Mata Kuliah : Sejarah Islam Asia Tenggara
PENDAHULUAN
Kota Palembang (1) merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1382 tahun jika menurut prasasti Sriwijaya yang diketahui sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada ketika itu oleh penguasa Sriwijaya (2) diresmikan Wanua di daerah yang sekarang diketahui sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan dikala ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan alasannya adalah keadaan inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini selaku Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk sebuah tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membesar alasannya usang terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan berdasarkan bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng yaitu genangan air. Makara Palembang yakni sebuah tempat yang digenangi oleh air.(3)
Selain kerajaan Sriwijaya, di Palembang juga bangkit Kesultanan Palembang Darussalam, yang meraih periode puncaknya bersama penyebaran ajaran Islam, di nusantara.
Sebelum bangun Kesultanan Palembang Darussalam, sudah bangun Kesultanan Palembang, dari Kiyai Gede Sedo Ing Lautan sampai Pangeran Sedo Ing Rejek. Saat itu, Palembang menjadi daerah kekuasaan Demak, dan Mataram. Baru di abad Pangeran Ario Kesumo, Palembang memutuskan hubungan dengan Mataram.(4)
Kesultanan Palembang ialah suatu Kerajaan Melayu Islam bercorak maritim yang berkedudukan di Palembang. Ia mulai memainkan peranan dalam sejarah Indonesia pada pertenghan masa ke-16, dan selsai pada era ke-19 setelah secara sistematis dan bermaksud dapat di kuasai oleh Belanda.
Menurut sebuah model Kesultanan Palembang dipimpin untuk pertama kali oleh Kyai Gedeng Suro. Di dalam suatu catatan yang sudah diterbitkan Woelders (1976: 118-9 ) yang didalam goresan pena dinamakan “Daftar Raja-raja Palembang” diceritakan: Raja No 1 pada tahun 966 H yakni Keding Suroh, lamanya dia menjadi raja dua likur tahun. Raja No 2 pada tahun 968 H diganti saudaranya Keding Ilir, lamanya setahun, namun beliau berjuluk juga keding Suroh.(5)
A. Sejarah Kedatangan Islam dan Perkembangannya di Palembang
Masa Kedatangan Islam ke Palembang
Untuk memilih secara tepat mengenai tanggal dan tahun masuknya agama Islam di kawasan Sumatra Selatan, hingga ketika ini belum ada hebat-hebat yang berhasil menunjukkan sumber tertulis ihwal hal tersebut. Sedangkan tentang kurun waktu Islam memasuki kepulauan Nusantara, para ahli hanyalah mengemukan teori kemungkinan yang berlawanan-beda. Meskipun teori yang satu dengan yang lain berbeda usulan, tetapi pada dasarnya teori-teori itu senantiasa dikaitkan dengan jalur pelayaran dan jual beli dunia melalui Selat Malaka.(6)
Dengan kata lain jalan-dagang tersebut mampu dianggap selaku “jalan-kebudayaan’’ dari era ke kurun, yang sekaligus ialah perintis jalan bagi penetrasi Islam ke tempat- kawasan kepulauan Nusantara, khususnya ke kawasan Sumatra bagian selatan. Sebagai akhir keadaan-keadaan setempat dan motif politik yang menguasainya, mungkin sekali sudah memudahkan Islam berkembang dikalangan penduduk lokal lewat jalan tenang, seperti dikota bandar yang terletak di sisi jalan dagang tersebut. Salah satu kota bandar yang mendapat efek islam yaitu Palembang, yang pada kala lampau pernah berperan selaku riverpor capital di zaman Sriwijaya.(7)
Setelah Sriwijaya mulai pudar di kaki langit keruntuhannya, datangnya bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1511 dan timbulnya revolusi Kraton di Demak (8), maka setapak demi setapak agama islam dikembngkan oleh para Mubalig pribumi yang berasal dari Demak, Banten, Jambi dan Palembang. Perkembangan agama Islam itu lebih intensif setelah Kesultanan Palembang mengakui Islam selaku agama resmi dalam periode ke 17 Masehi. Sejak kurun itu boleh dibilang Islam secara sah menggantikan kedudukan agama negara yang usang ( Budha ). Dengan demikian Islam juga menjadi agama seluruh penduduk pusat kerajaan sebab pada umumnya di negeri kita ini agama raja yaitu agama rakyat.
Jalan dagang tradisional yang terbentang antara Laut Merah – India – Selat Malaka – Daratan Tiongkok merupakan “benang emas yang halus di sepanjang pantai dalam kawasan kepulauan nusantara”. Besar kemungkinan agama itu terlah dibawa oleh pedagang – penjualMuslim pada abad pertama Hijriyah, karena orang Arab sendiri jauh sebelum Islam sudah melakukan pelayaran yang luas ke timur.
Menurut sumber dari orang Arab sendiri, di antara pedagang – pedagang yang melakuakan pelayaran jual beli ke timur itu adalah orang Arab, Persi Gujarat. mereka sudah memilikin perkampungan di Khanfu (kanton ) dan sudah ikut serta mengambil bagaian dalam suatau huru-hara di tempat cina selatan bareng para petani setempat.peristiawa itu terjadai pada zaman Dinasti Tang, yaitau pada masa pemeritahan kaisar HI Tsung tahun 878- 889 M.(9)
Penguasaan jalan bahari jual beli oleh Bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Saat itu bangsa Arab sudah menguasai perjalanan maritim dari Samudera India yang mereka namakan Samudera Persia kala itu. Sejak pra Islam. Maka Teluk Persia dengan pelabuhan Siraf dan Basra selaku sentra jual beli antara negara Arab, Persia, Cina dan negara Afrika.(10)
Perkembangan Islam di Palembang
Diceritakan pada ketika Gede Ing Suro mendirikan Kesultanan Palembang, agama Islam telah usang ada dikawasan ini. Islam masuk ke Palembang kira-kira pada tahun 1440 M, dibawa oleh Raden Rachmat (Sunan Ampel). Pada waktu itu Palembang berada dibawah kepemimpinan Aryo Damar dan ialah bagian dari Kerajaan Majapahit.(11)
B. Sejarah Kesultanan Palembang
Pendiri Kesultanan Palembang
Sejarah berdirinya Kesultanan Palembang tidak terlepas dari runtuhnya Kerajaan Sriwijaya pada kurun ke 12. Sebenarnya perlu dikenali bahwa sesudah Kerajaan Sriwijaya, di Palembang pernah bangkit dua Kesultanan, adalah Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam.
a. Kerajaan Palembang Kuno
Menurut riwayat, Kerajaan Palembang diresmikan oleh Kyai Gedeng Suro. Beberapa hebat di Palembang berkeyakianan bahwa nama Kyai Gedeng Suro itu bergotong-royong ialah juluk, semacam gelar atau panggilan kehormatan, kira-kira sama dengan gelar Brawijaya bagi Raja-raja Majapahit atau Syailendra bagi Raja-raja Sriwijaya.(12)
Kyai Gedeng Suro ini, berdasarkan Faille, yaitu turunan dari seorang Penembahan Palembang, dan istrinya asal dari keluarga Sunan Ampeldenta ; dia yaitu dari garis turunan Panembahan Parwata, Pangeran Kediri dan Pangeran Surabaya. Suro bahwasanya adalah seorang melayu Jawa yang bertempat tinggal di Surabaya, kemudian pindah ke Palembang, tanah leluhurnya. Penyingkiran Suro ke Palembang bersahabat kaitanya dengan perkembangan politik yang berlangsung di Kerajaan Demak waktu itu, utamanya pada kurun sehabis wafatnya Raden Trenggono. Sultan Demak pengganti Raden Patah. Tewasnya Trenggono dalam sebuah peperangan di Pasuruan tahun 1545 M, mengakibatkan pertikaian dikalangan keluarga sultan mengenai siapa yang berhak menjadi penggantinya. Mula-mula Putra Trenggono yang bernama Sunan Prowoto naik tahta selaku sultan, namun tidak usang alasannya adalah dia mati terbunuh. Kemudian timbul menantunya yang sudah sukses menumpas musuh-musuh politiknya, mengangkat dirinya menjadi sultan dengan gelar Prabu Adiwijaya yang berkedudukan di Pajang.(13)
Berakhirlah sudah peranan Demak sebagai ibu kota kerajaan di gantikan oleh Pajang.
Keadaan di Palembang pada kala-periode sebelum kedatangan Suro, atau menjelang kelahiran Kesultanan Palembang, tak banyak di pahami. Dari sejarah Palembang kuno terbetik ihwal Demang Lebar Daun (1229-1324), seorang pembesar Kerajaan Sriwijaya menjelang ketika keruntuhannya tahun 1278 beliau mulai menjabat Perdana Mentri, memimpin 600.000 warga Sriwijaya. Semenjak wafatnya Demang ini pada tahun 1324, Sriwijaya mulai lemah, dan pada tahun 1365 dikabarkan sudah menjadi tempat taklukan Majapahit. Kota risikonya dilantarkan Majapahit, seorang panglima Cina yang sudah beberapa tahun hidup dilaut sebagai perampok dengan beberapa ribu pengikutnya tiba menggantikan kekuasaan, dan semenjak itu Palembang menjadi sarang bajak maritim Cina yang ditakuti. Demikian keaadan Palembang pada sekitar tahun 1400 yang merupakan era berakhirnya Kerajaan Sriwijaya.
Pada tahun 1440 M, nama Palembang timbul lagi. Diberitakan bahwa pada tahun itu Ario Damar telah ada di Palembang selaku Bupati Majapahit. Dengan demikian Palembang pada kala ini ialah negara bagian kerajaan Majapahit.(14)
Ario Damar sendiri ialah seorang putra dari Raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang Lamo. (15) Pada dikala kedatangan Ario Damar di Palembang, masyarakatdan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk agama Islam dan Adipati Ario Damar pun jadinya memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (dalam bahasa Jawa, dillah mempunyai arti lampu).(16)
Ario Dillah pernah menerima kado dari Prabu Kertabumi Brawijaya V (Raja Majapahit terakhir) salah seorang selirnya keturunan China yang telah memeluk Islam yang lalu dinamakan Puteri Champa. Ketika akan dibawa ke Palembang ternyata Puteri Champa sedang mengandung, anak tersebut lahir kemudian dinamakan Raden Fatah, yang lalu dipelihara dan dibesarkan oleh Ario Dillah menurut agama Islam dan menjadi seorang ulama Islam.(17) Sementara hasil perkawinan Ario Dillah sendiri dengan Puteri Champa melahirkan Raden Kusen, adik Raden Fatah lain bapak.(18)
Setelah Ario Dillah wafat (tidak dimengerti dengan niscaya waktunya), kekuasaan Kerajaan Palembang sempat kekosongan pemimpin hingga tahun 1486. Hal itu terjadi karena Palembang termasuk dalam kekuasaan Majapahit. Banyak keturunan Ario Dillah, tergolong Raden Fatah yang lalu hijrah ke Demak.
Tak lama lalu, Kerajaan Majapahit runtuh. Tidak banyak riwayat yang menggambarkan perihal kejatuhan Kerajaan Majapahit, cuma menurut beberapa dongeng Majapahir runtuh sekitar tahun 1478 akhir serangan kerajaan-kerajaan Islam. Pada saat itu, Sunan Ampel menujuk Raden Fatah sebagai penguasa seluruh Jawa menggantikan ayahnya. Pusat Kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas santunan daerah-daerah lain yang sudah terlepas dari Majapahit, mirip Jepara, Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai ibukotanya.(19)
Setelah beliau wafat, lalu digantikan putranya Pangeran Sabrang Lor, yang lalu digantikan saudaranya Pangeran Trenggono hingga 1546. Kerajaan Demak dilanda perebutan kekuasaan antara kalangan istana. Setelah terjadi konflik sekian lama, Keraton Demak balasannya dipindahkan ke Pajang akhir serangan Kerjaan Pajang. Hal ini pertanda berakhirnya kekuasaan Kerajaan Demak.
Ketika serangan itu, di Demak terdapat sekitar 24 orang keturunan Pangeran Trenggono yang kesannya berhijrah ke Palembang dipimpin oleh Ki Gede Sedo Ing Lautan, kemudian menempati posisi Kerajaan Palembang yang sudah lama vakum. Salah seorang suro (perwira) Demak bernama Ki Gedeng Suro juga ikut dalam rombongan yang lalu risikonya mengokohkan Kerajaan Palembang. Riwayat Kerajaan terus berlanjut sampai alhasil pada tahun 1659 Keraton Kuta Gawang, kawasan kerajaan Palembang berdomisili beserta benteng-bentengnya hancur akhir diserbu oleh VOC. Dengan demikian berakhirlah riwayat eksistensi Kerajaan Palembang. Setelah kehancuran Kerajaan Palembang, maka lahirlah Palembang yang memiliki kepribadian sendiri dan merasakan hak kemerdekaan sendiri pula, ialah Kesultanan Palembang Darussalam.(20)
b. Kesultanan Palembang Darussalam
Kesultanan Palembang Darussalam bangun selama hampir dua abad, yakni semenjak 1659 – 1825. Bedanya dengan Kerajaan Pelembang Kuno adalah Kesultanan Palembang Darussalam lebih bercorak Islam alasannya memutuskan syariat Islam serta mengakibatkan Al-Qur’an dan Hadist sebagai konstitusi pemerintahan.
Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam yakni Pangeran Ario Kesumo, yang menetapkan kekerabatan dengan Mataram. Sebagai sultan pertama, ia bergelar Sultan Ratu Abdurrahman Kholifatul Mukminin Sayidul Imam, memerintah dari tahun 1659 – 1706. Setelah itu dia menobatkan puteranya anak dari Ratu Agung sebagai Raja Kedua dengan gelar Sultan Muhammad Mansur Jayo Ing Lago (1706-1714).(21)
Silsilah Kesultanan Palembang Darusalam lengkapnya yaitu sebagai berikut :
1. Sultan Ratu Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam (1659-1706)
2. Sultan Muhammad Mansyur Jayo Ing Lago (1706-1714)
3. Sultan Agung Komarudin Sri Teruno (1714-1724)
4. Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (1724-1758)
5. Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo (1758-1776)
6. Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803)
7. Sultan Susuhunan Muhammad Badaruddin II (1803-1821)
8. Sultan Ahmad Najamuddin II / Susuhunan Husin Dhiauddin (1813-1817)
9. Sultan Ahmad Najamuddin III / Pangeran Ratu (1819-1821)
10. Sulatn Ahmad Najamuddin IV / Prabu Anom (1821-1823)
11. Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin (2006-…..) (22) (23)
Masa Kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo (Badaruddin I) Sultan ke empat Kesultanan Palembang Darussalam merupakan sosok pemimpin berwawasan luas dan memiliki pengalaman yang amat memadai. Ia pernah menggagas pentingnya memperbarui kesultanan dengan mengintrodusir pengetahuan dan teknologi yang gres, tanpa meninggalkan tradisi dan agama yang telah mapan. Di antara bentuk fisik yang diresmikan ialah Masjid Agung, Kuta Batu (Kuta Lama), Makam Lemabang, tambang timah Bangka, dll. Pada masanya syiar dan dakwah keagamaan Islam mulai berkembang pesat. Maka tidak ajaib bahwa banyak ulama di Nusantara berasal dari Kesultanan Palembang ini. Kemudian pada masa kekuasaan Sultan Muhammad Bahauddin (Sultan ke enam), juga diketahui sebagai kala pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam yang cukup berhasil. Pada masanya, perekonomian kesultanan meningkat tajam alasannya adalah Sultan sangat menguasai teknik bagaimana cara berjualan yang anggun. Bahkan menolak dagang dengan VOC, alasannya ia lebih suka berdaganag dengan Inggris, China, dan orang-orang Melayu di Riau.
Masa Pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin II
Sultan Mahmud Badaruddin II yakni Sultan Kesultanan Palembang Darussalam yang banyak menjadi obrolan kelompok hebat sejarah. Ini dikarenakan pada kurun pemerintahannya beliau dijenal sebagai sultan yang pemberani dalam melawan kolonialisme Inggris – Belanda. Karena itulah ia memperoleh gelar selaku pahlawan nasional Indonesia.
Dalam kurun pemerintahannya, ia beberapa kali memimpin pertempuran melawan Britania dan Belanda, diantaranya yang disebut Perang Menteng. Tahun 1821, dikala Belanda secara resmi berkuasa di Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II ditangkap dan diasingkan ke Ternate. Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan era ke-18, Palembang dan daerahnya menjadi incaran Britania dan Belanda. demi menjalin kontrak jualan , bangsa Eropa berniat menguasai Palembang. Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Bersamaan dengan adanya kontak antara Britania dan Palembang, hal yang sama juga dijalankan Belanda. Dalam hal ini, lewat utusannya, Raffles berusaha membujuk Sultan untuk menghalau Belanda dari Palembang.
Pertempuran melawan Belanda yang dikenal sebagai Perang Menteng (dari kata Mutinghe) pecah pada 12 Juni 1819. Perang ini ialah perang paling dahsyat pada waktu itu, di mana korban terbanyak ada pada pihak Belanda. Pertempuran berlanjut sampai keesokan hari, tetapi pertahanan Palembang tetap susah ditembus, hingga kesannya Mutinghe kembali ke Batavia tanpa menjinjing kemenangan. Sultan sudah memperhitungkan akan ada serangan balik. Karena itu, ia mempersiapkan sistem perbentengan yang tangguh. Di beberapa tempat di Sungai Musi, sebelum masuk Palembang, dibentuk benteng-benteng pertahanan yang dikomandani keluarga sultan. Kelak, benteng-benteng ini sungguh berperan dalam pertahanan Palembang. Pertempuran sungai dimulai pada tanggal 21 Oktober 1819 oleh Belanda dengan tembakan atas perintah Wolterbeek. Serangan ini disambut dengan tembakan-tembakan meriam dari tepi Musi. Pertempuran baru berlangsung satu hari, Wolterbeek menghentikan penyerangan dan karenanya kembali ke Batavia pada 30 Oktober 1819. Bulan Juni 1821 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Hari Jumat dan Minggu dimanfaatkan oleh dua pihak yang berselisih untuk beribadah. De Kock mempergunakan kesempatan ini. Ia menyuruh pasukannya untuk tidak menyerang pada hari Jumat dengan cita-cita SMB II juga tidak menyerang pada hari Minggu. Pada waktu dini hari Minggu 24 Juni, saat rakyat Palembang sedang makan sahur, Belanda secara tiba-tiba menyerang Palembang. Serangan kagetan ini tentu saja melumpuhkan Palembang sebab menerka di hari Minggu orang Belanda tidak menyerang. Setelah melalui perlawanan yang ahli, tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian pada 1 Juli 1821 berkibarlah bendera rod, wit, en blau di bastion Kuto Besak, maka resmilah kolonialisme Hindia Belanda di Palembang. Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, SMB II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia SMB II dan keluarganya diasingkan ke Ternate hingga selesai hayatnya 26 September 1852. (24)
Keruntuhan Kesultanan Palembang Darussalam
Serah terima keraton dengan seluruh kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dilakukan oleh putra Badaruddin ialah Pangeran Prabukesuma dan menantunya Pangeran II, Kramajaya kepada Kolonel Bischoff pada tanggal 1 Juli 1821. Tanggal 16 Juli 1821 Jenderal De Kock melantik Prabu Anom menjadi Sultan Najamuddin IV dan ayahnya Husin Dhiauddin menjadi Susuhunan (Najamuddin II). Kesultanan Palembang dijadikan bagian dari Karesidenan Palembang di bawah pemerintahan kolonial Belanda sesuai persetujuanyang diadakan pada tanggal 18 Mei 1823. Selanjunya Sultan Najamuddin IV mendapat honor dari Pemerintah Kolonial. Pelaksanaan persetujuanini terjadi pada tanggal 7 Oktober 1823.(25)
Tindakan Belanda ini menenteng konsekuensi kemarahan yang terpendam di keluarga Sultan maupun rakyat di pedalaman Musi Rawas. Pada bulan November 1824 terjadi reaksi atas kontraktersebut. Tanggal 21 November 1824 Sultan dibantu keluarga serta alim-ulama menyerbu ke garnisun Belanda di Kuto Besak. Serangan ini tak menenteng hasil, Sultan Najamuddin IV melarikan diri ke tempat Ogan. Akan namun alasannya ditinggalkan pengikut-pengikutnya, lalu menyerah kepada Belanda pada bulan Agustus 1825, kemudian dibawa ke Batavia dan dibuang ke pulau Banda jadinya dipindah ke Menado pedalaman. Untuk itu Belanda mengangkat keluarga (menantu) mantan Sultan Badaruddin II, Pangeran Kramo Jayo (Kramajaya) selaku Perdana Menteri, sebab saudara Badaruddin II inilah yang mempunyai kharisma di depan rakyat.(26)
Rakyat pedalaman masih menghendaki kembalinya Kesultanan Palembang dan dengan lemahnya pemerintahan timbullah pergolakan-pergolakan bahkan kolonial di pedalaman, pemberontakan khususnya di kawasan Pasemah. Adanya insiden-kejadian yang memusingkan pemerintah kolonial ini, Belanda tidak mampu mempercayai Pangeran Kramo Jayo dan Belanda menuduhnya terlibat. Kemudian ia dipecat dan dibuang ke Jawa pada tahun 1851. Dengan demikian habislah sisa-sisa peranan kekuasaan Kesultanan Palembang dan berubah dengan kekuasaan kolonial Belanda secara mantap
C. Peranan Ulama dan Perkembangan Tradisi Intelektual di Palembang
– Abdul Shamad Al-Palembani
Riwayat Hidup
Dalam pertumbuhan intelektualisme Islam Nusantara terutama pada abad 18, peranan Syekh Abdul Samad Al-Palembani tidak dapat dikesampiungkan. Ia ialah kunci pembuka dan pelopor perkembangan intelektual Nusantara. Beliau dilahirkan pada 1116 H / 1704 M di Palembang. Tentang nama lengkapnya, terdapat tiga versi nama. Yang pertama, mirip dilansir Ensiklopedia Islam, ia berjulukan lengkap Abdus Shamad Al-Jawi Al-Palimbani. Versi kedua, merujuk pada sumber-sumber Melayu, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Mizan: 1994), ulama besar ini mempunyai nama asli Abdus Shamad bin Abdullah Al-Jawi Al-Palimbani. Sementara model terakhir, bahwa jikalau merujuk pada sumber-sumber Arab, maka Syeikh Al-Palimbani bernama lengkap Sayyid Abdus Al-Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi.(27)
Pemikiran Abdul Shamad Al-Palembani(28)
Al-Palimbani berperan aktif dalam memecahkan dua dilema pokok yang dikala itu dihadapi bangsa dan tanah airnya, baik di kesultanan Palembang maupun di kepulauan Nusantara pada umumnya, yaitu menyangkut dakwah Islamiyah dan kolonialisme Barat. Mengenai dakwah Islam, dia menulis selain dua kitab tersebut di atas, yang memadukan mistisisme dengan syariat, beliau juga menulis Tuhfah al-Ragibtn ft Sayan Haqfqah Iman al-Mukmin wa Ma Yafsiduhu fi Riddah al-Murtadin (1188). Di mana dia memperingatkan pembaca agar tidak kesasar oleh aneka macam paham yang menyimpang dari Islam mirip aliran tasawuf yang mengabaikan syariat, tradisi menyanggar (memberi sesajen) dan paham wujudiyah muthid yang sedang marak pada waktu itu. Drewes rnenyimpulkan bahwa kitab ini ditulis atas usul sultan Palembang, Najmuddin, atau putranya Bahauddin sebab di permulaan kitab itu dia memang menyebutkan bahwa dia diminta seorang pembesar pada waktu itu untuk menulis kitab tersebut. Mengenai kolonialisme Barat, Al-Palimbani menulis kitab Nasihah al-Muslimin wa tazkirah al-Mu’min fi Fadail Jihad ti Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk membangkitkan semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sungguh berpengaruh pada usaha kaum Muslimun dalam melawan penjajahan Belanda, baik di Palembang maupun di tempat-tempat yang lain. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut. Masalah jihad fi sabililiah sangat banyak dibicarakan Al-Palimbani. Pada tahun 1772 M, ia mengirim dua pucuk surat terhadap Sultan Mataram (Hamengkubuwono I) dan Pangeran Singasari Susuhunan Prabu Jaka yang secara halus menganjurkan pemimpin-pemimpin negeri Islam itu meneruskan perjuangan para Sultan Mataram melawan Belanda.
Karya Tulis Al-Palembani(29)
Tercatat delapan karya tulis Al-Palimbani, dua diantaranya telah dicetak ulang beberapa kali, dua cuma tinggal nama dan naskah selebihnya masih mampu ditemukan di beberapa perpustakaan, baik di Indonesia maupun di Eropa. Pada umumnya karya tersebut mencakup bidang tauhid, tasawuf dan proposal untuk berjihad. Karya-karya Al-Palimbani selain empat buah yang telah disebutkan di atas yaitu:
1. Zuhrah al-Murid fi Bayan Kalimah al-Tauhid, ditulis pada 1178 H/1764 M di Makkah dalam bahasa Melayu, menampung problem tauhid yang ditulisnya atas perrnintaan pelajar Indonesia yang belurn menguasai bahasa Arab. Al-’Uwah al-Wusqa wa Silsilah Ulil-Ittiqa’, ditulis dalam bahasa Arab, terdiri dari wirid-wirid yang perlu dibaca pada waktu-waktu tertentu.
2. Ratib ‘Abdal-Samad, semacam buku saku yang berisi zikir, puji-pujian dan doa yang dijalankan sehabis shalat Isya. Pada dasarnya isi kitab ini nyaris sama dengan yang terdapat pada Ratib Samman. Zad al-Muttaqin fi Tauhid Rabb al-’Alamin, berisi ringkasan fatwa tauhid yang disampaikan oleh Syekh Muhammad al-Samman di Madinah.
3. Mengenai Hidayah al-Salikin yang ditulisnya dalam bahasa Melayu pada 1192 H/1778 M, sering disebut sebagai terjemahan dari Bidayah al-Hidayah karya Al-Ghazali. Tetapi di samping menerjemahkannya, Al-Palimbani juga membahas berbagai masalah yang dianggapnya penting di dalam buku itu dengan mengutip pertimbangan Al-Ghazali dari kitab-kitab lain dan para sufi yang yang lain. Di sini beliau menghidangkan suatu tata cara aliran tasawuf yang memusatkan perhatian pada cara pencapaian ma’rifah kesufian lewat pembersihan batin dan penghayatan ibadah menurut syariat Islam.
4. Sedangkan Sayr al-Salikin yang terdiri dari empat bab, juga berbahasa Melayu, ditulisnya di dua kota, ialah Makkah dan Ta’if, 1779 hingga 1788. Kitab ini selain berisi terjemahan Lubab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali, juga menampung beberapa problem lain yang diambilnya dari kitab-kitab lain. Semua karya tulisnya tersebut masih dijumpai di Perpustakaan Nasional Jakarta.
FOOT NOTE
1. Kota Palembang ialah salah satu kota (dulu tempat tingkat II berstatus kotamadya) sekaligus ialah ibu kota dari Provinsi Sumatra Selatan. Palembang adalah kota paling besar kedua di Sumatra sehabis Medan. Kota ini dahulu ialah sentra Kerajaan Sriwijaya sebelum dihancurkan oleh Majapahit. Sampai sekarang bekas area Kerajaan Sriwijaya masih ada di Bukit Siguntang, di Palembang Barat. http://www.id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palembang
2. Kerajaan Sriwijaya diketahui sebagai kerajaan laut yang pernah berdiri secara independen di daerah Kepulauan Nusantara bab barat dari era ke-7 (bahkan mungkin sebelumnya) sampai abad ke-12. Setelah didahului serbuan dari Kerajaan Chola dari India Selatan dan Kerajaan Singasari dari Jawa yang melemahkan kekuatan militernya, Sriwijaya menjadi kerajaan taklukan tetangganya, Kerajaan Melayu Jambi dan bertahan sampai berdirinya Kerajaan Majapahit, sebelum akibatnya benar-benar runtuh pada era ke-14. Pusat pemerintahannya kemungkinan besar di sekeliling Palembang, Sumatra, meskipun ada usulan lain yang menyebutkan Ligor di Semenanjung Malaya sebagai pusatnya. http://www.id.wikipedia.org/wiki/ Kerajaan_Sriwijaya
3. http://www.palembang.go.id
4. http://www.sultanpalembang.com
5. K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi Swasono, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Cet. I, Jakarta, UI Press, 1986, Hal. 126
6. Ibid, Hal. 36.
7. Ibid, Hal. 37.
8. Kesultanan Demak, yakni kesultanan Islam pertama di Jawa yang diresmikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya merupakan bagian dari kerajaan Majapahit, dan kesultanan ini ialah pencetus penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada umumnya. Kesultanan Demak mengalami kemunduran alasannya adalah terjadi kudeta antar saudara kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang diresmikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak yakni Mesjid Agung Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota Kesultanan Demak dikala ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. http://www.id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan _Demak
9. K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi Swasono, Op Cit, Hal. 40
10. http://gruop.google.co.id/group hasil goresan pena Drg.H.Muhammad Syamsu As. Dalam bukunya “Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya” terbitan PT. Lentera Basritama tahun 1996.
11. Ibid.
12. K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi Swasono, Op Cit, Hal. 126
13. Ibid, Hal. 127.
14. Ibid, Hal. 130.
15. http://www.melayuonline.com
16. http://www.infokito.wordpress.com
17. Ibid.
18. http://www.melayuonline.com, Loc Cit.
19. http://www.infokito.wordpress.com, Loc Cit.
20. http://www.melayuonline.com, Loc Cit.
21. http://www.sultanpalembang.com, Loc Cit.
22. http://www.melayuonline.com, Loc Cit.
23. http://www.sultanpalembang.com, Loc Cit.
24. http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II
25. http://www.infokito.wordpress.com
26. Ibid.
27. http://www.yadim.com.my/ulama
28. Ibid.
29. Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Kota_Palembang
http://www.id.wikipedia.org/wiki/ Kerajaan_Sriwijaya
http://www.palembang.go.id
http://www.sultanpalembang.com
K.H.O. Gadjahnata & Sri Edi Swasono. 1986. Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan. Cet. I. Jakarta : UI Press.
http://www.id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan _Demak
ttp://gruop.google.co.id/group hasil goresan pena Drg.H.Muhammad Syamsu As. Dalam bukunya “Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya” terbitan PT. Lentera Basritama tahun 1996
http://www.melayuonline.com
http://www.infokito.wordpress.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Mahmud_Badaruddin_II
http://www.yadim.com.my/ulama