Kisah Sedih Iman yang Pesek

Yang pesek di sini bukan wacana pecahan badan, yg pesek di sini yaitu doktrin yg terkikis, tergradasi alasannya lumpur kekufuran.

Si Jahil menyebut dirinya tak menghina fisik siapapun. Namun dlm suatu tayangan menyebut dirinya mirip anjing yg pesek.

Si Jahil menyebut tak berani mencemooh siapapun. Namun menelanjangi makna menutup aurat dgn urat otaknya. Seolah-olah menjalani keharusan yakni beban yg menyesakkan. Seolah menanggalkan sebuah kewajiban yakni keleluasaan & tak munafik.

Si Jahil menyebut dirinya tak jahat, tetapi membisu-diam menyeret pengikutnya ke kubangan pemikiran berlandas perasaan-perasaan. Berbuat jahat dgn suatu drama.

Ustadz Abdul Shomad mengatakan bersikap arogan pada orang yg sombong yaitu sedekah. Jika kita tawadhu di hadapan orang arogan maka akan mengakibatkan dirinya terus-menerus berada dlm kesesatan. Namun, kalau kita bersikap “sombong” maka ia akan sadar. Imam Syafii berkata; “Bersikaplah sombong pada orang angkuh sebanyak dua kali.

Sombong itu adalah menolak kebenaran & mengiyakan kejahiliyahan. Apalagi ditepuktangani oleh khalayak ramai, makin sombonglah itu yg mempunyai akidah yg pesek.

Menghina fisik barangkali bukanlah laris yg elok, tetapi mencibir aliran Tuhan & menelanjangi di depan khalayak pula sangat kerdil. Lebih kerdil.

Iman yg pesek alasannya terlampau banyak melanggar hukum Tuhan. Naik doktrin alasannya ketaatan, turun alasannya adalah kemaksiatan. Baik kemaksiatan yg sesaat atau yg berkelanjutan layaknya tayangan hiburan.

Tidak setuju dgn mencibir fisik, namun masih bersungguh-sungguh mengolok-olok orang yg berpotensi jenggotan & memiliki jidat hitam. Mengandaikan layaknya kambing atau unta dgn kata-kata.

Wahai pemilik iman yg pesek, ingatlah satu kata; konsistensi. Inilah tantangan utama iman. Bahasa wahyunya adalah istiqomah. Kata Nabi, ‘Katakan, gue beriman pada Allah, kemudian istiqomahlah!’

  “Ngejek Jenggotan Seperti Kambing, Berarti Pengejek yang Tak Jenggotan Apa Seperti Babi?”

Banyak orang tak bisa membedakan antara kebahagiaan & kenikmatan sehingga mereka mencari kebahagian lewat kenikmatan. Lewat jalan masuk hiburan, atau drama kepalsuan. Tatkala kenikmatan habis, dada mereka sempit. Padahal dgn iktikad kebahagiaan akan terwujud, walau tanpa kenikmatan.

Iman itu soal kepercayaan, bukan mengandalkan & membesarkan perasaan. Jangan sampai kita besar pesek daripada tiang (agama).

Wallahu’ alam [@paramuda/Wargamasyarakat]