Ketentuan Lazim Terorisme

A. Pengertian Terorisme

Sebelum kita membicarakan perihal akar terorisme atau sumber, aspek, atau penyebab lahirnya agresi-aksi teror, kita mesti menyetujui dahulu tentang definisi terorisme.

Terorisme bahu-membahu merupakan ungkapan yang kabur dan berarti ganda (ambiguous). Di kelompok akademisi atau ilmuan sosial-politik pun tidak ada akad ihwal batasan pemahaman (definisi) istilah yang balasannya menakutkan itu. Banyaknya pihak yang berkepentingan dalam berita terorisme utamanya terkait dengan politik, sudah melahirkan berbagai opini yang kuat kepada definisi terorisme, salah satunya opini Peter Rösler-Garcia, seorang ahli politik dan ekonomi luar negeri dari Hamburg, Jerman yang menyatakan tidak ada sebuah negara di dunia ini yang secara konsekuen melawan terorisme.

Pengertian dan definisi perihal terorisme hingga kini masih menjadi perdebatan walaupun sudah ada jago yang merumuskan dan juga dirumuskan di dalam peraturan perundang-ajakan. Akan namun ketiadaan definisi hukum internasional tentang terorisme tidak serta-merta menghapus definisi aturan terorisme itu. Masing-masing negara mendefinisikan berdasarkan aturan nasionalnya untuk mengendalikan, menghalangi dan mengatasi terorisme.

Terorisme memiliki karakter khas, ialah penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujuan politik. Metodanya ialah pengeboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan, atau singkatnya: “aksi kekerasan bersenjata”.

Secara konvensional, “terorisme” ditujukan pada agresi-agresi kaum revolusioner atau kaum nasionalis yang menentang pemerintah, sedangkan “teror” merujuk pada agresi-aksi pemerintah untuk menumpas pemberontakan. Pada prakteknya, pembedaan antara “terorisme” dan “teror” tidak senantiasa terperinci.

Istilah terorisme, berdasarkan Noam Chomsky, mulai digunakan pada masa ke-18 selesai, khususnya untuk menunjuk agresi-agresi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh individu atau golongan-kelompok. Sekarang, pemakaian perumpamaan terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengganggu pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme ialah tindakan protes yang dikerjakan negara-negara atau kalangan-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, contohnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika prajurit Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah agresi teror, melainkan aksi “pembalasan”.

Demikian pula saat pesawat-pesawat tempur AU AS mengebom Irak, itu bukan terorisme, namun “pembalasan” (retaliation). Atau ketika Israel berkali-kali menindas dan membantai rakyat Palestina, mengebom basis pejuang Hizbullah di Libanon, atau markas HAMAS dan Jihad Islam, bukanlah terorisme namun pembalasan[5], serangan untuk mendahului sebelum diserang (preemptive strike), atau langkah-langkah eksekusi (punitive action). Namun ketika PLO –atau salah satu faksinya– melaksanakan agresi kekerasan dipandang AS dan Israel sebagai aksi “terorisme”, bahkan PLO pada awalnya dinilai sebagai “organisasi teroris” dan pemimpinnya, Yasser Arafat, sebagai “biang teroris”.

Contoh lain, saat pasukan India menembaki para pejuang Muslim Kashmir atau membantai masyarakatKashmir, bukanlah terorisme namun “menangani gerakan separatis”. Demikian halnya dikala pasukan pemerintah Filipina menggempur para pejuang Muslim Moro di Filipina Selatan. Namun, adalah terorisme saat para pejuang Kashmir menyerang serdadu India dan pejuang Muslim Moro menyerang tentara Filipina.

Jadi, terorisme mampu dipandang sebagai alat usaha kemerdekaan atau alat merusak kemanusiaan dengan kezaliman. Yang terperinci, sebuah agresi yang kemudian disebut “teror” dilontarkan satu pihak manakala kepentingannya dihancurkan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan bahwa terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman untuk menurunkan semangat, menakut-nakuti, dan angker, utamanya untuk tujuan politik.

Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention On The Suppression Of Terrorism (ECST) di eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes Against State menjadi Crimes Againt Humanity. Crimes Againt Humanity mencakup tindak kriminal untuk membuat suatu keadaan yang menjadikan individu, kalangan, dan masyarakat biasa ada dalam situasi teror. Dalam kaitan HAM, Crimes Againt Humanity masuk kategori Gross Violation Of Human Rights yang dilakukan sebagai bab serangan yang meluas atau sistematik yang dimengerti serangan itu ditujukan secara eksklusif kepada penduduk sipil, lebih-lebih diarahkan terhadap jiwa yang tidak bersalah sebagaimana halnya terjadi di bali.

Sedangkan definisi teroris yang dikemukakan dalam the arab convention on the supression of terorism (1998) mengartikan terorisme yaitu langkah-langkah atau bahaya kekerasan, apapun motif dan maksudnya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau koletif, yang menjadikan terror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keamanan, atau bermaksud untuk menimbulkan kerusakan lingkungan atau harta public maupun langsung atau menguasai dan merampasnya atau bermaksud untuk mengancam sumber daya nasional.

  Teori Culture Conflict (Kriminologi)

Dalam Pasal 1 Perpu No. 01 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (kini telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), bahwa terorisme adalah perbuatan melawan hukum secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi tubuh, nyawa, sopan santun, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan kerusakan biasa atau situasi teror atau rasa takut kepada orang secara meluas, sehingga terjadi kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, kebutuhan utama rakyat, lingkungan hidup, akhlak, peradaban, belakang layar Negara, kebudayaan, pendidikan, perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau akomodasi nasional.

Berdasarkan banyak sekali pertimbangan dan pandangan ihwal pemahaman terorisme di atas dapat disimpulkan bahwa terorisme yakni kekerasan yang terorganisasi, menempatkan kekerasan sebagai kesadaran, sistem berpikir sekaligus alat pencapaian tujuan. Dari berbagai pengertian ihwal terorisme di atas segala bentuk tindakan terorisme tidak bisa dibenarkan alasannya adalah cirri khususnya, yakni :

  1. Aksi yang dipakai menggunakan cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan cemas publik.
  2. Ditujukan terhadap negara, penduduk atau individu atau golongan masyarakat tertentu.
  3. Memerintah anggotanya dengan cara teror juga.
  4. Melakukan kekerasan dengan maksud untuk mendapatkan derma dengan cara yang sistematis dan terstruktur.

Teror sendiri mempunyai definisi umum dan hal itu sesuai dengan cirri utama di atas bahwa terorisme selaku kekerasan atau bahaya kekerasan yang dikerjakan untuk membuat rasa takut di kalangan target, lazimnya pemerintah, kelompok etnis, partai politik, dan sebagainya.

B. Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme meningkat sejak berabad lampau. Hal ini ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan bahaya yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dan bentuk fanatisme anutan kepercayaan yang kemudian menjelma pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kalangan kepada penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini telah mampu dibilang selaku bentuk murni dari terorisme,

Di kurun modern, ideology terorisme menurut Harun Yahya pada umumnya dinisbatkan kepada teori evolusi Darwin “stuggle for survival between the races” (pertandingan untuk bertahan hidup antar ras) dan teori “natural selection” (seleksi ilmiah). Menurut teori Darwin, kehidupan akan senantiasa diwarnai dengan kompetisi dan konflik, jadinya orang-orang yang memiliki kekuatan akan mampu bertahan dan mendominasi, sedangkan orang-orang yang lemah akan tereleminasi dan dianggap enteng. Ide ini memastikan bahwa supaya masyarakat berkembang menjadi kuat, maka pertandingan dan pertumbahan darah yakni suatu keharusan.

Pada sejarah terorisme modern. Terorisme timbul pada final era 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I dan terjadi nyaris di seluruh permukaan bumi. Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan massal kepada warga Armenia pada PD I. Pada dekade PD I, agresi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideology.

Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal ” damai “. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur – Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya pertentangan Utara – Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menawan campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, menciptakan dunia labil dan bergejolak.

Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap mendasar dan sah, membuka peluang timbul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme itu sendiri ialah gejala yang relatif baru, adalah setelah Perang Dunia II dan meningkat sejak awal dasawarsa 70-an. Terorisme dan teror sudah meningkat dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, usaha kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah selaku cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.

Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak sematamata ialah masalah aturan dan penegakan hukum melainkan juga merupakan persoalan sosial, budaya, ekonomi yang berhubungan erat dengan duduk perkara ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannya ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam keharusan melindungi kedaulatan Negara, hak asasi korban dan saksi serta hak asasi tersangka atau terdakwa.

C. Karateristik Terorisme

Menurut Loudewijk F. Paulus, karateristik terorisme ditinjau dari 4 macam pengelompokan yang berisikan :

  1. Karateristik Organisasi, yang mencakup organisasi, rekrutmen, pendanaan dan relasi internasional;
  2. Karateristik Perilaku, yang mencakup motivasi, pengabdian, disiplin, cita-cita membunuh, dan cita-cita menyerah hidup-hidup;
  3. Karateristik Sumber Daya, yang meliputi motivasi latihan/kemampuan, pengalaman perorangan di bidang teknologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi;
  4. Karateristik Motif, yang mencakup rasional, psikologis dan budaya.

Fenomena baru muncul dalam kejahatan terorisme dengan beberapa karateristiknya, adalah :

  1. Maksimilasi korban secara sungguh menerikan;
  2. Keinginan untuk menerima liputan di media massa secara internasional secepat mungkin;
  3. Tidak pernah ada klaim terhadap terorisme yang dilakukan;
  4. Serangan terorisme sulit untuk diduga alasannya adalah sasarannya sama dengan luasnya permukaan bumi. Terorisme gaya gres mampu menyerang gereja atau masjid, memukul pasar atau supermarket, menghancurkan kantor pemerintah atau forum pendidikan, night club, hotel, bisa menyerang desa atau kota, menyerang di jalan raya, didalam kereta api, bus, pesawat terbang, kapal maritim, dan segala jenis tanpa bisa dibatasi.

D. Bentuk-Bentuk Terorisme

Ada beberapa bentuk terorisme yang diketahui , yang perlu kita bahas dari bentuk itu antara lain terror kriminal dan teror politik. Kalau perihal teror kriminal lazimnya hanya untuk kepentingan langsung atau memperkaya diri sendiri. Teroris kriminal bisa menggunakan cara pemerasan dan intimidasi. Mereka menggunakan kata-kata yang dapat mengakibatkan cemas atau teror psikis. Lain halnya dengan teror politik bantu-membantu terror politik tidak menentukan-milih korban. Teroris politik selalu siap melaksanakan pembunuhan kepada orang-orang sipil: laki-laki, wanita, akil balig cukup akal atau belum dewasa dengan tanpa menimbang-nimbang evaluasi politik atau etika, teror politik adalah sebuah fenomena sosial yang penting. Sedangkan terorisme politik mempunyai karakteristik sebagai berikut:

  1. Merupakan intimidasi kohersif;
  2. Memakai pembunuhan dan destruktif secara sistematis selaku fasilitas untuk tujuan tertentu.
  3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf.
  4. Target aksi teror diseleksi, bekerja secara diam-diam, tetapi tujuannya yaitu publisitas.
  5. Pesan agresi itu cukup terperinci, meski pelaku tidak senantiasa menyatakan diri secara personal.
  6. Para pelaku pada umumnya dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras, contohnya “berjuang demi agama dan kemanusiaan”, maka hard-core kelompok teror ialah fanatik yang siap mati

Menurut Wilkinson, terorisme terbagi dalam tiga bentuk adalah terorisme revolusioner, terorisme sub-revolusioner dan terorisme represif. Dalam persepsi Wilkinson, terorisme revolusioner dan terorisme sub revolusioner dijalankan oleh warga sipil, sedangkan terorisme represif dilaksanakan oleh Negara. Perbedaan dari terorisme revolusioner dan subrevolusioner yakni dari segi tujuannya. Terorisme revolusioner bermaksud untuk mengganti secara total tatanan sosial dan politik yang telah ada, namun terorisme sub-revolusioner bertujuan untuk mengganti kebijakan atau balas dendam atau menghukum pejabat pemerintahan yang tidak sejalan. Sedangkan terorisme Negara adalah aksi teror yang dilakukan pemerintah, mengatasnamakan atas dasar aturan, ditujukan baik kepada golongan oposisi yang ada dibawah pemerintahannya maupun terhadap kalangan di wilayah yang lain.

Di kurun modern ini state terrorism bisa dikembangkan lebih luas dengan meliputi langkah-langkah non militer yang dilancarkan pada Negara lain seperti embargo pendistribusian kebutuhan primer, menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Negara sekutu, dan menetapkan tolok ukur yang ketat sebelum dikucurkan dana dukungan dan aktifitas ekonomi lainnya.

Kalau dilihat dari sejarahnya, maka tipologi terorisme terdiri dari berbagai bentuk, adalah :

  1. Pembunuhan politik kepada pejabat pemerintah, itu terjadi sebelum perang dunia II.
  2. Terorisme dimulai di Al-jazair ditahun 50an, dilaksanakan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” kepada masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini untuk melawan apa yang mereka sebut sebagai terorisme Negara;
  3. Terorisme timbul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak atau random kepada siapa pun dengan tujuan publisitas.

Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah model penjelasan, di antaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory Committee” (komisi kejahatan nasional Amerika) dalam The Report of the Task Force of the on Disorders and Terrorism, yang mengemukakan selaku berikut, ada beberapa bentuk terorisme yaitu:

  1. Terorisme Politik ialah perilaku kekerasan kriminal yang dirancang guna menumbuhkan rasa cemas di kalangan penduduk demi kepentingan politik;
  2. Terorisme nonpolitis yakni mencoba menumbuhkan rasa panik dengan cara kekerasan, demi kepentingan eksklusif, misalnya kejahatan terorganisasi;
  3. Quasi terorisme, digambarkan dengan “dilaksanakan secara incidental”, tetapi tidak mempunyai muatan ideology tertentu, lebih untuk tujuan pembayaran misalnya dalam perkara pembajakan pesawat udara atau penyanderaan dimana para pelaku lebih kepincut terhadap duit tebusan dibandingkan dengan motivasi politik.
  4. Terorisme politik terbatas, diartikan selaku teroris, yang mempunyai motif politik dan ideology, namun lebih ditujukan dalam menertibkan keadaan (Negara). Contohnya yaitu tindakan teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam.
  5. Terorisme Negara atau pemerintahan yaitu sebuah Negara atau pemerintahan, yang mendasarkan kekuasaannya dengan cemas dan penindasan dalam mengontrol masyarakatnya,

Terorisme yang dilaksanakan oleh Negara merupakan salah satu bentuk kejahatan yang tergolong sungguh istimewa. Sebab Negara ialah sebuah organisasi besar yang dipilari oleh kekuatan rakyat, namun disisi lain punya keharusan mengendalikan, melindungi, dan menyejahterakan kehidupan rakyat secara material maupun non material. Tatkala Negara itu, melalui pejabat pemerintahannya terlibat dalam tindakan criminal secara vertical, horizontal, regional, nasional maupun internasional, maka otomatis rakyatlah yang dikorbankan.

E. Motif dan Tujuan Terorisme

Tindak pidana terorisme merupakan tindakan melawan hukum yang unik, sebab motif dan factor penyebab dilakukannya tindak kriminal ini sangat berlainan dengan motif-motif dari tindak pidana lain. Tidak jarang, tindak kriminal terorisme dikerjakan berdasarkan motif-motif tertentu yang patut dihormati.

A.C. Manullang dalam bukunya yang berjudul “Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim” menyatakan bahwa pemicu terorisme antara lain yaitu kontradiksi agama, ideology dan etnis serta kian melebar jurang pemisah antara kaya-miskin. Salah satu pemicu dilakukannya terorisme adalah kemiskinan dan kelaparan. Rasa takut akan kelaparan dan kemiskinan yang ekstrim akan mudah menyulut terjadinya aksi-aksi kekerasan dan konflik, yang juga ialah lahar subur bagi gerakan terorisme.Terorisme dan gerakan-gerakan radikal juga terjadi pada Negara-negara maju dan kaya. Ketidakpuasan atau sikap berlainan akibat kecemburuan sosial yang terus hadir dan berkembang antara kalangan yang secara umum dikuasai dan kelompok minoritas dan terpinggirkan (di negara maju), serta mengalami marginalisasi secara kontinyu dalam jangka panjang balasan kebijakan pemerintah pusat, apalagi lagi sebab kebijakan multilateral yang membuat golongan marginal tersebut tidak mampu lagi mentoleransi keadaan tersebut melalui jalur-jalur formal dan legal, memotivasi mereka secara lebih berpengaruh lagi untuk mengambil jalur alternative lewat agresi kekerasan

Tujuan Terorisme melaksanakan langkah-langkah yaitu untuk menjadikan panik yang amat sangat dalam masyarakat, kekalutan yang menjalar, dan timbulnya rasa kegelisahan atas keselamatan diri dan harta benda akhir sifat serangan yang keras dan sungguh acak. Berbeda bila daripada kejahatan lain mirip Tindak Pidana pembersihan uang , Perdangan insan, perdagangan Narkoba secara illegal maupun Perompakan bahari dan perdanganan senjata Illegal, adanya kesan bahwa pelaku kejahatan Transnasional selain terorisme untuk lebih menggutamakan keuntungan finasial dibandingakan sebuah pengakuan maupun perubahan radikal kepada kebijakan dan Kepemerintahan suatu Negara. Secara jelas terkait tujuan terorisme , dengan mengambil pola kasus jaringan teroris AL Qaeda maupun Jamaah Islamiyah ialah melakukan serangan serangan anarkis dan memakai teknologi serta taktit dan teknis khusus ( Bom Bunuh diri ) terhadap kepentingan Amerika serta sekutunya , termasuk Pemerintah Indonesia dengan tujuan untuk mengubah paradigma hukum dan masyarakat Indonesia untuk mengikuti arah “usaha “ Kelompok Al Qaeda dan Jemaah Islamiyah yang mengingikan adanya kedaulatan dan tatanan hukum baru sesuai keinginan golongan mereka

Tindak kekerasan secara brutal dengan agresi serangan bom bunuh diri mampu mengakibatkan kerugian jiwa yang tak sedikit, namun kerugian yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan Narkoba akhir perdagangan narkoba secara illegal oleh sindikat Narkoba antar Negara dapat lebih banyak dan lebih menggejala akan namun karena agresi serangan dengan Bom lebih menakutkan karenanya dari korban penyalahgunaan Narkoba, walaupun banyak yang bergelimpangan tetapi dianggap kurang menyeramkan bagi penduduk .

Kaprikornus mampu disimpulkan jikalau tujuan dari kejahatan terorisme dengan kejahatan lain yang tergolong dalam Transnational crime secara spesifik menawarkan definisi perbedaan yang fundamental, dikala ketakutan, kecemasan dan teror diharapkan tercapai dalam setiap serangan terorisme. Metode brutal , anarkis digunakan golongan teror untuk mencapai tujuan , perkembangan jenis jenis serangan yang dilaksanakan semakin mematikan dan kian meningkatkkan rasa cemas dan takut dalam penduduk , yang merasa terancam untuk menjadi korban dibandingkan cemas penduduk menajdi korban acara pencucuian duit, atau penyalah gunaan narkoba yang biasanya dikerjakan tidak dengan sistem garang dan brutal , bahkan dengan tata cara halus , persuasive , membohongi serta dilaksanakan oleh golongan orang orang yang tampakbaik.

S. Maronie

sebagai bahan kuliah Hukum Kejahatan Terorisme