Kepemimpinan Dalam Perspektif Islam

Kepemimpinan ialah bagian yang tidak mampu dihindari dalam hidup ini. Sudah ialah fitrah insan untuk selalu membentuk suatu komunitas. Dan dalam sebuah komunitas selalu diharapkan seorang pemimpin. Pemimpin yaitu orang yang dijadikan acuan ketika komunitas tersebut. Pemimpin ialah orang yang menunjukkan visi dan tujuan. Dalam suatu kelompok katakanlah organisasi, bila tidak mempunyai tujuan sama saja dengan membubarkan organsasi tersebut. Hal terebut bahkan berjalan hingga kedalam tataran Negara. Dan hanya pemimpinlah yang mampu mengontrol dan mengarahkan semua itu. Dan sejarah teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan yang dicontohkan islam adalah model terbaik. Model kepemimpinan yang disebut selaku Prophetic leadership yang acuan nyatanya yaitu orang teragung sepanjang sejarah kemanusiaan yakni Rasullullah SAW.

A. Latar Belakang
Bila kita cermati kehidupan Rasulullah kita akan memperoleh aneka macam keutamaan dan pelajaran yang seolah-olah tidak pernah habis. Dalam hal kepemimpinan lihatlah bagaimana Rasullah membangun keyakinan dan kehormatan dari kaumnya. Sebelum menjadi nabi, Rasullullah sudah mempunyai gelar al-amin yang artinya dapat dipercaya. Sebuah gelar yang tidak mampu dibilang biasa alasannya menununjukkan dapat dipercaya dia di mata kaumnya. Kemudian lihatlah bagaimana daya kepemimpinan beliau saat menuntaskan perkara pengembalian Hajar Aswad ke dalam ka’bah setelah direnovasi alasannya banjir. Semua orang bergembira alasannya beliaulah yang terpilih menjadi hakim pada kasus tersebut. Dan cara penyelesaiannya pun sungguh pintar dan menggembirakan semua pihak.

Setelah menjadi pemimpin tertinggi Negara Islam madinah pun Rasullullah tetap menawarkan daya kepemimpinan yang luar biasa. Berkali-kali beliau memimpin sendiri pasukan perang untuk menghadapi orang-orang kafir, menuntaskan dilema-problem yang terjadi di badan umat yang semakin kompleks, menjadi pemimpin bagi bermacam-macam suku arab dan agama yang ada di madinah masa itu. Namun, di tengah-tengah kesibukannya dalam mengorganisir Negara, beliau masih sempat mencandai istri, bahkan menjahit sendiri terompahnya yang putus dan gamisnya yang robek. Dan semua mutu tersebut menyebabkan Rasullullah selaku pemimpin terhebat sepanjang sejarah.

Dalam waktu singkat, 23 tahun kurang lebih, risalahnya sudah menembus batas-batas logika manusia. Barisan-barisan inti yang kokoh siap melanjutkan risalah yang dibawanya. Pengikut ajarannya pun semakin kian banyak. Dalam waktu sekejap sejarah mencatat bahwa fatwa islam yang dibawanya sudah meluas dari jazirah kecil tak ternama menjadi sepertiga dunia yang sejahtera dan digdaya. Bagaimana Rasulullah menjadi mampu menjadi pemimpin yang demikian hebatnya? Jawabannya hanya satu, karena Rasulullah memimpin dengan kekuatan spiritualitasnya, bukan alasannya posisi, jabatan, atau sesuatu yang dibeli dengan duit dan kekuasaan. Yang ditaklukan oleh Rasulullah bukan posisi atau jabatan namun hati para pengikutnya. Dalam teori kepemimpinan modern, versi pemimpin seperti ini dimanakan level 5th leader[1].

Level 5th leader yaitu level pemimpin yang sudah melewati level-level sebelumnya. Pada tahap ini seorang menjadi pemimpin karena kekuatan personalnya dan visi serta cita-citanya. Bandingkan dengan orang yang memimpin dengan mengandalkan posisi dan jabatannya atau dia menjadi pemimpin sebab “berbelanja” kepemimpinan itu dengan harga yang mahal. Mungkin hal inilah yang menyebabkan para sobat begitu menghormati beliau. Bahkan musuh beliau gentar dengan berkata bahwa tidak ada pemimpin yang diperlakukan oleh orang yang dipimpinnya sebagaimana Rasullullah diperlakukan oleh para sahabatnya.

Hal ini terlihat pada sirah dikala Rasulullah akan berangkat menunaikan ibadah haji ke mekkah sesudah perang khandaq. Jawaban Abu Bakar yang kasar ketika Urwah bin Mas’ud berniat menciptakan ragu Rasulullah terkait kesetiaan umat islam. Bagaimana mungkin Abu bakar yang sedemikian lembut mampu berkata “Isaplah kerikil berhalamu, si Latta, apakah kau kira kami akan berlari meninggalkan dia?”, atau saat al-Mughirah bin Syubhah berkata dengan lantang sambil menghunuskan pedang “jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah sebelum kutebas tangan itu”. Kepemimpinan model apakah ini, sehinga bisa menghasilkan pengikut yang sedemikian rupa? Sekali lagi, Rasulullah menaklukan hati para sahabatnya bukan berbelanja terlebih meminta jabatan kepemimpinan tersebut. Inilah acuan konkret dari penerapan Prophetic leader dalam sejarah umat manusia.

Pertanyaan yang timbul lalu adalah, mampukah kita menjadi pemimpin dengan kelas Prophetic leader? Hal pertama yang harus kita sadari bahwa kepemimpinan lahir karena dibentuk. Ia tidak dilahirkan dalam satu malam atau dari rahim istri pemimpin besar. Ia lahir dari perjuangan dan penempaan yang tiada henti. Seperti Rasulullah yang ditempa pribadi oleh Allah. Kemudian, sadarilah menjadi pemimpin ialah sebuah pilihan. Transformation in our world never be initiated by many people, it’s always originated by few selected people. Orang-orang pilihanlah yang hasilnya mampu membuat perubahan besar. Dan opsi selalu mengandung konsekuensi[2].

Menjadi pemimpin bermakna bersiap untuk menjadi pembelajar. Mungkin kita harus belajar memimpin dengan menggunakan posisi atau jabatan tertentu. Tidak dilema, teruslah mencar ilmu dan jadilah pemimpin yang dapat merangkul semua bagian kerja. Buktikanlah hasil dari kepemimpinan kita dan pupuk selalu kredibiltas langsung hingga risikonya orang mengikuti kita alasannya adalah raihan atau prestasi elok yang sudah kita capai. Kemudian, teruslah mencar ilmu, masukkanlah nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan kita, dan kesannya buatlah orang lain menjadikanmu pemimpin mereka alasannya adalah semua mutu langsung kita dan daya pikat spiritulitas kita pada mereka. Itulah Prophetic Leader yang bukan hanya memenangkan posisi sebagai pemimpin, namun juga memenangkan hati para pengikutnya.

Berdasarkan uraian di atas maka disadari atau pun tidak kepemimpinan yakni sebuah fitrah, dan juga kewajiban yang harus kita lakukan sepenuhnya. Dengan ini maka perlu kiranya kita mengenali apa itu Kepemimpinan, khususnya Kepemimpin berdasarkan Dienul Islam. Mudah-mudahan makalah ini dapat menjadi pengirim untuk mengenali kepemimpinan ini dengan lebih lanjut. Amiin.

B. Perumusan Masalah

Dari permasalahan di atas, maka mampu ditarik beberapa rumusan duduk perkara :

1. Apa pemahaman Kepemimpinan dalam pemikiran Islam?
2. Bagaimana desain Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah?
3. Bagaimana aturan memilih pemimpin?
4. Apa saja sifat-sifat pemimpin yang ideal?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini, dibutuhkan mampu menjadi pengirim untuk:
Mengetahui pemahaman Kepemimpinan dalam pedoman Islam
Mengetahui rancangan Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah
Memahami aturan memilih pemimpin
Mengetahui sifat-sifat pemimpin yang ideal

BAB II
KEPEMIMPINAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan diartikan selaku kesanggupan seseorang sehingga dia menemukan rasa hormat (respect), akreditasi (recognition), iktikad (trust), ketaatan (obedience), dan kesetiaan (loyalty) untuk memimpin kelompoknya dalam kehidupan bareng menuju keinginan[3].

Secara sederhana, bila berkumpul tiga orang atau lebih kemudian salah seorang di antara mereka “mengajak” sahabat-temannya untuk melakukan sesuatu mirip: nonton film, berman sepek bola, dan lain-lain, orang tersebut telah melaksanakan “kegiatan memimpin”, alasannya ada komponen “mengajak” dan mengkoordinasi, ada sahabat dan ada kegiatan dan sasarannya. Tetapi, dalam merumuskan batasan atau definisi kepemimpinan ternyata bukan ialah hal yang gampang dan banyak definisi yang dikemukakan para hebat perihal kepemimpinan yang pastinya menurut sudut pandangnya masing-masing. Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli selaku berikut :

1] Koontz & O’donnel, mendefinisikan kepemimpinan selaku proses mensugesti sekelompok orang sehingga mau melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh untuk meraih tujuan kelompoknya.
2] Wexley & Yuki [1977], kepemimpinan mengandung arti menghipnotis orang lain untuk lebih berusaha mengarahkan tenaga, dalam tugasnya atau merubah tingkah laku mereka.
3] Georger R. Terry, kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang untuk bersedia berupaya meraih tujuan bersama.
4] Pendapat lain, kepemimpinan merupakan suatu proses dengan banyak sekali cara mempengaruhi orang atau sekelompok orang.
Dari keempat definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sudut pandangan yang dilihat oleh para andal tersebut yakni kemampuan menghipnotis orang lain untuk mencapai tujuan bareng .
Definisi lain, para mahir kepemimpinan merumuskan definisi, selaku berikut: [1] Fiedler [1967], kepemimpinan intinya merupakan teladan hubungan antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya terhadap golongan orang semoga bekerja tolong-menolong untuk meraih tujuan [2] John Pfiffner, kepemimpinan adalah kemampuan mengkoordinasikan dan memotivasi orang-orang dan kalangan untuk meraih tujuan yang di kehendaki. [3] Davis [1977], mendefinisikan kepemimpinan ialah kemampuan untuk mengajak orang lain mencapai tujuan yang sudah diputuskan dengan penuh semangat . [4] Ott [1996], kepemimpinan mampu didefinisikan selaku proses korelasi antar langsung yang di dalamnya seseorang menghipnotis sikap, doktrin, dan terutama sikap orang lain. [5] Locke et.al. [1991], mendefinisikan kepemimpinan ialah proses membujuk orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bareng Dari kelima definisi ini, para jago ada yang meninjau dari sudut pandang dari acuan hubungan, kemampuan mengkoordinasi, memotivasi, kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.

  Karakteristik Administrasi Berbasis Sekolah

Dari definisi-definisi di atas, paling tidak dapat disimpulkan yang serupa, yaitu duduk perkara kepemimpinan adalah persoalan sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengaruhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utama seorang pemimpin dalam mengerjakan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melakukan acara-program saja, namun lebih dari itu ialah pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memperlihatkan donasi yang faktual dalam usaha mencapai tujuan.

B. Arti Kepemimpinan Islam
Imamah atau kepemimpinan Islam ialah konsep yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, yang meliputi kehidupan manusia dari eksklusif, berdua, keluarga bahkan hingga umat insan atau kalangan. Konsep ini meliputi baik cara-cara memimpin maupun dipimpin demi terlaksananya fatwa Islam untuk menjamin kehidupan yang lebih baik di dunia dan alam baka selaku tujuannya.
Kepemimpinan Islam, sudah merupakan fitrah bab setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia di amanahi Allah untuk menjadi khalifah Allah [wakil Allah] di tampang bumi :
Ingatlah dikala Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di wajah bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menimbulkan (khalifah) di bumi itu orang yang hendak menciptakan kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kau ketahui.” [Q.S.al-Baqarah:30],

Kholifah bertugas mewujudkan misi sucinya selaku pembawa rahmat bagi alam semesta. Sekaligus sebagai abdullah [hamba Allah] yang senantiasa patuh dan terpanggil untuk mengabdikan segenap dedikasinya di jalan Allah. Sabda Rasulullah :

“Setiap kau yaitu pemimpim dan tiap-tiap pemimpin dimintai pertanggungjawabannya [responsibelitiy-nya]”. Manusia yang diberi amanah dapat memelihara amanah tersebut dan Allah telah melengkapi insan dengan kesanggupan konsepsional atau potensi [fitrah] :

Dan ia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) semuanya, Kemudian mengemukakannya terhadap para malaikat kemudian berfirman: “Sebutkanlah terhadap-Ku nama benda-benda itu bila kamu mamang benar orang-orang yang benar!” [Q.S.al-Baqarah:31], serta keinginanbebas untuk menggunakan dan memaksimal kesempatanyang dimilikinya.

Konsep amanah yang diberikan terhadap insan selaku khalifal fil ardli menempati posisi senteral dalam kepemimpinan Islam. Logislah jika rancangan amanah kekhalifahan yang diberikan kepada insan menuntut terjalinannya kekerabatan atau interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah [Allah], yaitu: [1] mengerjakan semua perintah Allah, [2] menjauhi semua larangan-Nya, [3] ridha [tulus] menerima semua aturan-hukum atau ketentuan-Nya. Selain kekerabatan dengan pemberi amanah [Allah], juga membangun hubungan baik dengan sesama manusia serta lingkungan yang diamanahkan kepadanya [Q.S.Ali Imran:112]. Tuntutannya, diharapkan kesanggupan memimpin atau menertibkan kekerabatan vertical insan dengan Sang Pemberi [Allah] amanah dan interaksi horizontal dengan sesamanya.

Jika kita memperhatikan teori-teori ihwal fungsi dan peran seorang pemimpin yang digagas dan dilontarkan oleh pemikir-pemikir dari dunia Barat, maka kita akan hanya memperoleh bahwa aspek kepemimpinan itu selaku suatu desain interaksi, korelasi, proses otoritas maupun kegiatan menghipnotis, mengarahkan dan mengkoordinasi secara horizontal semata.

Konsep Islam, kepemimpinan selaku suatu desain interaksi, kekerabatan, proses otoritas, acara mempengaruhi, mengarahkan dan mengkoordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. Kemudian, dalam teori-teori manajemen, fungsi pemimpin selaku perencana dan pengambil keputusan [planning and decision maker], pengorganisasian [organization], kepemimpinan dan motivasi [leading and motivation], pengawasan [controlling] dan lain-lain[4].

Uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa, kepemimpinan Islam yaitu sebuah proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laris orang lain, serta ada perjuangan kerja sama sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama.

C. Teori Kelahiran Pemimpin
Para mahir teori kepemimpinan sudah mengemukakan beberapa teori wacana timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal ini terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol adalah [a] teori genetis, [b] teori sosial, dan [c] teori ekologis[5].

a. Teori Genetik
Penganut teori ini beropini bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia sudah dilahirkan dengan “membawa talenta” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, alasannya adalah seseorang dilahirkan telah “mempunyai potensi” tergolong “mempunyai kesempatanatau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut dengan aspek “dasar”. Dalam realitas, teori keturunan ini lazimnya mampu terjadi di golongan darah biru atau keturunan raja-raja, alasannya orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.

b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan bukan dilahirkan [Leaders are made and not born]. Penganut teori berkeyakinan bahwa siapa pun itu sama dan memiliki kesempatanuntuk menjadi pemimpin. Tiap orang memiliki peluangatau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor penunjang yang menyebabkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “asuh” atau “latihan”.

Pandangan penganut teori ini bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dlatih untuk menjadi pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang mempunyai kesempatanuntuk menjadi pemimpin, walaupun beliau bukan ialah atau berasal dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik, diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.

c. Teori Ekologik
Penganut teori ini beropini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin yang baik “manakala dilahirkan” sudah memiliki talenta kepemimpinan. Kemudian talenta tersebut dikembangkan melalui pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk menyebarkan lebih lanjut talenta-talenta yang telah dimiliki.

Kaprikornus, inti dari teori ini ialah seseorang yang mau menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor keturunan, bakat dan lungkungan yakni faktor pendidikan, latihan dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan talenta tersebut dapat teraktualisasikan dengan baik.

Selain ketiga teori tersebut, timbul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi. Penganut teori ini beropini bahwa, ada tiga aspek yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: [1] Bakat kepemimpinan yang dimilikinya. [2] Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan [3] Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.

Teori ini disebut dengan teori serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi pemimpin jikalau mempunyai talenta, lingkungan yang membentuknya, peluang dan kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.

Menurut Ordway Tead, bahwa timbulnya seorang pemimpin, karana : [1] Membentuk diri sendiri [self constituded leader, self mademan, born leader] [2] Dipilih oleh kalangan, artinya dia menjadi pemimpin alasannya adalah jasa-jasanya, sebab kecakapannya, keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. [3] Ditunjuk dari atas, artinya ia menjadi pemimpin alasannya dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya [Imam Mujiono, 2002: 18].

D. Konsep Kepemimpinan dalam Islam/ Al-Khilafah;
Hukum Memilih Pemimpin
Dalam Islam, kepemimpinan sering dikenal dengan perkataan khalifah yang bermakna “wakil”.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak mengakibatkan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menimbulkan (khalifah) di bumi itu orang yang hendak membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami selalu bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu pahami.” [QS.al-Baqarah:30].

Mustafa al-Maraghi, menyampaikan khalifah ialah wakil Tuhan di wajah bumi [khalifah fil ardli]. Rasyid Ridla al-Manar, menyatakan khalifah yakni sosok insan yang dibekali kelebihan logika, fikiran dan pengetahuan untuk menertibkan. Istilah atau perkataan khalifah ini, mulai popular dipakai setelah Rasulullah saw wafat. Dalam ungkapan yang lain, kepemimpinan juga terkandung dalam pemahaman “Imam”, yang mempunyai arti pemuka agam dan pemimpin spritual yang diteladani dan dilaksanakan fatwanya. Ada juga perumpamaan “amir”, pemimpin yang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengatur penduduk . Dikenal pula ungkapan “ulil amir” [jamaknya umara] yang disebutkan dalam surat al-Nisa [59] yang bermakna penguasa, pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin atau tokoh masyarakat yang menjadi referensi umat. Dikenal pula istilah wali yang disebutkan dalam surat al-Maidah ayat [55].

Dalam hadis Nabi diketahui ungkapan ra’in yang juga diartikan pengelolaan dan pemimpin. Istilah-ungkapan tersebut, memberi pemahaman bahwa kepemimpinan ialah kegiatan menuntun, memandu dan menawarkan jalan menuju tujuan yang diridhai Allah.

Istilah khalifah dan “amir” dalam kontek bahasa Indonesia disebut pemimpin yang selalu berkonotasi pemimpin formal. Apabila, kita merujuk dan mencermati firman Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat 30,

“Ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku akan menciptakan khalifah di bumi. “Meraka bertanya [keheranan], Mengapa Engkau akan membuat makhluk yang akan selalu menjadikan kerusakan dan pertimpahan darah, sementara kami selalu bertasbih memuji dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Mahatahu segala hal yang tidak kemau pahami”.

Dalam pemahaman ini mampu ditarik kesimpulan bahwa kepemimpinan Islam secara mutlak bersumber dari Allah swt yang telah menimbulkan manusia selaku khalifah fil ardli. Maka dalam kaitan ini, dimensi kontrol tidak terbatas pada interaksi antara yang memimpin [umara] dengan yang dipimpin [umat], namun baik pemimpin maupun rakyat [umat] yang dipimpin mesti sama-sama mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya selaku seorang khalifah Allah , secara komprehensi[6]f.

Dalam sejarah kehidupan manusia sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya. Dalam Hadis Nabi, “setiap kamu yaitu pemimpin” dan terlihat dalam pengalaman sehari-hari insan sudah melakukan bagian-bagian kepemimpinan seperti “menghipnotis, mengajak, memotivasi dan mengkoordinasi” sesama mereka. Pengalaman itu perlu dianalisis untuk mendapatkan pelajaran yang berguna dalam merealisasikan kepemimpinan yang efektif. “Untuk mengerti kepemimpinan secara empiris, perlu dimengerti terlebih dahulu tinjauan segi terminolgi-nya. Sacara etomologi [asal kata] menurut kamus besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata “pimpin” dengan mendapat awalan “me” yang mempunyai arti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing. Perkataan lain yang disamakan artinya ialah mengetuai, mengepalai, memandu dan melatih dan dalam bentuk aktivitas, maka si pelaku disebut “pemimpin”. Maka dengan kata lain, pemimpin ialah orang yang memimpin, mengetuai atau mengepalai. Kemudian berkembang pula ungkapan “kepemimpinan” [dengan tambahan awalan ke] yang menunjukkan pada aspek kepemimpinan[7]”.

Dewan Hisbah PP Persatuan Islam membahas dengan nara sumber Prof. Dr. Maman Abdurrahman, MA ihwal al-Khilafah al-Islamiyyah, mendefinisikan secara bahasa diambil dari kha-la-fa yang mempunyai 3 makna, adalah, pertama, an yaji’a syai’un ba’da syai’in yaqumu maqamahu, adanya sesuatu sehabis sesuatu yang bertugas sesuai dengan yang diganti. Kedua, khilaful quddam, kebalikan depan/terdahulu, ialah belakangan/selesai. Ketiga, taghayur, artinya berubah[8].

Substansi khilafah dan aturan menegakkannya didasarkan pada perintah Allah Swt untuk menegakkan syari’at Islam dalam arti yang seluas luasnya menawarkan konsekuensi tersendiri pada penegakkan khilafah ini. Karena sebagaimana dimengerti, Syari’at Islam tidak hanya mengendalikan perso’alan individu semata namun juga perso’alan keluarga, penduduk , dan pemerintah/ kenegaraan. Sangat banyak sekali hukum-hukum yang mustahil dijalankan kecuali setelah adanya pemerintah, semisal hudud (aturan pidana), qital (perang), dan lain sebaginya. Kemestian menegakkan hukum-aturan tersebut pada risikonya mau tak maujuga menuntut penegakkan adanya pemerintahan.

Maka dari itu, dapat dirumuskan bahwa substansi dari khilafah ialah penegakkan syari’at islam. Oleh alasannya adalah menegakkan syari’at Islam itu wajib, maka otomatis menegakkan khilafah atau al-imamah al’uzma pun wajib. Tapi tetap, konsentrasi sasarannya pada Syari’at Islam.

Hal ini senada dengan qaidah ushul:

الامر بالشيئ أمر بوسائله
Perintah melaksanakan sesuatu memiliki arti perintah menjalankan mediator-perantaranya.
Ini berarti penyelamatan agama dan umatnya ini harus lewat suatu jama’ah muslimin dengan ketaatan sepenuhnya terhadap imamnya. Dengan kata lain, kepada sebuah pemerintahan kaum muslimin.

Sidang Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam telah memutuskan beberapa putusan terkait problem di atas:
1. Substansi dari khilafah yakni penegakkan syari’at Islam.
2. Khalifah atau al-imam al-azham ialah pemegang kekuasaan dalam hirasatud din (melindungi agama) wa siyasatu ddunya (mengontrol dunia).
3. cara pemilihan khilafah atau al-imam al-azham yakni melalui syuro.
4. sumber hukum dalam system khilafah atau al-imam al-uzhma yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
5. Hukum menegakkan khilafah atau al-imamah al-uzhma adalah wajib.

Hukum Golput
Setahun silam dikala menyongsong Pemilu 2009 banyak pertanyaan ihwal bagaimana semestinya menyikapinya. Karena pada faktanya, kinerja para pemimpin yang mau diseleksi masih jauh dari cita-cita, Partai-partai Islam pun semakin tergerus dengan nilai-nilai sekuler sehingga semakin tidak terlihat keislamannya. Apakah dengan realita seperti ini dibenarkan untuk tidak memilih? Alias golput.

  Tahapan Pelaksanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Sdm)

Menjawab pertanyaan di atas, para ulama dari beberapa ormas Islam Indonesia menyampaikan aliran dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia III di Padangpanjang, 26 Januari 2009 M silam. Ketika itu para ulama mengeluarkan usul:

Pertama, Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang menyanggupi syarat-syarat Ideal bagi terwujudnya harapan bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.

Kedua, Memilih pemimpin dalam Islam adalah keharusan untuk menegakkan imamah dan Imaroh dalam kehidupan bersama.

Ketiga, imamah dan imaroh dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), memiliki kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam Hukumnya yakni Wajib.

Kelima, memilih pemimpin yang tidak menyanggupi syarat-syarat sebagaimana yang disebutkan dalam butir4 (empat) atau tidak menentukan sama sekali padahal ada kandidat yang memenuhi syarat hukumnya yakni haram[9].

Bagi para ulama gejala Golput (bersikap tidak memilih) di tengah-tengah umat Islam dikhawatirkan mampu menenteng efek yang negative, yakni tidak tertegaknya imamah-imarah yang ialah kewajiban umat untuk mewujudkannya. Apa yang mesti dilakukan umat, berdasarkan para ulama adalah menentukan pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria beriman dan bertakwa, jujur (shidiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kesanggupan (fathonah). Jika pemimpin-pemimpin yang memenuhi criteria mirip itu ada, namun kemudian tidak memilih, maka tentu itu suatu kesalahan. Atau, jika pemimpin-pemimpin yang mirip itu ada, tetapi malah memilih pemimpin yang tidak cocok dengan criteria di atas, sama juga itu sebuah kesalahan, alias Haram.

E. Sifat-sifat Pemimpin yang Ideal
Tidak disangsikan lagi bahwa Muhammad Rasululloh Saw yaitu sosok insan yang paling ideal, tepat dalam segala hal. Beliau bukan hanya seorang nabi dan rasul pilihan, juga selaku kepala rumah tangga yang serasi bagi keluarga-keluarganya, teman yang baik bagi sesamanya, guru yang berhasil bagi murid-muridnya, teladan bagi ummatnya, panglima yang berwibawa bagi prajuritnya dan pemimpin yang besar bagi kaumnya.
Segala etika mulia ada padanya, sehingga Allah selaku Pencipta pun memujinya,
Dan Sesungguhnya kau sungguh-sungguh berbudi pekerti yang agung.
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri acuan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan beliau banyak menyebut Allah.
Keberhasilan ia sebagai Pemimpin, dilandasi sifat-sifat / patokan-standar pemimpin yang ideal:
1) Bertaqwa kepada Allah Swt
Sebagai syarat muthlak sebagai pemimpin. yang telah menjadi huruf kepribadiannya.
2) Amanah
Artinya jujur, tidak pernah berdusta, menepati kesepakatan, berani menyampaikan yang haq, bertindak adil dan profesional. Sifat ini harus menetap pada seseorang jauh sebelum dia menjadi pemimpin.
Sebagaimana diungkapkan dalam hadits:

وعن أبي أمامة قال : قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم : ” لا إيمان لمن لا أمانة له ، والذي نفسي بيده لا تدخلوا الجنة حتى تؤمنوا ” . رواه الطبراني

3) Shiddiq
Membenarkan dan meyakini apa saja yang diwahyukan Allah terhadap Rasul-Nya sekalipun tidak mampu difahami oleh nalar. Tokoh pemimpin berkarakter ini, ialah Abu Bakar Ashiddiq.

Seorang Shidiq sanggup berkata jujur, berani memberikan al-haq dengan segala resikonya, walaupun ia harus terusir dari negerinya. Sabda Rasulullah Saw,

عن أبي الدرداء ‏ “‏من فر بدينه من أرض إلى أرض مخافة الفتنة على نفسه ودينه كتب عند الله صديقا فإذا مات قبضه الله ـ عز وجل ـ شهيدا‏” ‏ فيه مجاشع يضع‏.‏

4) Fathonah
Artinya cerdik, pandai, cermat, cepat mengambil keputusan, tepat menentukan langkah-langkah, mampu membaca kondisi, dan mengetahui segala problem.

5) Tabligh
Artinya memberikan, Pemimpin sebagai informan wacana segala sesuatu yang penting diketahui oleh umat. Khususnya mengenai pesan-pesan agama.

6) Tegas dan Teguh Pendirian
Dalam persoalan tauhid dan al-Haq dari Allah seorang pemimpin tidak boleh lemah dan ragu. Rasulullah senantiasa tegas dalam membela agama Islam, tidak tergoda dengan rayuan dan sogokan.

Hai nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah kepada mereka. daerah mereka yaitu Jahannam dan itu yaitu seburuk-buruknya tempat kembali[10].

7) Lemah Lembut
Rasululloh Saw terkenal dengan sifatnya yang peramah, bukan pemarah, halus tutur katanya, tidak menyinggung perasaan orang lain. Allah mengabadikannya dalam Q.S Al-Fath:
Muhammad itu ialah delegasi Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia yaitu keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang sesama mereka.

8) Pemaaf
Manusia tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, terlebih tentara, staf atau rakyat biasa, alasannya keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Rasulullah sungguh pemaaf meskipun kesalahan sebagian sahabat-sahabatnya sungguh fatal yang menyebabkan kaum Muslimin kalah perang di Uhud, dengan gembira beliau memaafkan sahabatnya dan memohon ampunan bagi mereka.

9) Senang bermusyawarah
Musyawarah bukan untuk memaksakan kehendak, menolak ajuan, otoriter dan merasa benar sendiri.

10) Bertawakal kepada Allah
Kemudian kalau kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah terhadap Allah. Sesungguhnya Allah menggemari orang-orang yang bertawakkal terhadap-Nya.

Tawakal artinya menyerahkan segala persoalan kepada Allah sehabis bersungguh-sungguh menyusun planning yang dianggap matang.

11) Adil
12) Sabar
13) Bertanggung jawab

BAB III
KESIMPULAN
Kepemimpinan yakni persoalan sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk meraih tujuan bareng , baik dengan cara mensugesti, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi.

Kepemimpinan islam adalah sebuah proses atau kemampuan orang lain untuk mengarahkan dan memotivasi tingkah laris orang lain, serta ada usaha kerja sama sesuai dengan al-qur’an dan hadis untuk meraih tujuan yang dikehendaki bersama.

teori kepemimpinan sudah mengemukakan beberapa teori perihal timbulnya Seorang Pemimpin, terdapat 3 [tiga] teori yang menonjol adalah : teori genetis, teori sosial, dan teori ekologis.

Hukum memilih Pemimpin yaitu Wajib Aen, dengan syarat-syarat pemimpin : bertaqwa, amanah, shiddiq, fathonah, tabligh.

Hukum Golput alasannya alasannya tidak ada pemimpin yang memenuhi syarat pemimpin yang Islami hukumnya Wajib. Tetapi bila Golput padahal ada pemimpin yang ideal untuk dipilih menurut syarat-syarat Pemimpin Islam hukumnya Haram.

Syarat-syarat Pemimpin yang Islami tersebut yakni : Bertaqwa terhadap Allah Swt, Amanah, Shiddiq, Fathonah, Tabligh, Tegas dan Teguh Pendirian, Lemah Lembut, Pemaaf, Suka Bermusyawarah, Bertawakal terhadap Allah Swt, Adil, Sabar, dan Bertanggungjawab.

DAFTAR PUSTAKA
Aunur Rohim Fakih, dk., 2001, Kepemimpinan Islam, UII Press, Yogyakarta.
Bachrub Rangkuti, Kepemimpinan Muhammad Rasulullah, t.p.
Hadari Nawawi, 1993, Kepemimpinan Menurut Islam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Mochammad Teguh, dkk., 2001, Latihan Kepemimpinan Islam Tingkat Dasar [LKID], UII Press, Yogyakarta.
Imam Mujiono, 2002, Kepemimpinan dan Keorganisasian, UII Press, Yogyakarta.
Majalah Risalah, Konsep Dasar al-Khilafah NO.2 TH 44 MEI 2006.
[1] http://taufiqsuryo.wordpress.com/2009/02/21/prophetic-leader-sebuah-rancangan-kepemimpinan-dalam-islam/
[2] Ibid.
[3] http://pojokasuransi.com/blog/manajemen-islami/dasar-dasar-kepemimpinan-dalam-islam/
[4] Aunur Rahim, dk., 2001:3-4
[5] Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1988:18
[6] Aunur Rahim, dk., 2001:4-5
[7] Ibid.
[8] RISALAH NO.2 TH 44 MEI 2006 Hal 15
[9] Risalah No.1 Th. 47 April 2009 halaman : 17
[10] At-Tahrim : 9