Letusan Gunung Tambora 1815



Letusan Gunung Tambora telah berdampak global Letusan Gunung Tambora 1815
Letusan Gunung Tambora sudah mempunyai pengaruh global. Terjadinya apa yang disebut
Musim Panas tanpa Matahari, dengan suasana yang mencekam.


Letusannya telah meluluh-lantakkan Kesultanan Tambora yang berpenduduk 6.000 jiwa, hancur dilanda aliran abu panas, tak menyisihkan seorang pun yang selamat. Di segi selatan terdapat Kesultanan (Pa) Pekat yang berpenduduk 2.000 jiwa, seluruhnya tersapu awanpanas, dan di segi timurnya terdapat Kesultanan Sanggar yang berpenduduk 2.200 jiwa, yang menjadi korban pribadi setengah dari jumlah penduduknya. Sementara di Kesultanan Dompu yang berpenduduk 10.000 orang, yang meninggal secara langsung sebanyak 1.000 orang.

Ledakannya menembus angkasa raya, melepaskan gelombang yang memiliki dampak cuaca ekstrim yang sangat menghancurkan dalam sejarah insan. Letusan yang merusak tiga kesultanan pada tanggal 11 April 1815 malam itu berkekuatan 7 dari 8 pada skala Volcanic Explosivity Index (VEI). Kekuatan ledakannya setara dengan 171.000 kali bom atom Hirosima – Nagasaki, atau 4 kali lebih besar dari letusan Gunung Krakatau 1883. Ledakannya terdengar sampai di Padang, Sumatera Barat, yang jauhnya 2.000 km, terdengar mirip bunyi meriam. Ketika kekuatan letusan masih melebihi tekanan atmosfer, maka material letusan itu akan terus didorong naik menembus atmosfer. Namun, jika tekanannya melemah, bahkan menghilang, maka kekuatan angin akan berperan meniupkannya. Letusan dari Pulau Sumbawa ini memiliki pengaruh global. Material letusan yang berukuran besar, akan segera jatuh di sekitar puncak, lalu meluncur dengan kecepatan 200 km per jam, suhunya antara 400o – 600o C., sehingga apa saja yang dilaluinya akan dengan saat itu juga hangus terbakar.

Aerosol hasil dari letusan gunungapi besar yang terbang di stratosfer, sangat menghipnotis iklim bumi dengan pengaruh yang hebat. Pada saat letusan gunungapi, sebagian besar sulfur dioksida (SO2), asam klorida (HCL) dan debu, dihembuskan ke stratosfer bumi. Asam klorida mengembun dengan uap air dan hujan. Sulfur dioksida dari awan berkembang menjadi asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat ini cepat mengembun, menghasilkan partikel aerosol. Angin di lapisan stratosfer membuatkan aerosol menutupi langit dunia, sehingga memantulkan sinar matahari, meminimalkan jumlah energi yang mencapai atmosfer yang lebih rendah dan permukaan bumi, sehingga mendinginkan bumi.

Letusan Gunung Tambora sudah mempunyai pengaruh global. Terjadinya apa yang disebut “animo panas tanpa matahari”, dengan suasana yang mencekam. Suhu menjadi lebih masbodoh dari biasanya, hal ini telah menyebabkan panen gagal, sehingga kekurangan materi pangan melanda di mana-mana, kelaparan meluas di Eropa dan Amerika. Konon, kekalahan Napoleon Bonaparte dalam pertempuran di Waterloo itu karena suhu yang masbodoh, dibarengi kelaparan yang melanda melanda Eropa.

Keadaan Eropa setahun sehabis letusan Gunung Tambora itu tergambar dalam puisi panjang karya Lord Byron yang berjudul Gulita, yang menggambarkan keadaan yang sangat mencekam.

Aku berimajinasi , yang tak sepenuhnya mimpi.
Matahari yang terperinci itu padam telah,
dan bintang-gemintang berkeliaran dalam gulita ruang kekal,
Tanpa cahaya, tanpa jalan, dan bumi yang terbalut es,
Berayun tiada arah dan menghitam di udara yang tanpa bulan; Pagi datang dan pergi — kemudian tiba lagi,
tiada membawa hari terperinci …..

Pada tahun 1816, Mary Godwin atau Mary Shelly (18 tahun), menerima undangan dari Lord Byron untuk berlibur sambil menulis novel di villa-nya di pinggir Danau Geneva. Musim panas tanpa kedatangan matahari dengan suasana yang mencekam. Langit berwarna lembayung. Suhu lebih cuek dari lazimnya , menjadikan panen gagal, sehingga kekurangan materi pangan melanda Eropa dan Amerika. Keadaan Eropa yang mencekam sangat angker tergambar dalam novel Frankenstein karya Mary Shelly.

Memperingati dua kala lebih letusan Gunung Tambora pada tahun 2016 ini, harus menjadi saat-saat untuk membangkitkan kesadaran, bahwa gunungapi itu sewaktu-waktu akan meletus. Bukan saja observasi dan observasi gunung-gunung api itu yang harus makin presisi, tetapi dibutuhkan kesadaran dari penduduk yang berada di sekeliling gunungapi, bahwa letusan gunungapi tak bisa dicegah.

  Perhatikan Nama-Nama Berikut! 1) Tome Pires 2) Antonio Galvao 3) Pijnapel 4) C. Snouck Hurgronje

Memperingati letusan Gunung Tambora harus menjadi saat-saat untuk mengingatkan ihwal pentingnya untuk menghutankan kembali lereng gunung, biar mataair segera megalir kembali. Gerakan bareng untuk mengembalikan keberkahan Gunung Tambora, mirip yang ditulis dalam surat Schelie dan Tobias, “Alam telah mencurahkan kedermawanannya yang sarat berkah atas pulau ini.”


Letusan Gunung Tambora 11 April 1815 telah menjadikan tornado guguran membara dengan kecepatan luncuran yang sungguh tinggi, merusak apa saja yang dilaluinya. Dampak kehancurannya dicatat dalam Kitab Bo’Sangaji Kai:


“Pada Selasa, 11 April 1815
Tatkala itulah di tanah Bima datang takdir Allah
Melakukan kodrat dan iradat atas hamba-Nya
Maka gelap berbalik lagi lebih dari malam
Maka berbunyilah mirip meriam perang
Kemudian turunlah kersik, bubuk, mirip dituang

Lamanya dua hari tiga malam ……”

Sumber: Pikiran Rakyat – Oleh : T Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung