Pengertian Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja didefinisikan oleh Hani Handoko selaku keadaan emosional yang mengasyikkan atau tidak menggembirakan dimana para karyawan menatap pekerjaan mereka. Kepuasan kerja merefleksikan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini nampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. (www.scribd.com, 2009).
Wexley dan Yulk dalam bukunya Moh. As’ad menawarkan batas-batas tentang kepuasan kerja, ialah “is the way an employee feels about his job”, mempunyai arti kepuasan kerja selaku perasaan seseorang kepada pekerjaannya. Kemudian, Blum dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja ialah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor- aspek pekerjaan, pembiasaan diri dan hubungan sosial perorangan di luar kerja. Moh As’ad sendiri tidak ketinggalan juga memberikan batasan sederhana bahwa kepuasan kerja ialah perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Hal tersebut bahwa konsepsi kepuasan kerja seperti ini menyaksikan bahwa kepuasan kerja itu sebagai hasil interaksi manusia di lingkungan kerjanya. (www.scribd.com, 2009)
Keith Davis dan John W. New Strom mengartikan kepuasan kerja ialah seperangkat perasaan pegawai ihwal menggembirakan atau tidaknya pekerjaan mereka. Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja bersifat dinamik. Para pimpinan tidak mampu membuat kondisi yang dapat menimbulkan kepuasan kerja sekarang dan kemudian mengabaikannya selama bertahun-tahun. Kepuasan kerja mampu menurun secepat timbulnya, bahkan biasanya lebih cepat sehingga mewajibkan para pimpinan untuk mengamati setiap dikala. (www.scribd.com, 2009).
Kepuasan kerja yakni perilaku biasa terhadap pekerjaan seseorang yang memberikan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini semestinya mereka terima (Robbin, 2003: 78).
Greenberg dan Baron (2003: 148) mendeskripsikan kepuasan kerja selaku perilaku konkret atau negatif yang dikerjakan individu terhadap pekerjaan mereka. Selain itu, Gibson (2000: 106) menyatakan kepuasan kerja sebagai perilaku yang dimiliki para pekerja wacana pekerjaan mereka. Hal itu ialah hasil dari pandangan mereka tentang pekerjaan. (dalam Valmband, 2008)
Sementara itu, Locke (1996:187) dalam Adiko Winnetouw (2008) mengemukakan bahwa kepuasan kerja yaitu apa yang dinikmati oleh seseorang pekerja atas pekerjaan mereka, hal ini memperlihatkan bahwa sejauh mana individu mencicipi hasil yang cocok dari yang mereka kehendaki dari suatu pekerjaan sehingga nantinya akan secara eksklusif menghipnotis kinerja karyawan. Menurut Miller (1991) dalam Lintje Siehoyono (2009), kepuasan karyawan ialah sebuah ukuran kepuasan dari tiap personil dengan peran yang berlainan dalam organisasi dan meliputi keterlibatan perusahaan (company involvement), keuangan dan status kerja (financial dan job status), dan kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction).
Pada dasarnya, prinsip-prinsip kepuasan kerja diarahkan kepada pemenuhan keperluan-kebutuhan pekerja. Milton menyatakan bahwa kepuasan kerja ialah kondisi emosional aktual atau menggembirakan yang dihasilkan dari penilaian pekerja menurut pengalamannya (Milton, hal.151). Lebih jauh lagi, Milton mangatakan reaksi efektif pekerja terhadap pekerjaannya tergantung kepada taraf pemenuhan kebutuhan-keperluan fisik dan psikologis pekerja tersebut oleh pekerjaannya. Kesenjangan antara yang diterima pekerja dari pekerjaannya dengan yang diharapkannya menjadi dasar bagi munculnya kepuasan atau ketidakpuasan. (www.scribd.com, 2009)
Teori Kepuasan Kerja
Teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap sebuah pekerjaan daripada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan ihwal proses perasaan orang kepada kepuasan kerja (Valmband, 2008). Ada beberapa teori wacana kepuasan kerja, ialah:
I. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory)
Berdasarkan hasil penelitian Frederick Herzberg (Gitosudarmo & Sudita, 2000) dalam Peminatanmanajemensdm003 (2008) meyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang menghipnotis sikap seseorang kepada pekerjaannya, yakni:
A. Kondisi Dissatisfier atau Hygiene Factor
Merupakan aspek pencegah yang esensial untuk meminimalkan adanya kekecewaan, artinya bahwa tidak adanya aspek-faktor tersebut dalam organisasi condong menyebabkan adanya ketidakpuasan yang mendalam dan keberadaannya membuat sebuah kondisi kekecewaan nol atau bersikap netral. Faktor tersebut berhubungan dengan keadaan di sekeliling pekerjaan yang meliputi honor, jaminan pekerjaan, keadaan kerja, kebijakan perusahaan, mutu supervisi, kualitas kekerabatan antar langsung dengan atasan, bawahan, dan sesama serta adanya jaminan sosial. Faktor ini disebut juga sebagai aspek pemeliharaan (maintenance factor) alasannya adalah aspek ini mencegah terjadinya reaksi negatif. Jadi, faktor-aspek ini bukanlah selaku motivator tetapi merupakan kewajiban bagi perusahaan.
B. Kondisi Motivator Motivator atau aspek pemuas ialah keadaan kerja intrinsik yang mampu memotivasi prestasi kerja seseorang. Menurut Herzberg, faktor tersebut terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil eksklusif daripadanya seperti tantangan tugas, penghargaan atau hasil kerja yang baik, kesempatan untuk membuat perkembangan, perkembangan eksklusif dan pengembangan mampu memotivasi sikap. Teori dua aspek memprediksikan bahwa perbaikan dalam motivasi cuma akan nampak jikalau tindakan manajer tidak hanya dipusatkan pada keadaan ekstrinsik pekerjaan tetapi juga pada faktor kondisi intrinsik pekerjaan itu sendiri.
II. Teori Hirarki Kebutuhan Maslow
Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia di daerah kerja dimotivasi oleh sebuah harapan untuk memuaskan sejumlah kebutuhan yang ada dalam diri seseorang (Gitosudarmo dan Sudita, 2000 dalam Peminatan manajemensdm003, 2008). Teori tersebut didasarkan atas tiga asumsi dasar selaku berikut:
A. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki, mulai dari hirarki kebutuhan paling dasar hingga ke kebutuhan yang paling tinggi tingkatannya.
B. Keinginan untuk menyanggupi keperluan mampu menghipnotis perilaku seseorang dimana hanya keperluan yang belum terpuaskan yang dapat menggerakkan sikap. Kebutuhan yang telah terpuaskan tidak mampu berfungsi sebagai motivasi.
C. Kebutuhan yang lebih tinggi berfungsi sebagai motivator jika keperluan yang hirarkinya lebih rendah paling tidak sudah terpuaskan secara minimal.
Berdasarkan perkiraan di atas, hirarki kebutuhan insan menurut Maslow yakni sebagai berikut:
A. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Kebutuhan ini ialah hirarki keperluan insan yang paling dasar yang merupakan keperluan untuk mampu hidup seperti kebutuhan kuliner, minuman, perumahan, oksigen, tidur, seks, dan lain sebagainya.
B. Kebutuhan Rasa Aman (Security Needs) Apabila kebutuhan fisiologis relatif terpenuhi dan terpuaskan maka akan timbul kebutuhan yang kedua, yakni rasa kondusif. Kebutuhan rasa kondusif ini meliputi keamanan tunjangan dari bahaya kecelakaan kerja, jaminan kelangsungan pekerjaannya, dan jaminan hari tuanya pada ketika mereka tidak lagi melakukan pekerjaan .
C. Kebutuhan Sosial (Social Needs) Apabila kebutuhan fisiologis dan kebutuhan rasa kondusif telah terpuaskan secara minimal maka akan timbul keperluan sosial, yaitu kebutuhan untuk persahabatan, afiliasi, dan interaksi yang lebih bersahabat dengan orang lain. Dalam organisasi berkaitan dengan kebutuhan akan adanya kalangan kerja yang kompak, supervisi yang baik, rekreasi bersama, dan lain sebagainya.
D. Kebutuhan Penghargaan (Esteem Needs) Kebutuhan ini mencakup kebutuhan untuk dihormati, dihargai atas prestasi seseorang, pengakuan atas kemampuan dan keterampilan seseorang serta efektivitas kerja seseorang.
E. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self Actualization Needs) Aktualisasi diri ialah hirarki kebutuhan Maslow yang paling tinggi. Aktualisasi diri berhubungan dengan proses pengembangan akan kesempatanyang sebetulnya dari seseorang, kebutuhan untuk menawarkan kemampuan, kemampuan dan peluangyang dimiliki seseorang. Aktualisasi diri merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan tidak pernah terpuaskan, malahan kebutuhan akan aktualisasi ada kecenderungan potensinya meningkat alasannya adalah orang mengaktualisasi perilakunya. Seseorang yang didominasi oleh keperluan aktualisasi diri akan merasa senang dengan peran yang menantang kemampuan dan kemampuannya.
III. Teori ERG (Existence, Relatedness, and Growth)
Teori ERG dari Clayton Alderfer (www.scribd.com, 2009) ini ialah penyempurnaan dari teori yang dikemukakan Maslow dan menurut para jago dianggap lebih mendekati kondisi yang bergotong-royong menurut data empiris. Teori ini mengemukakan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan yang utama, yaitu:
A. Kebutuhan akan keberadaan (Existence)
Kebutuhan ini berbentuksemua keperluan yang termasuk dalam kebutuhan fisiologis dan material serta kebutuhan rasa kondusif, mirip kebutuhan akan kuliner, minuman, busana, perumahan, dan keamanan. Dalam organisasi, keperluan ini mirip upah, kondisi kerja, jaminan sosial, dan sebagainya.
B. Kebutuhan akan keterkaitan (Relatedness)
Kebutuhan ini meliputi semua bentuk keperluan yang berkaitan dengan kepuasan hubungan antar eksklusif di tempat kerja.
C. Kebutuhan akan pertumbuhan (Growth)
Kebutuhan ini mencakup semua kebutuhan yang berhubungan dengan pengembangan potensi seseorang.
IV. Value Theory
Menurut teori ini, kepuasan kerja terjadi pada tingkatan dimana hasil pekerjaan diterima individu mirip diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil maka akan makin puas dan sebaliknya. Kunci menuju kepuasan pada teori ini yaitu perbedaan antara faktor pekerjaan yang dimiliki dengan yang diharapkan seseorang. Semakin besar perbedaan, kian rendah kepuasan orang. (dalam Valmband, 2008)
V. Teori Keadilan (Equity Theory)
Teori Keadilan dikembangkan oleh Adams (dalam Muhaimin, 2008), salah satu asumsi Adams yaitu jikalau orang melakukan pekerjaannya dengan imbalan honor/penghasilan, mereka menimbang-nimbang wacana apa yang mereka berikan pada pekerjaannya (masukan) dan apa yang mereka terima untuk keluaran kerja mereka. Teori keadilan mempunyai empat perkiraan dasar selaku berikut:
A. Orang berupaya untuk membuat dan menjaga satu keadaan keadilan.
B. Jika dinikmati adanya keadaan ketidakadilan, keadaan ini mengakibatkan ketegangan yang memotivasi orang untuk meminimalkan atau menghilangkan.
C. Makin besar persepsi ketidakadilan, makin besar motivasinya untuk bertindak meminimalkan kondisi ketegangan itu.
D. Orang akan menyiapkan ketidakadilan yang tidak menyenangkan daripada ketidakadilan yang mengasyikkan.
VI. Teori Pertentangan (Discrepancy Theory)
Teori Pertentangan dari Locke (dalam Muhaimin, 2008) menyatakan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan terhadap beberapa faktor dari pekerjaan mencerminkan penimbangan dua nilai, yakni:
A. Pertentangan yang dipersepsikan antara apa yang diinginkan seorang individu dengan apa yang diterima.
B. Pentingnya apa yang diinginkan bagi individu. Menurut Locke seorang individu akan merasa puas atau tidak puas merupakan sesuatu yang eksklusif, tergantung bagaimana ia mempersiapkan adanya kesesuaian atau pertentangan antara impian dan hasil keluarnya.
VII. Teori Kepuasan Bidang/Bagian (Facet Satisfication)
Model Lawler dari kepuasan bidang berhubungan dekat dengan Teori Keadilan dari Adams, berdasarkan model Lawler orang akan puas dengan bidang tertentu dari pekerjaan mereka bila jumlah dari bidang mereka persepsikan harus mereka terima untuk melaksanakan kerja mereka sama dengan jumlah yang mereka persepsikan dari yang secara kasatmata mereka terima. Jumlah dari bidang yang dipersepsikan orang sebagai sesuai tergantung dari bagaimana orang mempersepsikan masukan pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan, dan bagaimana mereka mempersepsikan masukan dan keluaran dari orang lain yang dijadikan pembanding. (dalam Muhaimin, 2008)
VIII. Teori Proses-Bertentangan (Opponent-Process Theory)
Teori Proses-Bertentangan dari Landy menatap kepuasan kerja dari perspektif yang berlainan secara mendasar dari pendekatan yang lain. Teori ini menekankan bahwa orang ingin menjaga suatu keseimbangan emosional (emotional equilibrium) berdasarkan perkiraan bahwa kepuasan kerja yang beragam secara mendasar dari waktu ke waktu, karenanya yakni bahwa pengukuran kepuasan kerja perlu dilakukan secara periodik dengan interval waktu yang sesuai. (dalam Muhaimin, 2008)
Faktor Kepuasan Kerja
Banyak aspek yang sudah diteliti selaku faktor-aspek yang memilih kepuasan kerja, diantaranya yang disebutkan dalam Muhaimin (2008):
I. Ciri-ciri intrinsik pekerjaan
Menurut Locke, ciri-ciri intrinsik dari pekerjaan yang menentukan kepuasan kerja yaitu keanekaragaman, kesulitan, jumlah pekerjaan, tanggung jawab, otonomi, kendali terhadap sistem kerja, kemajemukan, dan kreativitas. Terdapat satu bagian yang ditemui pada ciri-ciri intrinsik, yakni tantangan mental. Berdasarkan survei diagnostik, diperoleh hasil ihwal lima ciri yang menunjukkan kaitannya dengan kepuasan kerja untuk berbagai macam pekerjaan, ciri-ciri tersebut yakni keragaman keahlian, jati diri tugas (task identity), tugas yang penting (task significance), otonomi, dan pemberian umpan balik pada pekerjaan membantu memajukan tingkat kepuasan kerja.
Model karakteristik pekerjaan dari motivasi kerja menawarkan kekerabatan yang dekat dengan kepuasan kerja. Kepuasan kerja bersama-sama dengan motivasi internal yang tinggi. Konsep yang diajukan oleh Herzberg yang menggolongkan ciri-ciri pekerjaan intrinsik ke dalam kelompok motivator.
II. Gaji penghasilan, imbalan yang dirasakan adil (equitable reward)
Uang memang mempunyai arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Dengan memakai Teori Keadilan dari Adams dijalankan banyak sekali penelitian dan salah satu karenanya yaitu bahwa orang yang mendapatkan gaji yang terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami disterss atau ketidakpuasan. Yang penting yakni sejauh mana honor yang diterima dicicipi adil, jika gaji dipersepsikan selaku adil menurut tuntutan kerja, tingkat pekerjaan, tingkat kemampuan individu, dan persyaratan gaji yang berlaku untuk kalangan pekerjaan tertentu maka akan ada kepuasan kerja. Uang atau imbalan akan mempunyai efek terhadap motivasi kerjanya kalau besarnya imbalan disesuaikan dengan tinggi prestasi kerjanya.
III. Penyeliaan
Locke memperlihatkan kerangka kerja teoritis untuk memahami kepuasan tenaga kerja dengan penyeliaan, dia menemukan dua jenis dari kekerabatan atasan- bawahan, ialah hubungan fungsional dan keseluruhan (entity). Hubungan fungsional merefleksikan sejauh mana penyelia menolong tenaga kerja untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar eksklusif yang mencerminkan perilaku dasar dan nilai-nilai yang serupa. Penyeliaan juga ialah salah satu aspek kalangan hygiene dari Herzberg.
IV. Rekan-rekan sejawat yang menunjang
Hubungan yang ada antar pekerja yaitu kekerabatan ketergantungan sepihak yang bercorak fungsional. Kepuasan kerja yang ada pada para pekerja muncul bila terjadi hubungan yang harmonis dengan tenaga kerja yang lain. Di dalam kalangan kerja dimana pekerja mesti bekerja selaku satu tim, kepuasan kerja mereka mampu timbul sebab keperluan-keperluan tingkat tinggi mereka (kebutuhan harga diri, keperluan aktualisasi) mampu dipenuhi dan mempunyai dampak pada motivasi kerja mereka.
Faktor-aspek yang dapat mengakibatkan kepuasan kerja menurut Harold E. Burt (Moh. As’ad, 1980: 109) yaitu:
I. Faktor perorangan, mirip umur, jenis kelamin, dan perilaku eksklusif terhadap pekerjaan.
II. Faktor korelasi antar karyawan, seperti kekerabatan antara manajer dan karyawan, kekerabatan sosial diantara sesama karyawan, sugesti dari sobat sekerja, faktor fisik dan kondisi daerah kerja, emosi dan situasi kerja
III. Faktor eksternal, mirip keadaan keluarga, wisata, dan pendidikan.
Menurut Baron & Byrne (1994: 45) dalam Eman (2006), ada dua kalangan faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja:
I. Faktor pertama, adalah aspek organisasi yang berisi akal perusahaan dan iklim kerja.
II. Faktor kedua, ialah aspek individual atau karakteristik karyawan. Pada faktor perorangan, terdapat dua prediktor penting kepada kepuasan kerja, ialah status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang berkala akan banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain, hal itu memiliki arti dua faktor tersebut mampu menyebabkan kekecewaan kerja dan karyawan yang mempunyai ketertarikan dan tantangan kerja akan merasa puas dengan hasil kerjanya kalau mereka dapat menyelesaikan dengan optimal.
Sedangkan menurut Blum (1956) dalam As’ad (2004: 114) dalam Eman (2006), faktor-faktor yang memperlihatkan kepuasan kerja sebagai berikut:
I. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, akhlak, dan keinginan.
II. Faktor sosial, meliputi korelasi kekeluargaan, pandangan masyarakat, peluang berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, keleluasaan berpolitik, dan korelasi kemasyarakatan.
III. Faktor utama dalam pekerjaan, mencakup upah, pengawasan, ketentraman kerja, keadaan kerja, dan potensi untuk maju. Selain itu, juga penghargaan kepada kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam menuntaskan pertentangan antar manusia, perasaan diperlakukan adil, baik yang menyangkut langsung maupun tugas.
Berbeda dengan pertimbangan Blum, usulan lain dari Gilmer (1966) dalam As’ad (2004: 115) dalam Eman (2006) tentang aspek-faktor yang menghipnotis kepuasan kerja sebagai berikut:
I. Kesempatan untuk maju
Dalam hal ini, ada tidaknya potensi untuk menemukan pengalaman dan kenaikan kesanggupan selama bekerja. Analisis
II. Keamanan kerja
Faktor ini sering disebut selaku penunjang kepuasan kerja, baik bagi karyawan pria maupun perempuan. Keadaan yang aman sungguh menghipnotis perasaan karyawan selama bekerja.
III. Gaji
Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan dan jarang orang mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah duit yang diperolehnya.
IV. Perusahaan dan administrasi
Perusahaan dan manajemen yang bagus yakni yang bisa menawarkan suasana dan keadaan kerja yang stabil. Faktor ini yang memilih kepuasan kerja karyawan.
V. Pengawasan (Supervise)
Bagi karyawan, supervisor dianggap selaku figur ayah sekaligus atasannya. Supervisi yang jelek dapat berakibat ketidakhadiran dan turnover.
VI. Faktor intrinsik dari pekerjaan
Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan kemampuan tertentu. Sukar dan gampangnya serta pujian kepada tugas akan memajukan atau mengurangi kepuasan.
VII. Kondisi kerja
Termasuk disini ialah keadaan kawasan, ventilasi, penyinaran, kantin, dan kawasan parkir.
VIII. Aspek sosial dalam pekerjaan
Merupakan salah satu perilaku yang sulit digambarkan, tetapi dipandang selaku faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam melakukan pekerjaan .
IX. Komunikasi
Komunikasi yang tanpa hambatan antar karyawan dengan pihak administrasi banyak dipakai sebagai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini, adanya kesediaan pihak atasan untuk mau mendengar, mengerti, dan mengakui usulan atau pun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menjadikan rasa puas terhadap pekerjaan.
X. Fasilitas
Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan ialah persyaratan sebuah jabatan dan kalau mampu dipenuhi akan menjadikan rasa puas.
Pendapat lain dikemukakan oleh Ghiselli dan Brown (Eman, 2006), mereka mengemukakan adanya lima aspek yang menyebabkan kepuasan kerja, yaitu:
I. Kedudukan (posisi)
Umumnya insan berpendapat bahwa seseorang yang melakukan pekerjaan pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas dibandingkan dengan karyawan yang melakukan pekerjaan pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, namun justru pergeseran dalam tingkat pekerjaanlah yang mensugesti kepuasan kerja.
II. Pangkat (golongan)
Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan) sehingga pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada peningkatan upah maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai peningkatan pangkat dan pujian terhadap kedudukan yang gres itu akan merubah sikap dan perasaannya.
III. Umur
Dinyatakan bahwa ada korelasi antara kepuasan kerja dengan umur karyawan. Umur diantara 25 tahun hingga 34 tahun dan umur 40 tahun hingga 45 tahun ialah umur-umur yang bisa menyebabkan perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
IV. Jaminan finansial dan jaminan sosial
Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan kuat kepada kepuasan kerja.
V. Mutu pengawasan
Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan melalui perhatian dan kekerabatan yang bagus dari pimpinan terhadap bawahan sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya ialah bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).
Sementara, Schemerhorn (Wikipedia, 2008) mengidentifikasi lima aspek yang terdapat dalam kepuasan kerja, yakni:
I. Pekerjaan itu sendiri (Work it self)
Setiap pekerjaan membutuhkan sebuah keterampilan tertentu. Sukar tidaknya sebuah pekerjaan serta perasaan seseorang bahwa keahliannya diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan tersebut akan mengembangkan atau menghemat kepuasan kerja.
II. Penyelia (Supervision)
Penyelia yang baik mau menghargai pekerjaan bawahannya. Bagi bawahan, penyelia sering dianggap selaku figur ayah atau ibu dan sekaligus atasannya.
III. Teman sekerja (Workers)
Merupakan aspek yang bekerjasama dengan relasi pegawai dengan atasannya dan dengan pegawai lain, baik yang serupa maupun yang berbeda jenis pekerjaannya.
IV. Promosi (Promotion)
Merupakan aspek yang berafiliasi dengan ada tidaknya potensi untuk memperoleh peningkatan karir selama melakukan pekerjaan .
V. Gaji/upah (Pay) Merupakan aspek pemenuhan kebutuhan hidup pegawai yang dianggap
patut atau tidak.
Faktor-aspek lain yang terdapat dalam kepuasan kerja disebutkan oleh Stephen Robins (Wikipedia, 2008), antara lain:
I. Kerja yang secara mental menantang
Karyawan cenderung menyukai pekerjaan yang memberi mereka peluang untuk memakai keterampilan dan kemampuan mereka dan memperlihatkan peran, keleluasaan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka melakukan. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, namun terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, pada umumnya karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan
II. Ganjaran yang pantas
Para karyawan menginginkan metode upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat selaku adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keahlian individu, dan tolok ukur pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan. Tentu saja tidak semua orang mengejar-ngejar uang, banyak orang bersedia menerima baik uang yang lebih kecil untuk melakukan pekerjaan dalam lokasi yang lebih dikehendaki atau dalam pekerjaan yang kurang menuntut atau memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam kerja yang mereka lakukan dan jam-jam kerja. Tetapi, kunci kepuasan bukanlah jumlah mutlak yang dibayarkan, yang lebih penting adalah pandangan keadilan. Oleh sebab itu, individu-individu yang mempersepsikan bahwa keputusan penawaran spesial dibentuk dalam cara yang adil (fair and just) kemungkinan besar akan menjadikan kepuasan dari pekerjaan mereka.
III. Kondisi kerja yang mendukung
Karyawan peduli akan lingkungan kerja, baik untuk kenyamanan eksklusif maupun untuk mempermudah melakukan tugas. Studi-studi menunjukkan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan sekitar fisik yang tidak berbahaya atau menyibukkan. Temperatur (suhu), cahaya, kegaduhan, dan aspek lingkungan lain sebaiknya tidak esktrem (terlampau banyak atau sedikit).
IV. Rekan kerja yang mendukung
Orang-orang mendapatkan lebih ketimbang sekedar duit atau prestasi yang berwujud dari dalam kerja. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi keperluan akan interaksi sosial. Oleh alasannya itu, tidaklah mengagetkan kalau memiliki rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan kerja yang meningkat. Rekan sekerja yang menciptakan suasana erat dan mendukung akan menyebabkan kepuasan kerja karyawan (Gibson, 1996 dalam Syamsu Aprizal dkk., 2008).
Perilaku seorang atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya studi menerima bahwa kepuasan karyawan ditingkatkan kalau penyelia langsung bersifat ramah dan dapat mengerti, memberikan kebanggaan untuk kinerja yang bagus, menyimak pendapat karyawan, dan memberikan sebuah minat eksklusif pada mereka. Rekan sekerja dan supervisi mempunyai kekerabatan yang kasatmata dengan kepuasan kerja (De Santis, 1996 dalam Syamsu Aprizal dkk., 2008).
V. Kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan Pada hakikatnya, orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya menerima bahwa mereka mempunyai bakat dan kesanggupan yang tepat untuk menyanggupi permintaan dari pekerjaan mereka. Dengan demikian, akan lebih besar kemungkinan untuk sukses pada pekerjaan tersebut dan karena kesuksesannya itu mengakibatkan berpotensi lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari dalam pekerjaan mereka.
Selain itu, ada lima faktor yang mampu mensugesti kepuasan kerja (Kreitner dan Kinicki: 225) dalam Valmband (2008), yaitu:
I. Pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment)
Kepuasan ditentukan oleh tingkatan karakteristik pekerjaan memperlihatkan peluang pada individu untuk menyanggupi kebutuhannya.
II. Perbedaan (Discrepancies)
Kepuasan merupakan sebuah hasil menyanggupi impian. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang diharapkan dengan apa yang diperoleh individu dari pekerjaannya. Bila harapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya, individu akan puas jikalau menerima faedah diatas keinginan.
III. Pencapaian nilai (Value attainment)
Kepuasan merupakan hasil dari pandangan pekerjaan menawarkan pemenuhan nilai kerja perorangan yang penting.
IV. Keadilan (Equity)
Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di kawasan kerja. Jika karyawan dihargai secara adil sesuai dengan prestasi kerjanya maka mereka akan merasa tenteram dalam bekerja dan tidak memiliki tendensi untuk berpindah pekerjaan di kawasan lain (Siehoyono, 2004 dalam Lintje Siehoyono, 2009)
V. Komponen genetik (Genetic components)
Kepuasan kerja ialah fungsi sifat pribadi dan aspek genetik. Hal ini menyiratkan perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menerangkan kepuasan kerja disamping karakteristik lingkungan pekerjaan.
Penelitian yang dilaksanakan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam Eman (2006) mendapatkan bahwa hal-hal yang mengakibatkan rasa puas yaitu prestasi, penghargaan, peningkatan jabatan, dan kebanggaan.
Pendekatan Wexley dan Yulk (1977: 35) dalam As’ad (2004: 112) dalam Eman (2006) beropini bahwa pekerjaan yang terbaik bagi penelitian-penelitian wacana kepuasan kerja yaitu dengan memperhatikan, baik aspek pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja, yakni gaji, kondisi kerja, kualitas pengawasan, sahabat sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja, dan peluang untuk maju serta aspek individu yang besar lengan berkuasa yakni kebutuhan-keperluan yang dimilikinya, nilai-nilai yang dianut, dan sifat-sifat kepribadian.
Ruth Johnston (1975) menekankan bahwa keperluan akan uang dan keadaan fisik relatif tidak penting jika dua hal tersebut paling tidak hingga pada taraf tertentu sudah tercukupi. Lebih lanjut lagi, penelitian yang dijalankan Johnston menunjukkan urutan preferensi diantara pekerja pria untuk pekerjaan yang mempesona adalah rekan sekerja yang ramah, manajemen yang efisien, honor yang tinggi, dan penyelia yang sarat perhatian. Sedangkan bagi pekerja wanita, urutan preferensinya bergerak dari rekan sekerja yang ramah, penyelia yang sarat perhatian, manajemen yang efisien, dan gaji yang tinggi. Dalam observasi selanjutnya (Johnston, 1973) menawarkan bahwa pekerja menganggap keramahan dan perhatian pada pekerjaan selaku suatu sifat yang istimewa (Fraser, hal. 55). (www.scribd.com, 2009)
Dari kenyataan-kenyataan di atas, terlihat bahwa faktor-faktor kekerabatan sosial yang bagus dan penghargaan terhadap prestasi kerja merupakan aspek-faktor yang sangat memilih kepuasan kerja. Faktor gaji dan imbalan lainnya meskipun masih dianggap penting, tidak menemukan pementingan yang khusus. Dengan demikian, untuk memajukan kepuasan kerja kedua hal itu mesti tercukupi terlebih dahulu. (www.scribd.com, 2009)
Faktor Ketidakpuasan Karyawan
Hasil observasi yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) dalam Bahan kuliah (2009), aspek penyebab ketidakpuasan karyawan atau menurunnya motivasi kerja diantaranya:
I. Monotonnya pekerjaan Sebagian besar karyawan sudah melakukan pekerjaan diatas sepuluh tahun di tempat beliau melakukan pekerjaan . Hal ini mampu menimbulkan kejenuhan yang tinggi.
II. Fasilitas kerja yang kurang AC yang kurang maksimal, lingkungan yang kotor, bangku dan meja kerja yang kurang tenteram, logistik yang menghilang, dan sebagainya.
III. Tingkat risiko Polutan, unek-unek pelanggan (pihak yang eksklusif bersentuhan dengan
konsumen), dan faktor pengaturan kerja shift.
IV. Beban kerja Semakin bertambah konsumen yang dilayani dan makin bertambah usia petugas, di segi lain dengan alasan efisiensi semakin menyusut jumlah tenaga operasional, dan justru sebaliknya terjadi penumpukkan tenaga di salah satu bab.
V. Tingkat penawaran khusus yang lambat.
VI. Kurang kepedulian atasan langsung dalam memperlihatkan motivasi.
Penelitian yang dijalankan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam Eman (2006) mendapatkan bahwa faktor-aspek yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu kebijaksanaan perusahaan, supervisor, kondisi kerja, dan honor.
Ada empat cara tenaga kerja mengungkapkan kekecewaan (Robbins, 2003) dalam Valmband (2008), adalah:
I. Respon Voice (aktif dan konstruktif: memperlihatkan saran), yaitu memperlihatkan anjuran perbaikan dan mendiskusikan masalah dengan atasan untuk memperbaiki kondisi.
II. Respon Loyalty (pasif: tidak melaksanakan apapun/konstruktif: impian kondisi membaik), yakni menunggu secara pasif hingga kondisi menjadi lebih baik tergolong membela perusahaan terhadap kritik dari luar.
III. Respon Neglect (pasif: tak mautahu/destructive: membiarkan keadaan memburuk), yaitu perilaku dengan membiarkan keadaan menjadi lebih buruk, mirip sering bolos atau kian sering menciptakan kesalahan.
IV. Respon Exit (destructive: karyawan keluar/aktif: mencari pekerjaan gres), yakni meninggalkan pekerjaan tergolong mencari pekerjaan lain.
Mengukur Kepuasan Kerja
Pengukuran kepuasan kerja ternyata sungguh beraneka ragam, baik dari segi analisa statistik maupun dari sisi pengumpulan datanya. Informasi yang didapat dari kepuasan kerja ini lazimnya melalui tanya jawab secara individual dengan angket maupun dengan pertemuan golongan kerja (Riggio, 2005). Dalam semua kasus, kepuasan kerja diukur dengan kuesioner laporan diri yang diisi oleh karyawan. Pengukuran kepuasan kerja mampu dilaksanakan lewat beberapa pendekatan, adalah kepuasan kerja dilihat selaku rancangan global, kepuasan kerja dilihat sebagai rancangan permukaan, dan sebagai fungsi kebutuhan yang terpenuhkan. (dalam Valmband, 2008)
I. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai rancangan global
Konsep ini ialah konsep satu dimensi, semacam ringkasan psikologi dari semua faktor pekerjaan yang disenangi atau tidak digemari dari sebuah jabatan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner satu pertanyaan (soal). Cara ini mempunyai sejumlah kelebihan, diantaranya yakni tidak ada ongkos pengembangan dan dapat dimengerti oleh mereka yang ditanyai. Selain itu, cara ini cepat, mudah diadministrasikan dan diberi nilai. Kuesioner satu pertanyaan menawarkan ruang yang cukup banyak bagi penafsiran langsung dari pertanyaan yang diajukan. Responden akan menjawab berdasarkan gaji, sifat pekerjaan, iklim sosial organisasi, dan sebagainya.
II. Pengukuran kepuasan kerja dilihat sebagai rancangan permukaan
Konsep ini memakai rancangan facet (permukaan) atau bagian yang menilai bahwa kepuasan karyawan dengan aneka macam aspek situasi kerja yang berlawanan dapat bermacam-macam secara bebas dan harus diukur secara terpisah. Diantara konsep facet yang mampu diperiksa yakni beban kerja, keamanan kerja, kompetensi, kondisi kerja, status dan prestise kerja, kecocokan rekan kerja, kecerdikan penilaian perusahaan, praktek administrasi, relasi atasan- bawahan, otonomi dan tanggung jawab jabatan, peluang untuk menggunakan pengetahuan dan keahlian, serta potensi untuk pertumbuhan dan pengembangan
III. Pengukuran kepuasan kerja dilihat selaku keperluan yang terpenuhkan
Merupakan suatu pendekatan terhadap pengukuran kepuasan kerja yang tidak menggunakan asumsi bahwa siapa saja mempunyai perasaan yang serupa perihal aspek tertentu dari suasana kerja, pendekatan ini dikembangkan oleh Porter. Kuesioner Porter didasarkan pada pendekatan teori kebutuhan akan kepuasan kerja. Kuesioner ini berisikan 15 pertanyaan yang berhubungan dengan keperluan akan rasa aman, penghargaan, otonomi, sosial, dan aktualisasi diri.
Berdasarkan kebutuhan dan pandangan orang itu sendiri perihal jabatannya, tiap responden menjawab tiga pertanyaan mengenai masing-masing pertanyaan: pertama, ’berapa yang ada kini’, kedua, ’berapa seharusnya’, dan ketiga, ’bagaimana pentingnya hal ini bagi saya’. Berdasarkan tanggapan terhadap pertanyaan tentang pemenuhan kebutuhan kerja tersebut, kepuasan kerja diukur dengan perbedaan antara ’berapa yang ada sekarang’ dan ’berapa yang seharusnya’, kian kecil perbedaan maka kian besar kepuasannya. Nilai yang terpisah dijumlah untuk masing-masing dari lima klasifikasi kebutuhan. Pertanyaan ’bagaimana pentingnya hal ini bagi aku’ menawarkan ukuran kekuatan relatif dari masing-masing keperluan bagi tiap responden.
Sementara, menurut Robbins (Wibowo, 2007) dalam Valmband (2008) terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan pengukuran kepuasan kerja, yakni:
I. Single Global Rating, adalah meminta individu menyikapi atas suatu pertanyaan mirip dengan memikirkan semua hal, seberapa puas anda dengan pekerjaan anda. Individu mampu menjawab puas dan tidak puas.
II. Summation Scoren, yaitu dengan mengidentifikasi elemen kunci dalam pekerjaan dan menanyakan perasaan pekerja tentang masing-masing unsur. Faktor spesifik yang diperhitungkan yaitu sifat pekerjaan, supervisi, upah, potensi penawaran spesial, dan kekerabatan dengan rekan kerja.
Pendapat lain, Greenberg dan Baron (Valmband, 2008) memperlihatkan tiga cara untuk melakukan pengukuran kepuasan kerja, yakni:
I. Rating Scale dan Kuesioner
Dengan metode ini, orang menjawab pertanyaan dari kuesioner yang menggunakan rating scales sehingga mereka melaporkan reaksi mereka pada pekerjaan mereka.
II. Critical Incidents
Individu menerangkan peristiwa yang menghubungkan pekerjaan mereka yang dinikmati khususnya memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka dipelajari untuk mengungkap tema yang mendasari. Sebagai pola, misalnya apabila banyak pekerja yang menyebutkan situasi pekerjaan dimana mereka mendapatkan perlakuan kurang baik oleh supervisor atau sebaliknya.
III. Interviews.
Dengan melaksanakan wawancara tatap paras dengan pekerja dapat diketahui sikap mereka secara langsung dan mampu menyebarkan lebih dalam dengan memakai kuesioner yang terorganisir.
Untuk memberikan kepuasan karyawan, aspek-faktor penunjang harus ditimbulkan dan meniadakan aspek-aspek yang tidak mendukung semaksimal mungkin. Banyak perusahaan kelas dunia meletakkan perhatian yang serius untuk mengurus kepuasan para karyawannya. Kini, kian banyak perusahaan melakukan sejumlah inisiatif untuk membuat puas para best talents mereka sehingga tetap betah bertahan dan enjoy dalam melakukan pekerjaan . Salah satu inisiatif itu contohnya ialah dengan melaksanakan survei kepuasan karyawan secara reguler. (Yodhia Antariksa, 2008).
Dari analisa tersebut, dapat diketahui dalam aspek apa tingkat kepuasan berada pada posisi yang kurang baik. Dengan demikian, pihak perusahaan bisa lebih akurat mengenali faktor apa yang paling diprioritaskan untuk dibenahi. Melalui survei ini diharapkan pihak perusahaan bisa memperoleh informasi yang berharga dalam merancang program kepuasan yang sempurna target. (Yodhia Antariksa, 2008).
Meningkatkan Kepuasan Kerja
Greenberg dan Baron (2003:159) dalam Valmband (2008) memberikan usulan untuk mencegah ketidakpuasan dan meningkatkan kepuasan dengan cara sebagai berikut:
I. Membuat pekerjaan yang menggembirakan
Karena pekerjaan yang mereka senang kerjakan ketimbang yang menjemukan akan membuat orang menjadi lebih puas.
II. Orang dibayar dengan jujur Orang yang percaya bahwa sistem pengupahan/penggajian tidak jujur cenderung tidak puas dengan pekerjaannya.
III. Mempertemukan orang dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya Semakin banyak orang menemukan bahwa mereka dapat memenuhi kepentingannya di kawasan kerja, makin puas mereka dengan pekerjaannya.
IV. Menghindari kebosanan dan pekerjaan berulang-ulang Kebanyakan orang condong mendapatkan sedikit kepuasan dalam melaksanakan pekerjaan yang sangat membosankan dan berulang sebab orang jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka mendapatkan sukses dengan secara bebas melaksanakan kontrol atas cara mereka melaksanakan sesuatu.
Sedangkan berdasarkan Riggio (Valmband, 2008), kenaikan kerja dapat dijalankan dengan cara selaku berikut:
I. Melakukan pergeseran struktur kerja
Misalnya, dengan melakukan perputaran pekerjaan (job rotation), yaitu suatu metode pergeseran pekerjaan dari salah satu tipe peran ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara kedua yang mesti dikerjakan yaitu dengan pemekaran (job enlargement), atau ekspansi satu pekerjaan selaku embel-embel dan bermacam-macam tugas pekerjaan. Praktek untuk para pekerja yang mendapatkan tugas-peran komplemen dan bermacam-macam dalam perjuangan untuk menciptakan mereka merasakan bahwa mereka adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi.
II. Melakukan pergeseran struktur pembayaran
Perubahan tata cara pembayaran ini dilaksanakan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu pembayaran dimana para pekerja digaji menurut wawasan dan keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dikerjakan berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji berdasarkan performance-nya, pencapaian finansial pekerja menurut pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Dan pembayaran yang ketiga ialah gainsharing atau pembayaran menurut pada kesuksesan kelompok (laba dibagi terhadap seluruh anggota kelompok).
III. Pemberian jadwal kerja yang fleksibel
Dengan menunjukkan kontrol pada para pekerja tentang pekerjaan sehari-hari mereka, yang sungguh penting untuk mereka yang bekerja di kawasan padat dimana pekerja tidak bisa melakukan pekerjaan sempurna waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada belum dewasa. Hal ini dapat dijalankan dengan compressed work week (pekerjaan mingguan yang dipadatkan) dimana jumlah pekerjaan per harinya dikurangi sedangkan jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pekerja mampu memadatkan pekerjaannya yang hanya dijalankan dari hari Senin sampai Jumat sehingga mereka mampu memiliki waktu longgar untuk liburan. Cara yang kedua yaitu dengan metode penjadwalan dimana seorang pekerja melakukan sejumlah jam khusus per ahad (flextime), namun tetap memiliki kelonggaran kapan mulai dan mengakhiri pekerjaannya.
IV. Mengadakan acara yang mendukung
Perusahaan menyelenggarakan acara-acara yang dirasakan dapat memajukan kepuasan kerja para karyawan, mirip health center, profit sharing, employee sponsored child care, dan sebagainya.