Kisah Wacana Periode Kecil Irwandi Yusuf, M.Sc. Gubernur Provinsi Aceh

KITA SEMUA DIDIDIK SEBAGAI PEJUANG

Ini kisah tentang kala kecil seorang anak bernama Irwandi Yusuf. Irwandi kecil yaitu seorang anak yang ingin tahu segala hal. Ketika anak seusianya menciptakan kendaraan beroda empat mainan berupa truk atau bus, Irwandi malah menciptakan tank perang. Ia juga mengakibatkan batang pisang di belakang rumahnya selaku ‘partner’ latihan karate.
Terletak di sebuah tikungan kawasan Bireuen, gampong itu berhadap-hadapan dengan rawa bernama Paya Kareung. Bila berjalan dari arah Banda Aceh menuju Medan, sehabis melalui kota Bireuen, maka perkampungan ada di sebelah kiri, paya-rawa ada di kanan jalan. Terbentengi bantaran Irigasi, inilah gerbang Gampong Sagoe.

Di situlah bertempat tinggal seorang guru agama yang juga guru ngaji, bernama Muhammad Yusuf, bersama istrinya, Nafsiah Puteh. Pengantin yang baru setahun berkeluarga, pasti merindukan buah hati. Masa itu datang pada pukul 12.00 WIB, 2 Agustus 1960, Yusuf duduk gusar di ruang tamu rumahnya di Gampong Sagoe itu.

Maklum, isterinya, Nafsiah, yang sedang hamil tua sedang berjuang bareng dukun beranak, Fatimah, di dalam kamar sayap kanan rumahnya. Ini suatu proses persalinan yang umum di era itu, tetapi Yusuf cemas alasannya sedang menanti kelahiran anak pertamanya.

Begitu mendengar tangisan bayi, Yusuf reflek terbangun dari duduknya. Lalu buru-buru menuju kamar. “Ka lahee aneuek agam,” kata sang istri, Nafsiah, kepadanya. Sang suami mengangguk tersenyum. Ini yakni putra pertama mereka. “Lon boeh nan Irwan. (Saya beri nama: Irwan),” kata Nafsiah.

Oleh Zainal Abidin -Nek Teungku-, ayah kandung Yusuf, menyertakan ‘Di’ di belakang nama Irwan. Jadilah Irwandi, lalu satu suku kata lagi yakni Yusuf ialah penggalan nama belakang ayahnya, Muhammad Yusuf. Jadilah Irwandi Yusuf. Kelahiran Irwandi cuma disambut khanduri skala kecil. Maklum desa yang sarat hutan belukar itu masih sepi, gres ada 30 rumah tanpa penerangan listrik.

Irwandi tumbuh bareng bocah-bocah kecil yang lain di Gampong Sagoe dengan ciri khas rambut tegak lurus. Kata orang kampung, “balon beureutoh meunyoe keuneung ok gobnyan (balon meletus bila kena rambutnya).” Di usia lima tahun, beliau telah hebat membaca Al-Quran. Gurunya tak lain yaitu kakeknya, Zainal Abidin yang dekat disapa Teungku Gampong, adakala dia berguru pada ayahnya, Yusuf. Sesekali yang bertindak menjadi guru yaitu Nafsiah, ibunya.Sering, Nafsiah kewalahan dengan pertanyaan putra sulungnya dikala berguru itu. Termasuk tentang kelahiran adik-adiknya. “Adek bayi nyoe ata dipeutroen dari kapai (adik-adik diturunkan dari pesawat),” kata Nafsiah. Mendengar klarifikasi ibunya, Irwandi hanya tersenyum saja.

Akhirnya, Nafsiah menyadari sifat Irwandi yang selalu penuh pertanyaan itu. “Jih meunan droe. Miseu lagee tapeureuno beut, keun ka ta kheun sigoe trok bah jih meuphom, watee ta kheuen sigoe treuek nyan langsong jikheuen ‘pu neukheun sabe-sabe? ‘Peue syit yang lon pike meuseu neukheun sabe-sabe (Dia -sifatnya- memang begitu. Misalnya saat kita mengajarkannya membaca Al-Alquran, kita akan membaca satu kali lagi semoga beliau memahaminya, waktu kita baca lagi pribadi saja ia katakan kenapa membaca berkali-kali? Kalau Ibu membaca berkali-kali lalu apa yang mesti aku pertimbangkan lagi),” kata Nafsiah.

Tempat pengajian ini memang berada di rumah keluarga besar Irwandi. Semua belum dewasa di kampung itu berguru mengaji di sini, maklum Nek Imum ialah seseorang yang sungguh dihormati di sini. Keluarga Irwandi diketahui selaku keluarga terpandang di desanya. Selain seorang imam, Nek Teungku -kadang juga disapa Teungku Denon-, sang kakek, sebelum kemerdekaan yaitu wakil/orang dogma Ampon Chiek Peusangan untuk kawasan Gampong Sagoe dan sekitarnya. Adapun Yusuf, ayah Irwandi, selain seorang guru agama di Madrasah Ifitaiyah Negeri (MIN) Cot Bada, Peusangan, dia adalah Geuchik Gampong Sagoe.

  Meski Raga Agam Batat Terkurung, Namun Pikirannya Tetap Merdeka

Bagi Irwandi, semua yang dilihat dan belum dimengertinya selalu menjadi pertanyaan. Suatu kali, ia penasaran dengan sejenis buah-buahan yang membuatnya sampai menelan ludah. Glek. Keinginannya semakin menggoda manakala melihat tetangga menjinjing pulang buah berkulit tikar itu.Tak tahan, Irwandi pun merengek pada ibunya untuk berbelanja. “Mak, neublo boh kaye nyan that hawakuh, lagee tika kulet boh kaye nyan (Mamak, belikan aku buah-bauhan, aku sangat menginginkannya, buah-buahan itu kulitnya seperti tikar),” katanya. Tentu saja Nafsiah gundah. “Kiban boh kayee lagee tika(bagaimana buah-buahan yang seperti dengan tikar itu)?” beliau bertanya.

Melihat ibunya kebingungan, Irwandi pun berlari-lari kecil ke tempat tinggal tetangganya, ia mencari di tempat sampah. Setelah mendapatkan kulit buah-buahan yang mirip tikar itu, Irwandi menunjukkan pada ibunya sambil berkata, “nyoe, kulet boh kayee nyang lagee tika nyan.”Sembari tersenyum, Nafsiah berkata: “oh nyan boh meuria, hana mangat hai nyak, nyan rasajih klat (Oh itu, buah rumbia -salak Aceh-, nggak lezat rasanya kecut)”. Kendati demikian Nafsiah tetap membelikannya untuk Irwandi, bahkan sekeranjang. Girang bukan kepalang, Irwandi pun mengupas buah berkulit tikar itu dan melahapnya satu. Dan, apa yang terjadi? Dia mencicipi buah yang sungguh kecut, dan kesat. Satu pun tak habis dimakannya. Diam-diam ia meninggalkan sekaranjang buah yang sejatinya sering digunakan buat rujak Aceh. Sejak itu, Irwandi berhenti minta buah rumbia.

Memasuki usia enam tahun, Nek Teungku menghendaki cucunya menjadi seorang bakir, begitu juga sang ayah, Yusuf, yang berharap anaknya menjadi orang pintar. Irwandi didaftarkan ke Madrasah Iftidayah Negeri (MIN) Cot Bada, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Pada seorang guru di sekolah, Yusuf berpesan agar Irwandi jangan dimasukkan ke dalam kelasnya mengajar. “Leu that ji teumanyoeng (berbagai bertanya),” kata Yusuf terhadap guru itu.

Sementara, Nek Teungku yang juga dekat disapa Teungku Gampong yang menilai Irwandi sudah mulai bersinggungan dengan dunia luar, selalu mengingatkan satu hal pada cucunya, “bek jak meurangak kolam gob”. Sangking mendalamnya anutan ‘bek meurangak’ itulah yang menciptakan Irwandi tak pernah berharap menerima santunan siapapun. Jika jam makan siang datang, beliau secepatnya pulang.Sebab, jika telat tiba di rumah, maka ayah-ibunya ataupun kakeknya akan mengajukan pertanyaan, “nyan pat kayak raheung. Pasti kayak raheung kolam rumoh gob, cet-cet uroe goh lom ka woe (nah di mana kau raheung. Pasti pergi raheueng di rumah orang, siang-siang begini belum pulang-pulang?”

Satu kalimat itu sudah cukup menciptakan Irwandi aib, diapun menunduk tanpa menjawab langsung ke dapur mengambil piring kemudian makan siang. Begitu juga saat di rumah tetangga terdengar buah kelapa jatuh sebab ada yang memanjatnya, langsung kakeknya bilang pada Irwandi “nyan kah bek kameuraheung boh u muda bak rumoh gob (nah kamu jangan meuraheueng buah kelapa muda tetangga).

  14 Tahun Hening Tanpa Keadilan, Oleh: Felix Rodriguez

Setelah bersekolah, Irwandi mulai banyak sahabat. Tak ada angkutan, di periode itu mereka sekampung berlangsung kaki menuju sekolah yang berjarak satu kilometer dari gampong. Anak-anak tanpa seragam, beraneka macam baju yang dikenakan. Bahkan, di antaranya banyak memakai sendal, ada yang bertelanjang kaki. Setiap hari begitu, mereka pun menjadi dekat dan menjadi sobat sepermainan.

Sepulang sekolah, Irwandi mengisi harinya bercengkrama bareng sobat-sobat kecilnya. Salah satu permainan yang suka mereka mainkan adalah “polisi dan penjahat”. Mereka memakai bedil dari kayu dan pelepah kelapa. Bersama sobat-temannya, beliau juga memanfaatkan Paya Kareung selaku tempat berenang sambil main kejar-kejaran. Irwandi suka memancing di sini. Biasanya, beliau membawa pulang ikan Petek, Sepat, Gabus, dan Seungkeo (Lele).

Selain itu, Irwandi bareng sahabat-teman kecilnya itu juga suka bermain mobil-mobilan. Tentu bukan membeli, bawah umur di kampung menjadikannya sendiri dari pelepah rumbia. Kesukaan Irwandi berlainan, jika anak-anak lain membuat truk atau bus, beliau malah menciptakan tank perang. Bahkan dibuat dua kemudian dirancangnya perang-perangan, semoga mirip dibuatnya tembakan dari gelang karet.

Kegemarannya dengan perlengkapan tentara juga terbawa ke sekolah, ketika melukis pun biasanya dia menggambar peralatan militer, jikalau pun guru menyuruhnya bikin lain maka dilukisnya panorama. Irwandi di tengah keluarganya, di kenal tak suka ke sawah. Bahkan Yusuf dan Nafsiah tak bisa memerintahkan putranya turun ke sawah, alasannya selalu melihatnya bermain. Jika tak bermain, Irwandi sedang asyik membaca buku. Semua buku yang dibacanya berasal dari peti buku milik Yusuf.

Irwandi suka mengacak-acak toeng -peti- itu untuk mencari buku yang mau dilahapnya. Mulai dari sebuah novel, buku ilmu teknik ringan, serta sejarah seperti sebuah buku yang paling disukainya berjudul “Singa Atjeh” yang bercerita perihal Sultan Iskandar Muda. Dari buku ini ia menerima gambaran bagaimana Aceh sungguh makmur di zaman Pemerintahan Kesultanan Iskandar Muda. Aceh di era-17 telah mahsyur hingga ke negeri Cina. Berpesan, buku Singa Atjeh itu jangan hingga rusak. “Nyan buku gob, ata ta pinjam (itu buku orang yang kita pinjam),” katanya. Irwandi membisu saja, tetapi tiap hari dibacanya hingga buku itu lecek, ada lembaran-lembaran yang terlepas. “Nyan ka reuleuh lagoe buku, kiban ta pulang lom (nah itu sudah rusak buku orang, bagaimana mau kita kembalikan lagi)?” Buku itupun kesudahannya entah bagaimana nasibnya.

Salah satu novel yang dibacanya menceritakan wacana dua anak yatim-piatu. Anak ini telah ditinggal mati oleh ibunya, dan ayahnya yang yakni Tentara KNIL tewas di Aceh. Dua anak itu hidup di Jakarta bareng ibu tirinya. Setiap hari mereka disuruh mengemis di Matraman, Muara Angke, Pancoran, dan Stasion Kereta Api Gambir, di Jakarta. Uang yang didapat dari hasil mengemis itu digunakan ibunya untuk kebutuhannya memadat candu. Sang ibu tiri pecandu narkoba. Novel dibaca habis, bahkan hingga-hingga air matanya meleleh. Rupanya, dia mengandaikan dirinya menjadi si pengemis cilik itu. Isi novel bisa diceritakannya secara utuh pada sahabat-teman kecilnya. Bahkan dari sini ini pula Irwandi bisa mendiskripsikan wacana Jakarta seperti ia menyaksikan sendiri ibu kota negara itu. Dari novel ini pula Irwandi tahu detail tentang Kereta Api, lengkap dengan ancaman bila berada erat rel.

  Meski Raga Terkekang, Namun Pikirannya Tetap Merdeka

Di kala itu, di Bireuen ada Kereta Api yang melintas di tempat ini. Irwandi sering was-was jika kereta lewat, “jangan-jangan ada orang di atas rel.” Itulah sebabnya, ibu-ibu di sana sering menggodanya. Tatkala ada kereta api melintas, ibu-ibu eksklusif berteriak, “ada orang berjalan di atas rel.” Mendengar jeritan ibu-ibu, Irwandi yang sedang berada di dalam rumah terperanjat bukan kepalang. Dia pun ikut berteriak, “yu minah, yu minah laju, bek na kolam ren(suruh minggir, jangan ada orang di rel bahaya).” Teriakannya terdengar se-antero kampung. Akhirnya menciptakan para ibu-ibu yang menggodanya tertawa terpingkal-pingkal.

Peti buku itu memang penuh makna bagi Irwandi. Sebab dari situ pula ia mendapat balasan berbagai hal yang menjadi pertanyaan di benaknya. Misalnya buku Ilmu Falak, dari sini ia mampu mengetahui banyak sekali hal ihwal alam. Di antaranya yaitu soal gerhana matahari, gerhana bulan, dan juga bencana alam. Ini semua menepis sahibul hikayat yang didengarnya, ialah tentang dunia ini yang berada di ujung tanduk lembu, jikalau lembu bergoyang maka terjadilah gempa. Gerhana yang didengarnya menunjukan akan hari menjelang akhir zaman. Dia sungguh takut datangnya kiamat, sebab akan berpisah dari nenek dan orang tuanya. Nah, setelah membaca buku ilmu falak itu beliau pun paham ihwal tanda-tanda alam.

Dari hasil membaca pula beliau bisa melukiskan bagaimana mesin kenderaan bermotor melakukan pekerjaan . Dia membaca buku mekanik di peti buku ayahnya, di situ ada satu buku yang pertanda perihal bagaimana mesin melakukan pekerjaan secara sederhana. Di usia dini, beliau telah paham bagaimana melakukan pekerjaan piston, dan pembakaran. Rupanya buku itu telah menjawab pertanyaan yang terbawa dalam mimpinya, yaitu kenapa kendaraan beroda empat mampu berlangsung sendiri. Sejak itu, ia pun paham mengapa kendaraan beroda empat sedan yang digunakan suatu perusahaan di akrab kampungnya itu mesinnya ada di bab belakang.

Ketika berjumpa sobat-temannya ia pun mengatakan, “nyan moto nyan mesin jih jiduk di likoet (mobil itu mesinnya ada di belakang).” Langsung saja mereka menyanggah, “kiban jiduek di likot sedangkan dijak u keue. Weng jih pih di keu (bagaimana bisa di belakang, sedangkan jalannya ke depan. Setirnya pun di depan).”

Irwandi pun menerangkan bahwa, mesin kendaraan beroda empat itu bekerja untuk memutar roda, jadi sangat mungkin bagasi kendaraan beroda empat menjadi tempat mesin dan kap mesin menjadi bagasi. Penjelasan ini, malah membuat sahabat-temannya semakin mengerutkan dahi.

Kisah Tentang Masa Kecil Irwandi Yusuf, M.Sc. Gubernur Provinsi Aceh

Tak hanya menciptakan resah teman-temannya, kebiasaan Irwandi seringkali juga menciptakan Nafsiah mengerutkan dahi. Misalnya, suatu hari Nafsiah terkejut mendengar gedebak-gedebuk di kebun pisang belakang rumahnya. Ada pula teriakan, “ciat… ciat..”. Penasaran, ia pun melongok. Dan yang dilihatnya, Irwandi sedang memalsukan gaya kung fu Bruce Lee -pemain drama Hong Kong- dan sasarannya menggebuk batang pisang. Sang ibu pun hanya mampu menawan nafas dalam-dalam. Pelajaran karate ini pun dibawanya ke sekolah. Dia memperagakan jurus-jurusnya saat jam istirahat, kemudian mengajak mitra-kawannya untuk menjajal kemampuannya itu, ya langgar. Seperti itulah, Irwandi melalui era kecilnya.

Masih ingatkah Anda dengan Irwandi?


habagampoung  
By: Felix Rodriguez