Konsep Kelembagaan Kalangan Tani

Konsep Kelembagaan Kelompok Tani
Kelembagaan dan Organisasi yakni berbeda, kelembagaan adalah sesuatu yang berada diatas petani, sedangkan organisasi berada dilevel petani, sebagaimana yang dianut kelompok hebat “ekonomi Kelembagaan “. Menurut North (2005) institution yakni the rule of the game, sedangkan organization adalah “their enterpreneurs are the players”. Pendapat ini diperkuat oleh Robin (2005) yang berpendapat bahwa ”institution determine social organization”. Makara kelembagaan ialah wadah kawasan-tempat organisasi hidup.

Upaya meningkatkan daya saing petani salah satunya ialah pengembangan kelembagaan pertanian, pemberdayaan, pemantapan dan kenaikan kesanggupan kelompok-kalangan petani kecil (Kartasasmita, 1997 : 31-32).

Pada dasarnya pengertian kelompok tani tidak mampu dilepaskan dari pengertian golongan itu sendiri. Menurut Sherif dan Sherif (Catrwright dan Zander, 1968) kalangan ialah sebuah unit sosial yang berisikan sejumlah individu yang satu dengan individu yang lain, memiliki kekerabatan saling tergantung sesuai dengan status dan perannya, mempunyai norma yang mengatur tingkah laku anggota kelompok itu.

Kelompok pada dasarnya ialah campuran dua orang atau lebih yang berinteraksi untuk meraih tujuan bersama, dimana interaksi yang terjadi bersifat relatif tetap dan mempunyai struktur tertentu. Menurut Polak (1976) maksud struktur suatu kalangan yakni susunan dari pola antar korelasi intern yang agak stabil, yang terdiri atas : (1) sebuah rangkaian status-status atau kedudukan-kedudukan para anggotanya yang hirarkhis, (2) peranan-peranan sosial yang berkaitan dengan status-status itu, (3) komponen-unsur kebudayaan (nilai-nilai, norma-norma, model) yang mempertahankan, membenarkan dan mengagungkan struktur.

Menurut Soekanto (1986) ada beberapa hal yang mesti menjadi ciri kalangan, yaitu : setiap anggota kalangan harus sadar sebagai bab dari kalangan, ada korelasi timbal balik antara sesama anggota dan terdapat suatu faktor yang dimiliki mbersama oleh para anggota sehingga relasi diantara mereka makin berpengaruh.

Perry dan Perry (Rusdi, 1987) mengemukakan bahwa yang menjadi ciri-ciri suatu kalangan yakni : (1) ada interaksi antar anggota yang berlangsung secara kontinyu untuk waktu yang relatif usang, (2) setiap anggota menyadari bahwa dia ialah bab dari kelompok, dan sebaliknya kelompoknyapun mengakuinya selaku anggota, (3) adanya janji bareng antar anggota perihal norma-norma yang berlaku, nilai-nilai yang dianut dan tujuan atau kepentingan yang akan diraih, (4) adanya struktur dalam golongan, dalam arti para anggota mengenali adanya hubungan-korelasi antar peranan, norma peran, hak dan kewajiban yang semuanya tumbuh didalam kelompom itu.

Menurut Bappenas (2004), Dalam rangka pemberdayaan (penguatan) petani sebagai salah satu pelaku agribisnis hortikultura, maka perlu menumbuh kembangkan kelompok tani yang berdikari dan berwawasan agribisnis. Penguatan kelembagaan ditingkat petani mencakup golongan tani, asosiasi, himpunan, koperasi, ialah hal yang perlu secepatnya dikembangkan secara dinamis guna memajukan profesionalisme dan posisi tawar petani.
1)      Penumbuhan Kelompok tani
a)      Menumbuhkan golongan tani baik dari kalangan yang telah ada ataupun dari petani dalam satu daerah.
b)      Membimbing dan membuatkan kalangan berdasarkan kepentingan perjuangan tani golongan.
c)      Mengorganisasikan petani dalam kelompok.
d)     Menjalin kerjasama antar individu petani didalam satu golongan
2)      Peningkatan Kemampuan Kelompok tani
a)      Meningkatkan kesanggupan kalangan tani lewat peningkatan kualitas dan produktivitas SDM, memajukan managerial dan kepemimpinan kalangan.
b)      Mengembangkan fungsi kelompok tani menjadi kalangan usaha/ koperasi.
c)      Mengembangkan organisasi golongan ke bentuk yang lebih besar, mirip Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Asosiasi.
3)      Mengembangkan Kemitraan Usaha
a)      Mengembangkan kemitraan usaha agribisnis antara kelompok on-farm dengan kelompok off-farm.
b)      Meningkatkan nilai tambah irit produk melalui koordinasi usaha antara pelaku agribisnis.
c)      Memperhatikan prinsip-prinsip kemitraan adanya pelaku kemitraan (petani, kalangan tani, pengusaha, dan pemerintah; Adanya kebutuhan dan kepentingan bareng dari pelaku-pelaku agribisnis; Adanya kerjasama dan kemitraan yang sebanding dan saling menguntungkan.
Organisasi atau kelembagaan petani diakui sungguh penting untuk pembangunan pertanian, baik di negara industri maupun negara berkembang mirip Indonesia. Namun realita memperlihatkan kecenderungna masih lemahnya organisasi petani di negara berkembang, serta besarnya kendala dalam menumbuhkan organisasi atau kelembagaan pada masyarakat petani. Intervensi yang terlalu besar dari pemerintah atau politisi sering kali menimbulkan organisasi itu bekerja bukan untuk petani tetapi melayani kepentingan pemerintah atau para pengelolanya (Vahn den Ban dan Hawkins, 1999: 265).
Bunch (1991: 270-271) memastikan pembangunan lembaga tidak sekadar memindahkan kerangka organisasi tetapi juga hgarus menawarkan “perasaan” tertentu, ciri-ciri masyarakat, perassan, keahlian, perilaku dan perilaku budpekerti ialah darah dan daging suatu lembaga.