Paman kandung
j)        Paman seayah
k)      Anak pria paman kandung
l)        Anak pria paman seayah
m)    Laki-laki yang memerdekakan budak
Apabila semua ‘ashabah-‘ashabah ada, maka tidak semua ‘ashabah menerima bagian, akan tetapi mesti didahulukan orang-orang ( ‘ashabah-‘ashabah) yang lebih erat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu. Jadi, penentuannya dikelola berdasarkan nomor urut yang tersebut di atas.
Jika hebat waris yang ditinggalkan berisikan anak laki-laki dan anak perempuan, maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah, untuk anak pria menerima dua kali lipat bab anak perempuan. Firman Allah dalam al-Qur’an : “Allah mensyari’atkan bagimu ihwal (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak wanita”. (Q.S.An-Nisa’/4 : 11)
2)      ‘Ashabah Bilgha’ir ialah anak perempuan, cucu peremuan, kerabat wanita seayah, yang menjadi ashabah kalau bareng kerabat pria mereka masing-masing ( ‘Ashabah dengan sebab terbawa oleh laki-laki yang setingkat ).
Prempuan yang menjadi ‘ashabah dengan sebab orang lain ialah :
a)      Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang wanita menjadi ‘ashabah dengan ketentuan, bahwa untuk laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan.
b)      Cucu laki-laki dari anak pria, juga dapat menawan saudaranya yang wanita menjadi ‘ashabah.
c)      Saudara pria sekandung, juga dapat mempesona saudaranya yang perempuan menjadi ‘ashabah.
d)     Saudara laki-laki sebapak, juga mampu mempesona saudaranya yang wanita menjadi ‘ashabah.
Jika jago waris yang ditinggalkan dua orang saudara atau lebih, maka cara membaginya adalah, untuk saudara pria dua kali lipat kerabat perempuan.
Allah berfirman adalam al-Qur’an :
 “Jika mereka (jago waris itu berisikan) Saudara-kerabat laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang kerabat wanita”. (.Q.S, An-Nisa’ /4 : 176 )
3)      ‘Ashabah Ma’algha’ir ( ‘ashabah bareng orang lain ) yakni andal waris perempuan yang menjadi ashabah dengan adanya mahir waris wanita lain. Mereka yakni :
a)      Saudara wanita sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
b)      Saudara wanita seayah menjadi ashabah kalau bareng anak wanita atau cucu wanita (seorang atau lebih) dari anak pria.
 Hijab
Hijab yaitu penghapusan hak waris seseorang, baik peniadaan sama sekali ataupun penghematan bab harta warisan sebab ada ahli waris yang lebih dekat pertaliaannya ( relevansinya ) dengan orang yang meninggal.
Oleh karena itu hijab ada dua macam
1)      حِجَابْ حِرْمَانِ (hijab hirman) yaitu peniadaan seluruh bab , alasannya ada hebat waris yang lebih akrab keterkaitannya dengan orang yang meninggal itu. Contoh cucu laki-laki dari anak pria, tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.
2)      حِجَابْ نُقْصَانْ (hijab nuqshon) yakni pengurangan bagian dari harta warisan, karena ada hebat waris lain yang bantu-membantu dengan dia. Contoh : ibu menerima 1/3 bagian, namun yang meninggal itu memiliki anak atau cucu atau beberapa kerabat, maka bab ibu menjelma 1/6.
Dengan demikian ada hebat waris yang terhalang (tidak mendapat bagian) yang disebut مَحْجُوْبٌ حِرْمَانِ(mahjub hirman), ada andal waris yang cuma bergeser atau berkurang bagiannya yang disebut  مَحْجُوْبٌ نُقْصَانْ(mahjub nuqshan) Ahli waris  yang terakhir ini tidak akan terhalang meskipun semua jago waris ada, mereka tetap akan mendapat bab harta warisan walaupun dapat menyusut. Mereka adalah hebat waris akrab yang disebut  الاَقْرَبُوْنَ  (Al Aqrabun) mereka terdiri dari : Suami atau istri, Anak pria dan anak perempuan, Ayah dan ibu.
Ahli waris yang terhalang :
 Berikut di bawah ini ahli waris yang terhijab atau terhalang oleh jago waris yang lebih erat relevansinya dengan yang meninggal yakni :
1)      Kakek (ayah dari ayah) terhijab/terhalang oleh ayah. Jika ayah masih hidup maka kakek tidak mendapat bab.
2)      Nenek (ibu dari ibu) terhijab /terhalang oleh ibu
3)      Nenek dari ayah, terhijab/terhalang oleh ayah dan juga oleh ibu
4)      Cucu dari anak pria terhijab/terhalang oleh anak laki-laki
5)      Saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      cucu pria dari anak laki-laki
c)      ayah
6)      kerabat kandung wanita terhijab/terhalang oleh :
a)      anak laki-laki
b)      ayah
7)      kerabat ayah laki-laki dan wanita terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      anak laki-laki dan anak pria
c)      ayah
d)     saudara kandung laki-laki
e)      kerabat kandung perempuan
f)       anak wanita
g)      cucu wanita
8)      saudara seibu laki-laki / perempuan terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria atau wanita
b)      cucu pria  atau perempuan
c)      ayah
d)     kakek
9)      Anak pria dari saudara kandung laki-laki terhijab/terhalang oleh :
a)      anak laki-laki
b)      cucu laki-laki
c)      ayah
d)     kakek
e)      kerabat kandung pria
f)       kerabat seayah pria
10)  Anak laki-laki dari kerabat pria seayah terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      cucu laki-laki
c)      ayah
d)     kakek
e)      saudara kandung laki-laki
f)       saudara seayah laki-laki
11)  Paman (saudara laki-laki sekandung ayah) terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      cucu laki-laki
c)      ayah
d)     kakek
e)      saudara kandung laki-laki
f)       saudara seayah pria
12)  Paman (kerabat laki-laki sebapak ayah) terhijab/terhalang oleh :
a)      anak laki-laki
b)      cucu pria
c)      ayah
d)     kakek
e)      kerabat kandung pria
f)       saudara seayah laki-laki
13)  Anak pria paman sekandung terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      cucu pria
c)      ayah
d)     kakek
e)      saudara kandung pria
f)       saudara seayah pria
14)  Anak pria paman seayah terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      cucu pria
c)      ayah
d)     kakek
e)      kerabat kandung laki-laki
f)       kerabat seayah laki-laki
15)  Cucu perempuan dari anak pria terhijab/terhalang oleh :
a)      anak pria
b)      dua orang perempuan jika cucu wanita tersebut tidak bersaudara laki-laki yang menyebabkan dia sebagai ashabah
2.7       Beberapa hal yang terkait dengan pembagian harta warisan
 1). Pembagian ‘Aul
Secara bahasa ‘aul (عول) bermakna ‘naik’ atau ‘meluap’.  Al ‘aul mampu juga bermakna ‘bertambah’ atau “ menaikkan jumlah bagian ahli waris kepada Asal Masalah “. Sedangkan definisi ‘aul menurut perumpamaan fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian –bab, disebabkan kurang pemasukan yang harus diterimaoleh andal waris, sehingga jumlah bagian semuannya berlebih dari Asal Masalahnya atau KPK. ‘Aul terjadi dikala kian banyaknya ashabul furud sehingga harta yang dibagikan habis. Padahal masih ada diantara para andal waris yang belum mendapatkan bab. Dalam keadaan tersebut kita mesti mengoptimalkan atau memperbesar pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris mampu mencukupi jumlah ashabul furud yang ada, meskipun bab mereka menjadi berkurang.
Menurut Ulama-ulama faraidh, pokok dilema yang dapat yang di’aul, cuma tiga persoalan saja, ialah :
 AM 6 mampu di’aul menjadi 7, 8, 9, dan 10.
AM 12 bisa di’aul menjadi 13, 15 dan 17.
AM 24 cuma bisa di’aul menjadi 27.
     
‘Aul dalam pembagian warisan adalah cara mengatasi kesulitan pembagian warisan bila asal persoalan yang dilambangkan angka pembilang lebih kecil dari jumlah penyebutnya. Penyelesaian dilema ini yaitu dengan membulatkan angka pembilangnya.
2). Pembagian Radd
Di dalam uraian yang sudah lalu telah dijelaskan, bahwa harta warisan itu dibagi-bagikan terhadap andal waris yang mendapat ketentuan ataupun kepada ‘ashabah. 
Uraiakan berikut ini akan dikemukakan persoalan radd. Jelasnya, setelah harta peninggalan itu dibagi-bagikan terhadap hebat waris yang menerima ketentuan, namun lalu ternyata masih ada sisanya, sedangkan ‘ashabahpun tidak ada pula, maka sisa tersebut dibagi-bagikan terhadap mereka yang telah mendapat bagian tadi. Cara pembagian yang seperti ni disebut radd.
Radd dalam bahasa Arab memiliki arti kembali / kembalikan. Adapun radd menurut perumpamaan ilmu faraid adalah pengembalian sisa pembagian harta warisan terhadap dzawil furudh selain suami atau istri. Kaprikornus, jika dalam ahli waris tersebut tidak ada suami atau istri maka sisa pembagian tersebut disertakan ( dikembalikan ) terhadap hebat waris dzawil furudh dengan cara menimbulkan Asal Masalah ( AM ) dengan jumlah bilangan pembilangnya ( jumlah bab masing-masing mahir waris ). Radd merupakan kebalikan dari al ‘aul. Misalnya dalam sebuah pembagian hak waris, para ashabul furud sudah mendapatkan haknya masing-masing. Akan tetapi harta warisan ternyata masih tersisa, dan tidak ada kerabat lain yang menjadi ashabah. Jika demikian, maka sisa harta warisan akan diberikan atau dikembalikan terhadap para ashabul furud selain suami atau istri sesuai bab masing-masing ahli waris.
Sebenarnya, mahir-andal hukum berlainan usulan ihwal kelebihan sisa pembagian harta warisan itu. Zaid bin Tsabit berpendapat, bahwa kelebihan sisa itu, diserahkan kepada Perbendaharaan Umum ( Baitul Mal ) untuk dipergunakan bagi kepentingan lazim. Pendapat tersebut juga dianut Malik bin Anas dan Syafi’i. Tatapi kebanyakan sobat-sahabat Nabi berpendapat, bahwa keunggulan sisa pembagian itu, dikembalikan lagi (radd) kepada ahli waris yang menerima bab itu.
Ar radd tidak akan terjadi kecuali terpenuhi tiga syarat berikut :  yakni (1) adanya ashabul furud, (2) tidak adanya ‘ashabah, dan (3) masih adanya sisa harta waris. Bila dalam pembagian waris tidak ada tiga syarat tersebut, maka radd tidak akan terjadi.
Radd dalam arti bahasa ialah mengembalikan. Dalam arti perumpamaan adalah mengembalikan sisa harta pusaka kepada andal waris selain suami atau istri.
2.8       Hikmah Pembagian Warisan
            Faedah ilmu faraidh adalah untuk mengenali bahwa harta pusaka itu betul-betul diberikan kepada yang berhak mendapatkannya. Dengan demikian akan terhindar pengambilan hak orang lain dengan jalan yang tidak halal.
Faraidh ini mempunyai hikmah dan nilai-nilai obyektif yang luhur yang meningkat di penduduk , diantaranya yaitu :
1.         Dapat memelihara dari timbulnya fitnah, alasannya adalah salah satu penyebab timbulnya fitnah yaitu pembagian harta warisan yang tidak cocok dengan ketentuan sumber aturan Islam.
2.      Faraidh mampu menjunjung tinggi sunah Rasul. Pelaksanaan ilmu faraidh bahu-membahu menjadi ilmu wawasan. Nabi Muhammad SAW bersabda :
اَلْعِلْمُ ثَلَثٌ وَمَاسِوَاى ذٰلِكَ فَضْلُ اٰيَةٍ مُحْكَمَلةٌ اَوْسُنَّةٌ مُتَّبَعَةٌ اَوْفَرِيْضَةٌ عَادِلَةٌ
(رواه ابوداود وابن ماجه )
“Ilmu itu ada tiga asalnya, yang selainnya hanya pelengkapsaja,ialah ;(Al-Qur’an) yang muhkamad (diajdikan ajaran dalam aturan). Sunah Nabi yang sahih, yang menjadi dasar ikatan hidup, dan atau pembagian harta pusaka yang adil”. ( H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah )
1.         Faraidh berpijak dari kenyataan hidup, adalah bab pria dua kali lipat bagian anak perempuan, alasannya berdasarkan hukum Islam tanggung jawab anak pria jauh lebih berat daripada anak perempuan.
2.      Dapat merealisasikan ketentraman keluarga dan masyarakat. Orang yang beriman ajar untuk tidak mempunyai jiwa material yang sifatnya duniawi saja. Tetapi yang utama yaitu kehidupan alam baka.
3.         Faraidh mampu mewujudkan insan yang gagah dan berani, alasannya Islam tidak mengharapkan keturunan yang lemah.
BAB 3
PENUTUP
3.1                KESIMPULAN
faraidh adalah untuk mengetahui bahwa harta pusaka itu sungguh-sungguh diberikan terhadap yang berhak menerimanya. Dengan demikian akan terhindar pengambilan hak orang lain dengan jalan yang tidak halal. Faraidh ini mempunyai pesan yang tersirat dan nilai-nilai obyektif yang luhur yang berkembang di penduduk , diantaranya ialah :
  1.  Dapat memelihara dari timbulnya fitnah, alasannya adalah salah satu penyebab timbulnya fitnah yaitu pembagian harta warisan yang tidak sesuai dengan ketentuan sumber aturan Islam.
2.      Faraidh mampu menjunjung tinggi sunah Rasul. Pelaksanaan ilmu faraidh bekerjsama menjadi ilmu pengetahuan
.
           
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ahmad Robia, MA. 2001. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syekh muhammad ali ash Shabuni.1995. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung: Trigenda Karya.
H. Sulaiman Rasyid. 1994. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Drs. Sudarsono, SH. 2001. Pokok-pokok Hukum Islam. Jakarta: Rieneka Cipta.
Departemen Agama. 1986. Ilmu Fiqih.