Kopi. Sebagaimana sudah sama-sama kita ketahui. Merakyat. Karena kopi dapat dinikmati semua golongan. Terlepas dari kualitas atau jenis kopi itu sendiri, yang pada kualitas atau jenis tertentu harganya terlampau mahal–pasti bagiku yang hanya seorang penganggur ini.
Kopi. Bisa jadi menenteng kita pada ingatan tentang apa atau siapa. Seperti dia menggiringku pada kenangan wacana kebersamaan dikala dahulu di pesantren. Kami menciptakan satu takaran besar untuk kami nikmati bersama, atau satu sachet kopi kapal api, murah namun tetap mantap untuk dirasakan, (ini bukan ngiklan lho! Hahaha) yang hanya pas diseduh dalam cangkir atau gelas kecil, yang juga kami cecap bareng , bergantian, joinan, bagi semua orang yang melewati seduhan itu dan tentu ingin untuk mencecapnya. Sambil ngaji atau santai membincangkan apa saja.
Dari kebiasaan ngopi bareng itu, saya mulai mengenal berbagai macam racikan kopi. Mulai dari Kopi lelet (Lasem), Kopi kothok (Blora), Kopi jos (Jogja), Kopi Lampung, Kopi Palembang, sampai Kopi Bali–hanya berbagai macam kopi yang diracik sendiri ala angkringan di pinggir jalan. Tentu masih banyak jenis racikan ala barista di cafe-cafe glamor dengan cara racik dengan alat modern yang belum aku nikmati.
***
Tentang ingatan dalam secangkir kopi, ada suatu cerita. Ini perihal seorang kawan yang, beberapa ahad kemudian, bercerita kepadaku melalui pesan singkat. Ia merantau jauh meninggalkan keluarga. Namun setiap dia pulang ke kampung halaman, selalu ada waktu untuk duduk bercengkerama, ngopi bersamabapaknya dari racikan tangan sarat cinta; Ibunya–terkhusus pada selasa kliwon. Entah alasannya adalah apa.
Hingga pada suatu saat, sosok bapak yang dibanggakannya itu terlebih dulu dipanggil Gusti Allah yang kebetulan bertepatan pada selasa kliwon. Ini pasti sebuah kebetulan yang–baginya–tak akan pernah terlewatkan. Maka, setiap selasa kliwon, meski entah karena apa, katanya, dia sudah jarang ngopi, dia sempatkan untuk ngopi. Ia jadikan semacam ritual wajib untuk mengingat sosok bapak. Menziarahi banyak dongeng dalam secangkir kopi sampai pada batas getir ampas.
“Lalu, apa relevansinya dengan mantan?”
“Barangkali ini sekedar cocoklogi ihwal perjalanan dengan mantan. Siapa tahu mantanmu pernah mengajakmu ngopi, mungkin? Atau barangkali kamu yang sengaja, dengan aneka macam modus, mengajaknya ngopi karena kangen? Sah sah saja, bukan? Hahahaha”
***
Beberapa minggu terakhir, saya mencicipi tampaknya tubuhku sedang tidak mendapatkan kopi. Ini bukan sebab ketakutan terhadap “si Anida” yang akhir-akhir ini mendadak jadi primadona lho ya. Tapi kesehatan badan memang sedang tidak mampu diajak kompromi. Dada terasa sakit sampai ke punggung. Sengaja aku tidak memeriksakannya ke dokter. Sebab, asumsiku, diagnosis dokter acap dinikmati lebih menyakitkan dari rasa sakit itu sendiri, menakut-nakuti, dan cenderung menciptakan down. Maka, sebisaku, dengan caraku sendiri, melaksanakan apa yang sebaiknya saya kerjakan, sedikit memerhatikan kesehatan, salah satunya dengan sejenak melupakan kopi.
Susah. Ternyata sukar jika harus begitu saja melewatkan kopi yang biasanya saya nikmati dipagi atau malam hari, bersama mitra atau sendiri. Sesekali saya masih mencicipinya. Dengan konsekuensi dada dan punggung eksklusif terasa sakit. Ya! Ini sama susahnya seperti melupakan mantan. Sebab, bagaimanapun juga sosok ini pernah tercatat dalam sejarah perjalanan kita. Ciye sejarah. Hahaha
Ingatan itu pada sebuah dikala niscaya akan kembali terbuka. meskipun kita tahu konsekuensinya, niscaya akan ada sedikit luka yang kembali menganga. Bagiku, tak duduk perkara. Sebab. itu tak seimbang dengan kebahagian yang dahulu pernah kita terima. Maka, telah barang pasti semestinya kita berterimakasih pada mereka. Seperti The Rain dalam lagunya yang, dengan besar hati, berterimakasih kepada barisan para mantan, juga kepada semua yang pergi meski tanpa sempat dibersamai.
Beda The Rain, beda kawanku yang nyantri di Magelang. Dengan diksi sedikit nyantri ia berkata “Bagaimanapun juga, madhi tak boleh dilupakan begitu saja.” Pada titik ini, saya setuju. Namun aku sedikit menimpali ucapannya itu; “Aku curiga, jangan-jangan mudhori’ mu kembali ke madhi juga.” Hahaha
***
Aku heran. Kenapa terlalu banyak yang memposisikan mantan selaku tokoh antagonis. Tak patut dikenang, memuakkan, dan cenderung seram. Mantanophobia. Sampai-hingga pada 13 Februari kemarin ada Festival Melupakan Mantan di Pendopo Agung Taman Siswa Yogyakarta. Kenanglah jikalau memang kau butuh mengenangnya. Sesekali sapalah dia, dalam rangka memanusiakannya. “Tak perlu bekerja keras kau melupakannya, jika pada kenyataannya kamu tak mampu. Cukup kamu olah kebencianmu, alasannya adalah mungkin pernah terkecewakan, menjadi kekuatan yang terpancar darimu, yang siapapun tak pernah menduga kamu mampu melakukannya.” Walah! Uooopppooo iku? Hahaha
Kelak akan aku buktikan, bahwa mengingat mantan tak selalu seperti yang selama ini dituduhkan banyak orang; membuat semangat menurun, sakit hati, muntah-muntah, kejang-kejang, batuk, pilek, dan sebagainya, dan sebagainya. Hahaha
***
Jika Dee pernah menulis dalam Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade, “Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” Maka perkenankanlah aku berkata:
“Sepahit apapun mantan bagimu. Ia tetap mempunyai segi anggun yang tak mampu kau pungkiri. Seperti kopi, walaupun punya segi pahit, tetapi jikalau berada di tangan yang tepat, kopi akan disulap menjadi racikan yang lezat.”
___________________
Negeri Entah, 14/02/16