Seorang Haji yg cukup terpandang di suatu desa di Jawa Timur sedang mencari menantu untuk putri bungsunya.
Sang gadis, sebenarnya masih muda. Hanya saja untuk ukuran desa, lulus kuliah dianggap usia yg matang untuk menikah. Jika melalui bertahun-tahun sehabis diwisuda, kesannya sudah bagaimana. Sebab dibandingkan dgn sobat-temannya yg sebagian sudah menikah setahun dua tahun setelah lulus SMA.
Datanglah seorang juragan kaya ke tempat tinggal Pak Haji. Ia ingin melamarkan sang gadis untuk anaknya.
“Terima saja, Pak. Anak kita kan sudah remaja. Lagi pula, ia kan kaya. Insya Allah terjamin masa depan anak kita,” demikian kira-kira masukan bu Hajah pada Pak Haji.
“Bu… kita menentukan menantu bukan karena kekayaan & pekerjaannya apa. Tapi yg lebih penting yaitu akhlaknya. Bapak tahu siapa anak juragan itu. Akhlaknya nggak baik. Apakah nanti ia mampu jadi imam buat anak kita?”
Beberapa pekan setelah lamaran itu ditolak, Bu Hajah mulai cemas. “Bagaimana ini Pak? Belum ada yg melamar anak kita… Coba Bapak hubungi teman-sahabat, siapa tahu ada yg punya anak laki-laki yg mau menikah”
“Sabar Bu… Bapak rasa belum perlu kita mencari. Insya Allah nanti akan tiba jodohnya sendiri. Yang penting kita berdoa”
Selang beberapa hari, seorang tetangga menenteng temannya ke rumah Pak Haji. Rupanya tamu tersebut memiliki seorang anak yg mau menikah. Ia ingin melamar putri Pak Haji.
“Kalau yg ini seharusnya diterima ya Pak. Mungkin ini jodoh buat anak kita. Soalnya kan kita nggak kenal mereka, tiba-tiba mereka datang ke sini ditemani tetangga kita,” Kata Bu Hajah sesudah tamu undur diri.
“Justru karena kita nggak kenal, Bapak jadi ragu. Apalagi anaknya militer, nanti kasihan anak kita diajak pindah peran ke mana-mana. Tapi… bapak mau cari info dahulu, bagaimana adat anak itu.”
Perlu lebih dr sepekan Pak Haji menghimpun keterangan, sebab yg melamar kali ini beda desa. Tentang akhlaknya, wacana rekam jejaknya. Dan sebuah kesimpulan menciptakan Pak Haji menolaknya: “Dia nyaris nggak pernah ke masjid kalau pulang kampung, Bu”
Waktu terus berlalu, memasuki hitungan bulan. “Pak… bagaimana ini? Jangan sampai anak kita jadi perawan tua.”
“Sabar Bu… yg penting kita lapang dada & berdoa. Insya Allah jodoh terbaik akan tiba. Mungkin munajat kita kurang…”
Ibadah Pak Haji makin kenceng. Doanya makin khusyu’. Dzikirnya makin panjang. Shalat malamya makin usang.
Beberapa hari kemudian, seorang tetangga tiba bareng seorang perjaka. “Ini keponakan aku, ia lulus kuliah tahun kemarin. Sudah melakukan pekerjaan . Mau cari istri. Ditanya ayahnya mau cari istri yg bagaimana, katanya mau cari istri yg jilbabnya lebar & selalu menutup aurat. Saya jadi ingat anak Pak Haji yg kini sudah lulus kuliah…” panjang lebar sang paman menjelaskan. Pak Haji & Bu Hajah mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali menyaksikan pemuda berjanggut tipis itu. Wajahnya cerah seperti bercahaya. Ada tanda sujud di keningnya. Dalam hati, Pak Haji berdoa mudah-mudahan ini jodoh buat anaknya.
Besoknya, Pak Haji meminta salah seorang karyawannya untuk mencari informasi perjaka itu & keluarganya. Confirmed. Mereka diketahui sebagai keluarga taat beragama. Dan sang cowok bersungguh-sungguh ke masjid.
“Alhamdulillah… balasannya ketemu jodoh anak kita,” Bu Hajah bernafas lega melihat suaminya bersyukur. Buah ketaatan & kesabaran dibalas Allah sesuai janjiNya. Pak Haji kini mendapatkan menantu yg shalih, berpendidikan, pekerjaannya mapan, & rupanya ia punya tanah yg luas.
Benarlah sabda Rasulullah… “fadzhar bidzaatid diin taribat yadak”. Pilihlah berdasarkan agamanya pasti kamu-sekalian beruntung. [Muchlisin BK/wargamasyarakat]