Makalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

By: Siti, Dkk.


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-usul yang berlaku di Indonesia,setiap pelaksanaan peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yakni obyek pajak. Sebagaiobyek pajak, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pajak dari kedua sisi,ialah dari segi pedagang dan pembeli. Bagi pihak pedagang dikenakan Pajak Penghasilan(yang berikutnya disingkat dengan PPh) yang diperoleh dari penjualan tanah dan/ataubangunan. Sementara itu bagi pihak pembeli dikenakan pajak yang berbentukBea PerolehanHak Atas Tanah dan/atauBangunan (yang selanjutnya disingkat dengan BPHTB).

Pembayaran pajak yang menyangkut PPh dan BPHTB yaitu perdagangan tanah yang adahaknya. Pajak ialah iuran rakyat kepada kas negara menurut Undang –Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik(kontraprestasi) yang langsung mampu ditujukan, dan yang digunakan untukmembayar pengeluaran lazim. Fungsi pajak ada dua ialah, fungsi budgetair(sumber keuangan negara) dan fungsi regulerend (mengendalikan).[1]

B.Rumusan Masalah

            Adapun rumusan masalah dalam makalah ini yaitu selaku berikut:

1.      Apa yang dimaksud dengan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan ?

2.      Apa saja Objek,Subjek dan Wajib Pajak BPHTB ?

3.      Apa saja Tarif Dasar Pengenaan dan Cra Menghitung BPHTB ?

4.      Bagaimana Pengenaan BPHTB Karena waris,Hibah Wasiat dan Pemberian Hak Pengelolaan?

B.     Tujuan

Adapun tujuan Pembuatan Makalah ini adalah:

1.      Untuk mengenali apa yang dimaksud dengan Bea Perolehan hak atas Tanah dan

Bangunan

2.      Untuk mengenali Objek,Subjek dan Wajib Pajak BPHTB

3.      Untuk mengetahui Tarif Dasar Pengenaan dan Cra Menghitung BPHTB

4.      Untuk mengenaliPengenaan BPHTB Karena waris,Hibah


BAB II PEMBAHASAN

A.     Pengertian Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan

Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan,yang selanjutnya disebut pajak. Perolehan ha katas tanah dan bangunan adalah tindakan atau kejadian aturan yang menjadikan diperolehnya ha katas bangunan oleh orang pribadi. Ha katas tanah ialah termasuk hak pengelolaan,beserta bangunan sebagaimana dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1960 wacana Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agria, Undang-Undang Nomor 16  perihal Rumah Susun dan ketentuan peratutan perundang-permintaan yang yang lain.

Hak Atas Tanah  Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwahak-hak atas tanah yang dimaksud yakni :

1.      hak milik

2.      hak guna usaha

3.      hak guna bangunan

4.      hak pakai

5.      hak sewa

6.      hak membuka tanah

7.      hak memungut hasil hutan

8.      hak-hak lain yang tidak tergolong dalam hak-hak tersebut diatas yang mau

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak-hak yang sifatnya sementara tersebut, yakni hak gadai, hak perjuangan   bagihasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

A.     Objek , Subjek dan Wajib Pajak BPHTB

Objek BPHTBDalam Pasal 2 UU BPHTB, yang menjadi objek BPHTB ialah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi :

1.      Pemindahan Hak, sebab:

a.       Jual Beli

b.      Tukar Menukar

c.       Hibah

d.      Hibah Wasiat

e.       Waris

f.        Pemasukan dalam Perseroan/Badan Hukum lainnya

g.       Pemisahan Hak yang menimbulkan peralihan

h.       Penunjukan pembeli dalam Lelang

i.         Pelaksanaan putusan Hakim yang memiliki kekuatan Hukum Tetap

j.        Penggabungan Usaha

k.      Peleburan Usaha

l.         Pemekaran Usaha

m.     Hadiah.

2.      Pemberian Hak Baru alasannya adalah

a.       Kelanjutan Pelepasan Hak

b.      Diluar Pelepasan Hak.

Sedangkan jenis-jenis hak atas tanah yang perolehan haknya dikenakan BPHTB sebagaimana dikelola dalam Pasal 2 ayat (3) UU BPHTB meliputi :

a.       Hak Milik

b.      Hak Guna Usaha

c.       Hak Guna Bangunan

d.      Hak Pakai

e.       Hak Milik atas satuan Rumah Susun

f.        Hak Pengelolaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB ialah :

a.                           Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasar azas perlakuan timbal balik.

b.                           Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan lazim

  Surat Ijin Tot

c.                           Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha/aktivitas lain diluar fungsi dan tugasnya

d.                           Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena KONVERSI HAK atau karena tindakan Hukum lain dengan tidak adanya pergantian nama

e.                           Objek yang diperoleh orang eksklusif/Badan karena WAKAF

f.                             Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan alasannya kepentingan IBADAH.

Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang langsung atau tubuh yang menemukan hak atas Tanah dan atau Bangunan.Wajib Pajak BPHTB Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan tersebut diatas menjadi wajib pajak BPHTB bila dikenakan kewajiban membayar pajak.

B.     Tarif Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung BPHTB

Wajib Pajak BPHTBPasal 5 UU BPHTB menyatakan bahwa tarif BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5 %.Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan akomodasi perhitungan.Dasar Pengenaan Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat NPOP sesuai ketentuan Pasal 6 UU BPHTB.Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut yakni selaku berikut :

1.      Jual Beli = Harga Transaksi

2.      Tukar Menukar = Nilai Pasar

3.      Hibah = Nilai Pasar

4.      Hibah Wasiat = Nilai Pasar

5.      Waris = Nilai Pasar

6.      Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum yang lain = Nilai Pasar

7.       Pemisahan Hak = Nilai Pasar

8.      Peralihan Hak alasannya Putusan Hakim = Nilai Pasar

9.      Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar

10.  Penggabungan Usaha = Nilai Pasar

11.  Peleburan Usaha = Nilai Pasar

12.  Pemekaran Usaha = Nilai Pasar

13.  Hadiah = Nilai Pasar

14.  Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3), jika NPOP tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan yaitu NJOP PBB dan bila NJOP PBB belum ditetapkan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (4) besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.Selanjutnya di dalam Pasal 7, pemerintah memilih suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan Pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 113 Tahun 2000 ihwal Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB.

Cara Menghitung BPHTB, Untuk menjumlah besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) ialah dengan cara mengurangkan NPOP dengan NPOPTKP. Dengan demikian untuk menghitung besarnya BPHTB terutang ialah : BPHTB terutang = Tarif x NPOPKP atau 5% x (NPOP – NPOPTKP) Contoh :

1.      Pada tanggal 1 Pebruari 2003, Bapak Sudirjo berbelanja sebidang tanah yang terletak di Kabupaten Tangerang dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp50.000.000,Apabila NPOPTKP ditetapkan untuk Kabupaten Tangerang sebesar Rp60.000.000,- maka BPHTB yang menjadi keharusan Bapak Sumarno tsb ialah : 5% x (50.000.000 – 60.000.000) = Nihil atau dengan kata lain Bapak Sudirjo tidak terutang BPHTB.

2.      Pada tanggal 1 Maret 2003 , Bapak Rahmat membeli suatu rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar  Rp50.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Rahmat tersebut ialah : 5% x (600.000.000 – 50.000.000) = Rp27.500.000,-

C.     Pengenaan BPHTB Karena Waris, Hibah Wasiat dan Pemberian Hak Pengelolaan

1.      Pengenaan BPHTB Karena Waris dan Hibah Wasiat Sesuai dengan bunyi Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB sebab waris dan hibah wasiat diatur dengan peraturan pemerintah, adalah PP No. 111 Tahun 2000 perihal Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, yang mengontrol hal-hal sebagai berikut:

a.       BPHTB terutang karena waris dan hibah wasiat sebesar : 50 % dari yang semestinya terutang

b.      Saat terutang pajak adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya  ke Kantor Pertanahan

c.       Dasar pengenaan (NPOP) yakni nilai pasar pada ketika registrasi hak

d.      Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan yakni NJOP PBB

e.       Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :

1)      Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam relasi keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat tergolong suami/istri.

2)      Maksimum Rp60 juta kepada penerima hibah wasiat selain dari yang diatas.Contoh :

a)      Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp250 juta. Terhadap tanah dan bangunan tersebut sudah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp425 juta. Apabila NPOPTKP karena waris untuk daerah tersebut diputuskan sebesar Rp250 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :50% x 5% x (Rp425 juta – Rp250 juta) = Rp4.375.000,-

  Makalah Kemajuan Sejarah Komputer Generasi Kelima

b)      Seorang cucu mendapatkan hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp325 juta. Terhadap tanah tersebut sudah diterbitkan SPPT PBB pada tahun registrasi hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada kawasan tersebut ditentukan sebesar Rp50 juta maka BPHTB yang terutang ialah sebesar :50% x 5% x (Rp325 juta – Rp50 juta ) = Rp6.875.000,-

c)      Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Attin” menerima hibah wasiat dari seorang senang memberi sebidang tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu registrasi hak sebesar Rp700 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut diputuskan sebesar Rp60 juta maka BPHTB terutang yang harus dibayar oleh  Yayasan tersebut adalah sebesar : 50% x 5% x ( Rp700 juta – Rp60 juta) = Rp16.000.000,-

d)      Pengenaan BPHTB Karena Pemberian Hak Pengelolaan Sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB alasannya perlindungan hak pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah, yakni PP No. 112 Tahun 2000 wacana Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan alasannya Pemberian Hak Pengelolaan, yang mengontrol hal-hal selaku berikut : Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan yakni hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk menyiapkan peruntukan dan penggunaan tanah, memakai tanah untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut terhadap pihak ketiga dan atau berhubungan dengan pihak ketiga.

2.      Besarnya BPHTB alasannya Hak Pengelolaan ialah :

a.       0% dari BPHTB yang seharusnya terutang jikalau akseptor Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota, Lembaga Pemerintah Lain dan Perum Perumnas.

b.      50% dari BPHTB yang seharusnya terutang untuk selain yang diatas

c.       Saat terutang Pajak yakni semenjak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan dukungan Hak Pengelolaan

d.      Dasar pengenaan ( NPOP) yaitu Nilai Pasar

e.       Apabila Nilai Pasar lebih kecil dari NJOP PBB maka yang digunakan yakni NJOPPBB.

D.    Terutang Pajak

Ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU BPHTB menampung tentang saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai berikut :

1.      Jual Beli : Sejak tanggal dibentuk & ditandatanganinya Akta

2.      Tukar Menukar : Sejak tanggal dibentuk & ditandatanganinya Akta

3.      Hibah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta

4.      Waris : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan

5.      Pemasukan dalam Perseroan : Sejak tanggal dibuat& ditandatanganinya Akta

6.      Pemisahan Hak : Sejak tanggal dibentuk & ditandatanganinya Akta

7.      Lelang : Sejak tanggal penunjukan pemenang Lelang

8.      Putusan Hakim : Sejak tanggal putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap

9.      Hibah Wasiat : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan Haknya ke Kantor Pertanahan

10.  Pemberian Hak Baru : Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian HaK

11.   Penggabungan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta

12.   Peleburan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta

13.   Pemekaran Usaha : Sejak tanggal dibentuk & ditandatanganinya Akta

14.  Hadiah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta

Pajak terutang mesti dilunasi pada dikala terjadinya perolehan hak, dengan kata lain ketika terutang pajak BPHTB yakni ialah ketika untuk wajib mengeluarkan uang pajak.Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.Ketentuan metode pembayaran BPHTB tercantum dalam Pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.03/2007 ihwal Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 ihwal Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 wacana Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dan Bentuk Serta Fungsi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (SSB) dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 yang intinya yaitu sebagai berikut :

1.      Pembayaran tidak mendasarkan terhadap adanya Surat Ketetapan Pajak

2.      Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk

3.      SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Kewajiban Bayar yaitu pada dikala :

  Les yang Menyenangkan

a.       Dibuat & ditandatanganinya Akta

b.      Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat

c.       Ditunjuknya pemenang Lelang

d.      Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal tunjangan Hak Baru

e.       Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap

E.     Tata Cara Penetapan Dan Penagihan

Tata cara penetapan BPHTB dikelola didalam Pasal 11 dan Pasal 12 selaku berikut :

1.      Dalam rentang waktu 5 tahun semenjak pajak terutang, menurut hasil investigasi terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan ( 48% ).

2.      Setelah terbit SKBKB, terdapat data gres lagi sehingga Pajak terutang bertambah, maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi manajemen sebesar 100% dari jumlah peningkatan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada investigasi.Tata cara penagihan BPHTB dikelola dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15 UU BPHTB maka apabila :

a.       Pajak terutang tidak/kurang bayar;

b.      Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar; dan

c.       WP kena hukuman manajemen berbentukdenda/bunga,maka Direktorat Jenderal Pajak mempublikasikan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

F.      Pembagian Hasil Penerimaan BPHTB

Pembagian hasil penerimaan BPHTB dikontrol dalam Pasal 23 UU BPHTB dan pelaksanaannya dikelola lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan No.519/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 selaku berikut :

1.      Pemerintah Pusat menerima bagian sebesar 20% dari seluruh penerimaan BPHTB yang lalu bagian Pemerintah Pusat ini dibagikan secara merata keseluruh kawasan Kabupaten/Kota dan dilakukan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan Nopember tahun anggaran berjalan

2.      Pemda mendapat bab sebesar 80% yang dibagi sebagai berikut :

a.       16% untuk Daerah Propinsi; dan

b.      64% untuk Daerah Kabupaten/Kota.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 04/PMK.07/2008 tanggal 28 Januari 2008tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah,atas transfer Dana Bagi Hasil BPHTB untuk tempat Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran melimpahkan sebagian kewenangan perintah pemindah bukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah kepada Kuasa Bendahara Umum Negara. Pelimpahan kewenangan ini dilaksanakan dengan mempublikasikan Surat Perintah Menerbitkan Surat Kuasa Umum (SPMSKU).Berdasarkan SPMSKU ini maka Kuasa Bendahara Umum Negara menerbitkan Surat Kuasa Umum (SKU) terhadap Bank Operasional III untuk melaksanakan pemindahbukuan Dana Bagi Hasil BPHTB dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ini berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun budget berjalan dan dijalankan secara mingguan.Dalam rangka penyaluran transfer ke tempat, setiap tahun anggaran selambat-lambatnya pada ahad pertama bulan Desember sebelum tahun budget dimulai, pemerintah tempat wajib memberikan nomor rekening, nama rekening dan nama bank kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan yang dilampiri dengan:

1)      aslirekening koran dari Rekening Kas Umum Daerah

2)      fotokopi keputusan kepala tempat tentang penunjukan/penetapan pejabat Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah yang disahkan oleh kepala kawasan.

 

 

BAB III

PENUTUP

A.     KESIMPULAN

1.      Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yaitu pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan,yang berikutnya disebut pajak. Perolehan ha katas tanah dan bangunan yakni perbuatan atau insiden aturan yang menjadikan diperolehnya ha katas bangunan oleh orang pribadi. Ha katas tanah ialah termasuk hak pengelolaan,beserta bangunan sebagaimana dalam undang-undang Nomor 5 tahun 1960 wacana Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agria, Undang-Undang Nomor 16  perihal Rumah Susun dan ketentuan peratutan perundang-ajakan yang lainnya.

2.      Hak Atas Tanah  Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan bahwahak-hak atas tanah yang dimaksud yakni :

1. hak milik

2. hak guna usaha

3. hak guna bangunan

4. hak pakai

5. hak sewa

6. hak membuka tanah

7. hak memungut hasil hutan

8. hak-hak lain yang tidak tergolong dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Hak hak yang sifatnya sementara tersebut, adalah hak gadai, hak usaha   bagihasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian dikontrol untuk membatasi sifat-sifatnya yang berlawanan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.

 

  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Undang-Undang No. 21 Tahun 1997tentangBeaPerolehan Hak AtasTanah dan Bangunan.

Harsono, Boedi, 1997,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, hi dan Pelaksanaannya, Djambatan Jakarta..

https://www.slideshare.net/061209/makalah-bea-perolehan-tanah-dan-bangunan

Walijatun, Djoko, 2001, Konsep Dasar Pemikiran Sumber Keuangan diDaerah,B\x\\Q\m Sandi Edisi XV/Maret/2001,

[1]Mardiasmo, 2005, Perpajakan (edisi revisi), Andi Offset, Yogyakarta,h.1.