Makalah Ahlu Sunnah Wal Jamaah Sunni Dan Perbandingan Ajaran Ilmu Kalam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad wafat, dalam kubu umat Islam mulai muncul benih perpecahan yang telah usang mampu diredam akal Nabi. Hal ini dimulai dengan perdebatan pengganti Rasul selaku khalifah. Perdebatan usai dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah yang sah dengan jalan musyawarah di antara para sahabat. Belum usang menjabat khalifah, Abu Bakar disibukkan dengan pemberontakan Nabi palsu dan orang-orang yang menolak mengeluarkan uang zakat. Namun hal ini bukanlah dilema yang besar yang mampu memporak-porandakan kokohnya persatuan umat Islam. Dan semuanya mampu diselesaikan sampai final kekuasaan Abu Bakar.
Pada kala khalifah Umar Ibnu Khattab dan permulaan pemerintahan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi dilema, bahkan terjalin persaudaraan yang bersahabat. Tapi perpecahan mulai timbul pada selesai pemerintahan Utsman bin Affan dengan terjadinya suatu duduk perkara yang berawal dari kebijakan khalifah Utsman sendiri. Kebijakan Utsman yang dianggap tidak cocok dengan keperluan umat pada saat itu dan nepotismenya. Utsman banyak memilih para pejabat dari kalangan keluarganya yang lebih banyak dikenalnya dari pada yang lain. Namun kebijakan Usman ini justru menjadi awal bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan pemerintahan.
Setelah itu Ali Bin Abi Thalib terpilih menjadi khalifah mengambil alih Utsman, namun dalam pengangkatan itu tidak mendapatkan suara yang bundar, alasannya adalah ada golongan yang tidak menyepakati pengangkatan Ali sebagai khalifah. Bahkan ada yang jelas-terangan menentang dengan menuduh Ali sebagai orang yang ikut campur dalam perkara pembunuhan Utsman. Mereka yaitu Bani Umaiyah yang mempunyai ikatan kekeluargaan dengan Usman. Semenjak itulah, perpecahan umat Islam terbuka, dari perpecahan politik merembet hingga pada lahirnya aneka macam fatwa keagamaan dalam menjustifikasi kepentingan politiknya.
Perpecahan yang terjadi, selain menenteng imbas negatif juga banyak memberikan imbas positif. Khususnya dalam perkembangan intelektual kaum muslimin dan pembongkaran stagnasi pemikiran. Berbagai disiplin ilmu yang sebelumnya tidak ada bermunculan (lebih sistematis). Dalam ilmu kalam sendiri banyak ditemukan banyak aliran mulai dari yang ekstrem hingga yang moderat. Salah satu dari sekian pemikiran yang ada dengan pengikutnya yang sungguh banyak bahkan sampai kini adalah Ahlus sunnah wal jama’ah. Apa yang menjadi kunci berhasil anutan ini dengan pengaruhnya yang sangat besar hingga kini?. Mungkin siapa saja bertanya-tanya, begitu pula kami. Sehingga kami tertarik untuk menulis makalah terkait aliran ini mulai dari sejarahnya.
Ilmu Tauhid (ilmu kalam) ialah disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan obrolan perihal dilema-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-pesoalan kalam ini lazimnya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar argumen-argumen baik secara rasional (aqliyah) maupun secara tradisional (naqliyah). Yang dimaksud argumen secara aqliyah yaitu landasan pengertian yang cenderung memakai metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasinaqliyah lazimnya berdasarkan pada alasan berbentukdalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni?
2.      Siapa Tokoh Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni?
3.      Bagaimana Doktrin, Prinsip dan Dasar Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni?
4.      Bagaimana Perbandingan Pemikiran Ilmu Kalam?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui serta Memahami Pengertian Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni.
2.      Mengetahui serta Memahami Tokoh Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni.
3.      Mengetahui serta Memahami Doktrin, Prinsip dan Dasar Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah/Sunni.
4.      Mengetahui serta Memahami Perbandingan Pemikiran Ilmu Kalam.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    AHLU SUNNAH WAL JAMAAH/ SUNNI
1.      Pengertian Ahlu Sunnah Wal Jamaah/ Sunni
a.       Pengertian as-Sunnah Secara Istilah (Terminologi)
Yaitu isyarat yang sudah ditempuh oleh rasulullah SAW dan para Sahabatnya baik berkenaan dengan ilmu, ‘aqidah, perkataan, tindakan maupun ketetapan. As-Sunnah juga digunakan untuk menyebut sunnah-sunnah (yang bekerjasama dengan) ibadah dan ‘aqidah. Lawan kata “sunnah” yakni “bid’ah”. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kalian setelahkau, maka akan menyaksikan pertikaian yang banyak. Maka hendaknya kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khulafa-ur Rasyidin dimana mereka itu telah menerima hidayah. “(Shahih Sunan Abi Dawud oleh Syaikh al-Albani). (HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzi no. 2676, dan al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat keternagan hadits selengkapnya di dalam Irwaa-ul Ghaliil no. 2455 oleh Syaikh al-Albani.
b.      Pengertian Jama’ah Secara Bahasa (Etimologi)
Jama’ah diambil dari kata “jama’a” artinya mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian dengan sebagian lain. Seperti kalimat “jama’tuhu” (saya telah mengumpulkannya); “fajtama’a” (maka berkumpul). Dan kata tersebut berasal dari kata “ijtima'” (asosiasi), dia musuh kata dari “tafarruq” (perceraian) dan juga lawan kata dari “furqah” (perpecahan).
Jama’ah ialah sekelompok orang banyak; dan dibilang juga sekelompok insan yang berkumpul berdasarkan satu tujuan. Dan jama’ah juga berarti kaum yang bersepakat dalam suatu persoalan. (Lihat kamus bahasa: Lisaanul ‘Arab, Mukhtaraarush Shihaah dan al-Qaamuusul Muhiith: (bagian: Jama’a). 
c.       Pengertian Jama’ah Secara Istilah (Terminologi):
Yaitu kelompok kaum muslimin ini, dan mereka adalah pendahulu ummat ini dari kalangan para teman, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti jejak kebaikan mereka hingga hari akhir zaman; dimana mereka berkumpul berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah dan mereka berlangsung sesuai dengan yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW baik secara lahir maupun bathin. Allah Ta’ala telah memeringahkan kaum Mukminin dan mengusulkan mereka agar berkumpul, bersatu dan tolong-menolong. Dan Allah melarang mereka dari perpecahan, perselisihan dan permusuhan. Allah SAW berfirman: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.”(Ali Imran: 103).  Dia berfirman pula, “Dan janganlah kamu mirip orang-orang yang bercerai-berai dan bertikai sesudah datang keterangan yang terperinci terhadap mereka. “(Ali Imran: 105). 
d.      Pengertian Sunni
Sunni, istilah pendek Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu nama suatu pemikiran anutan yang mengklaim dirinya sebagai pengikut sunnah, ialah suatu jalan keagamaan yang mengikuti Rasulullah dan sobat-sahabatnya, sebagaimana dilukiskan dalam hadith: “Ma ana ‘alaih wa ashabi”. Jama’ah berarti lebih banyak didominasi, sesuai dengan tafsiran Sadr al-Sharih al-Mahbubi, yakni ‘ammah al-muslimun (biasanya umat Islam) dan al-jama’ah al-kathir wa al-sawad al-‘azm (jumlah banyak dan khalayak ramai). Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bahu-membahu sudah terformat sejak periode permulaan Islam yang ajarannya ialah pengembangan dari dasar fatwa yang telah dirumuskan sejak masa sahabat dan tabi’in. Yaitu anutan keagamaan yang menimbulkan hadits selaku acuan utamanya sesudah al-Qur’an. Nama ahl al-hadits diberikan selaku ganti ahl al-Sunnah wa-Jama’ah yang pada saat itu masih dalam proses pembentukan dan ialah antitesis dari paham Khawarij dan Mu’tazilah yang tidak mau mendapatkan al-hadits (as-Sunnah) selaku sumber pokok pedoman agama Islam.
Istilah ini (ahl al-Sunnah wa-Jama’ah) mulanya ialah nama bagi pemikiran Asy’ariyah dan Maturidiah yang timbul sebab reaksi kepada paham Mu’tazilah yang pertama kali disebarkan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H/ 718 M dan meraih puncaknya pada masa khalifah ‘Abbasiyah, ialah al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Wasiq (842-847 M). Pengaruh ini makin kuat ketika paham Mu’tazilah dijadikan sebagai madzab resmi yang di anut negara pada era al-Ma’mun.
2.      Sejarah Munculnya serta kalangan yang termasuk Ahlussunnah wal jama’ah
Bersabda Besar Nabi Muhammad SAW, maknanya: “dan bekerjsama umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok, 72 di antaranya di neraka dan cuma satu yang di nirwana, para teman bertanya “Siapakah mereka? Nabi menjawab “ adalah mereka yang menyontek padaku dan pada sahabat-sahabatku”. (H.R. Abu Dawud)
Sejarah mencatat bahawa di golongan umat Islam bermula dari era-kala awal (mulai dari kurun khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sehinggalah sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam duduk perkara aqidah yang saling berlawanan di antara satu sama lain. Ini fakta yang tidak dapat disangkal. Bahkan dengan tegas dan terang Rasulullah sudah menjelaskan bahawa umatnya akan berpecah menjadi 73 kelompok. Semua ini telah tentunya dengan hasratAllah dengan banyak sekali pesan yang tersirat tersendiri, meskipun tidak kita ketahui secara niscaya.
Hanya Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang mesti kita ikuti dan panuti supaya tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; secara umum dikuasai umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad, bahawa umatnya tidak akan kehilangan arah selama mana mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyimpang dan memisahkan diri dari doktrin secara umum dikuasai.
Mayoritas umat Muhammad dari dulu hingga kini yaitu Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka yaitu para teman dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar kepercayaan yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril yang berniat : “Iman ialah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari simpulan serta Qadar (ketentuan Allah); yang bagus maupun jelek”. (H.R. al Bukhari dan Muslim)
Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang bermaksud: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti teman-sahabatku, lalu mengikuti orang-orang yang tiba sesudah mereka, kemudian mengikuti yang tiba sesudah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bareng al-Jama’ah dan jauhi perpecahan sebab syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menghendaki tempat lapang di syurga hendaklah dia berpegang teguh pada (iktikad) al-Jama’ah”. (H.R. at-Tirmidzi; berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).
Al-Jama’ah dalam hadits ini dilarang diartikan dengan orang yang senantiasa melakukan solat dengan berjama’ah, jama’ah masjid tertentu. Konteks pembicaraan hadits ini terang mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah yakni secara umum dikuasai umat Muhammad dari segi jumlah(‘adad). Penafsiran ini diperkuatkan juga oleh hadits yang dinyatakan di permulaan pembahasan. yaitu hadits riwayat Abu Daud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sobat. hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kesesatan firqah-firqah yang menyimpang. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyimpang ini, jika ketimbang pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.  Seterusnya di golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah terdapat ungkapan yang popular ialah “ulama salaf”. Mereka ialah orang-orang yang terbaik dari golongan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi yang maknanya: “Sebaik-baik era yakni abadku lalu periode sesudah mereka kemudian kurun setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)
Pada kala ulama salaf ini, di sekeliling tahun 260 H, mula tercetus bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lain-lainnya dari golongan-golongan yang membuat fahaman atau mazhab gres. Kemudian muncullah dua imam muktabar pembela Aqidah Ahlussunnah adalah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridhai keduanya–menerangkan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sobat Nabi Muhammad dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nas-nas al-Quran dan hadits) dan dalil-dalil aqli (argumentasi rasional) disertaikan dengan bantahan-bantahan kepada syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang bekerjsama) kelompok Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij dan jago bid’ah lainnya.
Disebabkan inilah Ahlussunnah dinisbahkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah karenanya diketahui dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut Imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini menunjukkan bahawa mereka yakni satu kelompok yakni al-Jama’ah. Kerana bahwasanya jalan yang ditempuhi oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah yakni sama dan satu. Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanyalah pada sebahagian problem-persoalan furu’ (cabang) aqidah.
Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling berhujah dan berdebat atau saling menyesatkan, serta tidak menimbulkan keduanya terlepas dari ikatan kalangan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini ialah mirip pertikaian yang terjadi di antara para sobat nabi, wacana adakah Rasulullah melihat Allah pada ketika Mi’raj? Sebaagian teman, mirip ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud menyampaikan bahawa Rasulullah tidak menyaksikan Tuhannya ketika Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn ‘Abbas menyampaikan bahawa Rasulullah melihat Allah dengan hatinya.
Allah memberi kesanggupan melihat terhadap hati Nabi Muhammad atau membuka hijab sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap bareng atau bersefahaman dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafiz Murtadha az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan: “Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud yakni al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (Al-Ithaf Syarah li Ihya Ulumuddin, juz 2 hlm 6)
Maka aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang soleh yakni aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Kerana sebetulnya keduanya hanyalah merumuskan serta membuat ringkasan yang gampang (method) dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para teman. Aqidah Ahlusssunnah yakni aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).
3.      Tokoh serta Perkembangannya Ahlusunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlus-Sunnah pada abad kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat dilihat dengan kemajuan empat mazhab yang ada di badan Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, hidup pada kurun perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.
Madzhab / pedoman Fiqh
Terdapat empat mazhab yang paling banyak disertai oleh Muslim Sunni. Di dalam akidah sunni empat mazhab yang mereka miliki valid untuk disertai. Perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat mendasar. Perbedaan mazhab bukan pada hal aqidah (pokok keimanan) namun lebih pada sistem ibadah. Para Imam menyampaikan bahwa mereka hanya berijtihad dalam hal yang memang tidak ada keterangan tegas dan terperinci dalam al Quran atau untuk menentukan kapan sebuah hadis mampu diamalkan dan bagaimana keterkaitannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad tanpa mengetahui dasarnya yaitu terlarang dalam hal akidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih dibolehkan, alasannya tumpuan kita adalah Rasulullah saw. dan ia memang tidak pernah menyuruh untuk beribadah dengan apalagi dulu mencari dalil-dalilnya secara eksklusif, alasannya adalah kalau hal itu wajib bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus mempunyai arti agama itu tidak lagi bersifat gampang.
1.      Hanafi
Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi ialah yang paling secara umum dikuasai di dunia Islam (sekitar 45%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan (Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan Maladewa), Mesir bab Utara, separuh Irak, Syiria, Libanon dan Palestina (adonan Syafi’i dan Hanafi), Kaukasia (Chechnya, Dagestan).
2.      Maliki
Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di negara-negara Afrika Barat dan Utara. Mazhab ini memiliki keunikan dengan menyodorkan tata cara hidup penduduk madinah sebagai sumber aturan karena Nabi Muhammad Hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang kala kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits
3.      Syafi’i
Dinisbatkan terhadap Imam Syafi’i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar di Turki, Irak, Syiria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Sri Lanka dan menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.
4.      Hambali
Dimulai oleh para murid Imam ahmad Bin Hambal. Mazhab ini disertai oleh sekitar 5% muslim di dunia dan secara umum dikuasai di tempat Semenanjung Arab. Mazhab ini ialah mazhab yang saat ini dianut di Arab Saudi
5.      Al Bashri Hasan
Karakteristik dasar pendiriannya yang paling utama yakni zuhud kepada kehidupan dunawi sehingga beliau menolak segala kesenangan dan kenikmatan duniawi. kedua yaitu al-khouf dan raja’. Dengan pengertian merasa takut kepada siksa Allah karena berbuat dosa dan sering melalakukan perintahNya. Serta menyadari kekurang sempurnaannya. Oleh karena itu, prinsip ajaran ini ialah mengandung sikap kesiapan untuk melakukan mawas diri atau muhasabah agar senantiasa memikirkan kehidupan yang mau dating ialah kehidupan yang hakiki dan baka.
6.      Rabiah Al Adawiyah
Karakteristik ajarannya yaitu Ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al hubb dengan isi dan pemahaman yang khas tasawuf.Cinta murni kepada Tuhan ialah puncak ajarannya dalam tasawuf yang kebanyakan dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Bisa dibilang, dengan al-hubb beliau ingin memandang wajah Tuhan yang ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisahkan dirinya dengan Tuhan.
7.      Dzu Al Nun Al Misri
Karekteristik anutan yang paling besar dan mencolokdalam dunia tasawuf ialah selaku peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah,yang disebut Al maqomat. Beliau banyak menunjukkan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan Pandangan sufi.
8.      Abu Hamid Al-Ghazali
Inti tasawuf Al Ghazali ialah jalan menuju Allah atau ma’rifatullah. Oleh karena itu,serial Al maqomat dan al ahwal,intinya ialah rincian dari metoda pencapaian
9.      Al-junaid
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membicarakan perihal tauhid. Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf memiliki arti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, suatu ungkapan yang mengingatkan kepada perumpamaan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali muka-Nya (QA. 55:26-27) dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menilai bahwa tasawuf ialah penyucian dan usaha kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
10.  Al-Qusyairi An-Naisabur 
Imam Al-Qusyairy pernah mengkritik para sufi fatwa Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan sarat kesan wacana terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, terutama sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan busana layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya dibandingkan dengan penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tetapi hatinya tidak demikian. Dari sini mampu dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang bahu-membahu tidak diharamkan agama.
11.  Al-Harawi
al-Harwi berbicara wacana maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang abnormal. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias menghalangi ucapan gila yang menyesatkan ; dan menciptakan orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan  yang menyesatkan itu ialah seperti istilah-istilah yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain.
4.      Prinsip/Paham serta Dasar Ahlu Sunnah Wal Jamaah
1.      Al-Firqotun Najiyah Adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah
Pada kurun kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kaum muslimin itu yakni umat yang satu sebagaimana di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya kalian ialah umat yang satu dan Aku (Allah) adalah Rab kalian, maka beribadahlah terhadap-Ku”. (Al-Anbiyaa : 92).
Maka lalu sudah berulang kali kaum Yahudi dan munafiqun berusaha memecah belah kaum muslimin pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka belum pernah sukses.Telah berkata kaum munafiq.
“Artinya : Janganlah kamu berinfaq terhadap orang-orang yang berada di sisi Rasulullah, supaya mereka bubar”.
Yang demikian tersebut bisa terjadi alasannya adalah masih banyaknya ulama dari kelompok muhadditsin, mufassirin dan fuqaha.Mereka termasuk selaku ulama tabi’in dan pengikut para tabi’in serta para imam yang empat dan murid-murid mereka.Juga disebabkan masih kuatnya daulah-dualah Islamiyah pada kurun-abad tersebut, sehingga firqah-firqah menyimpang yang mulai ada pada waktu itu mengalami pukulan yang melumpuhkan baik dari sisi hujjah maupun kekuatannya.
Setelah berlalunya kala-kala yang dipuji ini bercampurlah kaum muslimin dengan pemeluk beberapa agama-agama yang berlawanan.Diterjemahkannya kitab ilmu pemikiran-pedoman kuffar dan para raja Islam-pun mengambil beberapa kaki tangan pemeluk fatwa kafir untuk dijadikan menteri dan penasihat kerajaan, maka makin dahsyatlah pertengkaran di golongan umat dan bercampurlah aneka macam ragam kalangan dan pedoman.Begitupun madzhab-madzhab yang batilpun ikut bergabung dalam rangka menghancurkan persatuan umat.Hal itu terus berlangsung sampai zaman kita kini dan hingga periode yang dikehendaki Allah.
Walaupun demikian kita tetap bersyukur terhadap Allah alasannya Al-Firqatun Najiyah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah masih tetap berada dalam kondisi berpegang teguh dengan anutan Islam yang benar berlangsung diatasnya, dan menyeru kepadanya ; bahkan akan tetap berada dalam keadaan demikian sebagaimana diberitakan dalam hadits Rasulullah perihal keabadiannya, keberlangsungannya dan ketegarannya. Yang demikian itu yakni karunia dari Allah demi langgenggnya Din ini dan tegaknya hujjah atas para penentangnya.
Sesungguhnya golongan kecil yang diberkahi ini berada di atas apa-apa yang pernah ada semasa sahabat Radhiyallahu ‘anhum bareng Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam perkataan tindakan maupun keyakinannya mirip yang disabdakan oleh ia.
“Artinya : Mereka yakni barangsiapa yang berada pada apa-apa yang saya dan para sahabatku jalani hari ini2)
Prinsip-prinsip tersebut teringkas dalam butir-butir berikut :
Prinsip Pertama
Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Taqdir baik dan jelek.
1.      Iman terhadap Allah
Beriman terhadap Allah artinya berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beriti’qad dan bersedekah dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluuhiyyah dan tauhid al-asmaa wa -ash-shifaat. Adapun tauhid rububiyyah ialah menatauhidkan segala apa yang dilakukan Allah baik mencipta, memberi rizki, membangkitkan dan mematikan ; dan bahwasanya Dia itu adalah Raja dan Penguasa segala sesuatu.
2.      Beriman terhadap Para Malaikat-Nya
Yakni membenarkan adanya para malaikat dan bantu-membantu mereka itu ialah mahluk dari sekian banyak mahluk Allah, diciptakan dari cahaya.Allah mencitakan malaikat dalam rangka untuk beribadah kepada-Nya dan melaksanakan perintah-perintah-Nya di dunia ini, sebagaimana difirmankan Allah.
“Artinya : ….Bahkan malaikat-malaikat itu yaitu mahluk yang dumuliakan, mereka tidak mendahulu-Nya dalam perkataan dan mereka menjalankan perintah-perintah-Nya”. (Al-Anbiyaa : 26-27).
“Artinya : Allahlah yang menimbulkan para malaikat sebagai utusan yang memiliki sayap dua, tiga dan empat ; Allah menambah para mahluk-Nya apa-apa yang Dia kehendaki”. (Faathir : 1)
3.      Iman kepada Kitab-kitab-Nya
Yakni membenarkan adanya Kitab-kitab Allah beserta segala kandungannya baik yang berupa hidayah (isyarat ) dan cahaya serta mengimani bekerjsama yang menurunkan kitab-kitab itu adalah Allah sebagai isyarat bagi seluruh insan.Dan sesungguhnya yang paling agung diantara sekian banyak kitab-kitab itu yaitu tiga kitab yaitu Taurat, Alkitab dan Al-Qur’an dan di antara ketiga kitab agung tersebut ada yang teragung yakni Al-Qur’an yang merupakan mu’jizat yang agung.Allah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (Hai Muhammad) : ‘bahwasanya bila insan dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an pasti mereka tidak akan mampu melakukannya walaupun sesama mereka saling pundak membahu”. (Al-isra : 88)
4.      Iman Kepada Para Rasul
Yakni membenarkan semua rasul-rasul baik yang Allah sebutkan nama mereka maupun yang tidak ; dari yang pertama hingga yang terkahir, dan epilog para nabi tersebut yaitu nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
5.      Iman Kepada Hari Akhirat
Yakni membenarkan apa-apa yang mau terjadi sehabis kematian dari hal-hal yang sudah diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik tentang adzab dan ni’mat kubur, hari kebangkitan dari kubur, hari berkumpulnya manusia di padang mahsyar, hari perhitungan dan ditimbangnya segala amal perbuatn dan santunan buku laporan amal dengan ajun atau kiri, tentang jembatan (sirat), serta syurga dan neraka. Disamping itu keimanan untuk bersiap sedia dengan amalan-amalan sholeh dan meninggalkan amalan sayyi-aat (jahat) serta bertaubat dari padanya.
Dan sungguh telah mengingkari adanya hari akhir orang-orang musyrik dan kaum dahriyyun, sedang orang-orang Yahudi dan Nashara tidak mengimani hal ini dengan keimanan yan benar sesuai dengan permintaan, walau mereka beriman akan adanya hari tamat. Firman Allah.
“Artinya : Dan mereka (Yahudi dan Nashara) berkata : ‘Sekali-kali tidaklah masuk syurga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi dan Nashara. Demikianlah angan-angan mereka ……”.(Al-Baqarah : 111).
6.      Iman kepada taqdir.
Yakni beriman sebetulnya Allah itu mengetahui apa-apa yang sudah terjadi dan yang hendak terjadi; memilih dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan sebetulnya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun jelek, kafir, iktikad, ta’at, ma’shiyat, itu sudah diharapkan, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan sebetulnya Allah itu mengasihi keta’atan dan membenci kemashiyatan.
Sedang hamba Allah itu memiliki kekuasaan, keinginandan kemampuan memilih terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengirim mereka pada keta’atan atau ma’shiyat, akan namun semua itu mengikuti kemauan dan keinginanAllah. Berbeda dengan usulan kelompok Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia terpaksa dengan pekerjaan-pekerjaannya tidak memiliki pilihan dan kemampuan sebaliknya kelompok Qodariyah menyampaikan bantu-membantu hamba itu mempunyai kemauan yang berdiri sendiri dan sebetulnya dialah yang menciptkan pekerjaan dirinya, kemauan dan hasrathamba itu terlepas dari kemauan dan hasratAllah.
Allah benar-benar sudah membantah kedua pertimbangan di atas dengan firman-Nya.
“Artinya : Dan kau tidak mampu berkemauan mirip itu kecuali jika Allah menghendakinya”. (At-Takwir : 29)
Dengan ayat ini Allah memutuskan adanya hasratbagi setiap hamba selaku banyahan terhadap Jabariyah yang ekstrim, bahkan menjadikannya sesuai dengan keinginanAllah, hal ini merupakan bantahan atas golongan Qodariyah.Dan beriman terhadap taqdir dapat mengakibatkan perilaku sabar ketika seorang hamba menghadapi ujian dan menjauhkannya dari segala perbuatan dosa dan hal-hal yang tidak terpuji.bahkan dapat mendorong orang tersebut untuk ulet bekerja dan menjauhkan dirinya dari sikap lemah, takut dan malas.
Prinsip Kedua
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah : bantu-membantu akidah itu perkataan, tindakan dan dogma yang mampu bertambah dengan keta’atan dan berkurang dengan kema’shiyatan, maka dogma itu bukan cuma perkataan dan perbuatan tanpa akidah alasannya yang demikian itu merupakan keimanan kaum munafiq, dan bukan pula iktikad itu hanya sekedar ma’rifah (mengenali) dan meyakini tanpa ikrar dan amal karena yang demikian itu merupakan keimanan orang-orang kafir yang menolak kebenaran. Allah berfirman.
“Artinya : Dan mereka mengingkarinya alasannya adalah kedzoliman dan arogansi (mereka), padahal hati-hati mereka meyakini kebenarannya, maka lihatlah kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu”. (An-Naml : 14)
“Artinya : ……. karena sebetulnya mereka bukan mendustakanmu, akan namun orang-orang yang dzolim itu menentang ayat-ayat Allah”. (Al-An’aam : 33)
“Artinya : Dan kaum ‘Aad dan Tsamud, dan sungguh sudah kasatmata bagi kamu kehancuran tempat-daerah tinggal mereka. Dan syetan menyebabkan mereka memandang baik tindakan mereka sehingga membatasi mereka dari jalan Allah padahal mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam” (Al-Ankabut : 38)
Bukan pula kepercayaan itu cuma sebuah kepercayaan dalam hati atau perkataan dan doktrin tanpa amal perbuatan sebab yang demikian yakni keimanan golongan Murji’ah ; Allah sering kali menyebut amal perbuatan termasuk iktikad sebagaimana tersebut dalam firman-Nya.
“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah mereka yang bila ia disebut nama Allah tergetar hatinya, dan bila dibacakan ayat-ayat Allah bertambahlah imannya dan kepada Allahlah mereka bertawakal, (ialah) orang-orang yang mendirikan shalat, dan yang menafkahkan apa-apa yang sudah dikaruniakan kepada mereka. Merekalah orang-orang mu’min yang bahu-membahu …” (Al-Anfaal : 2-4).
“Artinya : Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iktikad kalian” (Al-Baqarah : 143).
Prinsip Ketiga
Dan diantara prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah yakni bergotong-royong mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali bila ia melaksanakan tindakan yang membatalkan keislamannya.Adapun perbuatan dosa besar selain syirik dan tidak ada dalil yang menghukumi pelakunya selaku kafir. Misalnya meninggalkan shalat alasannya malas, maka pelaku (dosa besar tersebut) tidak dihukumi kafir akan tetapi dihukumi fasiq dan imannya tidak sempurna. Apabila ia mati sedang ia belum bertaubat maka dia berada dalam hasratAllah. Jika Dia berkehendak Dia akan mengampuninya, tetapi si pelaku tidak baka di neraka, sudah berfirman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni dosa-dosa selainnya bagi siapa yang dikehendakinya …” (An-Nisaa : 48).
Dan madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam problem ini berada di tengah-tengah antara Khawarij yang mengkafirkan orang-orang yang melaksanakan dosa besar walau bukan tergolong syirik dan Murji’ah yang mengatakan si pelaku dosa besar selaku mu’min tepat imannya, dan mereka menyampaikan pula tidak berarti sebuah dosa/ma’shiyat dengan adanya akidah sebagaimana tak berartinya suatu tindakan ta’at dengan adanya kekafiran.
Prinsip Keempat
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah wajibnya ta’at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak menyuruh untuk berbuat kema’skshiyatan, jika mereka memerintahkan perbuatan ma’shiyat, ketika itulah kita dihentikan untuk menta’atinya namun tetap wajib ta’at dalam kebenaran yang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ta’atlah kamu kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul serta para pemimpin diantara kalian …” (An-Nisaa : 59)
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Artinya : Dan aku berwasiat kepada kalian semoga kalian bertaqwa terhadap Allah dan mendengar dan ta’at meskipun yang memimpin kalian seorang hamba”.(Telah terdahulu takhrijnya, ialah potongan hadits ‘Irbadh bin Sariyah ihwal pesan tersirat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para sahabatnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah menatap bahwa ma’shiyat terhadap seorang amir yang muslim itu merupakan ma’shiyat terhadap Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabdanya.
“Artinya : Barangsiapa yang ta’at terhadap amir (yang muslim) maka ia ta’at kepadaku dan barangsiapa yang ma’shiyat kepada amir maka beliau ma’shiyat kepadaku”.(Dikelaurkan oleh Bukhari 4/7137, Muslim 4 Juz 12 hal. 223 atas Syarah Nawawi).
Demikian pula, Ahlus Sunnah wal Jama’ah-pun memandang bolehnya shalat dan berjihad di belakang para amir dan menasehati serta medo’akan mereka untuk kebaikan dan keistiqomahan.
Prinsip Kelima
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melaksanakan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak tergolong amalan kufur.Hal ini sesuai dengan perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal wajibnya ta’at terhadap mereka dalam hal-hal yang bukan ma’shiyat dan selama belum tampak pada mereka kekafiran yang jelas.Berlainan dengan Mu’tazilah yang mengharuskan keluar dari kepemimpinan para imam/pemimpin yang melaksanakan dosa besar walaupun belum tergolong amalan kufur dan mereka memandang hal tersebut selaku amar ma’ruf nahi munkar.Sedang pada kenyataannya, iman Mu’tazilah mirip ini ialah kemunkaran yang besar alasannya menuntut adanya bahaya-ancaman yang besar baik berupa keributan, kericuhan, perpecahan dan kerawanan dari pihak musuh.
Prinsip Keenam
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah bersihnya hati dan verbal mereka kepada para sobat Rasul Radhiyallahu ‘anhum sebagaimana hal ini sudah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dikala mengkisahkan Muhajirin dan Anshar dan kebanggaan-kebanggaan terhadap mereka.
“Artinya : Dan orang-orang yang tiba setelah mereka mengatakan : Ya Allah, ampunilah kami dan kerabat-kerabat kami yang telah mendahului kami dalam iktikad dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami kebencian terhadap orang-orang yang beriman : Ya Allah, sebenarnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr : 10).
Ahlus Sunnah memandang bahwa para khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Abu Bakar, kemudian Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhumajma’in. Barangsiapa yang mencela salah satu khalifah diantara mereka, maka ia lebih sesat dibandingkan dengan keledai sebab berlawanan dengan nash dan ijma atas kekhalifahan mereka dalam silsilah seperti ini.
Prinsip Ketujuh
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah ialah mengasihi ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya.
“Artinya : Sesunnguhnya saya mengingatkan kalian dengan hebat baitku”.( Dikeluarkan Muslim 5 Juz 15, hal 180 Nawawy, Ahmad 4/366-367 dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah No. 629).
Sedang yang termasuk keluarga ia yakni istri-istrinya sebagai ibu kaum mu’minin Radhiyallahu ‘anhunna wa ardhaahunna
Dan kerabat-saudara Rasulullah yang sholeh tersebut memiliki hak atas kita berbentukpenghormatan, cinta dan penghargaan, namun kita tidak boleh berlebih-lebihan kepada mereka dengan mendekatkan diri dengan suatu ibadah kepada mereka.Adapaun iktikad bahwa mereka memiliki kemampuan untuk memberi faedah atau madlarat selain dari Allah yaitu bathil, alasannya adalah Allah sudah berfirman.
“Artinya : Katakanlah (hai Muhammad) : Bahwasanya aku tidak kuasa menghadirkan kemadlaratan dan manfaat bagi kalian”. (Al-Jin : 21).
Apabila Rasulullah saja demikian, maka bagaimana pula yang yang lain. Jadi, apa yang diyakini sebagian insan terhadap kerabat Rasul adalah sebuah iktikad yang bathil.
Prinsip Kedelapan
Sedang golongan yang mengingkari adanya karomah-karomah tersebut daintaranya Mu’tazilah dan Jahmiyah, yang pada hakikatnya mereka mengingkari sesuatu yang diketahuinya.Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa ada sebagian manusia pada zaman kita kini yang kesasar dalam duduk perkara karomah, bahkan berlebih-lebihan, sehingga memasukkan apa-apa yang bekerjsama bukan termasuk karomah baik berupa jampi-jampi, pekerjaan para mahir sihir, syetan-syetan dan para pendusta. Perbedaan karomah dan kejadian hebat yang lain itu terperinci, Karomah ialah peristiwa hebat yang diperlihatkan Allah terhadap para hamba-Nya yang sholeh, sedang sihir yaitu keluar biasaan yang biasa diperlihatkan para tukang sihir dari orang-orang kafir dan atheis dengan maksud untuk menyesatkan insan dan mengeruk harta-harta mereka. Karomah bersumber pada keta’atan, sedang sihir bersumber pada kekafiran dan ma’shiyat.
Prinsip Kesembilan
Dan diantara prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah yaitu bahwa dalam berdalil selalu mengikuti apa-apa yang tiba dari Kitab Allah dan atau Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik secara lahir maupun bathin dan mengikuti apa-apa yang dilaksanakan oleh para sobat dari kaum Muhajirin maupun Anshar pada umumnya dan utamanya mengikuti Al-Khulafaur-rasyidin sebagaimana wasiat Rasulullah dalam sabdanya.
“Artinya : Berepegang teguhlah kamu kepada sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyid-iin yang mendapat petunjuk”.(Telah terdahulu takhrijnya).
Dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak mendahulukan perkataan siapapun kepada firman Allah dan sabda Rasulullah.Oleh sebab itu mereka dinamakan Ahlul Kitab Was Sunnah.Setelah mengambil dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka mengambil apa-apa yang sudah disepakati ulama umat ini. Inilah yang disebut dasar yang pertama ; ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala hal yang diperselisihkan manusia selalu dikembalikan kepada Al-Kitab dan As-Sunnah.Allah telah berfirman.
“Artinya : Maka jika kalian berselisih wacana sesuatu, maka kembalikanlah terhadap Allah dan Rasul-Nya jikalau kamu sungguh-sungguh beriman pada Allah dan hari final, yang demikian itu ialah lebih baik bagimu dan lebih baik balasannya”. (An-Nisaa : 59)
Ahlus Sunnah tidak meyakini adanya kema’shuman seseorang selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka tidak berta’ashub pada sebuah usulan hingga usulan tersebut bersesuaian dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.Mereka meyakini bahwa mujtahid itu mampu salah dan benar dalam ijtihadnya.Mereka dihentikan berijtihad sembarang pilih kecuali siapa yang sudah menyanggupi persyaratan tertentu berdasarkan ahlul ‘ilmi. 3)
B.     PERBANDINGAN PEMIKIRAN ILMU KALAM

1.      Iman dan Kufur Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

a.       Makna Iman Menurut Pandangan Ulama’ Salaf Para ulama salaf sudah sepakat bahwasanya, makna akidah tidak terlepas dari tiga aspek, adalah, mengucapkan dengan pengecap dan di yakini oleh hati yang kemudian di aplikasikan dalam bentuk perbuatan oleh anggota tubuh.
b.      Makna Iman dan Kufur  Menurut Pandangan Ulama’ Khalaf
Dalam hal ini kami akan memaparkan pandangan para ulama’ khalaf ihwal makna iman dan kufur sesuai ajaran yang mereka anut.
1)      Khawarij
Iman menurut ajaran khawarij ialah terankum dalam tiga aspek pula, yaitu, membenarkan dengan hati, dilafazkan dengan lidah dan dijalankan oleh anggota badan. Dalam artian semua tindakan baik, baik itu dihukumkan wajib ataupun sunnah, dan meninggalkan dosa besar. Jikalau kita menyaksikan secara sepintas, dogma berdasarkan penganut pemikiran khawarij hampir sama dengan pandangan para ulama’ salaf,
Cuma ketika kita meneliti lebih lanjut lagi, maka kita akan menemukan perbedaan yang sungguh signifikan, alasannya adalah seseorang yang beriman berdasarkan anutan ini yaitu orang yang betul-betul megerjakan perbuatan baik dan meninggalkan tindakan dosa besar, dalam artian, kapan seseorang yang beriman mengerjakan dosa besar maka, kebaikan yang selama ini  mereka kerjakan dapat terhapus, dan orang yang mirip ini pula, mampu di hukumkan sebagai orang kafir, dengan alasan bahwa dogma yang dibentuk oleh tiga faktor tadi, tidaklah mampu dipisahkan antara satu sama lain, alasannya adalah itulah pedoman ini, mengkafirkan Ali bin Abi Thalib, karena mereka menganggap tahkim yang dilaksanakan oleh Ali yakni tergolong dosa besar. 
Azariqah  yang yakni sekte dari khawarij yang sungguh meyakini makna iktikad dalam aliran khawarij ini, mereka berasumsi bergotong-royong Ali bin Abi Thalib bersama beberapa sahabat yang lain yang melakukan tahkim, termasuk Murtakibil Kabirah (berdosa besar), dan di hukumkan atas mereka kafir, dalam hal ini halal bagi mereka untuk dibunuh, dan infinit di dalam neraka. Berbeda dengan kelompok Ziyadiyyah Shufriyyah, yang dalam hal ini mereka beranggapan bahwa orang mukmin yang melaksanakan dosa besar bukanlah ditetapkan baginya kafit Ad-Din, akan tetapi mereka mengklaim sebagai kafi lezat, namun pada pada dasarnya semua sekte dalam khawarij meyakini faham takfir Al-Mu’ayyan (mengkafirkan seseorang secara lansung).Hal ini berlandaskan dalil dari Al-Qur’an QS Al-Maidah Ayat 44 :
Terjemahannya : “Barangsiapa yang tidak menetapkan berdasarkan apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu ialah orang-orang yang kafir.
2)      Murji’ah
Iman berdasarkan pedoman ini berbede dengan pandangan para ulama’ salaf, kelompok ini mempunyai beberapa jawaban tertentu perihal dogma sesuai dengan sekte-sekte yang ada di dalamnya, diantaranya : Yunusiyah mengetahui bahwa iman yaitu mengenal Allah dan tunduk padanya, meninggalkan kesombongan dan mencintainya sepenuh hati. Barang siapa yang meyakini semuanya itu, bermakna mereka beriman, dan barang siapa yang mengindahkannya bermakna mereka secara hakikatnya tidaklah beriman, namun tidak pula hingga merusak esensi doktrin itu sendiri. Al-Jahmiyah, ialah sekte dalam anutan murji’ah yang dikenal sungguh ekstrim kepada alirannya, mereka berasumsi bahwa kepercayaan adalah pembenaran di dalam hati tetapi tidak mesri di aplikasikan dalam perbuatan.
3)       Mu’tazilah
Aliran ini lahir mirip halnya aliran-fatwa yang telah kami sebutkan diataas, yang dilator belakangi oleh permasalahn dosa besar. Namun fatwa ini muncul selaku aliran penengah antara dua pedoman yang konflik yakni anutan Jabariyah dan Qadariyah. Adapun keyakinan menurut ajaran mu’tazilah yakni di yakini dalam hati, di benarkan oleh pengecap dan dilakukan oleh anggota tubuh. Namun bagi mereka hal yang terpenting dalam iktikad adalahbagaimana mengaplikasikan doktrin itu sendiri dalam bentuk tindakan, alasannya apalah arti akidah itu bila hanya diyakini dalam hati dan dibenarkan oleh lidah tanpa aplikasi dalam tindakan, akan namun jika doktrin itu terlaksana dalam bentuk perbuatan, maka dogma dalam hati dan kebenaran oleh lidah tidaklah harus.
4)      Al-Asya’iriyah
Aliran ini berlawanan dengan ahlu sunnah wal jama’ah dalam 15 kasus, diantaranya yaitu masalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Adapun kepercayaan menurut pedoman ini ialah tidak terlepas dari makna bahasanya, adalah Tashdiq bil Qalbi. Membenarkan dalam hati dalam artian membenarkan dalam hati wacana dilema keTuhanan Allah, dan risalah yang di bawa oleh Rasulullah saw. Karena yang di namakan dengan doktrin memang tempatnya adalah didalam hati, adapun kebenaran dengan pengecap dan pengamalan dengan anggota badan, adalah syarat dari akidah itu sendiri, artinya seseorang yang beriman cukup hanya meyakinkan dalam hatinya, adapun maslah membenarkan dengan lidah dan melaksanakan dengan perbuatan adalah nilai dari keimanan itu sendiri. 
Adapun orang mukmin yang menjalankan dosa, jikalau dosa itu besar, maka ada dua daerah dalam pembahasan ini. Pertama, di dunia, seorang mukmin jikalu mengerjakan dosa besar maka di dunia tidaklah dieksekusi sebagai orang kafir, akan tetapi dieksekusi sebagai orang fasik atau mukmin fasik.
Kedua, di akhirat, pertimbangan Asya’irah dalam dilema ini sejalan dengan pendapat para ulama’ salaf, adalah, seorang mukmin yang melakukan dosa besar, lalu meninggal tanpa bertaubat, maka hal ini diserahkan sepenuhnya terhadap Allah, dalam artian jika Allah ingin menghukumnya maka di hukumlah dia di alam baka, tapi kalau Allah berkehendak untuk mengampuninya dengan Rahmatnya, maka hal itupun mampu saja terjadi. 
Setelah menyaksikan dan mendengarkanbeberapa tinjauan pandangan para ulama’ salaf dan khalaf wacana dogma dan kufur sesuai yang mereka yakini, maka kita dapat memahami bahwa keyakinan tidakah terlepas dari tiga unsure yang hamper semua ulama’ (salaf dan khalaf) menyepakatinya, walaupun dalam hal ini, ada yang mengambil hanya sebagian saja dari ketiganya, tetapi tetap tidak bisa terlepas dari tiga unsure tersebut.
Adapun dilema kufur, yakni suatu permasalahan yang kami pandang sangatlah sensitif, karena keyakinan yang letaknya di hati, tentu saja berkaitan dengan kafir atau tidaknya seseorang, alasannya iman dan kufur ini memiliki hubungan yang besar lengan berkuasa, maksudnya jikalau hati itu beriman berarti beliau tidaklah kufur, dalam segi dogma, begitupun sebaliknya. Intinya adalah hati-hatilah dengan hati.

 

2.      Akal dan Wahyu Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Akal dan wahyu adalah alat yang diberikan oleh Tuhan kepada insan untuk mereka pergunakan dalam menemukan ilmu wawasan. “akal sebagai daya berfiir yang ada dalam diri manusia, dengan berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, sedangkan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun terhadap manusiatentang keterangan-informasi Tuhan. Beranjak dari argument diatas, maka timbullah pertengkaran menyangkut persoalan fungsi akal dan wahyu, keduanya tidak terlepas dari masalah wawasan ihwal Tuhan, keharusan Tuhan, dan juga tidak terlepas dari problem baik dan jelek. Dilemma inilah yang mengirim terjadinya pertengkaran antara anutan-anutan theology dalam islam, diantaranya :
a.       Mu’tazilah
Aliran ini memandang sebetulnya pengetahuan yang ini di capai oleh manusia tidak terlepas dari fungsi peranan nalar, karena logika bagi mereka yaitu alat yang paling istimewa yang telah dikaruniakan oleh Allah terhadap manusia. Oleh alasannya adalah itu fatwa ini memandang bahwa nalar insan sudah cukup untuk mengetahui yang mana perbuatan baik, begitupun sebaliknya. Jadi insan wajib bersyukur terhadap Tuhan, sebelum turunnya wahyu, oleh karena itu ke empat masalah pengetahuan ihwal Tuhan, keharusan Tuhan, perbuatan baik dan buruk, kesemuanya itu mampu dikenali dengan logika.
b.      Asya’iriyah
Aliran ini justru berlainan dengan persepsi fatwa diatas, mereka menatap bahwa logika tidak bisa mengenali yang baik dan yang jelek dan yang wajib bagi insan tanpa wahyu. Jadi menurut persepsi pedoman ini, kebaikan dan kejelekan tidak bisa dikenali kewajibannya oleh akal manusia, tanpa isyarat dari wahyu. Makara, insan sebelum turunnya wahyu, tidak berkewajiban untuk mengetahui yang bagus dan yang jelek hanya dengan modal logika saja. Menurut para pengikut asya’irah bekerjsama hanya bisa mengenali wujud Tuhan saja, adapun kasus lainnya yang sudah kami sebutkan diatas tidak mampu dimengerti oleh nalar tanpa pinjaman wahyu.
c.       Maturidiyah
Pada dasarnya aliran ini agak sependapat dengan pemikiran mu’tazilah yang menganggap bahwa akal dapat mengenali segalanya, hal ini dapat kita lihat dari keterangan Al-Bazdawi ( salah seorang penganut faham maturidiyah ), beliau menyampaikan : “Percaya kepada Tuhan dan berterima kasih kepadanya sebelum adanya wahyu ialah wajib dalam faham mu’tazilah…Al-Syaikh Abu Manshur Al-Maturidi dalam hal ini sepaham dengan mu’tazilah. Demikian jugalah biasanya ulama Samarkand dan sebagian dari ulama Irak. 
Namun yang menjadi pertanyaan, apakah aliran ini 100% sepaham dengan paham mu’tazilah dalam hal ini?, sesudah di selidiki dari banyak sekali literature-literatur paham fatwa maturidiyah, ditemukan bahwa ada satu problem yang tidak mampu dimengerti oleh nalar saj, akan tetapi peranan wahyu sungguh penting dalam mengetahui hal ini, ialah masalah keharusan berbuat baik dan menjauhi tindakan buruk. Setelah memperhatikan polemic perbandingan para pedoman-fatwa diatas wacana duduk perkara akan dan wahyu, dapatlah di ketahui bahwa ajaran mu’tazilah lah yang menunjukkan daya paling besar terhadap nalar dalam mengetahui sesuatu.
Sedangkan maturidiyah sendiri memberikan daya yang kurang besar kepada aka dibanding mu’tazilah, sedangkan asya’iriyah memperlihatkan daya kepada logika sangat sedikit dalam mengenali sesuatu dibanding ajaran-fatwa lain, mereka berasumsi bahwa logika dan wahyu, tidak akan sanggup berfungsi maksimal dalam mengetahui sesuatu, utamanya dilema ketuhanan.

 

3.      Perbuatan Tuhan Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Apakah Tuhan memiiki keharusan tertentu atau tidak?, apakah perbuatan Tuhan itu tidak terbatas kepada hal-hal yang bagus-baik saja?, ataukah mencakup hal-hal yang buruk juga?.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, kita mampu menyaksikan aneka macam persepsi pedoman-airan theology dalam islam.
a.       Mu’tazilah
Aliran ini memandang bekerjsama Tuhan mampu berbuat baik dan juga bisa berbuat jelek, akan tetapi menurut mereka, Tuhan tidak akan mungkin dan tidak akan pernah berbuat buruk, alasannya adalah Tuhan sendiri mengetahui kejelekan dari tindakan itu. Dalam hal ini Al-Qur’an menandakan secara jelas bahwa Tuhan tidak akan berbuat dzalim kemapada hambanya.
Aliran ini beranggapan demikian sebab berlandaskan tiga faktor, adalah :
1)      Kewajiban tidak memperlihatkan beban di luar kemampuan insan.
Taklif Mala Yutaq, adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik, hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan.
2)      Kewajiban mengantarkan Rasul
Salah satu keharusan Tuhan berdasarkan faham ini yaitu mengantarkan Rasul kepada ummat manusia, karena mereka beranggapan bahwa keadaan akal yang tidak dapat mengetahui setiap yang harus dimengerti manusia ihwal Tuhan dan alam ghaib. Oleh alasannya itu Tuhan berkewajiban berbuat baik dan yang terbaik, sebagai aplikasi bahwa Tuhan itu mempunyai sifat adil.
3)      Kewajiban menepati kesepakatan (Al-Wa’d) dan ancaman (Al-Wa’id)
Al-Wa’du wal Wa’id yakni salah satu dari lima dasar dogma fatwa mu’tazilah, jadi, jika Tuhan tidak menepati janjinya yaitu memperlihatkan akhir kepada yang berbuat baik, dan tidak memperlihatkan ancamannya kepada yang berbuat buruk, memiliki arti Tuhan sudah menyalahi salah satu sifat yang wajib baginya, ialah, sifat adil, menurut faham ajaran ini. Kemudia ajaran ini menganbil landasan dalam Al-Qr’an QS Al-Anbiya’ Ayat 23 :Terjemahannya : “ Dia tidak ditanya wacana apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
b.      Asya’iriyah
Aliran ini sungguh berbeda dengan faham pedoman mu’tazilah, menurut faham ini Tuhan tidak mempunyai sifat wajib, bahkan Tuhan mampu berbuat apa saja sesuai kehendak dan keinginannya. Makara Taklif mala Yutaq, Al-Wa’du wal Wa’id dan mengantarkan Rasul, sama sekali bukanlah sifat kewajiban mutlak bagi Tuhan untuk mengerjakannya, mereka beranggapan bahwa Tuhan memiliki kapasitas tertinggi, dalam hal ini Tuhan tidak memiiki batasan dalam melakukan sesuatu, bahkan segala sesuatunya bergantung pada kehendak Tuhan semata.
c.       Maturidiyah
Dalam hal ini maturidiyah terpecah menjadi dua sekte, ialah maturidiyah Bukhara dan maturidiyah Samarkand.
1)      Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan asya’iriyah, bahwa Tuhan tidak mempunyai batasan dalam berbuat sesuatu, adapun dilema Al-Wa’du wal Wa’id, Tuhan akan pasti membalas kebaikan insan meskipun Tuhan bisa saja membatalkan ancamannya terhadap orang yang berbuat dosa, alasannya mereka berasumsi bahwa semua hal ini bukanlahsesuatu yang wajib bagi Tuhan, akan tetapi bersifat mungkin baginya.
2)      Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa Tuhan dalam hal ini mempunyai batasan pada kekuasaan dan keinginanmuthlakNya, dalam artian tindakan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang bagus saja, dengan demikian Tuhan wajib berbuat baik bagi manusia.

 

4.      Perbuatan Manusia Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

a.       Jabariyah
Aliran ini dalam mengetahui urusan ini, mereka terpecah menjadi dua, ialah Jabariyah Ekstrim dan Jabariyah Moderat
1)      Jabariyah ekstrim, sekte ini mempunyai faham bahwa perbuatan insan sepenuhnya bergantung pada hasratTuhan, jadi insan hanyalah dipaksa oleh cita-cita Tuhan tanpa daya dan upaya kepada perbuatan insan itu sendiri. Misalnya, seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah hasratmereka sendiri tetapi timbul sebab Qadha’ dan Qadhar Tuhan yang menghendaki demikian.
2)      Jabariyah moderat, sekte ini mempunyai faham yang agak berlawanan dengan faham jabariyah ektrim tadi, mereka beranggapan bahwa Tuhan yang membuat perbuatan manusia (baik dan buruk), namun manusia memiliki peranan di dalamnya, dalam artian didalam diri manusia terdapat efek yang bisa mewujudkan perbuatannya, inilah yang di maksud dengan kasab (acquisition).
b.      Qadariyah
Aliran ini memahami bahwa manusialah yang memiliki opsi dan hasratsendiri (baik dan buruk) atas perbuatannya, alasannya itu dia berhak menerima ganjaran atas perbuatan mereka, bila berbuat baik, maka Tuhan akan membalasnya dengan pahala dan kalau berbuat jelek maka Tuhan akan membalasnya dengan dosa dan ganjaran. Adapun takdir berdasarkan pengertian pedoman ini, bukanlah takdir mirip yang difahami bangsa arab pada masa itu, adalah nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi manusia cuma bertindak berdasarkan naib yang sudah di tentukan sejak akhir hayat terhadap dirinya, dan takdir berdasarkan mereka yaitu ketentuan Allah yang diciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya sejak kematian, yang di istilahkan dalam Al-Qur’an selaku Sunnatullah. Hal ini berlandaskan firman Allah dalam QS Al-Kahfi Ayat 29 : Terjemahannya : “Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah beliau kafir.
c.       Mu’tazilah
Aliran ini mempunyai faham bergotong-royong manusialah yang membuat dan memilih sendiri perbuatannya (free will). Dengan aneka macam alasan, diantaranya :
1)      jikalau Allah yang membuat perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak memiliki perbuatan, maka batallah Taklif Syar’I, hal ini alasannya adalah syari’at yakni ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab, pemenuhan thalab tidak terlepas dari kesanggupan, kebebasan dan pilihan
2)      bila insan tidak bebas untuk melaksanakan perbuatannya, maka runtuhlah teori pahala dan hukuman yang timbul dari konsep Al-Wa’du wal Wa’id. Hal ini alasannya adalah perbuatan itu tidak disandarkan kepadanya.
3)      Kalau manusia tidak memiliki kebebasan dan opsi, pengutusan para Nabi tidak ada gunanya, karena tujuan pengutusan itu yakni dakwah, sedangkan dakwah mesti di barengi keleluasaan piihan. Mu’tazilah dalam hal ini mengambil pijakan dala firman Allah QS As-Sajadah Ayat 7: Terjemahannya : “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya.
d.      Asya’iriyah
Adapun faham alirian ini lebih akrab dengan faham jabariyah, adalah, insan di tempatkan pada posisi yang lemah, ia diumpamakan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Hal ini disebabkan alasannya Asy’ari selaku pendiri pemikiran Asya’ariyah menggunakan teori Al-Kasab (perolehan), adalah, segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan tindakan, konsekuensinya, insan dapat kehilangan keaktifan, sehingga insan bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Sedangkan pemikiran ini berlandaskan pada firman Allah QS As-Shaffat Ayat 96 :   Terjemahannya : “ Padahal Allah-lah yang membuat kau dan apa yang kamu perbuat itu”.
e.       Maturidiyah
Maturidiya Samarkand yang fahamnya lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, cuma saja bagi mereka, daya untuk berbuat tidak diciptakan sebemnya tapi bahu-membahu dengan perbuatannya. Maturidiyah Bukhara hamper sama dengan Maturidiyah Samarkand dalam hal ini, hanya saja mereka menyertakan dalam duduk perkara daya, insan tidak mempunyai daya untuk melaksanakan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta dan manusia cuma mampu melakukan tindakan yang diciptakan oleh Tuhan baginya.

5.      Kalamullah Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Berbicara problem Kalamullah, pasti ada sangkut pautnya dengan sifat Allah, dan mengatakan masalah sifat Allah, terjadi perdebatan yang sengit diantara para kalangan Ulama’ terutama yang berkecimpung dalam faham pedoman-anutan theology islam. Apakah Tuhan mempunyai sifat? Kalau Tuhan memiliki sifat, apakah sifat itu abadi uga sepeti halnya dzat Tuhan itu sendiri?. Beranjak dari pertanyaan inilah, penulis ingin menjajal meninjau lebih lanjut tentag pertimbangan beberapa anutan-ajaran theology dalam islam.
a.       Mu’tazilah
Sebelum kita membahas secara spesifik perihal Kalamullah berdasarkan pandangan mu’tazilah, apalagi dulu kami akan menjelaskan faham mu’tazilahtentang sifat-sifat Allah. Mu’tazilah beranggapan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, karena jika Allah memiiki sifat, berarti sifat itu ikut abadi bareng dzatnya Allah, dan berdasarkan mereka hal itu tidak mungkin, bahkan lebih lanjut Wasil bin Atha’ mengkalim bahwa, barang siapa yang mengimani bahwa Allah yang memiiki sifat, maka sungguh dia sudah musyrik.
 Adapun duduk perkara Allah maha besar atau Allah maha tahu, itu bukan mengambarkan bahwa maha besar dan maha tahu itu sifat Allah, akan namun tiada lain ialah ciptaan dari dzat Allah itu sendiri. Landasan mereka dalam mendukng pendapat diatas dalam Al-Qur’an QS Al-An’am Ayat 103 : Terjemahannya : “ Dia tidak dapat dicapai oleh pandangan mata, sedang Dia mampu menyaksikan segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
” Berbicara persoalan Kalamullah, pasti tidak terlepas dari pada Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an adalah Kalamullah, namun dalam hal ini Kalamullah menurut Mu’tazilah bukanlah sifat Allah akan namun beliau yakni ciptaan Allah, oleh alasannya adalah itu ajaran ini memiiki faham bergotong-royong Al-Qur’an yaitu makhluk, alasannya beliau termasuk ciptaan dari dzat Allah itu sendiri dan pastinya Al-Qur’an ini tidaklah infinit menurut pandangan anutan mu’tazilah. Dalam Al-Qur’an mereka mengambil dalil dari QS Al-Anbiya’ Ayat 2 : Terjemahannya : “Ttidak datang kepada mereka suatu ayat Al Alquran pun yang gres (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,”
b.      Asya’iriyah
Adapun pemikiran ini mengerti sebenarnya Allah memiliki sifat. Berbeda dengan pedoman sebelumnya. Mereka beranggapan sebenarnya Allah mempunyai sifat, namun sifat itu tidak menyatu dengan dzat Allah, akan namun sifat Allah mengikut terhadap dzatnya. Sifat-sifat Allah ini unik, dalam artian sifat-sifat Allah beda dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluknya (Laisa kamitslih syai’), oleh sebab itu sifat-sifat Allah ini dihentikan difahami secara harfiah akan namun memerlukan pengertian secara maknawi (tafsir/ta’wil). 
Begitupun dengan Kalamullah, mereka mengetahui bahwa Kalamullah ini adalah bab dari sifat Allah yang abadi, alasannya adalah itu Al-Qur’an bukanlah makhluk, alasannya adalah segala sesuatu tercipta, sehabis Allah berfirman Kum (jadilah), maka segala sesuatupun terjadi. Mereka berlandaskan pada firman Allah QS Al-Qiyamah Ayat 22-23 : Terjemahannya : “ Wajah-muka (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. terhadap Tuhannyalah mereka menyaksikan.”
c.       Maturidiyah
Pemahaman pemikiran ini perihal sifat-sifat Allah hamper sama dengan pemahaman Asya’iriyah, cumin ajaran ini mengetahui bahwa sifat dan dzat Allah itu satu, tidaklah terpisah seperti halnya apa yang di fahami oleh asya’iriyah. Begitupun dengan Kalamullah (Al-Qur’an), dalam hal ini timbul dua pertimbangan lagi dari kelompok pedoman ini sendiri. Maturidiyah Bukhara mengerti sesungguhnya Al-Qur’an yakni sesuatu yang berdiri sendiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surah, ayat, permulaan dan akhiran bukanlah Kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Qur’an dalam bentuk khiasan.
 Sedangkan berdasarkan maturidiyah Samarkand, Al-Qur’an adalah Kalamullah yang bersifat infinit dari Tuhan dan juga dia Qadim, Kalamullah ini tidak tersusun dari aksara dan kata, sebab yang tersusun itu yakni ciptaan (makhluk). Dalam hal ini pemikiran ini berlandaskan pada firman Allah QS Al-An’am Ayat 103 : Terjemahannya : “ Dia tidak dapat diraih oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menyaksikan segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengenali.

 

6.      Al-Musyabbihah Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

Antropomorphisme atau Al-Musyabbihah yakni suatu faham tentang persamaan wujud Tuhan dengan wujud Makhluknya.
a.       Mu’tazilah
Pandangan mu’tazilah dalam hal ini menyatakan bahu-membahu Tuhan tidak memiliki sifat jasmani, karena kalau Tuhan memiliki sifat itu, mempunyai arti Tuhan mempunyai ukuran, sedangkan Tuhan suci dari segala bentuk jasmani. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang  menyatakan wacana sifat-sifat Allah itu, maka pemikiran ini lebih cenderung menggunakan nalar untuk mentakwilkan kata-kata sifat tersebut terhadap kata-kata yang pantas bagi Tuhan. Misalnya dalam surah Thaha ayat 5, kata “Istiwa’ wal Ghalabah” di takwilkan terhadap kata menguasai dan mengalahkan. Kata “’aini” dalam surah Thaha ayat 39, di takwil kepada kata ilmu. Atau kata “Wajhah” dalam surah Al-Qashas ayat 88, diartikan terhadap kata dzat Allah itu sendiri.
b.      Asya’iriyah
Sebagaimana pedoman ini yang tidak terlampau memakai nalar selaku suatu fungsi yang besar dalam mengerti duduk perkara keTuhanan, merekapun berasumsi bahwa Tuhan tidak memiiki sifat-sifat jasmani bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat insan. Adapun ayat-ayat Al-Qur’an yang menyebutkan tentang sifat-sifattersebut, mirip melihat, mendengar, mengetahui atau bersemayam di atas singgasana. Merea berpendapat sebenarnya ayat-ayat tersebut wajib untuk di-imani tanpa di takwil dan dipertanyakan bentuknya, dalam artian ayat itu wajib di imani secara harfiah saja.
c.       Maturidiyah
Maturidiyah Bukahara dalam hal ini sefaham dengan mu’taziah, sebetulnya Tuhan tidak memilikisifat jasmani, adapun ayat Al-Qur’an yang menyebutkan wacana sifat tersebut, mestilah di takwil. Maturidiyah Samarkand memahami bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan, namun jika di temui ayat ihwal hal ini, maka Samarkand sependapat dengan mu’tazilah, adalah mentakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.

7.      Melihat Allah Menurut Aliran-Aliran Ilmu Kalam

a.       Mu’tazilah
Bagi fatwa ini Tuhan bersifat Immateri, dalam artian Tuhan tidak dapat dilihat alasannya Tuhan tidak mempunyai daerah. Dan Tuhan tidak mampu dilihat dengan mata kepala, sebab seandainya Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala berarti Tuhan dapat dilihat di dunia ini sekarang, sedangkan kenyataannya tidak seorangpun yang mampu melihat Allah di ala mini.
b.      Asya’iriyah
Berbeda dengan anutan sebelumnya, pemikiran asya’iriyah ini beropini bahwa Tuhan dapatlah di alam baka kelak dengan mata kepala, sebab Tuhan memiliki wujud, yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat. Tuhan maha menyaksikan, mempunyai arti Tuhan juga mampu melihat dirinya sendiri, itu tandanya Tuhan dapat menawarkan kemampuan kepada hambanya untuk memberikan dirinya.
c.       Maturidiyah
Aliran ini agak sependapat dengan ajaran asya’iriyah, bahwa Tuhan niscaya dapat dilihat dengan benar, akan namun anutan ini mengerti bahwa cara menyaksikan Tuhan inilah yang ghaib bagi mereka, apakah melihat Tuhan dengan menggunakan panca indera, dalam hal ini mata kepala ataukah mata hati?, dan lain sebagainya.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bahwa Ahlus Sunnah wal Jama’ah yakni suatu kelompok yang sudah Rasulullah SAW janjikan akan selamat di antara kelompok-golongan yang ada. Landasan mereka bertumpu pada ittiba’us sunnah (mengikuti as-Sunnah) dan menuruti apa yang dibawa oleh nabi baik dalam duduk perkara ‘aqidah, ibadah, petunjuk, tingkah laris, budpekerti dan senantiasa menyertai jama’ah kaum Muslimin. Konstribsi islam dalam perdamaian dunia dan regional,sedemikian besar dalam sejarah umat insan.menurut islam,tujuan utama penciptaan manusia adalah saling mengenal dan hidup damai.untuk hal ini kita akan mengacu pada sejumlah ayat al-quran.ahlusunnah ialah golongan yang luas.
Perbandingan fatwa ilmu kalam Berbagai aliran dalam ilmu kalam beropini tentang perbuatan Tuhan (aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah) dan perbuatan manusia (fatwa Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah).
Allah SWT pastilah melaksanakan tindakan, dengan bukti adanya alam semesta beserta isinya. Tetapi kalau dibilang bahwa Allah mempunyai kewajiban; keharusan apa? Dan kewajiban kepada siapa?. Allah SWT Maha Berkehendak, Allah SWT mampu melakukan apapun sesuai dengan kehendaknya. Oleh alasannya adalah itu, Allah SWT tidak memiliki kewajiban apapun dan keharusan terhadap siapapun. Manusialah yang memiliki keharusan untuk taat dan patuh terhadap Allah. Segala tindakan yang dilaksanakan manusia harus sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT. Baik dan buruk tindakan yang dikerjakan insan akan dipertanggungjawabkan di darul baka kelak.
B.     Saran
Dalam urusan agama atau lainnya, sebaiknya seseorang tidak terlalu fanatic yang mengakibatkan dirinya terjerumus dalam ekstrimisme. Karena tidak ada sakralisasi dalam agama sendiri dan siapa pun cuma meraba-raba kebenaran tanpa memperlihatkan garansi keamanan. Pada balasannya seluruhnya akan memiliki masalah dengan Tuhan yang akan menentukan selamat atau tidaknya sebagai suatu pertanggung balasan.
DAFTAR PUSTAKA
R. Abdul Rozak. M.Ag. DR. Rosihon Anwar.M.Ag. 2010. Ilmu kalam : CV. Pustaka Setia
Shaleh al-fauzan. 2006. Prinsip-prinsip ahlussunah wal jamaah. Maktab dakwah dan tutorial jaliyat rabwan
Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta: Logos Publishing House.
Afrizal. 2006. Ibnu Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Madkour Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Ter. Yudian Wahyudi Asmin. Jakarta: Bumi Aksara.
Abduh, Syeikh Muhammad,  Risalah At-Tauhi͜d, Terj. Firdaus A.N, Cet. IX, Jakarta: Bulan Bintang; 1412 H/ 1992 M
Abdullah Palih, Abi Abdullah Amir, Mu’jam Alfadz Al-‘Aqidah, Riyadh: Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyah; 1417 H/ 1997 M
Nasution, Harun, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Cet. V, Jakarta: 2008
Rahman, Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang; 1992 M
Al-Razi, Fakhruddin, Itsbat Wujud Allah, Cet. I, Saudi Arabiah: Maktabah Al-Madbuly As-Shaghir; 2001 M
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, Bandung: CV  Pustaka Setia; April 2007 M
Al-Syahrastani, Ibnu Abdul Al-Karim Ahmad, Al-Milal wa Al-Nihal, terj. Syuadi Asy’ari, Cet. I, Bandung: PT Mizan Pustaka; 2004 M
Yusuf, M Yunan, Alama Fikiran islam, Jakarta: Perkasa Press; 1990