Paradigma kesetaraan gender sekarang menempatkan kaum wanita memiliki kedudukan dan peran yang tidak kalah dengan kaum laki-laki, jaman sekarang ini berbagai kaum wanita yang memiliki pekerjaan baik di sektor formal maupun informal. Pekerjaan yang dulu hanya dipegang oleh para laki-laki, sekarang telah banyak dilaksanakan oleh wanita. Menjadi anggota legislatif, sopir, tukang parkir, penerbang, bankir, pebisnis, tentara, polisi, dan lain-lain.
Larangan non diskriminasi yang ada dalam UU Ketenagakerjaan berlandasakan pada Pasal 27 UUD 1945 dimana dalam pasal tersebut mengenai kedudukan warga negara tanpa adanya diskrimansi. Sebagai landasa operasional dari pasal 27 UUD 1945, selain UU Ketenagakerajaan dikontrol juga lebih lanjut dalam PP No. 8 Tahun 1981 ihwal derma upah, yang menegaskan bahwa dalam menetapkan upah tidak ada diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
Dalam keterkaitannya dengan UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketanagakerjaan pada Pasal 6 telah menertibkan tentang larangan adanya diskriminasi di dalam menemukan pekerjaan dan jabatan, walaupun di dalam ketentuan tersebut tidak diberikan penjabaran lebih lanjut mengenai batas-batas-batasan kepada diskriminasi tersebut. Sebenarnya dapat diberikan terminologi terlebih dulu kepada beberapa hal mengenai diskriminasi dan kesetaraan gender itu sendiri.
Diskriminasi dalam pengertian discrimination bekerjsama meliputi pemahaman perbedaan yang luas, tidak hanya pada jenis kelamin akan tetapi juga pada SARA (suku, agama dan ras) bahkan juga pada perbedaan pandangan politik.
Perbedaan di dalam kesempatan dan perlakuan di lapangan kerja sering diisukan sebagai selaku gosip gender, yang kemudian sering diasosiasikan selaku perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan wanita di dalam aneka macam bidang, juga dalam mendapatkan pekerjaan dan jabatan.
Untuk mengatasi gosip gender ini pemerintah Indonesia meratifikasi CEDAW (konvensi ihwal masalag gender) melalui UU No. 7 Tahun 1984 wacana Pengehasan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita, konvensi tersebut menampung hak dan keharusan menurut persamaan hak perempuan dengan pria sehingga terciptanya kesetaraan gender.
Kesetaraan gender berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2000 mencakup persamaan hak untuk berperan dan ikut serta dalam acara politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Dalam melakukan acara ekonomi pekerja wanita dan laki-laki memiliki kesempatan yang serupa untuk memperoleh jabatan, serta tidak adanya diskriminasi untuk jenis pekerjaan yang serupa.
Persamaan upah dan penempatan tenaga kerja terkait dengan penyerataan gender ialah dua issu yang menarik untuk dibahas, karena dalam fenomena yang terjadi kedua hal tersebut belum sepenuhnya dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan.
Fenomena yang terungkap antara lain mirip upah di bawah UMR, tidak diperkenankan ikut serikat buruh, kemudahan penunjang kesehatan dan keamanan kerja yang tidak tercukupi dan juga jaminan atas santunan hak reproduksinya. Data dari LBH APIK Jakarta mengungkapkan bahwa seorang buruh perempuan dipotong gajinya oleh karena kehamilannya dianggap menurunkan mutu kerja. Aturan tentang cuti haid pun banyak perusahaan yang mengabaikan, menolak (dengan memangkas gaji pekerja selama beliau mengambil cuti haid) atau kalaupun menyetujui, perusahaan melaksanakan investigasi secara fisik terlebih dulu.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pekerja di sektor formal bahkan di sektor informal, lazimnya hal ini lebih parah oleh alasannya adalah undang-undang ketenagakerjaan kita belum mengendalikan derma bagi pekerja di sektor informal. UU No. 13/2003 ihwal Ketenagakerjaan dalam beberapa pasalnya memang meberikan keistimewaan” terhadap pekerja perempuan, selain aturan cuti haid dan cuti hamil yang memang khusus diperuntukkan bagi perempuan, juga adanya larangan melakukan pekerjaan malam hari bagi pekerja perempuan di bawah 18 tahun. Wanita yang melakukan pekerjaan malam hari juga diatur secara khusus mesti memenuhi ketentuan diantar jemput oleh perusahaan.
Kesetaraan di dalam harapan penempatan tenaga kerja bagi perempuan juga mengalami hambatan yang serupa. Sepeti fenomena yang sering kita jumpai dalam perekkrutan tenaga kerja yang mensyaratkan pelamar perempuan masih lajang, adapun alasan perusahan-perusahan atau pengusaha-pengusaha menerima pekerja lajang, alasannya pekerja lajang usianya relatif muda yang tentunya diharapkan kala kerja lebih usang, enerjik, tidak banyak beban fikiran rumah tangga, performa menarik, dan pastinya tidak banyak mengalami periode cuti hamil dan melahirkan.
Selain itu penempatan tenaga kerja bagi perempuan juga terdapat diskriminasi, dimana perempuan secara umum dikuasai penempatannya berada dalam jabatan level bawah dan level menengah dibanding pria dalam perusahan-perusahaan yang sering menerima jabatan level atas, khususnya perusahaan dalam pertokoan. Misalnya sering kita temui sungguh jawang perempuan menjadi kepala personalia toko, tapi cuma diposisikan sebagai kasir atau pramuniaga. Tentunya dengan penempatan ini akan kuat pada upah yang hendak diberikan kepada pekerja wanita.
Namun menurut penulis dalam hal penempatan tenaga kerja bagi perempuan tidak terjadi kesenjangan gender yang parah, institusi pemerintah maupun swasta dikala ini telah mempunyai beberapa pimpinan seorang wanita dengan kesanggupan dan kompetensi yang serupa dengan laki-laki.
Untuk mewujudkan kesetaraan gender tentunya tidaklah mudah, penulis berasumsi bahwa tidak terwujudnya keseteraan gender terjadi alasannya adalah masih adanya persepsi stereotip, marjinalisasi wanita, dan sub ordinasi pandangan pekerja laki-laki lebih tinggi dari pekerja perempuan serta tidak adanya hukuman aturan kesenjangan gender dalam undang-undang ketenagakerjaan.
Dalam undang-undang ketenagakerjaan, perempuan diberikan bantuan hukum yang istimewa sebab dikontrol mengenai jam kerja, cuti kala haid, cuti hamil dan melahirkan serta hak menyusui anaknya pada ketika waktu kerja. Namun tunjangan istimewa ini tidak seleras dengan pinjaman sanksi jikalau terjadi pelanggaran terhadap pemberian tenaga kerja wanita dan kesenjangan gender. Untuk itu, penulis sungguh mengharapkan adanya keselaran perlidungan aturan dan pemberian sanksi pidana, dan juga perlu diadakan training serta penyuluhan dari Dinas Tenaga Kerja perihal pentingnya kesetaraan gender.
Sesuai apa yang dikatakan oleh Jeremy Bentham bahwa manusia bertindak atau berbuat untuk memperbanyak kebahagiaan dan meminimalisir penderitaan. Pekerja wanita ikut serta dalam pembangunan nasional untuk mendapatkan penghasilan dalam rangka pemenuhan keperluan hidup dan kebahagiannya. Adanya perlakuan yang bersifat diskriminatif kepada tenaga kerja wanita ialah tindakan yang menyebabkan penderitaan bagi pekerja wanita. Oleh alasannya itu perlu diwujudkan kesetaraan gender.
S.Maronie
13 Maret 2012
@K10 Cyber House
* baru isi blog lagi bantu tugas Daeng Baji