Khawarij Dan Murji’Ah

I.                  PENDAHULUAN
Tidak mampu dibantah bahwa hadirnya beberapa kelompok dan pedoman dalam Islam intinya berawal dari menyikapi problem politik yang terjadi diantara umat Islam, yang kesannya merebak pada dilema Teologi dalam Islam. Tegasnya yaitu persoalan ini bermula dari masalah Khilafah, adalah wacana siapa orang yang berhak menjadi
Khalifah dan bagaimana prosedur yang mau digunakandalam penyeleksian seorang Khalifah. Di satu sisi umat Islam masih ingin menjaga cara lama bahwa yang berhak menjadai Khalifah itu ialah secara turun temurun dari suku bangsa Quraisy saja. Sementara di sisi lain umat Islam mengharapkan Khalifah dipilih secara demokrasi, sehingga setiap umat Islam yang memiliki kapasitas untuk menjadi Khalifah mampu ikut dalam penyeleksian.

Rumitnya problem ini dipicu oleh ego kesukuan dan kelompok yang saling mementingkan kalangan masing-masing, hingga akibatnya memuncak pada kala kekhalifahan Usman Bin Affan, yakni pada tahun ke 7 kekhalifahan Usman hingga masa Ali Bin Abi Thalib yang mereka anggap sudah menyeleweng dari pedoman Islam. Sehingga terjadilah saling bermusuhan bahkan pembunuhan sesama umat Islam. Masalah pembunuhan ialah dosa besar dalam Islam, dalam menanggapi persoalan inilah problem politik merebak ke ranah teologi dalam Islam. Sehingga bermunculanlah aneka macam usulan dan faham, yang kesannya timbul dalam bentuk kelompok dan golongan yang mengakibatkan umat Islam terdiri dari beberapa kelompok dan pedoman.
Dalam makalah ini Penulis membahas perihal Sekte dan Ajaran Pokok golongan Khawarij dan Murjiah  yang muncul alasannya adalah terjadinya permasalan politik kenegaraan dalam Islam, serta perbedaan usulan dikalangan umat Islam yang menghipnotis hadirnya teologi dalam Islam.
II.      PEMBAHASAN
A.  Kaum Khawarij
Sebagaimana yang telah dikenali bahwa kaum Khawarij  berasal  pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan keluar dari barisannya disebabkan oleh  ketidak setujuan mereka terhadap sikap Ali Bin Abi Thalib yang menyetujui tawaran tenang dengan Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dalam perang siffin yang dikenal dengan arbitrase atau tahkim. Mereka merasa arbitrase cuma menguntungkan bagi pihak Mu’awiyah yang menyatakan Mu’awiyah lah yang mesti diakui sebagai Khalifah.
Nama Khawarij berasal dari kata ”Kharaja” yang artinya” keluar”. Nama itu diberikan kepada mereka dikarenakan mereka keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib. Menurut Ahmad Amin, nama Khawarij mereka sendiri yang menamakannya menurut surat Annisa’ ayat 100, yang didalamnya disebutkan ” Keluar dari rumah lari terhadap Allah dan Rasulnya. Berdasarkan usulan ini kaum Khawarij menatap golongan mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampung halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasulnya.[1]
 Mereka juga menamakan diri mereka dengan ”al- Syur`at”, yang berasal dari kata ”Yasri” artinya ” menjual” yang terambil dari surat al- Baqarah ayat 207. Dan mereka juga memiliki nama lain yakni  al- Harurat, disebabkan setelah meninggalkan Ali mereka berkumpul di sebuah desa bersahabat kota Kuffah yang bernama Harura. Di sinilah mereka mengangkat Abdullah Bin Wahab Arrasibi sebagai imam mereka sebagai ganti dari Ali Bin Abi Thalib.[2]
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dari kata Khawarij yang artinya keluar , karena mereka menyatakan keluar dari barisan Ali disebabkan tidak oke dengan arbitrase atau tahkim. Dan disandarkan terhadap penyebab mereka menyebut golongan mereka dengan nama khawarij, sebab mereka menganggap kelompok mereka sebagai orang-orang yang bersikukuh dengan aliran Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka harus meninggalkan barisan yang berada dibawah pimpinan Ali Bin Abi  Thalib. Hal ini disebabkan oleh sebab mereka tidak sependapat dengan Ali untuk menghentikan peperangan yang sudah diambang kemenangan dan menentukan arbitrase. Dan ternyata Mu’awiyah yang sudah berpengalaman memanfaatkan arbitrase dengan kelicikannya untuk menobatkan diri sebagai orang yang  berhak menjadi Khalifah.
 Konon pada mulanya Ali meragukan untuk menerima anjuran arbitrase atau tahkim yang disediakan oleh Mu’awiyah dan pengikutnya, sebab Ali tahu persis dengan kelicikan dari Mu’awiyah sekalipun Mu’awiyah dan Amru Bin Ash mengangkat Mushaf selaku dasar bertahkim kepada Al-Quran, untuk mempengaruhi Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya. Akan namun dengan pertimbangan sebagian pengikut setia Ali Bin Abi Thalib yang baiklah dengan tahkim, maka akhirnya Ali Bin Abi Thalib mendapatkan dengan lapang dada demi mempertahankan keutuhan kelompoknya.
Namun sebagian lagi dari pengikut Ali Bin Abi Thalib tidak setuju dengan arbitrase, alasannya kemenangan sudah hampir mereka dapatkan dalam perang siffin, dan berdasarkan mereka arbitrase hanya menguntungkan bagi Mu’awiyah dan Amru Bin Ash yang licik dengan taktiknya. Sehingga mereka yang tidak oke dengan  menyatakan mundur dan keluar dari barisan Ali. Mereka pergi menuju Harura, suatu desa di dekat kota Kuffah di Irak. Dan mereka mengangkat Abdullah Bin Wahb Al Rasyidi menjadi Imam mereka. Inilah kalangan yang diketahui dengan istilah Khawarij yang pertama yang beranggotakan sekitar 12 ribu orang.[3]
Kelompok Khawarij disebut pula dengan Haruriyah, alasannya adalah dinisbatkan kepada Harura nama desa yang mereka tempati. Mereka juga dinamakan Al-Muhkamah, karena mereka yang mengatakan ”Bahwa tidak ada ketetapan Hukum kecuali milik Allah”. Mereka juga menamakan golongan mereka sendiri dengan sebutan Asy-Syurat yang artinya orang yang memasarkan atau mengorbankan diri kepada Allah berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 207.[4]
Dengan demikian nyatalah Khawarij selaku sebuah kalangan yang memisahkan diri dari pemerintahan Ali Bin Abi Thalib, disebabkan oleh watak yang keras dan pedoman yang ekstrim dari mereka, sehingga Khawarij dianggap selaku kalangan pemberontak dimasa Kekhalifahan Ali. Dalam berbagai peperangan besar Khawarij mampu dikalahkan oleh pasukan Ali. Namun risikonya seorang Khawarij yang berjulukan Abd Al-Rahman Bin Muljam berhasil membunuh Ali Bin Abi Thalib.
Walaupun Khawarij telah mengalami kekalahan, mereka tetap mampu menyusun kekuatan kembali dan meneruskan perlawanan kepada kekuasaan  Islam resmi baik di zaman Dinasty  Umaiyyah maupun di zaman Dinasty  Abbasiyyah. Kemudian dalam perang saudara pada kurun Ibn Az-Zubir, dua gerakan kaum Khawarij yang memliki peran yang sungguh besar dalam merangsang pengembangan teologi sehingga berkembang dengan pesat dan tumbuh menjadi kelompok yang  cukup besar. Kelompok Khawarij pertama ialah sub sekte Azraqiah sesuai dengan nama pimpinan mereka yakni Nafi Ibn Al-Azraq dan kepemimpinan Az-Zubair. Namun pada tahun 684 M, kota Basra jatuh ke tangan Ibn Az-Zubair, sehingga orang-orang sekte Azrqiah yang tersisa melarikan diri ke pegunungan di sebelah timur Basra. Akhirnya prajurit Bani Umaiyyah yang berkuda pada waktu itu berhasil memusnahkan kekuatan mereka.[5]
  Sebagai kelompok yang ekstrim Khawarij memang menyikapi setiap masalah yang timbul pada waktu itu secara keras dan sempit, siapapun pemimpin Islam, kalau tidak memerintah sesuai dangan Al-Quran dan Sunnah yang mereka fahami secara lafziyah, mereka anggap telah menyeleweng dari aliran Islam, dan mereka harus ditentang dan dijatuhkan, bahkan darah mereka menjadi halal atau mesti dibunuh. Namun sebagian kecil dari mereka ada yang berfaham sedikit moderat mirip Sekte Ibadiyah, yang mau penulis paparkan berikut ini.
B. Sekte dan Ajarannya
1. Al-Muhakkimah
Sekte Al-Muhakkimah yaitu kelompok Khawarij yang berisikan pengikut-pengikut Ali Bin Abi Thalib yang menyatakan dirinya sudah keluar dari barisan Ali dalam perang siffin. Mereka disebut dengan kelompok Khawarij Asli. Menurut mereka Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Syofyan dan kedua pengantara Amru Bin Ash dan Abu Musa Al-Assyari dan semua orang yang menyepakati arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Kemudian aturan kafir ini mereka perluas pengertiannya sehingga termasuk kedalamnya tiap orang yang melaksanakan dosa besar.[6]
Menurut mereka berbuat zina adalah dosa besar, maka bagi pelaku zina sudah menjadi kafir dan keluar dari Islam. Dan begitu juga dengan orang yang membunuh sesama manusia tanpa argumentasi yang sah, menurut mereka juga dosa besar. Dengan demikian pelaku pembunuhan telah keluar dari Islam dan menjadi kafir.
Sebagaimana telah disebutkan diatas, bahwa galongan Khawarij sudah menganggap orang-orang yang mendapatkan  Tahkim atau arbitrase yakni kafir atau murtad. Orang-orang mirip ini berdasarkan mereka wajib dibunuh alasannya tidak menentukan hukum sesuai dengan Al-Alquran. Selain itu mereka juga membicarakan dilema siapa yang tetap Mu’min yang menjadi ajaran pokok dan teologi Khawarij seperti pelaku dosa besar.
2. Al-Azariqah
Golongan ini ialah golongan yang besar dan terkuat sesudah hancurnya kalangan Al-Muhakkimah. Daerah kekuasaan Al-Azariqah yakni pada perbatasan Irak dengan Iran. Nama Al-Azariqah terambil dari nama pemimpin mereka yaitu Nafi Ibn Al-Azraq yang meninggal pada tahun 686 M di Irak. Sub Sekte ini memiliki persepsi yang lebih radikal dibanding sekte Al-Muhakkimah, sebab mereka tidak lagi memakai perumpamaan kafir bagi pelaku tahkim dan dosa besar, tetapi menggunakan trem musyrik atau polytheisme yang dosanya lebih besar dari trem kafir.[7]
Menurut Al-Azariqah, siapa saja yang tidak sefaham dengan mereka yaitu musyrik, meskipun orang yang sefaham dengan Al-Zariqah tetapi tak inginhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Menurut mereka, tempat Islam itu hanyalah kawasan kekuasaan mereka saja, sedangkan orang yang tinggal diluar kawasan kekuasaan Al-Zariqah ialah musyrik, mereka boleh ditawan dan dibunuh. Bahkan istri dan bawah umur dari orang yang dipandang musyrik boleh dibunuh.[8]
Dengan demikian agaknya  sekte Al-Zariqah nyata-nyata menilai cuma kelompok merekalah yang bekerjsama orang Islam, adapun orang-orang yang diluar lingkungan mereka yakni kaum musyrik dan daerahnya adalah Darul Al Kufr, maka mesti diperangi. Maka Ibn Al-Hazm menyampaikan, orang-orang sekte Al-Zariqah selalu melakukan Isti’rad, ialah selalu mempertanyakan pendapat atau iktikad seseorang. Siapa yang mereka temui mengaku oarang Islam, yang tidak termasuk golongan Al-Zariqah pribadi mereka bunuh.
 Sekte Al-Zariqah merangsang ajaran teologis alasannya secara nalar mereka merumuskan kedudukan Khawarij pada kesimpulan yang ekstrim, prinsip dasarnya yang sudah dirumuskan dalam bahasa Al-Quran bahwa tidak ada keputusan selain keputusan Allah ( La Hukma Illa Lillah ) yang memiliki arti keputusan adalah hak Allah semata, dengan demikian menurut mereka keputusan harus diambil sesuai dengan harfiahnya Al-Alquran.[9]
Sekte ini juga berpendapat bahwa penguasa yang telah berbuat dosa dan menyatakan bahwa siapa yang tidak ikut mereka dalam memerangi penguasa yang ada juga yaitu pendosa. Sedangkan anggota kelompok Al-Zariqah yaitu kalangan muslim sejati.
3. Al-Najdad.
Sekte Khawarij ini timbul disebabkan terjadinya perbedaan usulan dengan kubu Al-Zariqah, perihal faham bahwa orang yang tidak bergabung dengan Al-Zariqah ialah orang musyrik. Maka untuk itu mereka mengangakat pimpinan sendiri yang berjulukan Najdah Bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Begitu juga dengan usulan Al-Zariqah ihwal boleh dan halalnya anak dan istri orang Islam yang tidak bergabung dengan mereka untuk dibunuh.[10]
Najdah mempunyai pertimbangan yang sangat berlawanan dengan dua sekte Khawarij sebelumnya yaitu bahwa orang yang melaksanakan dosa besar, yang menjadi kafir dan awet dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Sedangkan pengikut-pengikut Najdah yang melaksanakan dosa besar, memang betul akan menerima siksaan, tetapi bukan didalam neraka dan lalu akan masuk ke syurga. Kemudian dosa kecil jikalau dikerjakan terus-menerus akan menjadi dosa besar dan orang yang mengerjakannya menjadi musyrik.
Sekte Najdah atau Najdiyah pada umumnya mereka berisikan kaum Khawarij yang berasal dari Arabia Tengah yang bernama Yamamah. Pemimpin mereka mulai dari tahun 686 – 692 M adalah Najdah Bin Amir Al-Hanafi. Kekuasaan sekte Najdah meliputi bentangan luas Arabia bahkan Oman di pantai timur Yaman serta Hadramaut di selatan dan barat daya. Pertikaian yang sering terjadi dalam persoalan kepemimpinan mengakibatkan sekte Najdah terpecah terhadap beberapa sub sekte, dan  lalu Yamamah ditindak oleh serdadu Umayyah.[11]
Nampaknya sebagian besar persepsi kaum Najdah berdasarkan pada persepsi aturan mirip yang umum timbul dalam pemerintahan suatu negara yang memiliki kawasan yang luas, mirip masalah-dilema perlakuan pimpinan kepada tawanan perang wanita, eksekusi pengadilan masalah-perkara pencurian serta perampokan. Dari pandangan kaum Najdiyah tentang duduk perkara seperti itu, tergambar bahwa adanya upaya permulaan untuk memikirkan kembali konsep-konsep Khawarij, tentang masyarakat Islam sejati dan tujuan menunjukkan dispensasi alasannya adalah ketidak sempurnaan manusia dalam menghindarkan diri dari larangan Agama. Pandangan kaum Khawarij yang keras yang dijadikan dasar oleh kaum Najdiyah ialah bahwa seseorang yang terlibat dalam dosa besar   penghuni neraka. Kalau bagi kaum Al-Zariqah pelaku dosa besar dengan gampang dapat dikeluarkan dari tempat kekuasaannya, namun bagi kaum Najdiyah yang mempunyai tempat yang luas tidak mudah untuk mengeluarkan seseorang dari wilayahnya, jadi berdasarkan mereka hal itu tidak diperlukan, ini ialah atas dasar  pendapatbahwa manusia normal manapun juga cendrung untuk mengakui adanya keburukan dan kebaikan.
Menurut kaum Najdiyah dosa kecil yang dijalankan seseorang akan menjadi dosa besar kalau dijalankan terus menerus dan yang mengerjakannya akan menjadi musyrik. Kemudian yang diwajibkan bagi tiap muslim ialah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, mengenali haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh yang di wahyukan Allah terhadap Rasul-Nya. Orang yang tidak mengenali tiga macam ini tidak dapat diampuni. Yang dimaksud orang Islam disini adalah orang kaum Najdiyah. Dalam dilema selain diatas, orang Islam tidak diwajibkan untuk mengetahuinya, jikalau dia melaksanakan sesuatu yang haram dengan alasan ia tidak tahu bahwa itu yakni haram, ia dapat dimaafkan.[12]
Selain itu lapangan politik Najdah beropini bahwa Imam itu perlu jikalau maslahat menghendakinya. Menurut mereka seseorang boleh saja tidak berhajat pada adanya imam atau pemimpin. Di kalangan Khawarij, golongan ini tampaknya yang berkeyakinan bahwa mereka boleh saja merahasiakan doktrin demi untuk keamanan diri seseorang yang disebut dengan Taqiah. Taqiah bukan cuma sebatas ucapan, namun juga dalam bentuk tindakan. Dengan demikian seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan tindakan yang mungkin memberikan beliau secara lahiriyah nya bukan orang Islam, tetapi pada hakikatnya beliau tetap menganut agama Islam.
Walaupun demikian tetapi tidak seluruhnya kelompok Najdiyah baiklah dengan usulan tersebut, khususnya bahwa dosa besar tidak membuat pelakunya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil mampu menjadi dosa besar. Akhirnya perpecahan dikalangan mereka terjadi dalam problem pembagian harta rampasan perang atau qarimah, dan sikap lunak yang diambil oleh Najdah kepada khalifah Abd Al-Malik Ibn Marwan dari Dinasty Bani Umayyah. Dalam perpecahan ini Abd Fudaik, Rasyid Al-Tawil dan Afiah Al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah ke Sajistan Iran dan kesudahannya Najdah dapat mereka bunuh.[13]
4. Al-Jaridah
Golongan ini adalah pengikut Abd. Karim Bin Ajrad yang sekelompok dengan ’Atiah bin Al-Aswad. Dimana pada mulanya mereka ialah kelompok Al-Najdah, sehingga pemikiran Al-Jaridah serupa dengan aliran Al-Najdah. Diantara ajaran Al-Jaridah yang spesifik ialah wacana masalah anak kecil harus bebas dari undangan kepada Islam, kecuali setelah ia baligh. Dan bagi orang musyrik tetap berada didalam neraka  bareng orang tuanya. Diantara prinsip mereka yaitu Hijrah cuma merupakan keistimewaan bukan kewajiban. Orang-orang yang melakukan dosa besar tetap kafir dan dihentikan mengambil harta rampasan perang, dihentikan membunuh pihak musuh yang tidak ikut berperang.
Kalau Al-Jaridah masih bersikap lunak terhadap keharusan berhijrah alasannya adalah hijrah itu hanya ialah sebuah keharusan saja. Dan pengikut Al-Jaridah boleh tinggal diluar tempat kekuasaan mereka, artinya mereka tidak dianggap kafir. Selanjutnya kaum Al-Jaridah ini memiliki faham puritanisme. Menurut mereka Al-Alquran selaku kitab suci tidak mungkin mengandung kisah cinta sebagaimana yang diyakini kelompok lain, sehingga mereka tidak meyakini surat Yusuf selaku bab dari Al-Qur`an.
5. Al-Sufriah
Pimpinan golongan ini adalah Ziad Ibn Al-Asfar. Dimana golongan ini populer dengan gerakan evolusi praktis dalam ajaran Khawarij. Sebagaimana yang dibilang oleh  Mahmud Abdurrazaq dalam bukunya ”Al-Khawarij fi biladil Magrib” bahwa akidah kalangan Sufriyah atau Syafariyah bahwa mereka tidak berlebihan dalam bersikap yang cuma justru mengakibatkan perpecahan dikalangan Khawarij mirip yang terjadi sebelumnya. Mereka tetap melaksanakan hukum rajam bagi pezina, tidak membunuh bawah umur orang musyrik serta tidak mengkafirkan mirip pendapat golongan Azariqah. Mereka juga mengizinkan Taqiah, namun hanya dalam perkataan, bukan tindakan.[14]
6. Al- Ibadiyah
Golongan Al-Ibadah yaitu pengikut Abdullah Bin Ibadh At-Tamimy. Ia hidup pada pertengahan kedua periode I Hijriyah. Mereka lebih akrab terhadap golongan Islam dari pada kelompok Khawarij. Pendapat-pertimbangan mereka lebih solider dari pada kalangan Khawarij yang lain. Pada tahun 686 M, mereka memisahkan diri dari kalangan Al-Zariqah. Faham moderat mereka mampu dilihat di fatwa-ajarannya sebagai berikut :
1.     Orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik tetapi kafir. Maka orang Islam yang demikian boleh melaksanakan perkawinan dengan orang Islam lain, dan relasi warisan, shahadat mereka mampu diterima dan membunuh mereka yakni haram.
2.       Daerah Orang Islam yang tak sefaham dengan mereka yaitu kafir
3.     ”Dar Tawhid” yaitu tempat yang meng Esakan Tuhan, kecuali camp pemerintah. Mereka boleh diperangi sebab menurut mereka camp pemerintah yaitu kawasan orang kafir.
4.     Orang Islam yang melakukan dosa besar yakni muwahid, orang yang meng Esakan Tuhan namun bukan mukmin, dan kalaupun mereka kafir tetapi hanya kafir ni’mah dan bukan kafir rullah.
5.     Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata, harta mirip  emas dan perak mesti dikembalikan kepada yang punya kecuali jikalau dia sudah mati.[15]
Kemudian pendapat kelompok Ibadiah yang paling penting yakni bahwa semua yang di wajibkan Allah kepada makhluknya ialah citra dari keyakinan. Iman harus mencakup segi awal yang ialah bagian dari dogma. Namun mereka tidak menawarkan kejelasan wacana problem kedudukan anak orang musyrik. Menurutnya mereka boleh saja disiksa atau boleh juga masuk syurga.
C. Ajaran Pokok Khawarij
Diantara anutan pokok Khawarij berkisar perihal dilema kekhalifahan atau politik ketatanegaraan, dosa besar, kafir dan amal perbuatan umat Islam antara lain:
1.     Khalifah tidak mesti berasal dari suku Quraisy, semua orang yang mapunyai kapasitas untuk menjadi khalifah  dan bisa berlaku adil mampu dipilih, kalau tidak bisa wajib dijatuhkan. Dan khalifah tidak bersifat turun temurun. Pendapat ini risikonya dianut oleh Ahli Sunnah.
2.     Orang Islam yang melaksanakan dosa besar ialah kafir. Dosa besar yang dimaksud kaum Khawarij ialah orang yang bertahkim tidak dengan Al-qur`an, berzina dan memakan harta anak yatim tidak sefaham dengan mereka dinyatakan kafir.
3.     Untuk memilih kafir atau tidaknya seorang muslim tergantung pada amal perbuatannya. Sungguhpun seseorang telah bersahadat, tetapi melanggar ketentuan agama maka dieksekusi kafir.[16]
D. Kaum Murji`ah
Munculnya kaum murji’ah ditengah situasi pertentangan yang terjadi dikalangan umat Islam intinya tidak berbeda jauh dengan munculnya kaum Khawarij. Kaum murji’ah timbul juga disebabkan oleh  persoalan politik dalam problem khilafah. Dapat dibilang agaknya kaum murji’ah yaitu orang-orang yang tehimpun dalam suatu kelompok yang tampil beda dalam menanggapi masalah-persoalan yang terjadi pada abad mereka . Namun kaum murji’ah tidaklah terpengaruh dengan praktek kafir-mengkafirkan sesama umat Islam. Mereka lebih netral dibanding Khawarij yang begitu fanatik dan ekstrim dalam ajarannya.
Kata  Murji`ah berasal dari kata ”al- Irja`” yang mempunyai arti ”al- Ta`khir” yang artinya menangguhkan atau menomorduakan, hal ini berdasarkan pada firman Allah yang terdapat dalam surat al-A`raf ayat 111,”Qaaluu arjih wa akhaahu” yang artinya mereka menjawab”beri tangguhlah dia dan saudaranya, dan juga mempunyai arti ”I`thaa`u al-rajaa”. Pengertian murji`ah yang ke dua ini  ialah disebabkan mereka berpendapat bahwa tindakan maksiat tidak merusak akidah, sebagaimana halnya ketaatan seseorang tidak berpengaruh dengan kekufurannya.[17]
 Murji’ah lebih tepat dikatakan sebagai suatu kecendrungan atau nazi’ah, adalah sebuah kecendrungan untuk mencari keamanan dengan tidak menenggelamkan diri ke dalam permasalahan politik,  baik selaku penyokong maupun sebagai penentang. Semua problem kecil yang mengakibatkan timbulnya problem besar tampaknya dihindari oleh kaum Murji’ah, baik ilmu pengetahuan teori maupun yang bersifat perbuatan dan tindakan.
Sebuah kesimpulan logis yang dapat diberikan  terhadap perilaku kaum murji’ah ialah bahwa mereka menatap yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang bukanlah soal tindakan atau amalnya, namun terkait pada masalah iktikad atau keyakinan, artinya amal ialah sehabis duduknya dilema doktrin dalam diri orang mukmin. Inilah yang menjadi salah satu dasar pertolongan nama kepada kaum murji’ah yang terambil dari kata arjaa’ yang bermakna mengambil tempat di belakang. Dalam artian memandang problem tindakan seseorang menjadi kurang penting dalam memilih posisi amal atau kafirnya seseorang. Kata arjaa’ juga bermakna solusi dilema siapa yang salah dan siapa yang benar nanti diserahkan kepada pengadilan Tuhan. Pengertian lain dari arjaa’ juga mengandung makna pertolongan keinginan bahwa orang Islam yang melaksanakan dosa besar bukanlah kafir namun tetap mukmin dan tidak akan infinit didalam neraka, disini terang masih adanya penghargaan yang diberikan terhadap pelaku dosa besar dengan cita-cita menerima rahmat dari Allah.[18]
C.   Sekte dan Ajarannya
Beberapa sekte dan ajaran Murji`ah yang populer ialah:
1.   Yunusiyah
Pemimpin mereka adalah Yunus ibnu `Aun al Hamiri. Mereka berpendapat bahwa iman yakni mengenal Allah, tunduk dan cinta serta tidak takabur kepada Nya. Jika hal ini telah terdapat pada diri seseorang memiliki arti sudah patut dikatakan sebagai mukmin, sedangkan amal tindakan yang berbentuk ketaatan  bukanlah unsur dari keyakinan artinya tidak akan kuat pada keyakinan bila ditinggalkan.
Bahkan menurut mereka  apabila di hati seseorang sudah bersemi rasa tunduk dan cinta kepada Allah, perbuatan maksiatpun tidak akan bisa merusaknya, dan inilah yang akan memasukkan seseorang ke syurga.
2.   Ubaidiyah  
Mereka sependapat dengan sekte Yunusiyah, bahwa dosa dan kejahatan tidak akan merusak doktrin . Semua dosa tidak tidak mungkin akan diampuni Allah selain dosa syirik. Mereka yakni pengikut dari `Ubaid al- Mukta`ib.
3.  Ghassaniyah
Mereka yakni pengikut Ghassan al- Kufi. Mereka berpendapat bahwa doktrin adalah mengenal Allah dan RasulNya , serta mengakui kebenaran segala ketentuan Allah dan RasulNya secara menyeluruh. Iman  bersifat tetap tidak bisa bertambah dan juga tidak bisa berkurang. Selanjutnya Iman menurut mereka ialah akreditasi dan cinta terhadap Allah, mengagungkannya dan tidak takabur kepada Allah.[19]
4.     Saubaniyah
Sekte ini dipimpin oleh Abu Sauban al- Murji`i. Iman menurut mereka yaitu mengakui Allah dan RasulNya , mengetahui apa yang diperintah dan apa yang dihentikan secara rasional berdasarkan mereka bukanlah akidah.
5.     Tumaniyah
Mereka yakni pengikut Abu Mu`az al- Tumani. Menurut mereka kepercayaan yaitu apa yang terjaga serta terpelihara dari kekufuran. Di dalamnya terkandung berberapa unsur iman yang mampu menjadikan seseorang menjadi kufur bila ditinggalkan. Unsur iman itu adalah ma`rifat, tashdiq, mahabbah, tulus serta mengakui kebenaran yang dibawa oleh Rasul. mirip orang yang meninggalkan shalat  atau puasa sebab menilai halal dianggap kafir, akan tetapi bila meninggalkannya dengan niat mengqada maka tidaklah kafir. Orang yang membunah Nabi dipandang kafir karena dipandang sudah mencibir dan memusuhi nabi, bukan karena tindakan pembunuhannya.[20]
       6. Shalihiyah
Pimpinan mereka ialah Shalih ibnu Umar al- Shalihi. Menurut mereka kepercayaan ialah mengenal Allah, siapa yang tidak mengenal Allah bermakna kafir. Ibadah berdasarkan mereka bukan dipandang amal, namun yaitu keyakinan itu sendiri adalah mengenal Allah, keyakinan juga tidak bertambah dan tidak berkurang begitu pula kafir. Shalat , puasa dan ibadah yang lain menurut mereka  bukanlah ibadah tetapi yaitu ketaatan melaksanakan iman.[21]
E. Ajaran Pokok Murji`ah
          Kaum Murji`ah yang timbul selaku reaksi terhadap kaum Khawarij dalam faham mereka sangat bertentangan dengan faham Khawarij. Dimana menurut mereka orang Islam yang melakukan dosa besar tidaklah menjadi kafir, tetapi tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya diserahkan terhadap keputusan Allah kelak di Akhirat. Apabila dosa besarnya diampuni Allah ia akan masuk syurga, kalau tidak ia akan masuk neraka sesuai dengan dosa yang dilakukan, kemudian dimasukkan ke syurga. Adapun argumen yang digunakan oleh kaum Murji`ah ialah bahwa orang Islam yang melaksanakan dosa besar masi mengucapkan dua kalimat syahadat, orang ini masih tetap mukmin.[22]
           Pada lazimnya kaum Murji`ah berpendapat bahwa iman yaitu mengenal Allah dengan hati. Seseorang dibilang mukmin jika dia sudah beriman dengan hatinya, meskipun lidahnya tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau secara lahirnya berprilaku Yahudi atau Kristen.[23] Menurut mereka iktikad yaitu tasdiq, amal seseorang lahir bukanlah karena tasdiq, maka doktrin dengan amal tidak mempunyai relasi. Inilah kelompok Murjiah yang ekstrim dalam fahamnya.
          Dengan demikian menurut Murji’ah  ekstrim, orang Islam yang melakukan dosa besar masih tetap mukmin, alasannya adalah berdasarkan Abu Hanifah, doktrin itu yakni suatu wawasan dan pengukuhan ihwal Tuhan, wacana Rasul-Nya dan perihal segala yang tiba dari Tuhan secara kaseluruhan. Iman menurutnya tidak bisa bertambah dan tidak bisa pula menyusut serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam problem dogma. Pendapat ini mungkin muncul dikarenakan Abu Hanifah selaku seorang imam mahzab yang banyak berpegang pada akal. Karena menurutnya kepercayaan siapa saja adalah sama, walaupun ia orang baik atau orang jahat, sehingga terjadi pro kontra di golongan ulama dalam menilai pendapat Abu Hanifah ini sehingga ada yang mengelompokkan Abu Hanifah sebagai tokoh ekstrim Murji’ah.
Menurut mereka sembahyang bukanlah merupakan ibadat terhadap Allah, sebab yang disebut ibadah adalah kepercayaan kepada Allah, dalam arti Shalikiah sembahyang, zakat, puasa dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak ialah ibadat kepada Allah. Karena yang mereka sebut ibadah itu hanyalah iman kepada Allah.
Agaknya pendapat kalangan Murji’ah ini sungguh ekstrim sekali alasannya menurut usulan kalangan ini antara tindakan dan amal tidaklah sepenting iman. Dan cuma imanlah yang menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Sedangkan perbuatan tidak mempunyai imbas apapun kepada doktrin. Iman itu letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak mampu dikenali oleh orang lain. Makanya ucapan dan perbuatan seseorang tidaklah harus mengandung arti bahwa dia tidak memiliki akidah, yang penting yakni iman di dalam hati.
Golongan Murjiah kedua ialah golongan yang moderat, mereka beropini bahwa seseorang mukmin selama beliau mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai RasulNya, ia adalah mukmin. Walaupun beliau melakukan dosa besar, tetapi dosa besar yang dilakukannya tidaklah menciptakan ia keluar dari Islam. Artinya di a tetap menjadi orang Islam dan tetap akan masuk surga. Karena berdasarkan mereka doktrin bukan cuma membenarkan dengan hati, namun juga mesti diikrarkan dengan verbal.[24]
Begitu juga pertimbangan ini dikuatkan oleh tokoh Murji’ah yang bernama Al-Bazdawi bahwa doktrin ialah iman dalam hati, yang dinyatakan dengan ekspresi. Kepatuhan terhadap Tuhan ialah akhir dari keimanan. Orang yang meninggalkan kepatuhan pada Tuhan bukanlah orang kafir. Orang mukmin yang melaksanakan dosa besar tidak akan dalam neraka sekalipun ia tidak sempat bertaubat, artinya nasib seseorang diakhirat tergantung terhadap hasratAllah. Dengan demikian kepercayaan adalah kunci untuk masuk syurga, sedang amal cuma berfungsi untuk membedakan tingkatan seseorang dalam syurga.
III.  P E N U T U P
Dari uraian diatas mampu penulis simpulkan bahwa kalangan Khawarij dan golongan Murji’ah ialah dua kalangan yang timbul disebabkan efek politik pemerintah yang karenanya terpecah-pecah menjadi kalangan-kalangan kecil. Persoalan yang mereka permasalahkan tidak cuma sebatas problem politik, tetapi telah merambah masalah teologi yang  menambahkan banyak sekali faham yang ekstrim dan moderat. Hal ini ialah disebabkan mereka hidup pada suasana yang begitu keras dan daerah yang tandus, sehingga besar lengan berkuasa pada contoh pikir dan cara hidup mereka selama ini.
Namun kedua kalangan ini berbeda satu sama lain. Gologan Khawarij sangat keras dalam faham mereka khususnya dalam hal mengkafirkan  seseorang yang tidak bertahkim terhadap Alqur`an , sedangkan golongan Murji`ah lebih menyerahkan pada keinginanAllah, yang terdiri dari dua kalangan besar yakni golongan Murji`ah ekstrim dan Murji`ah moderat. Apabila daripada fatwa yang meningkat dalam Islam, kalangan Khawarij dan Murji’ah ialah kelompok pertama yang berhasil menumbuhkan benih-benih teologi yang makin disempurnakan oleh golongan yang muncul setelah mereka. Sehingga melahirkan berbagai ajaran dalam Islam ada yang Jubariyah dan ada yang Qadriyah dalam menganggap ketentuan Allah dalam kehidupan manusia.
Demikianlah makalah ini penulis buat, dalam rangka menambah pegetahuan dalam menganalisa kemajuan fatwa dalam Islam. Dalam penulisan makalah ini penulis merasakan jauh dari kesempurnaan, rekomendasi dan masukan dari pembaca sungguh penulis inginkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis mengaturkan terima kasih.
  
DAFTAR PUSTAKA
– An- Najjar, Amir, Al- Khawarij, Aqidatan , Fikratan, wa Falsafatan, Terj.
Khattur, Suhardi, Solo: CV.Pustaka Mantiq, 1992– Hanafi, Ahmad,     Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Al- Husna Zikra,  1995- Nasution, Harun,        Teologi Islam Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986
– ——————-,    Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979
– ——————-,    Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979-Watt,W.Montgomery,Islamic Theology and Fhilosofy, Terj. Umar Basalim, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesanteren dan Masyarakat P3M, 1987
Ya`kub, Tasman,         Perkembangan Pemikiran Islam, Padang: IAIN IB Press, 2004
– Zar, Sirajuddin,   Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang: IAIN IB Press, 2003
I. Pendahuluan
              Berbicara  tentang asal- undangan kata tasawuf,  masih terdapat perbedaan pandangan yang sangat beragam dikalangan jago. Tidak hanya dikalangan ahli bahasa, ulama salaf dan para ahli sufi sendiri pun berlawanan pendapat dalam mendefenisikan tasawuf. Perbedaan usulan dikalangan jago sufi, antara lain  disebabkan oleh alasannya adalah berbedanya pengalaman kerohanian melalui penghayatan hidup terbuai dalam  kesufian.
 Dasar- dasar tasawuf bantu-membantu sudah ada sejak hadirnya anutan Islam yang dibawa oleh rasulullah SAW, menurut Al-qur`anul karim. Hal ini tergambar dari kehidupan pribadi rasul yang ialah implementasi dari aliran tasawuf yang harus diteladani oleh umat manusia, tetapi kemajuan nya selaku sebuah aliran  gres pada kala ke dua Hijriyah.
Namun bila dilihat dari sisi tasawuf sebagai anutan dalam Islam melalui pengamatan eksklusif atau tidak, pada intinya tasawuf atau sufisme dalam bahasa Eropa ialah anutan perihal jalan untuk hingga terhadap Allah Azza Wajalla melalui latihan hati yang diketahui dengan mengasah zuqh dengan implikasinya hidup dalam kezuhudan kepada segala bentuk kemegahan duniawi. Karena hidup dalam kesufian yakni hidup yang didasari dengan keikhlasan dalam mendekatkan diri terhadap Allah sedekat- dekatnya , sehingga tidak ada lagi sesuatu yang menjadi halangan untuk mendapatkan segala bentuk kehidupan yang telah diyakini menurut keredhaan Ilahi.
Sehingga di dalam tasawuf dimulai dengan penyucian jiwa yang dikenal dengan konsep tazkiyah al- nafs yang lewat tiga tahapan, adalah pembersihan jiwa dari sifat- sifat jelek yang disebut  takhalli dan proses kedua adalah mengisi jiwa dengan amal shaleh, yang disebut tahalli dan ketiga  berusaha mendekatkan diri sepenuhnya terhadap Allah dengan menyayangi-Nya dengan cinta yang mendalam  yang disebut dengan tajalli, sehingga menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya. Dalam makalah ini penulis membicarakan seputar  asal seruan arti tasawuf , kemajuan tasawuf, maqamat dan ahwal.
              
           ASAL- USUL ARTI TASAWUF,MAQAAMAT DAN AL-AHWAL
II.  Pembahasan
A.  Pengertian dan Asal- undangan arti Tasawuf
     
Menurut etimologi tasawuf berasal dari kata         صف، صوف      yang bermakna barisan dalam shalat. Karena seorang sufi yaitu orang yang berpengaruh imannya, bersih jiwanya, senantiasa shalat pada shaf terdepan. Juga berarti bulu domba  yang dijadikan pakaian yaitu dikarenakan  kebiasaan orang- orang shaleh sering memakai busana sederhana dari bulu dan kulit domba selaku lambang kesederhanaan.[25]
          Menurut  Harun Nasution,[26] Tasawuf berasal dari kata              صو في , secara etimologi  menurutnya kata sufi antara lain berdasarkan:
1.     Ahlu al- Suffah yakni orang – orang yang ikut hijrah bareng Nabi dari Mekah ke Madinah. Disebabkan kehilangan harta, ia hidup dalam kemiskinan sehingga mereka tinggal di samping Masjid Nabi dan tidur di atas dingklik batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Dalam bahasa arab pelana disebut dengan suffah. Karena mereka memilki sifat- sifat yang teguh pendirian, taqwa, wara` dan zuhud serta rajin dalam beribadah mereka disebut dengan suffah.
2.     Sufi berasal dari kata             صا في   dan          صفي     yang berarti suci. Karena seorang yang sufi yaitu orang yang telah mensucikan dirinya lewat latihan berat yang cukup lama.
3.     Sufi berasal dari kata sophos bahasa Yunani yang artinya hikmat. Karena masyarakat Yunani yakni orang- orang yang condong terhadap ilmu pengetahuan yang disebut dengan pesan yang tersirat. Hanya saja menurut Harun Nasution abjad s pada kata sophos kalau ditransliterasikan ke dalam bahasa Arab menjadi                          س bukan    ص            sebagaimana yang terdapat dalam kata philosophia.
 Berdasarkan beberapa asal kata tasawuf * di atas, pada hakikatnya pemahaman tasawuf adalah sebuah bentuk kehidupan yang didasari oleh kesederhanaan hidup atau zuhud kepada dunia, dengan memiliki budbahasa yang terpuji serta mempunyai jiwa yang suci dan higienis dari hal- hal yang bertentangan dengan anutan Islam. Sebagai lawan dari bentuk kehidupan sufi adalah orang – orang yang hidup dengan segala kemewahan dan hawa nafsu tanpa memperhatikan perilaku dan tabi`at yang bagus selaku seorang manusia yang mempunyai ketekunan hati dalam mengimani dan mengamalkan pemikiran Islam dalam menuju kedekatan dan keredhaan Allah.
Selanjutnya Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar Islam, bertujuan untuk menemukan hubungan pribadi dan disadari dengan Tuhan sehingga disadari pengalaman seorang sufi  bahwa seseorang sudah berada di hadhirat Tuhan . Intinya tasawuf atau sufisme yaitu suatu kesadaran yang sebenarnya bahwa adanya komunikasi dan obrolan antara roh ketuhanan insan atau Nasut dengan roh kemanusiaan Tuhan atau Lahut dengan jalan dengan berkontemplasi sarat yang di dalam tasawuf disebut dengan ittihad yakni bersatu dengan Tuhan.
               Pendapat lain wacana asal seruan kata tasawuf yakni :
1.     Berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata theosophi yang mempunyai arti Tuhan dan sophos yang berarti Hikmat. Kaprikornus theosophia dan sophos yaitu hikmat ketuhanan. Hal ini disebabkan  oleh karena fatwa tasawuf banyak membicarakan problem ketuhanan.
2.     Kemudian kata tasawuf merujuk pada kata shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih. Ini dikatakan alasannya orang- orang sufi biasanya memandang diri mereka yakni selaku orang pilihan atau orang terbaik.
3.     Tasawuf berasal dari kata shaufanah yang berarti sejenis buah- buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini dikarenakan melihat kehidupan orang- orang sufi yang banyak menggunakan
       busana yang berbulu dan mereka hidup dalam kesengsaraan fisik, tetapi
       senang dengan kesuburan batin.[27]
                Pendapat di atas agaknya juga berpedoman dengan mengamati terhadap keadaan kehidupan para sufi yang dihubungkan dengan sesuatu yang mempunyai kolerasi dengan pengertian tasawuf itu sendiri. Secara bahasa memang sungguh beragam pertimbangan para mahir dalam memberikan pemahaman tasawuf berdasarkan asal kata dari tasawuf , lalu mereka hubungkan dengan keberadaan para sufi dalam mengamalkan pemikiran tasawuf dalam kehidupan  kesehariannya.
                   Agar lebih jelasnya defenisi tasawuf, disini akan penulis sebutkan beberapa defenisi berdasarkan sejumlah tokoh sufi yang populer pada masa ke tiga Hijriyah:[28]
a.      Abu Sa`id al-Kharraz (w. tahun 227H), dikala ditanya tentang siapa yang disebut ahli tasawuf, ia menjawab bahwa mereka ialah orang- orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan sudah dipenuhi dengan cahaya,mereka tenang bareng dengan Allah dan tidak pernah hatinya berpaling dari Allah sehingga ia selalu berzikir mengingat Allah dalam hidupnya.
b.     Al- Junaid al- Bagdadi ( w. tahun 297 H) mengatakan bahwa tasawuf yakni Allah mematikan kelalaian mu dan membangkitkan dirimu denganNya.
c.      Ja`far al- Khalidi (w. tahun 348 H) berkata, tasawuf itu yaitu memusatkan segenap jiwa dan raga dalam beribadah dan keluar dari kemanusiaan serta menatap terhadap Al- Haqq secara menyeluruh.
d.     Abu Bakar Muhammad al-Kattani menyampaikan tasawuf menurutnya adalah kejernihan dan penyaksian.
e.      Asy- Syibli mengatakan tasawuf yaitu :
بدؤه معرفة الله ونهايته توحيده                                                                                    
Artinya: Permulaannya adalah ma`rifah kepada Allah dan diakhiri dengan pengesaanNya.
Melihat pada defenisi tasawuf yang dikemukakan oleh al- Kattani, merupakan sebuah istilah yang sangat praktis sekali perihal pemahaman tasawuf, yang meliputi dua sisi yang membentuk satu kesatuan dan keduanya saling menunjang dalam mendefenisikan tasawuf. Jika dilihat salah satunya yakni ialah cara atau jalan dalam tasawuf, sedangkan yang satunya adalah tujuan yang akan diraih dalam hidup seorang sufi.
Apabila dilihat aneka macam perbedaan para andal sufi dalam mendefenisikan tasawuf, memang berbeda dalam menerangkan tentang cara yang dilalui untuk menjadi seorang sufi. Begitu juga dalam problem asal kata tasawuf, namun berdasarkan sejarah orang yang pertama kali menggunakan kata tasawuf yaitu seorang zahid yang berjulukan Abu Hasyim al- Kufi dari Irak ( w. tahun 150 H). Tetapi dalam merumuskan tujuan dari tasawuf itu sendiri hanya terdapat perbedaan dari segi bahasa yang dipakai menurut pengalaman yang didapati lewat cara atau maqam yang dilalui dengan  latihan  untuk sampai kepada Allah SWT.
 Dalam pencarian akar kata tasawuf selaku upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf, memang merupakan hal yang sulit untuk mempesona sebuah kesimpulan yang sempurna. Kesulitan itu terdapat pada esensi tasawuf selaku pengalaman rohaniah yang hampir mustahil dijelaskan secara tepat lewat bahasa lisan. Masing- masing sufi memiliki penghayatan yang berlawanan sehingga mereka juga berlainan dalam mengungkapkannya, maka muncullah defenisi tasawuf sebanyak orang yang menjajal mentranspormasikan pengalaman rohaniahnya.
Di segi lain juga dipengaruhi oleh sejarah dan perkembangan tasawuf melalui segmen dan kultur yang beraneka ragam. Dalam setiap fase menampilkan sebagian dari komponen- komponen yang tidak utuh, maka upaya untuk memadukan berbagai bagian defenisi dalam tasawuf itulah yang akibatnya melahirkan satu disiplin ilmu yang disebut tasawuf. Yakni satu ilmu yang lahir dari pengalaman spiritual yang mengacu pada kehidupan moralitas yang bersumber dari nilai- nilai Islam.[29]
Seorang tokoh sufi terkenal era ke tiga Hijriyah Abu Yazid al- Bustami (w.260 H) secara lebih luas mengatakan bahwa pemahaman tasawuf mencakup tiga faktor:[30]
1). Melepaskan diri dari perangai yang tercela
2). Menghiasi diri dengan budbahasa yang mulia
3). Mendekatkan diri kepada Tuhan
          Berangkat dari penjelasan banyak sekali usulan wacana defenisi tasawuf di atas mampu ditarik kesimpulan bahwa pemahaman tasawuf itu sangat sukar untuk diambil kesimpulan. Dari aneka macam defenisi ihwal tasawuf berdasarkan Ibrahim Basuni seorang tokoh sufi modern pengertian tasawuf mampu dibagi kepada tiga klasifikasi, adalah al- bidayat, al- mujahadat dan al- madzaqot.[31]
           Al-bidayat ialah bahwa prinsip permulaan tumbuhnya tasawuf ialah selaku wujud dari kesadaran spiritual manusia perihal dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong insan atau para sufi untuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah terhadap Khaliqnya yang diiringi dengan kehidupan zuhud atau asketisme, untuk pelatihan watak. Dengan faktor ini tasawuf diartikan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat Allah dengan melupakan segala yang berhubungan dengan kesenangan hidup duniawi yang dalam anutan tasawuf disebut al-Hubb atau cinta Ilahi.
Defenisi tasawuf yang dikategorikan kepada al- mujahadat yakni seperangkat amaliah dan latihan keras dengan satu tujuan yakni berjumpa dengan Allah. Dalam hal ini tasawuf  diartikan dengan berupaya  sangat- sangat untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Kemudian al- madzaqot diartikan selaku pengalaman yang dirasakan oleh seorang sufi di hadirat Allah, apakah beliau melihat Tuhan atau merasakan kehadiran Tuhan dalam hatinya dan atau mereka merasa bersatu dengan Tuhan yang difahami selaku ma`rifatul Haqq yang ialah ilmu terbukanya hijab bagi seorang sufi.[32]
Kemudian tasawuf sebagai sebuah ilmu wawasan yakni ilmu yang mempelajari wacana cara atau jalan yang dilalui oleh para sufi untuk mampu berada sedekat mungkin dengan Tuhan, bahkan mampu bersatu dengan Tuhan dalam aneka macam bentuk sesuai dengan maqam yang mereka lalui.
B. Perkembangan Tasawuf
Dalam dunia Islam, tasawuf dikenal secara luas adalah sejak penghujung era ke dua Hijriyah. Dimana bermula dari para zahid  yang mengelompok di serambi Masjid Madinah .Dalam perjalanan hidup berkelompok lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan menyebarkan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kehidupan duniawi, yang ditandai dengan sebutan zahid atau kesalehan asketis yang merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kesudahannya berkembang pesat.
Kemudian sampai kala ke tiga Hijriyah sedah beralih dari kehidupan zuhud  ke arah sufisme yang sudah mulai membahas dilema apa itu jiwa yang suci, apa itu sopan santun dan bagaimana pembinaannya. Sebagai reaksi dari perbincangan ini muncullah banyak sekali teori tentang jenjang*  yang harus ditempuh oleh seorang sufi.
Adapun teori asal timbulnya ajaran yang  dikenal dengan sufisme ini antara lain menurut Harun Nasution ialah imbas dari kehidupan  para Rahib Nasrani yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Kemudian juga dari efek Filsafat Pyithagoras dan emanasi Plotinus bahwa untuk memperoleh kehidupan yang senang di alam samawi manusia harus mampu membersihkan roh dengan jalan meninggalkan hidup materi yakni zuhud. Selain itu juga dipengaruhi oleh fatwa Budha karena adanya kemiripan fatwa sufisme  Fana` dengan pedoman surga dengan meninggalkan dunia memasuki hidup kontemplasi, dan juga dari pedoman Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk bersatu dengan Atman dan Brahman. [33]
Namun kebenaran pendapat ini sangat sukar dibuktikan , sebab walau bagaimanapun juga tanpa persentuhan dengan dunia non muslim, di dalam aliran Al- Qur`an sudah ada ayat- ayat yang menyampaikan bahwa insan itu akrab dengan Allah sebagaimana dalam surat 2 ayat 186  :
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّيقَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي
 وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
              َJika hambaKu bertanya perihal diriKU maka Aku akrab dan mengabulkan ajakan
  yang memanggil Aku jika Aku dipanggil, penuhilah perintahKu dan berimanlah
  kepadaKu semoga mereka memperoleh kebenaran” (al-Baqarah : 186).
 Begitu juga dengan hadits Nabi yang menggambarkan kedekatan kekerabatan antara insan dengan Tuhan bahwa:
من عرف نفسه فقد عرف ربه                                                                                                                      ”Orang yang mengetahui dirinya , itulah orang yang mengenali Tuhannya
Dan banyak lagi ayat- ayat al-Qur`an yang mengisyaratkan wacana kedekatan insan dengan Allah. Dengan kata lain berdasarkan penulis tanpa ada efek anutan agama dan aliran lain selain Islam, ajaran tasawuf dengan sendirinya tetap akan muncul dalam Islam.
Tasawuf atau sufisme selaku suatu aliran dalam Islam mengalami kemajuan yang pesat yang memperlihatkan gambaran  dan motivasi munculnya  gerakan di kelompok muslim kebanyakan dari golongan hartawan dan pembesar negeri terhadap kehidupan mewah dan sikap hidup sekular dari para penguasa Istana waktu itu , menjadi tidak lagi mendapat respon dan simpatik dari masyarakat muslim.  Sehingga tampillah seorang tokoh terkenal ajaran ini  Hasan al- Bashri (w.110 H) yang mempunyai imbas besar dalam sejarah spritual Islam lewat akidah yang populer adalah  al- zuhud , lalu Rabi`ah al-Adawiyah (w.185 H) dengan pemikiran  al- hubb atau  mahabbah serta Ma`ruf al- Kharki (w. 200 H) .[34]
Kemudian pada kurun yang serupa muncul pula DzuNun al- Mishri (w.245 H) dengan konsep spiritual menuju Tuhan al- maqomat yang sejalan dengan rancangan al- hal . Setelah berkembangnya dogma al- hal ini, pertumbuhan tasawuf sudah sampai pada tingkat kejelasan dalam tujuan maupun pedoman dengan kesalehan asketis. Sehingga untuk menjadi seorang sufi sudah dirasakan sungguh berat bagaikan kelahiran kembali seorang manusia yang mesti melepaskan kehidupan bahan yang menggembirakan untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan serta kesatuan dengan alam malakut. Sampai masa ke  tiga Hijriyah timbul lagi seorang sufi terkenal Abu yazid al- Busthomi (w.260 H) yang melangkah lebih maju dengan kepercayaan al-ittihad melalui al- fana.[35] Setelah ini tasawuf kian   pesat   hingga terjadi pergantian tujuan tasawuf  ke tingkat yang lebih tinggi .
 Maka tasawuf mulai dimasuki oleh unsur- komponen di luar Islam melalui akulturasi. Sehingga terjadi ketegangan antara kaum sufi  ortodoks  yang berasal dari golongan teolog dan fuqaha dengan kelompok sufi yang berfaham ittihad di pihak lain.* Akibat terjadinya perbenturan ajaran wacana keyakinan tasawuf waktu itu, aliran dalam tasawuf terbagi kepada dua kalangan besar, maka pada penghujung kurun ke tiga Hijriyah tampilah tokoh kompromis antara sufisme  dengan ortodoksi dalam Islam , yang bernama al- Kharraj (w.277 H) bareng al Junaid ( w.297) untuk menjembatani antara mistik dengan syari`at Islam. Sehingga lahir lagi iman al- Baqa selaku perimbangan dari akidah al- Fana. .[36]
Hasil pemaduan antara mistik dengan syari`at selaku sebuah forum menerima sambutan luas dari golongan penduduk muslim waktu itu, sehingga tampilnya  para penulis tasawuf seperti al- Sarraj, dengan karangannya al- Luma, dan al- Kalabazi dengan kitab al- Ta`ruf li Mazhab ahl al- Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al- Risalahnya. Kemudian setelah ini timbul jenis tasawuf yang berbeda yakni tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat dengan konsep ma`rifat sejati dari tokoh yang bernama Ibn Masarrah (w.381 H) yang menggabungkan antara sufisme dengan teori emanasi Neo-Platonisme. Faham tasawuf ini jadinya dikikis habis oleh al-Ghazali (w.503 H) pada kala ke lima Hijriyah alasannya adalah dianggap hasil rekayasa dan tidak Islami, mirip ucapan- ucapan estatik dari seorang yang bakir dalam kondisi sakr atau tertegun. Namun sesudah sadar mereka mengaku pula bahwa kesatuan dengan Tuhan  itu bukanlah hakiki, tetapi hanya sebagai suatu kesatuan simbolistik .
C. Maqaamat dan Ahwal
Orang- orang sufi memiliki jalan rohani yang ialah daerah atau jalan yang ditempuh untuk menuju Allah Azza wa Jalla. Mereka mengandalkan Al- Qur`an dan Hadits Nabi yang telah faktual akibatnya dinikmati oleh orang- orang sufi. Jalan yang ditempuh oleh sufi ini disebut dengan al- maqaamat wal Ahwal yang artinya kedudukan dan kondisi. Masing- masing sufi memiliki jalan yang berlainan utuk sampai kepada Allah sesuai dengan faham tasawuf yang mereka pelajari, secara bertingkat untuk sampai pada Allah SWT.
Maqaamat atau maqam yakni jalan panjang yang ditempuh oleh seorang sufi yang terdiri dari stasion- stasion yang mesti dilalui untuk hingga pada Tuhan. Sedangkan ahwal atau hal ialah  kondisi atau rasa yang datang dalam diri sufi yang ialah anugrah  dan rahmat yang diberikan Allah yang bersifat sementara datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[37]
Adapun maqam yang memiliki stasion- stasion  yang mesti dilalui tidak sama berdasarkan mahir sufi. Seperti yang mau diterangkan pada uraian ini.
1.Zuhud
Zuhud yaitu meninggalkan dunia dengan segala kemewahannya dan hidup kematerian. Zuhud ialah stasion paling penting yang mesti dilalui oleh seseorang sebelum menjadi seorang sufi. Aliran ini mulai timbul selaku reaksi umat Islam kepada kehidupan khalifah yang larut dalam kemewahan keserakahan akan kekuasaan dan ketidak sucian, maka orang- orang tidak simpatik dengan kehidupan itu dan ingin mempertahankan hidup sederhana menjauhkan diri dari dunia kemewahan. Aliran ini pertama berkembang di Kuffah dan Basrah Irak, dengan para zahid yang populer di sini yaitu Hasan al- Basri (w.110 H ) dan Rabi`ah al- Adawiyah (w.185 H).[38]
Hasan al- Basri diketahui dengan kemashurannya dengan zuhud yang berlandaskan terhadap Khauf adalah takut untuk berbuat maksiat dan raja` demi mengharap rahmat Allah.. Dia pernah menyampaikan ”jauhilah dunia ini, sebab ia bantu-membantu serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, namun racunnya mematikan”. Kemudian dilanjutkan oleh malik bin Dinar (w.171 H) yang hidup dalam kezuhudan sehingga dirumahnya tidak ada apa- apa kecuali hanya Al-Qur`an.[39]
Kemudian  stasion- stasion lain yang kedudukannya dibawah zuhud yakni[40]:
a.Taubat (taubat yang sebenar- benarnya dan selalu melakukan kontemplasi dengan Allah)
b.Wara` (meninggalkan hal-hal yang subhat)
c.Kefakiran (tidak inginmeminta lebih dari apa yang ada padanya)
d.Sabar (tabah dalam melaksanakan peritah Allah,meninggalkan larangan dan menerima cobaan, )
eTawakkal ( menyerah kepada qada` dan keputusan Allah)
f.Kerelaaan (Tidak meminta syurga  dari Allah dan tidak meminta agar dijauhkan dari neraka).
2.al-Mahabbah
Mahabbah yang dimaksud disini adalah cinta kepada Tuhan. Menurut Harun Nasution pemahaman mahabbah ialah:[41]
a.      Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadanya.
b.     Menyerahkan seluruh diri terhadap yang dikasihi ialah Tuhan
c.      Mengosongkan hati dari semuanya kecuali dari diri yang dikasihi yaitu Tuhan.
      Menurut al- Sarraj mahabbah memiliki tiga tingkatan:
a.      Cinta biasa, yaitu senantiasa ingat terhadap Tuhan dengan sering berzikir dan memuji-Nya  dengan menyebut nama Allah dan berdialog dengan-Nya.
b.     Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal dengan Tuhan, pada kebesaran, kekuasaan dan pada Ilmu-Nya serta lain- lain. Yaitu cinta yang dapat menyelisik tabir yang memisahkan insan dengan Tuhan sehingga dapat menyaksikan diam-diam- diam-diam yang ada pada Tuhan yang membuat seseorang selalu rindu pada Tuhan.
c.      Cinta orang `pandai, yakni cinta yang muncul sebab sudah tahu betul dengan Tuhan, sehingga yang muncul yakni rasa diri yang dicintai dan kesudahannya sifat- sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai.
Sufi yang populer dalam mahabbah ini yakni Rabia`h al- Adawiyah (713- 801) yang berasal dari Basrah. Allah Azza wa Jalla menggambarkan jalan untuk kecintaan-Nya. Sebagai langkah awal ialah mengerjakan segala kewajiban terhadap Allah, sebab kecintaan Allah mustahil akan didapat kalau tidak berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk kecintaan kepada Allah Ta`ala dengan mengikuti Rasulullah dalam petunjuknya, kezuhudan serta akhlaknya serta meneladani dalam segala hal. Antara cinta hamba dengan kecintaan Allah diikat dengan amal dan balasan dari kecintaan-Nya juga dengan amal.[42] Sehingga bagi Rabi`ah Adawiyah Tuhan yakni zat yang dicintai dan meluaplah dari hatinya rasa cinta yang mendalam terhadap Tuhan yang lahir dalam ucapannya ” Aku mengabdi terhadap Tuhan bukan alasannya takut kepada neraka dan bukan pula alasannya adalah ingin masuk syurga, namun aku mengabdi karena cinta terhadap-Nya. Dia menolak untuk usulan menikah alasannya beliau ialah milik Tuhan yang dicintainya.
3.al- Ma`rifah
Di dalam desain tasawuf ma`rifah diartikan dengan pengenalan yang eksklusif ihwal Tuhan, yang diperoleh dengan hati sanubari sebagai nasihat pribadi dari ilmu hakikat. Dengan demikian ma`rifat lebih mengacu pada tingkatan keadaan mental, sedangkan hakikat mengarah pada mutu wawasan atau pengamalan. Melalui latihan yang berat, jiwa seseorang mampu menyatu dengan zat yang diketahuinya itu yaitu Allah Azza wa Jalla.[43]
Ma`rifah juga memiliki arti mengetahui Tuhan dari erat, sehingga hati sanubari seseorang mampu melihat Tuhan. Sehingga orang sufi mengatakan:
a.              jika mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia itu terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang terlihat hanyalah Allah.
b.             Ma`rifah adalah cermin, bila orang yang terpelajar melihat cermin, yang dilihatnya ialah Allah, begitu pula disaat tidur dan bangun yang dilihatnya cuma Allah.
c.              Sekiranya ma`rifah mengambil bentuk materi, maka siapa pun yang melihatnya akan mati karena tak tahan menyaksikan keelokan serta keindahannya… dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya  yang gilang gemilang.
Zunnun al- Misri (w. 860M) yang digelari dengan bapak ma`rifah mengatakan bahwa ada tiga macam wawasan wacana Tuhan:[44]
a.      Pengetahuan awam, yakni wawasan perihal Tuhan satu dengan perantaraan ucapan syahadat.
b.     Pengetahuan ulama, ialah wawasan wacana Tuhan satu menurut logika akal.
c.      Pengetahuan sufi, adalah wawasan wacana  Tuhan satu dengan perantaraan hati sanubari. Maka pengetahuan yang pertama dan ke dua disebut dengan ilmu, sedangkan wawasan yang ke tiga disebut dengan pengetahuan yang hakiki perihal Tuhan yang disebut dengan ma`rifah.
                Imam al- Ghazali pernah menyampaikan bahwa  dalam ma`rifah kepada  Allah dengan menyebabkan-Nya sebagai sobat dalam hidup dan mati. Ketahuilah  bahwa teman yang tidak pernah meninggalkanmu dalam rumah dan perjalannmu dalam tidur dan terjagamu, dalam kehidupan dan  kematianmu yaitu Tuhanmu, Maulanamu sebab ia yakni temanmu. Akhirnya memang Allah selalu ingat dalam setiap waktu yang dilalui. Jika sesorang sudah mampu mendatangkan Allah dalam setiap waktunya, pertanda ia telah mengetahui Tuhannya dengan wawasan  hati sanubarinya, sehingga Allah berfirman Aku yaitu sobat duduk bagi orang yang mengenang-KU.[45]
      4.al- Fana dan al- Baqa
Sebelum seorang sufi mampu bersatu dengan Tuhan, dia mesti bisa merusak dirinya. Sebab selama beliau belum mampu menghancurkan dirinya  ia akan selalu sadar, selagi masih sadar seorang sufi tidak mampu bersatu dengan Tuhannya. Inilah yang disebut fana dalam tasawuf. Kemudian fana senantiasa diiringi dengan Baqa adalah tetap terus hidup. Kalau seorang sufi telah mencapai fana`an al- Nafs, adalah menghancurkan wujud jasmaninya, maka yang tinggal cuma wujud rohaninya, maka dikala itu barulah beliau mampu bersatu dengan Tuhannya. Abu Yazid al- Bustami* (w. 874 M) sebagai sufi pertama dalam fana` dan baqa` mengatakan”
اعرفه بي حتى فنيت ثم عرفته به فحييت                                                                   
“Aku tahu pada Tuhan lewat diriku, sampai aku hancur, lalu saya tahu
               padaNya, maka akupun hidup.”[46]
                  
Selanjutnya Abu Yazid bahwa bekerjsama manusia seesensi dengan Allah, bisa bersatu denganNya jika insan bisa meleburkan eksistensinya selaku sebuah pribadi (fana` an nafs) adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam hadhirat Allah. Artinya bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan zat Allah.
                     
     5.al- Ittihad
Pengertian al- Ittihad yakni dimana seorang sufi sudah mencicipi dirinya bersatu dengan Allah, suatu tingkatan sebab yang mengasihi dengan yang dicintai telah menjadi satu. Sebagaimana dibilang oleh A.R. Al- Badawi yang dilihat dalam Ittihad hanya satu wujud, walaupun bahwasanya ada dua wujud yang berpisah satu sama lain, karena yang dilihat dan dirasakan cuma satu wujud, maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan antara yang menyayangi dan yang dicintai. Dalam ittihad identitas telah hilang, telah menjadi satu, karena itu kesadaran sudah hilang karena fana` maka ia berbicara  sufi mengatakan dengan nama Tuhan.[47]
Berdasarkan pengalaman Abu Yazid dalam ittihad mampu difahami bahwa ittihad bisa diraih setelah seorang sufi mencapai tingkatan fana` sehingga identitas diri telah tidak dicicipi lagi, dalam ketidak sadaran jasmani, rohani sudah bersatu dengan Tuhan. Sehingga sufi berbicara atas nama Tuhan, dengan kata lain Tuhan mengatakan melalui lidah Abu Yazid. Hal ini kelihatan dari pengalaman Abu Yazid dengan ucapannya:
قال : يا ابا يزيد انهم كلهم خلقي غيرك. فقلت : فانا انت وانت انا وانا انت   
            Tuhan berkata : ”Semua mereka kecuali engkau, adalah makhlukKu, akupun
             berkata:” saya adalah engkau, engkau adalah saya, dan saya yakni engkau”         
         
                   Paham ittihad ini muncul sebagai konsekwensi lanjut dari pendapat Bayazid bahwa jiwa manusia adalah pancaran Nur Ilahi, aku nya insan itu yaitu pancaran dari yang maha esa sebagaimana pancaran sinar matahari di bumi. Maka barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriah atau kesadaran insan, maka ia akan memperoleh jalan untuk kembali bersatu dengan sumber asalnya, bersatu padu dengan Yang Tunggal yakni Allah. Inilah yang disebut ittihad.[48] 
      6. al- Hulul
Faham al- Hulul ditimbulkan oleh Husain Ibn Mansur al- Hallaj (l. Persia 858M- w.922) dia meninggal alasannya adalah dihukum mati dan setelah itu jasadnya dibakar dan abunya dibuang ke sungai Tigris karena dia dituduh oleh penguasa dikala itu.*  Karena al- hallaj diwaktu mencapai hulul menyampaikan  انا الحق
             ”Akulah Yang maha Benar”.[49]
         
     Menurut keterangan Abu Nasr al- Tusi dalam kitab al- Luma` yakni faham yang mengatakan bahwa Tuhan menentukan tubuh manusia tertentu untuk mengambil daerah di dalamnya, sesudah sifat- sifat kemanusiaan yang ada dalam badan itu sukses dilenyapkan.[50]
Dari anutan al- hulul yang dikembangkan al- hallaj dapat ditarik kesimpulan bahwa  di dalam diri manusia terdapat sifat Ketuhanan, dan di dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan . Persatuan antara Tuhan dan Manusia bisa terjadi dalam bentuk hulul, sesudah manusia mampu menetralisir sifat- sifat kemanusiaannya lewat fana`. Setelah fana` yang tinggal dalam diri manusia hanyalah sifat Ketuhanan, disanalah Tuhan mampu mengambil tempat di dalam diri insan. Dan saat itu roh Tuhan dan roh insan mampu bersatu di dalam tubuh manusia. Dengan demikian dikala al- hallaj mengatakan ”Akulah Yang maha Benar” bukan roh al- hallaj yang mengatakan itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil daerah di dalam diri al-hallaj. Perbedaannya antara Ittihad Abu Yazid dengan al- Hulul nya al- Hallaj ialah dalam ittihad diri Busthami hancur, yang dilihat hanya satu wujud adalah Tuhan, sedangkan dalam hulul al- hallaj wujud dirinya tidak hancur, yang dilihat ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh seperti Allah memerintahkan malaikat dan Iblis sujud kepada Adam, alasannya adalah Allah telah mengambil kawasan dalam tubuh nabi Adam.
7.Wahdat al- Wujud
Wahdat al- wujud berarti kesatuan wujud yang ialah kelanjutan dari faham hulul yang dikemukakan oleh Muhy al- Din Ibn Arabi (L. 1165M.w.1194M). faham wihdatul wujud ini menurutnya pengakuannya dia terima dari Nabi Muhammad melalui satu mimpi pada tahun 626 H.di Damaskus. Dalam wahdatul wujud, nasut yang ada dalam hulul dirobahnya menjadi khalq ( makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Makhuk dan haq merupakan dua aspek bagi tiap sesuatu. Khalq ialah faktor luar dan haq faktor sebelah dalam.[51]
Dalam faham ini setiap sesuatu yang ada mempunyai dua aspek adalah aspek kemakhlukan dan aspek ketuhanan. Aspek yang terpenting yakni faktor haq yang ialah batin jauhar atau substansi dan esensi setiap yang berwujud. Sedangkan aspek khalq ialah aspek yang datang kemudian.
Renungan zauq tasawuf yang didasarkan pada renungan filsafat ini muncul sebagai kelanjutan dari konsep penciptaan makhluk. Menurut Ibnu `Arabi alam ini diciptakan Allah dari `ain wujudnya. Sehingga jikalau Allah ingin melihat dirinya maka Allah cukup dengan menyaksikan alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara keduanya artinya alam yang nampak berlawanan- beda ini intinya ialah satu mirip seseorang yang ingin melihat dirinya melalui cermin. Betapa banyaknya bayangan yang ada, tetapi penduduknya tetap satu sebab bayangan itu tidak memiliki substansi.[52]
Dalam persepsi Ibn `Arabi, tidak ada perbedaan antara wujud yang satu dengan alam yang bervariasi . Hal iu cuma dapat dipandang oleh orang yang `pintar yang mampu melihat dengan mata hatinya, sehingga orang `bakir itu berucap”
سبحا ن من خلق الا شياء وهو عينها. اذا شهد نه شهدنا نفو سنا. واذا شهدنا نفوسه                         
” Maha suci Allah yang menciptakan segala sesuatu dari dzatNya, sehingga kalau kami melihat Nya memiliki arti kami melihat diri kami, dan apabila kami menyaksikan diri kami maka kami juga melihat diriNya.”
    
     Berdasarkan pemahaman di atas, dapat difahami bahwa faham wahdatu al-wujud yang dicetuskan oleh Ibn al- `Arabi dalam tasawufnya merupakan tasawuf falsafi, karena telah merupakan hasil fikir dari seorang sufi dan tidak hanya semata- mata berasal dari hati atau sir saja untuk mampu mengerti persatuan wujud Tuhan dengan wujud alam ini. Artinya alam ini ialah cermin  bagi Tuhan untuk menyaksikan dirinya. Walaupun alam ini berisikan bentuk bahan yang beragam, namun bahwasanya wujudnya yaitu satu adalah wujud Tuhan. Wujud makhluk ini tergantung pada wujud Tuhan yang bersifat wajib. Adapun wujud yang lain hanyalah wujud yang tidak bahwasanya atau wujud bayangan.[53]
          Dengan demikian dalam hal ini Ibn al- `Arabi mengatakan bahwa wujud hakiki hanyalah wujud Allah, sedangkan wujud makhluk hanyalah bayang- bayang dari yang punya bayangan atau Allah, atau citra dalam beling dari yang mengaca. Maka makhluk ialah bayangan sedangkan al-haq adalah yang maha Suci dan makhluk ialah tiruan.  Yang dimaksud dengan Tajallinya  Allah pada alam ialah sebagai  bukti wujud Tuhan secara transenden pada semua makhluk, dariNya segalanya berasal dan kapadaNya  pula semua akan kembali.
                
IV. Penutup
       A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah penulis paparkan sebelumnya mampu diambil kesimpulan bahwa di antara perbedaan  asal- permintaan arti kata tasawuf disebabkan adanya akulturasi dengan dunia luar Islam, sebetulnya sukar untuk dibuktikan . Sebab dalam pedoman al- Qur`an  dan hadits sendiri telah ada arahan  yang megajarkan wacana keharusan manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri terhadap Allah, sekalipun dalam mengetahui instruksi tersebut berlawanan pemahaman di kelompok sufi. Akan namun seluruhnya menuju terhadap kedekatan hamba dengan Allah.
Berdasarkan  defenisi yang dikemukakan oleh tokoh- tokoh sufi ihwal pengertian tasawuf dapat disimpulkan bahwa tasawuf ialah jalan yang ditempuh oleh seorang muslim untuk sampai kepada Allah dalam berbagai bentuk dengan cara melatih diri  yaitu mengasah hati dan fikiran  berdasarkan al- Qur`an dan hadits yang dikenal dengan sir dan zugh secara bertahap dengan maqam yang difahami dan diyakini untuk hingga terhadap Allah. Artinya tasawuf adalah sebuah usaha yang dapat dilakukan seorang muslim dengan melatih dan mengasah hati dan pikiran secara rohaniyah. Sehingga terjadilah perbedaan pengalaman yang dinikmati oleh seorang sufi dalam mencapai hadirat Allah.
Demikianlah makalah ini penulis susun  selaku materi diskusi dalam mata kuliah Sejarah Pemikiran Dalam Islam.
      B. Saran- anjuran
     Dalam penulisan makalah ini penulis sungguh merasakan  ketidak sempurnaan utamanya dalam   menela`ah tumpuan  yang cukup terbatas .Kepada pembaca  yang budiman penulis harapkan untuk dapat menggali lebih mendalam  tentang tasawuf dan masukan demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis aturkan terima kasih.

  Filsafat Ilmu Ontologi

          [1]Harun Nasution, Teologi Islam Aliran- Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 11

          [2]Sirajuddin Zar, Teologi Islam Aliran dan Ajarannya, Padang: IAIN IB Press, 2003, hal. 23-24

          [3] Amir An- Najjar, Al Khawarij, Aqidatan, Fikratan wal Falsafatan, Terj.Khathur Suhardi, Solo: CV.Pustaka Mantiq, 1992, hal. 66

          [4] Ibid. ,hal.67

          [5] W. Montgomery Watt, Islamic Theologi and Fhilosopy, Terj. Umar Basalim, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesanteren dan Masyarakat (P3M), 1987, hal. 18-19

          [6]Harun Nasution Teologi Islam, Op.cit., hal. 13-14

          [7] Tasman Ya`kub, Perkembangan Pemikiran Islam, Padang: IAIN IB Press, 2004, hal. 21-22

          [8] Ibid. , hal.15

          [9]W. Montgomery Wat, Op.cit., hal. 20

          [10] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.cit. ,hal 16

          [11] W. Montgomery Watt, Op.cit., hal.21

          [12] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.cit., hal.17

          [13] Ibid., hal. 18

          [14] Amir An- Najjar, Op.cit., hal. 86

           [15] Harun Nasution, Op.cit., hal 20

           [16] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid.I, Jakarta: UI Press, 1979, hal. 96

          [17] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal. 38

[18] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Jakarta: Al- Husna Zikra, 1995, hal. 64

          [19] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal. 44

          [20] Ibid.

          [21] Ibid., hal.45

[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 1979, hal.34

[23] Sirajuddin Zar, Op.cit., hal.40

[24] Ibid.,hal.41

[25] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir Arab- Indonesia Terlengkap, ( Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku Ilmiah Keagamaan  Ponpes Al- Munawwir, 1984), hal.860

[26]Lihat  Harun Nasution, Falsafat dan Mitisisme dalam Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang 1973), hal.56-57

* Menurut koleksi Ibrahim Basuni, ia sudah mengumpulkan sekitar 40 arti tasawuf hingga beliau menulis bukunya Nas- ah al-Tasawuf al Islam tahun 1969
[27] Abdurrahman Abdul Khaliq, Ihsan Ilahi Zhahir, Pemikiran Sufisme di bawah Bayang- bayang Fatamorgana, ( Jakarta: Amzah, 2001), hal 12-13

[28] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam , Judul asli  At-Tashawwuf  fi al- Islam, terj. Abdulllah Zakiy al-Kaaf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hal. 26

[29] A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo- Sufisme, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2002), hal. 33

[30] Abu Syu`ud, Islamologi Sejarah Ajaran dan Perananna dalam Peradaban Umat Manusia,  ( Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003), hal. 103

[31] A. Rivay Siregar, Opcit., hal . 34

[32] Ibid., hal.35

* Jenjang yang mesti ditempuh ini disebut dengan maqaamat dalam tasawuf serta ciri- ciri yang dimiliki sufi pada tingkat tertentu yang disebut al- Hal.
[33] Harun Nasution, Opcit., hal.58-59

[34] A. Rivay Siregar, Opcit., hal.38

[35] Ibid., hal 41
* Pada waktu itu Tujuan tasawuf tidak cuma sebatas  menyayangi dan dekat dengan Tuhan, namun sudah meningkat menjadi penyatuan diri dengan Tuhan lewat mi`raj spiritual ke alam Ilahiyat sehingga mengakibatkan pertentangan antara sufi dengan teolog dan Fuqaha dengan saling menganggap sesat.

[36] Ibid., hal.42

[37] Harun Nasution, Fisafat dan Mistisisme, Opcit., hal 62- 63

[38] Ibid., hal. 65

[39] Abu Su`ud, Opcit., hal.188

[40] Harun Nasution, Opcit., hal 67-69.

[41] Ibid., hal. 70-71

[42] Abdul Halim Mahmud, Opcit., hal. 94

[43] A.Rivay Siregar, Opcit., hal.112

[44] Harun Nasution, Opcit., hal. 76

[45] Imam al- Ghazali, Bidayatul Hidayah, diterjemahkan oleh Tim Mumtaz, (Jakarta: Himmah), hal. 235
*Nama kecilnya Thaifur, lahir di Bistonm kawasan Persia tahun 200H. Tentang penulisan namanya ada Busthami, Bisthomi, Busthomi dan Basthomi, bahkan ditulis Bayazid saja

[46] Harun Nasution Opcit., hal.81

[47] Ibid., hal.82

[48] A.Rivay Siregar, Opcit., hal 153
*Ada pertimbangan yang menyampaikan bahwa al- Hallaj dieksekusi mati bukan alasannya adalah ajarannya, namun karena beliau yaitu anggota pemberontak Karamihtah

[49] Harun Nasution, Opct., hal.87

[50] Ibid. ,hal. 88

[51] Ibid., hal. 92

[52] A. Rivay Siregar, Opcit., hal 183

[53] Harun Nasution , Opcit., hal. 95

  Al Kindi & Al Razi