Politik seksualitas sudah tercipta pada sebelum kemerdekaan RI berdiri tepatnya pada tahun 1930an, dimana mereka sembunyi pada tembok gereja Protestan orang Batak, pada budaya mereka selama pertentangan sosial dan tidaknya berlangsung.
Hal ini terperinci bagaimana mereka memakai agama, dan budaya untuk bertahan hidup sesuai dengan impian seksualitas mereka selama hidup di Kota Pontianak. Berbagai hal terkait itu juga memang berada pada keadaan sebagai makhluk Tuhan.
Kebringasan politik pada periode kolonial Belanda, dan pada kurun kemerdekaan dengan strategi bertandingberpindah-pindah hidup, dan menggunakan agama sebagai jalan pembenaran kehidupan mereka.
Berbagai problem suku itu juga, memang berada pada asimilasi budaya di Jawa dan Sumatera, yaitu Batak Sihombing dan Jawa pertentangan yang bermunculan dengan konflik seksualitas menjadi planning kepada politik tubuh mereka selama di Pontianak menjadi catatan sejarah migrasi mereka.
Ketika hal ini, dengan aneka macam duduk perkara konflik sosial, terjadi baik itu pada tahun 1967- Orde Baru 1990an pada kurun itu, dengan pekerjaan dan bermigrasi di Negara tetangga yakni di Malaysia. Berbagai kemungkinan migrasi mereka, dengan pertentangan sosial yang dijalankan oleh kelas pekerja itu.
Persoalan yang memang mempunyai dampak pada aspek kehidupan sosial budaya di penduduk , menjadi catatan bagaimana mereka hidup dan tinggal pada suku atau budaya Batak dan agama Katolik dan Protestan. Konflik sosial akan memiliki pengaruh pada persoalan seksualitas final-simpulan ini, hal ini tidak lepas pada kehidupan sosial mereka di tengah masyarakat.
Apa yang menjadi kelancangan mereka selama di Indonesia, pastinya pada faktor kesehatan dan pendidikan yang sebelumnya berada pada persoalan di Kota asal mereka di Sumatera. Berbagai kemungkinan yang mereka perbuat, dan bagaimana mereka hidup yang ketika ini, berada pada kondisi yang lebih bringas dari suku lainnya.
Perkampungan yang tidak lepas dari mereka tinggal selama di Pontianak, telah menjelaskan bagaimana mereka hidup dengan suku Batak, Dayak, Melayu, dan Tionghoa terang bagaimana mereka hidup seharusnya menyadari akan eksistensi mereka selaku manusia, Pontianak Kalimantan Barat.
Bagaimana mereka menemukan ekonomi politik mereka, selama di Pontianak 1967- 2021. Jelas bagaimana kehidupan politik sesama mereka dalam beberapa dekade dikala ini. Seksualitas menjadi politik mereka selama hidup di aneka macam daerah, jelasnya bagaimana mereka berurbanisasi dan hidup dengan peran serta mereka di masyarakat.
Untuk menerima akreditasi dan eksitensi, maka jelas malau berperan kepada kehidupan sosial dan pertentangan sosial yang dibentuk selama di Kalimantan Barat, dan DKI Jakarta, guna mengakses pajak dari berbagai pebisnis misalnya. Kehidupan sosial yang mempunyai jangka waktu terhadap faktor kehidupan budaya yang kotor tentunya selama diperkampungan selaku penduduk akhlak.
Tanpa memiliki rasa aib kepada budaya mereka, pastinya pada aspek pendidikan dan kesehatan yang diterapkan hingga dikala ini, dan melakukan rencana kotor yang dibuat dalam mengakses pada masyarakat tradisional, dan pengetahuan yang rendah pada kurun ini di Kota Pontianak 2011.
Dengan memakai seksualitas dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa memahami adab dan nilai budbahasa bermasyarakat Sihombing, Siregar, Marpaung, Jawa dan Dayak, serta Tionghoa Pontianak – DKI Jakarta.
Dengan persepsi partai politik PDI Perjuangan, dan bukan arsitektur agama Islam di DKI Jakarta, dengan kebiadaban bangsa mereka dan budaya di Indonesia, tepatnya di Pontianak, dan berlindung dibalik hasil genetika, politik seksualitas, pada profesi dokter dan pendidik (pribumi) 2008-21, hasil pembangunan insan.