Ketertiban Umum Dalam Aturan Perdata Internasional

KETERTIBAN UMUM

A.     Pendahuluan

Persoalan ketertiban umum (public order), perbelakuan kaidah-kaidah aturan yang bersifat memaksa (mandatory laws) dan masalah-persoalan atas hak-hak yang diperoleh (vested rights) yakni beberapa dari persoalan pokok HPI, utamanya yang berhubungan dengan pernyataan tentang sejauh mana sebuah forum harus mengakui atau dapat mengesampingkan sistem aturan, kaidah hukum ajaib, atau hak-hak dan keharusan-keharusan aturan asing. Jika oleh HPI sudah ditentukan bahwa aturan aneh harus diperlakukan, hal ini tidak memiliki arti bahwa selalu dan dalam semua hal mesti dipergunakan aturan aneh ini. Jika pemakaian hukum abnormal ini memiliki arti pelanggaran yang sungguh ketimbang sendi-sendi azasi aturan nasional Hakim, maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat mengenyampingkan aturan gila ini. 
Fungsi ketimbang lembaga ketertiban lazim ialah seakan-akan suatu “rem darurat”. Pemakaian “rem darurat” [1] juga mesti hati-hati dan seirit mungkin. Karena bila kita terlampau menarik rem darurat ini maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik. Penyalahgunaan rem darurat ini diancam dengan eksekusi. Jika kita terlampau banyak memakai lembaga ketertiban umum memiliki arti kita akan senantiasa memakai aturan nasional kita sendiri dibandingkan dengan hal HPI sudah menentukan dipakainya aturan asing. Dengan demikian maka tidak dapar berkembangnya HPI ini.

B.       Pengertian Ketertiban Umum

Apabila aturan gila mampu menoreh sendi – sendi keadilan, maka aturan aneh dapat dikesampingkan dengan kata lain aturan ajaib tersebut bertentangan dengan sendi – sendi aturan nasional sang hakim dan falsafah pancasila atau ketertiban hukum.
Ketertiban biasa diketahui dengan aneka macam ungkapan seperti orde public (prancis), public policy (Anglo Saxon), begitu pula pengertian mengenai makna dan isinnya tidak sama diberbagi negara. Prof. Sudargo Gautama mengibaratkan forum ketertiban umum ini selaku “rem darurat” yang kita ketemukan pada setiap kereta api. Pemakainya mesti secara hati-hati dan seirit mungkin karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka kereta HPI tidak dapat berjalan dengan baik.
Lembaga ketertiban umum ini digunakan jika pemakaian dari aturan aneh memiliki arti suatu pelanggaran yang sungguh ketimbang sendi-sendi azasi aturan nasional hakim. Maka dalam hal-hal pengecualian, hakim dapat menyampingkan aturan aneh ini.Adanya lembaga ketertiban umum sesungguhnya tidak sesuai dengan pendirian internasionalistis wacana hPI yang menganggap HPI bersifat supra nasional. Konsepsi ketertiban umm yakni berbeda di masing-masing negara. Jika suasana dan konidisi berlawanan, paham-paham ketertiban umum juga berganti-ubah. Public policy ini mempunyai kekerabatan akrab dengan pertimbangan-pertibangan politis. Boleh dibilang bahwa policy making memegang peranan yang penting dalam pemahaman ini.

C.      Konsep ketertiban lazim dalam HPI 

Pemikiran tentang ketertiban biasa (public order) [2]  dalam HPI pada dasarnya bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa “suatu pengadilan yaitu bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat” dan karena itu pengasilan berwenang untu memberlakukan hukumnya sendiri dalam kasus-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam tradisi aturan eropa kontinental, rancangan ketertiban biasa dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa :
“ semua kaidah aturan lokal yang dibuat untuk melindungi kemakmuran lazim (public walfare) mesti didahulukan dari ketentuan-ketentuan hukum asaing yang isinya dianggap bertentangan dengan kaidah hukum tersebut” [3]. 
Martin Wolff berasumsi bahwa problem “orde public” ialah exeption to the application of foreign law ( pengecualian kepada berlakunya kaidah hukum asing ).
Ahli HPI lain (di Amerika Serikat) beranggapak “public policy” merupakan teknik yang digunakan untuk membenarkan hakim dalam menolak sebuah klaim didasarkan pada sebuah kaidah hukum gila. Sebagai sebuah teknik, “ketertiban biasa menunjuk pada suasana dimana pengadilan tidak mengakui sebuah permintaan yang seharusnya tunduk pada sebuah aturan negara bab lain alasannya adalah hakikat dari permintaan itu ditinjau dari yuridiksi lembaga, jikalau diakui akan menyebabkan :  [4]
•         Pelanggaran kepada prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya atau
•         Bertentangan dengan konsepsi yang berlaku perihal kesusuilaan yang bagus, atau
•         Bertentangan dengan suatu tradisi yang telah mengakar 
Dengan suasana mirip diataslah maka forum “ketertiban lazim” mampu menjadi dasar pembenar bagi hakim untuk menyimpang kaidah HPI yang sebaiknya berlaku dan menunjuk ke arah berlakunya sebuah metode aturan gila. 
Doktrin-dogma HPI membedakan dua fungsi forum ketertiban lazim, yaitu :   [5]
a.  Fungsi Positif 
Yaitu menjamin supaya aturan-hukum tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak dihindari) sebagai akibat dari pemberlakuan hukum aneh yang ditunjuk kaidah HPI atau melalui proses pendekatan HPI, terlepas dari dilema aturan mana yang seharusnya berlaku, atau apa pun isi kaidah/hukum lex fori yang bersangkutan.

b.  Fungsi negatif 
Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum aneh bila pemberlakuan itu akan mengakibatkan pelanggaran terhadap rancangan-desain dasar lex fori .

  Sistem Sosial, Konflik Sosial Dan Revolusi Industri Di Jawa

Contoh-acuan :


1)      Masalah perbudakan 
Di Indonesia memakai prinsip Nasionalitas untuk status personil. Menurut pasal 16 AB, maka juga status personil dari orang aneh yang berada di Indonesia secara analogis aka dipakai pada aturan nasional mereka. Jika masalahnya terdapat orang-orang aneh yang negara nasionalnya masih kolot dan masih mengakui perbudakan seerti negara-negara Afrika yang masih terpencil, maka kalau antara orang-orang ajaib ini muncul duduk perkara aturan dihapadkan Pengadilan Negri Jakarta. Maka pihak hakim meskipun berdasarkan kaidah-kaidah HPI Indonesia mesti menggunakan kaidah-kaidah aturan nasional dari warganegara Afrika bersangkutan, tidak akan memanfaatkan hukum ini. Hal itu dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi daripada metode hukum kita dan falsafah negara Pancasila yang berdila Kemanusiaan.

2)      Kematian perdata 

Dalam negara-negara modern banyak kaidah aturan ajaib tentang ajal perdata “burgelijke dood”, akan dihindari  [6]. Walaupun berdasarkan kaidah HPI kita mesti menggunakan aturan nasional pihak-pihak yang bersangkutan, yang mengenal akhir hayat perdata maka kaidah aturan aneh ini tidak akan dipergunakan oleh hakim nasional kita. 
3)      Larangan perkawinan Nazi Jerman. 
Larangan perkawinan yang diadakan oleh pemerintah Nazi Jerman. Pada waktu Nazi Jerman sebelum perang telah diadakan Undang-undang tahun 1931 yang melarang perkawinan antara “bangsa Aria” dengan orang-orang yang bukan Aria [7]. Adanya larangan menikah berdasarkan ras dianggap oleh banyak negara tidak dapat diperlakukan alasannya melanggar ketertiban lazim. Ketentuan hukum faktual yang tertera dalam pasal 7 ayat 2 Peraturan Perkawinan Campuran ( Gemengde Huwelijken Regeling S. 1898 no 158), yang pada pokoknya memilih bahwa perbedaan keturunan tidak mampu dijadikan penghalang untuk menikah [8]. Walaupun berdasarkan kaidah-kaidah HPI harus digunakan hukum nasional (aturan Jerman), maka dalam hal khusus ini dianggap Undang-undang perkawinan Jerman ini adalah berlawanan dengan ketertiban umum. Dengan demikian tidak dapat diperguanakannya walaupun berdasarkan kaidah HPI kita sendiri untuk hal-hal sedemikian rupa ini personeel statuut mesti dipergunakan hukum nasional dari orang ajaib bersangkutan. 
4)      Alasan-argumentasi perceraian 
Contoh dari yurisprudensi dalam jaman kemerdekaan ialah keputusan dari Pengadilan Negri Jakarta di tahun 1953 [9]. Dalam perkara ini seorang penggutat wanita Lie Kwien Hien, menuntuk perceraian dari suaminya Tjin Tjheuw Jie. Keduanya berkewarganegaraan RRC. Mereka menikah di Purwakarta. Masalah ketertiban umu memang berganti-ubah dan tergantung dari situasi dan kondisi. Konsepsi hukum ketertiban umu yaitu hidup dan dinamis terpengarus oleh kawasan dan waktu. Konsepsi ketertiban lazim selalu berganti-ubah seperti berubahnya pandangan-pandanagan dan pemikiran-pedoman yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. 

5)      Nasionalisasi tanpa ganti rugi 
Nasionalisasi tanpa dibarengi kerugian, problem ketertiban umum ini nampak pula dalam masalah pencabutan hak milik yang tidak dibarengi ganti rugi (istilahnya konfiskasi). Persoalannya yaitu apakah benda-benda hak miliknya dicabut ini sangat berahli terhadap negara yang melakukan pencabutan itu atau masih tetap menjadi hak milik dari pemilik-pemilik yang usang.
6)     Pernikahan Sesama Jenis
Dikarenakan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 perihal Perkawinan (UU Perkawinan) Pasal 1 menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan menurut Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pasangan sesama jenis yang akan menikah di Indonesia tidak diakui alasannya selain ditentang oleh lebih banyak didominasi agama yang dianut oleh Indonesia, aturan positif Indonesia cuma menyaksikan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Adapun pada tahun 2008 lalu, kasus pasangan homoseksual dari Belanda yang menikah di Bali dianggap tidak sah secara hukum dan tidak diakui demi ketertiban lazim warga lokal dan penduduk yang lain.

7)      Penyewaan Rahim (Surrogate Mothers)
Di zaman yang modern ini, bagi pasangan-pasangan yang belum diberkahi oleh anak dapat menyewa rahim orang lain, dan adapun perdebatan apakah penyewaan rahim diharapkan paying hukum yang melindungi hal tersebut di Indonesia.  Surrogate mother ialah persetujuanantara seorang wanita yang mengikatkan diri lewat sebuah kesepakatandengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil kepada hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan sesudah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan persetujuanyang dibentuk. Jika seorang WNI meminjamkan rahimnya terhadap seorang WNA dan muncul permasalahan sebab perjanjian penyewaan rahim tersebut, ada kemungkinan hukum Indonesia tidak mencukupi hal tersebut alasannya adalah dianggap perjanjian tersebut tidak memiliki karena yang halal, oleh sebab itu batal demi hukum.

D.     Ketertiban Umum dipakai seirit mungkin 
Syarat ini diadakan supaya secara ekonomis dipakainya lembaga ketertiban umumu. Diantara para penulis HPI sudah dikemukakan peringatan-peringatan biar ketertiban umum ini cuma dipakai secara irit. Hanya bila diperlukan sekali selaku “ultimum remedium” [10] boleh dipakainya ini. Jika terlalu banyak dipergunakan forum ketertiban umum ini, kita bisa dicap sebagai menganut “rechts-farizeisme” [11].  We are not so provincial as to say that every solution of a dilema is wrong because we deal with it otherwise at home [12].  Jika kita terlalu cepat memakai forum ketertiban biasa hasilnya yakni cuma pakai hukum sendiri. Kita bersifat mengagung-agungkan, mendewa-dewakan aturan sendiri secara Chauvinistis yang pastinya tidak dapat dipertanggungkanjawabkan dalam korelasi internasional [13]. Karena selalu hendak memakai ketertiban biasa menganggap segala sesuatunya yang berlawanan dari aturan sendiri sudah melanggar ketertiban biasa yakni sifat Parisi (rechts-farizeisme) atau chauvinismus yuridis.

  Perkampungan Kelas Sosial Rendah, Ekonomi Urbanisasi Pontianak 1999 - 2008An

E.     Ketertiban biasa internasional dan ketertiban biasa intern 

Sistem-tata cara aturan dari negara-negara  mengenal perbedaan antara apa yang dinamakan “ketertiban umum internasional” (internasionale openbare orde, orde public internasional) dan “ketertiban umum intern” (interne openbare orde, orde public interne). Apa yang dinamakan ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang berniat untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhan. Kaidah-kaidah yang tergolong ketertiban biasa intern yakni kaidah-kaidah yang menghalangi keleluasaan individual.  [14]
Contoh :
Orang mesir yang beragama islam di prancis dan dianggap telah akil balig cukup akal pada usia 18 tahun.walaupun menurut aturan perdata prancis seseorang gres cukup umur kalau telah meraih umur usia 21 tahun. Tidak ada tindakan hukum atau perjanjian yang mampu mengganti batas kedewasaan ini.Kaidah – kaidah hukum perdata prancis mengenai kedewasaan hanya tergolong ketertiban biasa intern.

F.    Ketertiban lazim internasional adalah “nasional”
Terhadap istilah “ ketertiban lazim internasional” terdengar kecaman alasannya bantu-membantu yang dikehendaki bukan untuk menjelaskan bahwa ketertiban lazim ini bersifat tidak lain daripada “nasional”. Sejalan dengan keberatan kepada istilah “internasional pada HPI”, maka kita mesti melihat ungkapan ini bukan perihal sumber dan isinya internasional. Hanya korelasi-hubungannyalah yang dianggap internasional, cuma suasananya yang dianggap internasional. Sedangkan sumber dan isi makna ketertiban umum ini ialah nasional. Istilah yang lebih baik dipergunakan ialah “ketertiban lazim extern” kepada “ketertiban lazim intern”. Ketertiban biasa bersifat relatif. Tergantung darpada faktor-aspek daerah dan waktu dengan ungkapan yang sekarang sering diperunakan dinegara tergantung suasana dan kondisi.

G.    Ketertiban lazim berubah menurut situasi dan keadaan 
Faktor intensitas dari insiden yang bersangkutan dalam relasi dengan kondisi didalam negri [15]. Para sarjana Jerman menyebut dalam relasi ini apa yang dipandang mereka selaku “Inlandsbeziehungen”.
Contohnya :
a.       Perceraian 
Di Prancis, sebelum 1884 perceraian tidak diperbolehkan tetapi setelah 1884 perceraian mampu dikerjakan. Maka, pemahaman ketertiban lazim selalu berubah. Ini ialah contoh variabilitas ketertiban umum yang dipengaruhi oleh waktu. 
b.      Konsepsi hak milik pribadi 
Dalam konsepsi perihal hak milik pribadi berlainan-beda. Di negara x masih berpegang teguh hak milik selaku suatu yang ialah hak yang suci. Dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 6 UUPA di negra kita sendiri yang mengedepankan bahwa hak milik yakni fungsi sosial. Hukum merupakan sebuah metode yang hidup, sebab sifatnya yang hidup aturan ini bukan statis melainkan dinamis. Karenanya senantiasa berganti-ubah pandangan-pandangannya yang hidup dari kala ke masa dan dari kawasan ke kawasan. Demikian pula konsepsi-konsepsi ketertiban umum, berubah-rubah pula tergantung pada suasana dan keadaan, tempat dan waktu. 
c.       Yurisprudensi wacana pencabutan hak milik. 
Sesuai dengan konsepsi hak milik dan fungsinya maja adanya perilaku yuriprudensinya yang berlawanan berkenan dengan masalah pencabutan hak milik. Perisstiwa pencabutan hak milik selalu menmpunyai relasi dengan ketertiban lazim. Persoalan ketertiban biasa senantiasa dikedepankan dalam yurisprudensi pencabutan hak milik. 
d.     Pernikahan Berbeda Agama
Konsepsi pernikahan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 26 menyatakan ijab kabul yaitu perikatan dan tidak menatap perbedaan agama sebagai penghalang sahnya akad nikah. Akan tetapi sesudah dikeluarkannya UU Perkawinan Pasal 1, ketertiban umum wacana perkawinan menjelma perkawinan yang dijalankan menurut ketentuan agama masing-masing kandidat mempelai.
e.    Cakap Hukum Bagi Perempuan yang Telah Menikah
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan orang-orang yang tidak cakap aturan yakni:
1.     Orang-orang yang belum remaja;
2.     Orang yang diletakkan dibawah pengampuan; dan
3.     Perempuan yang sudah kawin dalam hal-hal yang diputuskan undang-undang dan kebanyakan siapa saja yang oleh undang-undang untuk membuat kesepakatan tertentu.
Juga Pasal 110 KUHPerdata yang berbunyi “Istri dilarang tampil dalam pengadilan tanpa tunjangan suaminya, meskipun dia kawin tidak dengan harta bareng , atau dengan harta terpisah, atau meskipun ia secara mandiri mengerjakan pekerjaan bebas.”Akan tetapi dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1961, kedua pasal yang menyangkut kecakapan seorang istri untuk bertindak didepan hukum dihapus dan perempuan yang telah kawin tidak lagi masuk kategori tidak mahir dalam membuat perjanjian.

  Pengunduran Diri Yudi Latif, Phd


DAFTAR PUSTAKA

(Di akses pada Senin, 28 Maret 2016)
Sudargo, Gautama, 1977,”Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia”, Bina cipta,Jakarta.
http://vannyendrikap.blogspot.co.id/ (Di jalan masuk pada Sabtu, 2 April 2016 )

 [1] Sudargo, Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, 1977, h 133 dst.

 [2] Beberapa istilah lain : order public (prancis) ; openbare orde (Belanda); public policy, public order (Inggris); atau kepentingan umum (Indonesia).

 [3] Bandingkan dengan Cheschire, G.C. & North, P.M, Private International Law .

 [4] Sedler, Robert & Cramton, Roger, Sum and Substance of Conflict of Laws, Jospehnson and Kluwer, 3rd Ed. 1987, hl 24 dan 25.

 [5] Bandingkan dengan Rooji, Rene van & Polak, Maurice van, Private International Law in the Netherlands, Kluwer, 1987, hh 237-238.

 [6] Bdgk. Pasal 3 BW

 [7] Lihat Kollewijn, dis. 78 dan seterusnya untuk contoh-acuan larangan menikah ini

 [8] Pasal 7 ayat 2 ini berbunyi: Perbedaan agama, kelompok rakyat atau keturunan tidak pernah mampu ialah penghalang untuk menikah.

 [9] Keputusan sela PN Jakarta 5-12-1953, H 1958 no.7-8, halaman 44 dan seterusnya .

 [10] Schnitzer I, 234.

 [11] Kollewijn, diss.

 [12] Perkara Loucks v. Standard Oil Co 1918, 224 NY 99 s.d Kuhn, 37, Webb and Brown, 466.

 [13] Bdgk. Wolff, IPR_Deutsclands, 61.

 [14] Bdgk. Kuhn, 40

 [15] Bdgk, Wolff, 168