Semua pasti mengenali apa itu poligami. Namun untuk lebih mendalami lebih jauh ihwal hukum & standar yg membolehkan poligami, pada umumnya orang sering menyalahgunakannnya. Bukan men-judge, tetapi sudah lazim menjadi kebiasaan.
Mari menyelisik ayat yg menjadi dasar poligami di dlm surat an-Nisa [4]: 3,
Dan kalau ananda takut tak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yg yatim (bilamana ananda mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yg ananda sukai: dua, tiga atau empat. Kemudian bila ananda takut tak akan mampu berlaku adil[1], maka (kawinilah) seorang saja[2].
Menekankan pada kata yg saya tebalkan. Kadang kala para pria memakai dalil cuma hingga itu untuk mengabulkan ego mereka untuk menikah lagi. Padahal poin pentingnya ialah kalanjutan dr ayat tersebut, dimana seseorang boleh melaksanakan poligami kalau mereka mampu berbuat adil.
Adil yg dimaksud ialah mampu menunjukkan nafkah lahir & batin pada semua istri tanpa pilih kasih atau lebih condong pada yg lain. Jika suami ke tempat tinggal istri pertama dua hari, maka untuk istri kedua pula dua hari, tak boleh tiga atau empat hari sehingga menyakiti istri pertama, atau sebaliknya.
Firman Allah dlm surat an-Nisa [4]: 129,
Dan ananda sekali-kali tak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), meskipun ananda sungguh ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah ananda terlalu cenderung (kepada yg ananda cintai) sehingga ananda biarkan yg lain terkatung-katung. Dan jika ananda menyelenggarakan perbaikan & memelihara diri (dari kecurangan), bantu-membantu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebagaimana kita tahu, menjadi sosok adil itu sangatlah susah, kecuali orang-orang tertentu yg telah dipilih oleh Allah. Karena intinya insan memiliki kecenderungan. Nah, itulah yg membahayakan.
Dari Abu Hurairah Ra, sesunguhnya Nabi bersabda, “Barang siapa yg mempunyai dua orang istri lalu memberatkan salah satunya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dgn bahunya miring.”
Selain itu, kita pula perlu menyaksikan bagaimana peraturan poligami menurut metode perundang-usul di Indonesia berdasarkan KHI—Kompilasi Hukum Islam.
Poligami berdsarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ketentuan KHI mengenai poligami tak jauh berbeda dgn UU Perkawinan. Hanya saja di dlm KHI diterangkan lebih mendetail, bahwa seorang pria tak boleh beristri lebih dr 4 (empat) orang. Selain itu, syarat utama seorang pria yg ingin mempunyai istri lebih dr satu; pria itu mesti bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya & anak-anaknya. (Pasal 55 KHI)
Masih menurut KHI, suami yg ingin beristri lebih dr satu orang harus mendapatkan izin dr Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya dilaksanakan tanpa izin dr Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal 56 KHI)
Seperti dikatakan dlm UU Perkawinan, menurut pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin pada seorang suami yg akan beristri lebih dr satu bila:
- istri tak mampu menjalankan keharusan sebagai istri;
- istri mendapat cacat tubuh atau penyakit yg tak mampu disembuhkan;
- istri tak mampu melahirkan keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi mesti jelas, Kompilasi Hukum Islam pula memberikan syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut pula merujuk pada pasal 5 UU Perkawinan, yakni pasal 58 KHI.
- adanya kesepakatan istri;
- adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan hidup istri-istri & anak-anak mereka.
Pasal 58 KHI ini pula merujuk pada pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (“PP 9/1975”), yg menyampaikan bahwa kesepakatan istri atau istri-istri dapat diberikan dengan-cara tertulis atau verbal. Tetapi sekalipun sudah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dgn kesepakatan mulut isteri pada sidang Pengadilan Agama.
Menurut Mukti Ali Jalil, S.Ag., M.H., izin berpoligami oleh Pengadilan Agama mampu diberikan apabila argumentasi suami telah memenuhi argumentasi-argumentasi alternatif sesuai ketentuan pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan & syarat-syarat kumulatif yg tercantum dlm pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana tersebut di atas.
Masih berdasarkan Mukti Ali, kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan di atas yakni wajib. Sehingga apabila dilaksanakan tanpa lebih dulu mendapat izin, maka perkawinan itu tak mempunyai kekuatan aturan. Dengan demikian, perkawinan itu pula tak sah karena dianggap tak pernah sudah terjadi.
Bukankah ini pula menjawab bagaimana hukum seorang laki-laki yg menikah dgn perempuan lain tanpa sepengetahuan atau tanpa izin istri pertama? Meski dr sisi syariat Islam itu sah, tetapi selaku warga Indonesia & toleransi perasaan sesama wanita, hal itu mungkin sebuah perbuatan yg kurang terpuji karena sama saja dgn menyakiti sesama perempuan seperti dirinya. Pun dgn si lelaki; bagaimana kalau suatu saat istri pertama tahu, bukankah itu pula mengakibatkan sakit hati bagi sang istri. Padahal, menyakiti istri tak disarankan dlm relasi ijab kabul. Wallahu A‘lam.
Karena itu, sebelum mengambil keputusan untuk melakukan poligami, setidaknya harus berpikir ulang dgn segala konsekuensi yg akan dihadapi. [Kazuhana El Ratna Mida/wargamasyarakat]
Dari banyak sekali sumber.
[1] Berlaku adil merupakan perlakuan yg adil dlm meladeni istri seperti pakaian, kawasan, giliran & lain-lain yg bersifat lahiriyah.
[2] Islam mengizinkan poligami dgn syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada & pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Ayat ini menghalangi poligami sampai empat orang saja.
Srobyong, 5 Juni 2015.
Editor: Pirman Bahagia