BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Konsep Menstruasi
2.1.1 Pengertian
Menurut Bobak (2004), menstruasi yakni perdarahan periodik pada uterus yang dimulai sekitar 14 hari setelah ovulasi. Hari pertama keluarnya darah menstruasi ditetapkan selaku hari pertama siklus endometrium. Lama rata-rata pemikiran menstruasi ialah lima hari (dengan rentang tiga sampai enam hari) dan jumlah darah rata-rata yang hilang yaitu 50 ml (rentang 20 sampai 80 ml), tetapi hal ini sungguh beragam. Siklus menstruasi merencanakan uterus untuk kehamilan. Bila tidak terjadi kehamilan, terjadi menstruasi. Usia wanita, status fisik dan emosi perempuan serta lingkungan mensugesti pengaturan siklus menstruasi.
Fungsi menstruasi wajar merupakan hasil interaksi antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium dengan perubahan-pergeseran terkait pada jaringan target pada jalan masuk reproduksi wajar . Ovarium memainkan peranan penting dalam proses ini, alasannya adalah tampaknya bertanggung jawab dalam pengaturan pergeseran-pergeseran siklik maupun usang siklus menstruasi (Greenspan et al., 1998).
2.1.2 Siklus Menstruasi
Menurut Bobak (2004), Siklus menstruasi merupakan rangkaian kejadian yang secara kompleks saling menghipnotis dan terjadi secara simultan. Adapun rangkaian dari terjadinya menstruasi yakni sebagai berikut :
a. Siklus endometrium
Menurut Hamilton (1995) dan Bobak (2004), Siklus menstruasi endometrium berisikan empat fase, yakni :
1) Fase menstruasi
2) Pada fase ini, endometrium terlepas dari dinding uterus dengan diikuti pendarahan dan lapisan yang masih utuh hanya stratum basale. Rata-rata fase ini berjalan selama lima hari (rentang tiga sampai enam hari). Pada awal fase menstruasi kadar estrogen, progesteron, LH (Luteinizing Hormon) menurun atau pada kadar terendahnya selama siklus dan kadar FSH (Folikel Stimulating Hormon) gres mulai meningkat.
3) Fase proliferasi
4) Fase proliferasi merupakan era kemajuan cepat yang berjalan semenjak sekitar hari kelima ovulasi, contohnya hari ke-10 siklus 24 hari, hari ke-15 siklus 28 hari, hari ke-18 siklus 32 hari. Permukaan endometrium secara lengkap kembali wajar dalam sekitar empat hari atau menjelang perdarahan berhenti. Sejak dikala ini, terjadi penebalan 8-10 kali lipat, yang selsai dikala ovulasi. Fase proliferasi tergantung pada stimulasi estrogen yang berasal dari folikel ovarium.
5) Fase sekresi/luteal
6) Fase sekresi berjalan sejak hari ovulasi hingga sekitar tiga hari sebelum kala menstruasi selanjutnya. Pada tamat fase sekresi, endometrium sekretorius yang masak dengan tepat meraih ketebalan seperti beludru yang tebal dan halus. Endometrium menjadi kaya dengan darah dan sekresi kelenjar.
7) Fase iskemi/premenstrual
8) Implantasi atau nidasi ovum yang dibuahi terjadi sekitar 7 sampai 10 hari sehabis ovulasi. Apabila tidak terjadi pembuahan dan implantasi, korpus luteum yang mensekresi estrogen dan progesteron menyusut. Seiring penyusutan kadar estrogen dan progesteron yang cepat, arteri spiral menjadi spasme, sehingga suplai darah ke endometrium fungsional terhenti dan terjadi nekrosis. Lapisan fungsional terpisah dari lapisan basal dan perdarahan menstruasi dimulai.
b. Siklus hipotalamus-hipofisis
Menjelang simpulan siklus menstruasi yang wajar , kadar estrogen dan progesteron darah menurun. Kadar hormon ovarium yang rendah dalam darah ini menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi gonadotropin realising hormone (Gn-RH). Sebaliknya, Gn-RH menstimulasi sekresi folikel stimulating hormone (FSH). FSH menstimulasi kemajuan folikel de graaf ovarium dan buatan estrogennya. Kadar estrogen mulai menurun dan Gn-RH hipotalamus memicu hipofisis anterior untuk mengeluarkan lutenizing hormone (LH). LH meraih puncak pada sekitar hari ke-13 atau ke-14 dari siklus 28 hari. Apabila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi ovum pada abad ini, korpus luteum menyusut, oleh karena itu kadar estrogen dan progesteron menurun, maka terjadi menstruasi (Bobak, 2004).
c. Siklus ovarium
Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum ovulasi, satu hingga 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel yang terpilih. Didalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi, folikel yang kosong mengawali berformasi menjadi korpus luteum. Korpus luteum meraih puncak acara fungsional 8 hari setelah ovulasi, mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron. Apabila tidak terjadi implantasi, korpus luteum berkurang dan kadar hormon menurun. Sehingga lapisan fungsional endometrium tidak dapat bertahan dan akhirnya luruh (Bobak, 2004). Rangkaian peristiwa terjadinya menstruasi mampu dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.1
Skema siklus menstruasi ; hipofisis-hipotalamus, ovarium dan endometrium
Sumber : dikutip dari Bobak (2004), halaman 47
Aspek Hormonal Dalam Siklus Menstruasi
Mamalia, utamanya manusia, siklus reproduksinya melibatkan berbagai organ, yakni uterus, ovarium, vagina, dan mammae yang berjalan dalam waktu tertentu atau adanya sinkronisasi, maka hal ini dimungkinkan adanya pengaturan, koordinasi yang disebut hormon. Hormon yaitu zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, yang eksklusif dialirkan dalam peredaran darah dan mensugesti organ tertentu yang disebut organ sasaran (Syahrum et al., 1994). Hormon-hormon yang bekerjasama dengan siklus menstruasi yaitu :
a. Hormon-hormon yang dihasilkan gonadotropin hipofisis meliputi :
1). Luteinizing Hormon (LH)
LH dihasilkan oleh sel-sel asidofilik (afinitas terhadap asam), bareng dengan FSH berfungsi mematangkan folikel dan sel telur, merangsang terjadinya ovulasi, pembentukan korpus luteum, serta sintesis steroid seks. Folikel yang melepaskan ovum selama ovulasi disebut korpus rubrum yang disusun oleh sel-sel lutein dan disebut korpus luteum (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998).
2). Folikel Stimulating Hormon (FSH)
FSH dihasilkan oleh sel-sel basofilik (afinitas kepada basa). Hormon ini menghipnotis ovarium sehingga mampu berkembang dan berfungsi pada saat pubertas. FSH berbagi folikel primer yang mengandung oosit primer dan keadaan padat (solid) tersebut menjadi folikel yang menciptakan estrogen (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998).
3). Prolaktin Releasing Hormon (PRH)
Secara pilogenetis, prolaktin yaitu suatu hormon yang sungguh bau tanah serta memiliki susunan yang sama dengan hormon perkembangan (Growth hormone, Somatogotropic hormone, thyroid stmulating hormone, Somatotropin). Secara sinergis dengan estradia, prolaktin mempengaruhi payudara dan laktasi, serta berperan pada pembentukan dan fungsi korpus luteum (Syahrum et. al., 1994).
b. Steroid ovarium
Ovarium menciptakan progesteron, androgen, dan estrogen. Banyak dari steroid yang dihasilkan ini juga disekresi oleh kelenjar adrenal atau dapat dibuat di jaringan perifer lewat pengubahan prekursor-prekursor steroid lain; konsekuensinya, kadar plasma dari hormon-hormon ini tidak mampu pribadi merefleksikan aktivitas steroidogenik dari ovarium.
1). Estrogen
Fase pubertas terjadi pertumbuhan sifat seks primer. Kemudian juga terjadi perkembangan sifat seks sekunder. Selanjutnya akan berjalan siklus pada uterus, vagina dan kelenjar mammae. Hal ini disebabkan oleh imbas hormon estrogen. Terhadap uterus, hormon estrogen menyebabkan endometrium mengalami proliferasi, ialah lapisan endometrium meningkat dan menjadi lebih tebal. Hal ini dibarengi dengan lebih banyak kelenjar-kelenjar, pembuluh darah arteri maupun vena. Hormon estrogen dihasilkan oleh teka interna folikel. Estradiol (E2) ialah produk yang terpenting yang disekresi oleh ovarium alasannya memiliki potensi biologik dan imbas fisiologik yang beragam terhadap jaringan perifer sasaran.
Peninggian kadar estradiol plasma berkorelasi dekat dengan peningkatan ukuran folikel pra-ovulasi. Setelah lonjakan LH, kadar estradiol serum akan mencapai kadar terendah selama beberapa hari dan terjadi peningkatan kedua kadar estradiol plasma yang akan meraih puncaknya pada pertengahan fase luteal, yang hendak merefleksikan sekresi estrogen oleh korpus luteum. Studi kateterisasi telah memberikan bahwa peningkatan kadar estradiol plasma pada fase pra-evolusi dan pertengahan fase luteal dari siklus (Syahrum et. al., 1994 dan Greenspan et. al., 1998).
2). Progesteron
Kadar progesteron yaitu rendah selama fase folikuler, kurang dari 1 ng/ml (3,8 nmol/l) dan kadar progesteron akan mencapai puncak ialah antara 10-20 mg/ ml (32-64 nmol) pada pertengahan fase luteal. Selama fase luteal, nyaris semua progesteron dalam sirkulasi ialah hasil sekresi langsung korpus luteum.
Pengukuran kadar progesteron plasma banyak dimanfaatkan untuk memantau ovulasi. Kadar progesteron di atas 4-5 ng/ml (12,7-15.9 nmol/l) mengisyaratkan bahwa ovulasi telah terjadi. Perkembangan uterus yang sudah dipengaruhi hormon estrogen selanjutnya dipengaruhi progesteron yang dihasilkan korpus luteum menjadi stadium sekresi, yang mempersiapkan endometrium meraih maksimal. Kelenjar mensekresi zat yang berkhasiat untuk makanan dan perlindungan kepada embrio yang hendak berimplantasi. Pembuluh darah akan menjadi lebih panjang dan lebar (Greenspan et. al., 1998).
3). Androgen
Androgen merangsang pertumbuhan rambut di kawasan aksila dan pubes serta bisa memajukan libido. Androgen terbentuk selama sintesis steroid di ovarium dan adrenal, selaku pembakal estrogen. Androgen pada wanita mampu berakibat maskulinisasi, maka pembentukan yang berlebih akan mengakibatkan gangguan yang bermakna. Fase folikuler dan fase luteal kadar rata-rata testosteron plasma berkisar antara 0,2 ng/mg-0,4ng/mg (0,69-1,39 nmol/l) dan sedikit berkembangpada fase pra-ovulasi (Jacoeb et. al., 1994).
2.1 Konsep Premenstrual Syndrome (PMS)
2.1.1 Definisi Premenstrual Syndrome (PMS)
Premenstrual syndrome (PMS) adalah variasi tanda-tanda yang terjadi sebelum haid dan menghilang dengan keluarnya darah menstruasi serta dialami oleh banyak wanita sebelum awitan setiap siklus menstruasi (Brunner & Suddarth, 2001).
Magos dalam Hacker (2001), mendefenisikan bahwa premenstrual syndrome (PMS) yaitu tanda-tanda fisik, psikologis dan perilaku yang menyulitkan yang tidak disebabkan oleh penyakit organik yang secara terencana berulang selama fase siklus haid menghilang selama waktu haid yang tersisa. Sekitar 5-10% wanita menderita PMS yang berat sehingga mengusik kegiatan sehari-harinya.
Menurut Shreeve (1983) premenstrual syndrome (PMS) yakni sejumlah pergantian mental maupun fisik yang terjadi antara hari ke-2 sampai hari ke-14 sebelum menstruasi dan mereda secepatnya sesudah menstruasi berawal. Sedangkan Dalton (1983), mendefinisikan premenstrual syndrome (PMS) ialah kambuhnya tanda-tanda-tanda-tanda pada dikala premenstrum dan menghilang sesudah menstruasi usai.
Setiap wanita yang haid yakni calon bagi premenstrual syndrome (PMS), dengan hampir 50% dari semua perempuan dalam usia reproduksi mengalami tanda-tanda-tanda-tanda yang ringan atau berat. Meskipun para akil balig cukup akal mungkin menderita sindroma itu. Gejala-gejala premenstrual syndrome (PMS) lebih berat pada wanita yang berusia lebih tua. Seringkali para wanita dalam usia 30-an memperlihatkan kesukaran-kesukaran prahaid untuk pertama kalinya (Health Media Nutrition Series, 1996).
Meskipun angka niscaya kejadian premenstrual syndrome (PMS) belum dikenali, kira-kira 75 % wanita mengeluh mengalaminya. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis PMS gres-baru ini telah dikembangkan dan dikala persyaratan tersebut dipakai 3%-8% dari wanita didiagnosa mengalami PMS. Wanita dengan PMS berat melaporkan bahwa PMS mengganggu kegiatan sehari-hari mereka, baik dari segi diri mereka sendiri, sosial dan pekerjaan mereka (Deuster et.,al., 1999)
2.1.2 Etiologi Premenstrual Syndrome (PMS)
Penyebab niscaya PMS tidak dikenali, namun beberapa teori menawarkan adanya kelebihan estrogen atau defisit progesteron dalam fase luteal dari siklus menstruasi. Selama beberapa tahun teori ini menerima derma yang cukup banyak dan terapi progesteron biasa dipakai untuk menangani PMS. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa terapi progesteron kelihatan tidak efektif bagi pada umumnya wanita, selain kadar progesteron pada penderita tidak menurun secara konsisten. Bila kadar progesteron yang menurun dapat ditemukan hampir pada semua wanita yang menderita PMS, maka mampu dimengerti bahwa kekurangan hormon ini ialah sebab utama. Sebagian wanita yang menderita PMS terjadi penurunan kadar progesteron dan dapat sembuh dengan penambahan progesteron, akan tetapi banyak juga wanita yang menderita gangguan PMS andal tapi kadar progesteronnya normal (Shreeve, 1983 dan Brunner & Suddarth, 2001).
Teori lain menyatakan bahwa penyebab PMS adalah alasannya adalah meningkatnya kadar estrogen dalam darah, yang mau menimbulkan tanda-tanda frustasi dan terutama gangguan mental. Kadar estrogen yang berkembangakan mengganggu proses kimia badan termasuk vitamin B6 (Piridoksin) yang diketahui sebagai vitamin anti stress sebab berfungsi mengontrol buatan serotonin. Serotonin penting sekali bagi otak dan syaraf, dan kurangnya persediaan zat ini dalam jumlah yang cukup mampu menjadikan frustasi. (Shreeve, 1983, Hacker et, al., 2001 dan Brunner & Suddarth, 2001 ).
Batas tertentu estrogen menjadikan retensi garam dan air serta berat badannya bertambah. Mereka yang mengalami akan menjadi mudah tersinggung, tegang dan perasaan tidak enak. Gejala-tanda-tanda dapat dicegah jika pertambahan berat badan dicegah. Peranan estrogen pada PMS tidak positif, sebab ketegangan ini timbul telat pada siklus tidak pada saat ovulasi waktu sekresi estrogen berada pada dikala puncaknya. Kenaikan sekresi vasopresin kemungkinan berperan pada retensi cairan pada dikala premenstruasi (Ganong, 1983).
Hormon lain yang dibilang sebagai penyebab tanda-tanda PMS ialah prolaktin. Prolaktin dihasilkan oleh kelenjar hipofisis dan mampu menghipnotis jumlah estrogen dan progesteron yang dihasilkan pada setiap siklus. Jumlah prolaktin yang terlalu banyak mampu mengganggu keseimbangan mekanisme tubuh yang mengontrol produksi kedua hormon tersebut. Wanita yang mengalami PMS tersebut kadar prolaktin dapat tinggi atau normal. Wanita yang memiliki kadar prolaktin cukup tinggi dapat disembuhkan dengan menekan buatan prolaktin (Shreeve, 1983, Hacker et, al., 2001 dan Brunner & Suddarth, 2001).
Teori yang lain menyampaikan bahwa hormon yang tidak teridentifikasi menjadikan gejala pada waktu terjadi perubahan menstruasi mirip kenaikan acara beta endorphin, defisiensi serotonin, retensi cairan, metabolisme prostaglandin abnormal dan gangguan aksis hipotalamik pituitary ovarium sebagai penyebabnya (Brunner & Suddarth, 2001).
Hacker et al., (2001) juga mengemukakan penyebab PMS ialah keunggulan atau defisiensi kortisol dan androgen, kelebihan hormon anti diuresis, abnormalitas sekresi opiate endogen atau melatonin, defisiensi vitamin A, B1, B6 atau mineral, mirip magnesium, hipoglikemia reaktif, alergi hormon, toksin haid,serta aspek-faktor evolusi dan genetik.
Menurut Simanjuntak dalam Prawiroharjo (2005), aspek kejiwaan, persoalan dalam keluarga, dilema sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih gampang menderita PMS yaitu wanita yang lebih peka terhadap pergantian hormonal dalam siklus haid dan terhadap aspek-aspek psikologis.
Berbagai aspek gaya hidup tampaknya menyebabkan tanda-tanda-gejala lebih jelek, termasuk stres, kurangnya kegiatan fisik dan diet yang mengandung gula, karbohidrat yang dimasak, garam, lemak, alkohol dan kafein yang tinggi (Health Media Nutrition Series, 1996).
2.1.3 Gejala Premenstrual Syndrome (PMS)
Lebih dari 150 gejala sudah dihubungkan dengan premenstrual syndrome (PMS), namun urutan serta kombinasi dari gejala-tanda-tanda mampu berlawanan-beda diantara para wanita. Jenis dan kuatnya tanda-tanda juga dapat berlainan-beda setiap bulan dan mampu merefleksikan pergeseran-pergantian gaya hidup atau stres (Health Media Nutrition Series, 1996).
Gejala utama termasuk pusing, keletihan, sakit pinggang, pembesaran dan nyeri pada payudara, dan perasaan begah pada abdomen. Irritabilitas biasa , pergantian suasana hati, panik akan kehilangan kendali, makan sungguh berlebihan dan menangis tiba-datang dapat juga terjadi. Gejala-gejala sangat bermacam-macam dari satu perempuan ke perempuan lainnya dan dari satu siklus ke siklus selanjutnya pada perempuan yang sama (Brunner & Suddarth, 2001).
Menurut Hacker et. al. (2001), tanda-tanda-gejala yang paling banyak ditemukan pada PMS adalah perasaan bengkak, peningkatan berat badan, hilangnya efisiensi, sulit konsentrasi, kecapekan, perubahan situasi hati, stress, tergolong gangguan tidur (insomnia).
Scott et. al. (2002) membagi gejala-gejala PMS berdasarkan fungsi yang terusik. Gangguan psikologik berupa irritabilitas, ketidakseimbangan emosional, khawatir, depresi dan perasaan bermusuhan. Gangguan kognitif mampu berupa ketidakmampuan berfokus dan galau. Gangguan somatik berupa mastalgia (nyeri tekan pada payudara), kembug, pusing, capek dan sulit tidur serta gangguan perilaku sosial berupa kecanduan karbohidrat dan membantah.
Rayburn (2001), mengklasifikasikan tanda-tanda-tanda-tanda PMS berdasarkan gangguan pada fungsi fisik dan emosional. Klasifikasinya mampu dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2.1
Gejala-tanda-tanda premanstrual syndrome
Gejala fisik
|
Gejala emosional
|
a. Perut kembung
b. Nyeri payudara
c. Sakit kepala
d. Kejang atau nanah pada kaki
e. Nyeri panggul
f. Hilang koordinasi
g. Nafsu makan bertambah
h. Hidung tersumbat
i. Perubahan defekasi
j. Tumbuh bisul
k. Sakit pinggul
l. Suka makan bagus atau asin
m. Palpitasi
n. Peka bunyi atau cahaya
o. Rasa gatal pada kulit
p. Kepanasan
|
a. Depresi
b. Cemas
c. Suka menangis
d. Sifat kasar atau pemberontakan
e. Pelupa
f. Tidak bisa tidur
g. Merasa tegang
h. Irritabilitas
i. Rasa bermusuhan
j. Suka murka
k. Paranoid
l. Perubahan dorongan seksual
m. Konsentrasi menyusut
n. Merasa tidak aman
o. Pikiran bunuh diri
p. Keinginan menyendiri
q. Perasaan bersalah
r. Kelemahan
|
Sumber : dikutip dari Rayburn et.al., (2001), halaman 287
2.1.4 Penanganan Sindroma Premenstrual(PMS)
Terdapat sebuah kesepakatan dalam penatalaksanaan premenstrual syndrome (PMS). Riwayat yang terinci dan dikaji dengan teliti serta golongan gejala harian dan fluktuasi mood yang terdapat pada beberapa siklus mampu menjadi petunjuk dalam penyusunan rencana penatalaksanaan. Konseling, dalam bentuk golongan pendukung atau konseling pasangan/individu dapat sangat berfaedah. Penggunaan obat-obatan seperti inhibitor prostaglandin dan diuretik untuk meredakan edema, bromokriptin (parlodel) untuk menanggulangi nyeri tekan pada payudara dan diet yang sepadan, rendah kafein dan natrium atau diikuti masakan diuretik alami dapat meredakan gejala. Latihan fisik dan tambahan vitamin (B6 dan E) terkadang dianjurkan.
Menurut Rayburn (2001), terapi PMS dibagi menjadi tiga kategori, ialah :
- Terapi simtomatik untuk menghilangkan tanda-tanda-gejala antara lain dengan diuretika untuk mengobati kembung, anti depresan dan anti ansietas untuk menghilangkan cemas dan depresi, bromokriptin untuk menetralisir bisul dan nyeri pada payudara dan anti prostaglandin untuk menanggulangi nyeri payudara, nyeri sendi dan nyeri muskuloskeletal.
- Terapi spesifik dibuat untuk mengobati etiologi yang diperkirakan sebagai penyebab dari PMS antara lain dengan progesteron alamiah untuk menanggulangi defisiensi progesteron dan pinjaman vitamin B6.
- Terapi ablasi yang bertujuan untuk mengatasi PMS dengan cara menghentikan haid.
2.2 Karakteristik Wanita Usia Produktif
Menurut Depkes RI (1993) wanita usia produktif ialah perempuan yang berusia 15-49 tahun dan perempuan pada usia ini masih memiliki peluang untuk memiliki keturunan. Sedangkan menurut (BKKBN, 2001), perempuan usia subur (wanita usia produktif) yakni perempuan yang berumur 18-49 tahun yang berstatus belum kawin, kawin ataupun janda.
Menurut Karyadi (1999), PMS umumnya lebih gampang terjadi pada wanita yang lebih peka kepada pergantian hormonal dalam siklus haid. Akan namun ada beberapa faktor yang mengembangkan resiko terjadinya PMS yang beberapa diantaranya ialah berkaitan dengan abjad wanita itu sendiri. Menurut Oakley (1998), setiap individu mempunyai karakteristik biografi yang berlainan, karakteristik tersebut dapat mensugesti kondisi fisik, psikologis dan sosial seseorang.
Karakteristik wanita usia produktif yang berafiliasi dengan premenstrual syndrome (PMS) antara lain: umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, jenis kelamin dan status perkawinan.
2.2.1 Umur
Premenstrual syndrome (PMS) mampu dihubungkan dengan siklus ovulasi, karena itu tanda-tanda-gejala PMS dapat terjadi kapan saja sesudah menarche dan berlanjut sampai ovulasi berhenti pada saat menopause. Sebagian besar pasien yang mencari pengobatan untuk PMS berusia antara pertengahan 20-an sampai dengan simpulan 30-an, walaupun banyak perempuan melaporkan mengalami gejala-gejala PMS lebih permulaan (Freeman, 2007).
Faktor resiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor kenaikan umur, penelitian memperoleh bahwa sebagian besar wanita yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30 tahun (Cornforth, 2000). Walaupun ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian akil balig cukup akal mengalami gejala-gelaja yang sama dan kekuatan PMS yang sama sebagaimana yang dialami oleh wanita yang lebih renta (Freeman, 2007).
Sedangkan dalam suatu observasi pada tahun 1994 yang melibatkan 874 wanita di Virginia menggambarkan bahwa wanita yang berusia antara 35-44 tahun lebih jarang menderita PMS jika dibandingkan dengan perempuan yang lebih muda (Deuster, 1999).
Menurut teori pertumbuhan psikososial Erikson, dikuitip dari Whalley & Wong’s (1999), tahap perkembangan manusia menurut umur dibagi dalam delapan tahapan. Tiga diantaranya yang berhubungan dengan observasi ini ialah :
a. Adolescence/remaja (13-20 tahun)
Pada era ini hubungan sosial utama bagi anak sudah beralih pada golongan sebaya dan kalangan luar yang se-wangsit dengannya.
b. Early adult hood/akil balig cukup akal awal (21-35 tahun)
Pada abad akil balig cukup akal permulaan ini, korelasi sosial utama seseorang telah terkonsentrasi pada patner dalam relasi sobat dan seks.
c. Young and middle adult hood/akil balig cukup akal pertengahan (36-45 tahun)
Pada abad dewasa pertengahan, hubungan sosial seseorang terkonsentrasi pada pembagian peran antara melakukan pekerjaan dengan rumah tangga dan pada kala ini emosi telah mulai stabil.
2.3.2. Pendidikan
Pendidikan yaitu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup (Notoatmodjo, 1997).
Orang dengan pendidikan formal yang lebih tinggi cenderung akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi ketimbang orang yang mempunyai tingkat pendidikan formal yang lebih rendah, alasannya akan lebih bisa dan gampang memahami arti dan pentingnya kesehatan dan gangguan-gangguan kesehatan yang mungkin terjadi. Pengetahuan akan mempengaruhi pola fikir seseorang, selain itu kemampuan kognitif membentuk cara fikir seseorang, meliputi kemampuan untuk memahami faktor-aspek yang besar lengan berkuasa dalam keadaan sakit dan untuk menerapkan pengetahuan ihwal sehat dan sakit dalam praktek kesehatan personal (Muhiman, 1996).
Menurut sebuah penelitian terdapat perbedaan yang mencolok dimana perempuan yang tidak menamatkan pendidikan menengah lebih sering melaporkan adanya gejala premenstrual syndrome (PMS) dari pada mereka yang berpendidikan menengah dan perguruan tinggi atau mereka yang telah menamatkan perguruan tinggi (Deuster, 1999).
Menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, adalah perihal Sistem Pendidikan Nasional, diterangkan bahwa Pendidikan Nasional terbagi atas tiga tingkat pendidikan formal yakni pendidikan dasar (Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah serta SMP/Madrasah Tsanawiyah), pendidikan menengah (SMU/Madrasah Aliyah dan sederajat) serta pendidikan tinggi (Akademi dan Perguruan tinggi) (Sekneg RI, 2003).
2.3.3 Pendapatan
Kemiskinan dan kesehatan memiliki hubungan yang bermakna. Pendapatan wanita yang sedikit menciptakan status kesehatan rendah dan mempunyai kesusahan yang lebih besar untuk mengakses pelayanan kesehatan ketimbang perempuan yang berpendapatan tinggi (Youngkin & Davis, 1998).
Sebuah observasi mengungkapkan bahwa ada hubungan yang akrab antara pengaruh kejiwaan dengan status ekonomi seseorang. Penghasilan keluarga ialah suatu peluangyang sangat bagus dalam menemukan berita kesehatan (Oakley, 1998).
Seseorang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan tinggi cenderung lebih gampang dalam memperoleh pelayanan dan gosip tentang kesehatan ketimbang orang yang berasal dari keluarga dengan penghasilan rendah (Azwar, 1996).
Pemerintah Aceh melalui Peraturan gubernur (Pergub) No.67/2007, menetapkan UMP sebesar Rp1 juta dari sebelumnya Rp850 per bulan, terhitung berlaku semenjak 1 Januari 2008 (Anonymous, 2008)
2.3.4 Pekerjaan
Wanita yang melakukan pekerjaan mengalami banyak sekali stres ditempat kerja, baik stres yang bersifat fisik karena beberapa keadaan lingkungan kerja fisik yang berada diatas nilai ambang batas yang diperkenankan, atau juga dapat ditambah oleh adanya stres yang bersifat non fisik (psikososial), yang mampu kuat kepada keadaan kesehatannya (Mulyono dkk, 2001).
Zaman sekarang ini, bertambah banyak wanita yang memilih untuk beraktivitas di luar rumah. Kondisi ini akan berhubungan bersahabat dengan kian banyaknya stres yang menyerang wanita. Stres ini berasal dari internal maupun eksternal diri wanita tersebut. Stres ialah predisposisi pada timbulnya beberapa penyakit, sehingga diperlukan kondisi fisik dan mental yang bagus untuk menghadapi dan menanggulangi serangan stres tersebut.
Stres mungkin memainkan tugas penting dalam tingkat kedahsyatan tanda-tanda premenstrual syndrome (PMS). Sebuah penelitian pada tahun 2002 melaporkan bahwa bekerja diluar rumah dapat dihubungkan dengan meningkatnya resiko premenstrual syndrome (PMS) (Anonymous, 2007).
2.3.5 Status Perkawinan
Perkawinan yaitu suatu korelasi aturan sebagai pertalian sah untuk jangka waktu selama mungkin, antara seorang pria dan seorang wanita yang telah menyanggupi syarat-syarat perkawinan (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990)
Status perkawinan dan status kesehatan juga mempunyai keterkaitan. Wanita yang telah menikah kebanyakan memiliki angka kesakitan dan akhir hayat yang lebih rendah dan biasanya mempunyai kesehatan fisik dan mental yang lebih baik daripada perempuan yang tidak menikah (Burman & Margolin dalam Haijiang Wang, 2005).
Sebuah penelitian pada tahun 1994 yang berjudul Biological, Social and Behavioral Factors Associated with Premenstrual Syndrome yang melibatkan 874 wanita di Virginia menemukan fakta bahwa mereka yang telah menikah cenderung mempunyai resiko yang lebih kecil untuk mengalami PMS (3,7%) dari pada mereka yang tidak menikah (12,6%) (Deuster, 1999).
Kerangka Teori