Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

I. PERBEDAAN KONSEP DAN PARADIGMA OTONOMI DAERAH

1.  Perbedaan Konsep

Ada yang mempersepsikan otonomi kawasan sebagai prinsip penghormatan kepada kehidupan penduduk sesuai riwayat etika-istiadat dan sifat-sifatnya dalam konteks negara kesatuan (lihat Prof. Soepomo dalam Abdullah 2000: 11). Ada juga yang mempersepsikan otonomi daerah sebagai upaya berperspektif Ekonomi-Politik, di mana daerah diberikan kesempatan untuk berdemokrasi dan untuk berprakarsa memenuhi kepentingannya sehingga mereka mampu menghargai dan menghormati kebersamaan dan persatuan dan kesatuan dalam konteks NKRI.
Setelah diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999, agresi dari aneka macam pihak sangat beragam, selaku akibat dari perbedaan interpretasi perumpamaan otonomi. Terdapat kalangan yang menafsirkan otonomi selaku kemerdekaan atau kebebasan dalam segala masalah yang sekaligus menjadi hak daerah. Mereka yang memiliki pandangan ini umumnya mencurigai intervensi pemerintah sentra, otonomi tempat dianggap sebagai kemerdekaan kawasan dari belenggu Pemerintah Pusat.
Ada kelompok lain yang menginterpretasikan selaku pemberian “otoritas kewenangan” dalam mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan dan aspirasi penduduk setempat. Di sini otonomi diartikan atau dipersepsikan pembagian otoritas semata (lihat UU No. 22/1999); memaknai otonomi sebagai kewenangan, tempat Otonomi (Kabupaten/Kota) untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Wujudnya yaitu pembagian kewenangan terhadap tempat dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang pertahanan dan keamanan peradilan, moneter dan fiskal, agama dan politik luar negeri serta kewenangan bidang lain, adalah perencanaan nasional pengendalian pembangunan nasional; perubahan keuangan, sistem manajemen negara dan forum; perekonomian negara, pembinaan, dan pemberdayaan sumber daya manusia; pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis, serta konservasi dan standarisasi nasional.
Ada juga golongan yang menafsirkan otonomi tempat sebagai suatu mekanisme empowerment (pemberdayaan). Menurut golongan ini menafsirkan otonomi mesti lebih mengakomodasikan berbagai kepentingan setempat dan forum lokal dan untuk itu diharapkan otoritas. Makara, diambil janji khusus dalam pembagian peran/persoalan yang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan dikerjakan oleh Daerah (setempat).Variasi interpretasi rancangan otonomi tersebut alasannya adanya perbedaan rujukan teoretis. Secara teoretis istilah autonomy memiliki banyak arti yang lalu menjadikan berbagai interpretasi.
Mary Parker Follet pada tahun 1920-an mengidentifikasi otonomi dengan Independence dari suatu institusi (lihat Limerick Cunnington 1993, P. Selzerick 1957, Terry 1995). Otonomi yang dimaksudkan ialah kekuasaan yang relatif cukup untuk memungkinkan birokrasi publik melakukan pekerjaan sesuai dengan identitasnya atau keleluasaan yang masih terbatas dan tidak diinterpretasikan “bebas dan merdeka”. Selanick 1992, menyaksikan otonomi sebagai salah satu seni manajemen untuk mempertahankan integritas sebuah forum di mana nilai-nilai dan peluangdari lembaga tersebut dilindungi. Karena itu otonomi daerah secara tidak eksklusif menyandang akreditasi terhadap eksistensi dan kekuasaan elit-elit setempat.
Otonomi diinterpretasikan juga oleh Holdaway, Newberry, Hickson dan Heron, sebagai jumlah otoritas pengambilan keputusan yang dimiliki oleh sebuah organisasi (lihat Price and Mueller, 1980: 40). Semakin banyak tingkat otoritas yang dimiliki dalam pengambilan keputusan maka makin tinggi tingkat otonominya. Otonomi juga diinterpretasikan selaku The Degree To Which and Organization Has Power With Respects to Its Environment (lihat Price and Mueller, 1986: 40). Dalam hal ini, dibedakan antara organisasi pemerintah dan business. Power di sini diinterpretasikan selaku “dampak” atau “kendali”. Dalam konteks ini otonomi kawasan diinterpretasikan sebagai sampai berapa jauh sebuah pemerintah tempat mengatur terhadap kegiatan pemenuhan kepentingan penduduk setempat terlepas dari dampak lingkungannya. Makna lain juga diungkapkan oleh Dworkin 1998 (lihat Terry, 1995: 49) sebagai kondisi di mana penduduk menciptakan dan menertibkan perundangannya sendiri. Tentu saja makna ini didasarkan pada kata “auto” yang mempunyai arti diri sendiri dan “nomos” yang memiliki arti hukum perundangan. Dengan makna ini otonomi tempat mampu diinterpretasikan selaku kewenangan mengatur diri sendiri atau kemandirian.
Apabila dikaji lebih jauh, UU No. 22 Tahun 1999 tersebut bersifat inkonstitusional atau berlawanan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan kehidupan kita bernegara, di mana dinyatakan bentuk negara yaitu “negara kesatuan” tetapi di dalam UU No. 22 Tahun 1999 (baca UU Otonomi Daerah), tersebut timbul semangat federalisme yang dicerminkan dari contoh dibatasi kekuasaan/kewenangan sentra, sementara semangat kesatuan dicirikan dari acuan dibatasi kekuasaan/kewenangan tempat. Dalam konteks teladan dibatasi ini didapatkan kewenangan yang mungkin bisa diterjemahkan sesuka hati oleh penguasa. Apabila dirinci kewenangan tersebut, di pusat terdapat 203 kewenangan, sementara di daerah (provinsi, kabupaten/kota) terdapat 991 kewenangan. Kaprikornus, roh dari Undang-undang otonomi daerah ini membawa nilai ”desentralisasi” baik dalam isi maupun judul Pemerintahan Daerah. Hal ini sangat berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1975 ihwal Pemerintahan di Daerah. Kota di dalam UU No. 5 Tahun 1975 tersebut mencerminkan kekuasaan ”desentralisasi” namun isinya yaitu ”sentralisasi”.
Menurut David After (1977) menyatakan bahwa negara-negara federalistik yaitu negara yang didirikan dengan kekuasaan otoritas yang dibagi di antara negara-negara federal, sedangkan negara kesatuan didirikan dengan tersentralisasinya kekuasaan dan otoritas. Jika hal ini diterjemahkan dalam bahasa ilmu manajemen, negara federal lebih efisien dikelola secara terdesentralisasi dan negara kesatuan lebih efisien diatur secara terpusat. UU No. 22 Tahun 1999 berisikan kebijakan yang mendesentralisasikan kekuasaan dan otoritas. Hal ini bertentangan dengan khitah negara kesatuan yang kadung kita anut.
Memang tidak ada salahnya atau sah-sah saja negara kesatuan dikontrol dengan cara terdesentralisasi namun dengan risiko tidak efisien. Di segi lain perumusan undang-undang “otonomi kawasan” ini agaknya memakai pendekatan metodologis yang bersifat elektrik dalam arti; mengumpulkan banyak sekali hal yang terbaik dan lalu dari yang terbaik tersebut diambil bagian-unsur terbaik kemudian dijadikan satu. Dalam hal ini penyusunan kebijakan yang ada dan memilih yang terbaik tersebut untuk diramu/dirakit menjadi satu. Metode ini memiliki kekurangan pokok yaitu tidak ada satu “platform” yang besar lengan berkuasa dan dihasilkan ibarat gabungan minyak dan air. Hal ini dapat dilihat pada inkonsistensi di antara pasal-pasal yang ada yang sungguh kuat pada manajerial, lihat UU No. 22 tahun 1999 Pasal 4    ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa antara masing-masing tempat tergolong antara provinsi dan kabupaten/kota berdiri sendiri dan tidak memiliki korelasi hierarki satu sama lain.
Sementara itu, kewenangan provinsi terbatas pada kewenangan lintas kabupaten – kota (lihat Pasal 9). Pertanyaannya, bagaimana mungkin kita melakukan kerjasama tanpa adanya hierarki? Kekuasaan dan otoritas bukanlah suatu yang begitu saja diberikan, terlebih terhadap lembaga yang tidak berada di atasnya secara struktural. Dengan tidak adanya hierarki antara provinsi dengan kabupaten/kota, Presiden RI mengontrol langsung hampir 400 daerah yang terdiri atas provinsi, kabupaten/kota. Belum lagi di Departemen dan forum-lembaga non-departemen. Ini sebuah hal yang hebat. Rentang kontrol (span of control) yang begitu luas, tidak mungkin mampu dijalankan oleh seorang Presiden yang notabenenya sebagai manusia biasa. Pendapat lain menyatakan, bahwa arsitek UU No. 22 Tahun 1999 itu ialah desain berpikir ala Amerika yang cuma bisa diterapkan di negara Federasi seperti Amerika Serikat yang mengartikan desentralisasi sebagai devolution, padahal yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia itu yakni “desentralisasi dan otonomi kawasan dalam Negara Kesatuan”, di mana kekerabatan antara Pusat dan Daerah tetap terpelihara dengan baik, sedangkan otonomi kawasan berlangsung secara mampu berdiri diatas kaki sendiri. Akan tetapi, Pasal 7 dan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan (1) “Kewenangan Daerah meliputi kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik mancanegara, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan telah berada di daerah sehingga tidak perlu penyerahan secara aktif, yang perlu dilaksanakan adalah pengukuhan dari Pemerintah. Walaupun secara akademik teori penyerahan kewenangan itu menganut versi General Competence atau Formele Huishoudingsleer, namun ditinjau dari aspek “kebijakan desentralisasi” rumusan klarifikasi Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 terang-jelas ialah reference Amerika yang hanya mungkin itu terjadi apabila diberlakukan di dalam Negara Kesatuan RI. Demikian pula, rancangan “kesetaraan” antara Pemerintah Pusat dan Pemda; dan “tiadanya relasi hierarki” antara Pemerintah Pusat dan Pemda, dan Daerah Provinsi dengan Daerah Kabupaten/Kota sehingga satu kesatuan tata cara dalam Negara Kesatuan RI menjadi terpotong-potong yaitu juga sebuah referensi dari rancangan “devolution” ala Negara Bagian dalam Negara Federal di Amerika Serikat yang tidak cocok untuk dirujuk ke dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Kelemahan yang lain, yaitu dalam teknis implementasi kebijakan undang-undang otonomi kawasan. Idealnya suatu undang-undang dilakukan          5 (lima) tahun sehabis diundangkan. Infrastrukturnya mesti dibangun dan memerlukan waktu.
Malangnya UU No. 22 Tahun 1999 tersebut membatasi diri sendiri dengan membuat tenggat waktu (batas waktu), ialah UU tersebut penerapan secara efektif selambat-lambatnya 2 tahun semenjak diundangkan. Presiden B. J. Habibie menandatangani UU ini pada tanggal 4 Mei 1999 maka pada tanggal 5 Mei 2001, undang-undang otonomi daerah tersebut berlaku resmi. Selama periode waktu 2 tahun tersebut terjadi perubahan besar. Kementrian Otda dihilangkan. Kabinet Reformasi yang mengorganisir hal ini tidak ada lagi (bubar), terlebih UU tersebut sifatnya sungguh fundamental yang merombak seluruh tatanan Administrasi Publik sebuah negara besar. Lebih dari ratusan PP, aliran dan sejenis yang lain belum dibuat untuk mendukung implementasi otonomi tempat. Oleh alasannya adalah itu, tidak cuma pejabat level kabupaten/kota dan provinsi yang bingung, pejabat di level sentra pun demikian halnya. Maka tidak bakir atau tidak bijaksana kita mencari kambing hitam siapa yang bersalah, yang jelas kita belum siap. Oleh alasannya itu, otonomi tempat ini harus disempurnakan sambil berjalan. Uraian tentang rancangan otonomi di atas sangat variatif, mirip kebebasan dan kemerdekaan, strategi organisasi, otoritas mengurus diri sendiri, mengambil keputusan sendiri power untuk melakukan kendali, empowerment, dan kemandirian dalam pengaturan diri. Variasi desain ini menjadikan interpretasi bermacam-macam. Oleh karena itu, di kurun datang perlu kesepakatan wacana rancangan otonomi kawasan di kelompok elit politik sebagai pengambil keputusan atas kebijakan.

  Kumpulan Soal Bahasa Indonesia Tentang Drama Beserta Jawabannya

2. Perbedaan Paradigma

Variasi makna tersebut berhubungan pula dengan paradigma utama dalam kaitannya dengan otonomi, adalah paradigma politik dan paradigma organisasi yang bernuansa kontradiksi. Menurut paradigma politik, otonomi birokrasi publik mustahil ada dan tidak akan meningkat alasannya adalah adanya kepentingan politik dari rezim yang berkuasa. Rezim ini pastinya menghalangi kebebasan birokrat level bawah dalam menciptakan keputusan sendiri. Pemerintah daerah (kabupaten, kota) ialah subordinasi pemerintah pusat, dan secara teoretis subordinasi dan otonomi berlawanan. Karena itu menurut paradigma politik, otonomi tidak mampu berlangsung selama posisi sebuah lembaga merupakan subordinasi dari lembaga yang lebih tinggi.
Berbeda dengan paradigma politik, paradigma organisasi justru merealisasikan betapa pentingnya “otonomi tersebut untuk menjamin mutu birokrasi yang diinginkan”. Untuk menjamin mutu birokrasi maka inisiatif, terobosan, penemuan, dan kreativitas mesti dikembangkan dalam hal ini akan mampu diperoleh kalau institusi birokrasi itu mempunyai otonomi. Dengan kata lain, paradigma “organisasi” melihat bahwa mesti ada otonomi agar sebuah birokrasi dapat berkembang dan meningkat mempertahankan kualitasnya sehingga mampu menunjukkan yang terbaik bagi penduduk .
Kedua paradigma di atas benar adanya. Otonomi dibutuhkan bagi sebuah organisasi untuk mampu tumbuh dan berkembang mempertahankan keberadaan dan integritasnya, akan namun “otonomi” juga sulit dikerjakan sebab birokrasi kawasan merupakan subordinasi birokrasi pusat (negara). Oleh sebab itu kompromi harus ditemukan agar otonomi tersebut dapat berlangsung. Respons kepada kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Terry (1995, 52) yang menyarankan semoga otonomi mesti dilihat dalam paradigma “kontekstual”, yakni mengaitkan otonomi dengan tata cara politik yang berlaku dan sekaligus kebutuhan penduduk daerah. Oleh alasannya adalah dalam konteks otonomi di Indonesia harus dilihat juga selaku upaya menjaga kesatuan dan persatuan di satu segi dan di segi lainnya sebagai upaya birokrasi Indonesia untuk merespons kebhinnekaan Indonesia supaya mampu menunjukkan layanan terbaik bagi masyarakat.
UU No. 22 Tahun 1999 menganut paradigma ini, dengan menggunakan pendekatan “kewenangan”. Hal ini mampu dilihat dari makna “otonomi sebagai kewenangan daerah otonomi (kabupaten/kota) untuk mengendalikan dan mengorganisir kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri menurut aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-ajakan dalam konteks negara kesatuan RI.” Hal ini sangat sempurna, namun dalam kasus Indonesia dipandang kurang kongkret alasannya adalah masalah otonomi kawasan bukan hanya masalah kewenangan semata, namun banyak hal yang terkait dengan sumber daya dan infrastruktur yang ada di kawasan masih sangat lemah.
Paradigma ekonomi harus dilihat dari perspektif pemerataan pembangunan ekonomi untuk meraih kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, pembangunan tempat ialah bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan nasional yaitu pembangunan tempat. Kaprikornus, sangatlah picik bagi para elit setempat pada tempat yang kaya sumber daya dengan menyandera persoalan ekonomi ini untuk meraih cita-cita politiknya lepas dari negara kesatuan RI. Hal ini sudah sangat melenceng dari hakikat otonomi itu sendiri.

  Teladan Kata Sambutan Kegiatan Nuzulul Qur’An Untuk Ketua Panitia Dan Pembuka Program

B. KUATNYA PARADIGMA BIROKRASI

Dalam rangka pelaksanaan otonomi kawasan dan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi penduduk alasannya masih kuatnya imbas paradigma birokrasi.
Paradigma ini ditandai dengan ciri organisasi yang berstruktur sungguh hierarkis dengan tingkat diferensiasi yang tinggi, dispersi otoritas yang sentrali dan formalisasi yang tinggi (standarisasi, mekanisme, dan hukum yang ketat).
Dalam praktik di Indonesia, penentuan hierarki dan pembagian unit organisasi, standarisasi, prosedur dan hukum-hukum daerah sungguh diputuskan oleh pemerintah sentra, dan pemerintah tempat harus loyal kepada aturan tersebut. Dalam bidang manajemen telah disiapkan oleh pemerintah sentra, aneka macam pedoman, isyarat dalam menangani berbagai peran pelayanan dan pembangunan di daerah. Dalam bidang kebijakan publik, acara dan proyek-proyek serta aktivitas-aktivitas yang dianjurkan mesti menerima kesepakatan pemerintah pusat. Implikasinya masih banyak pejabat di daerah mesti menanti perintah dan petunjuk dari sentra. Paradigma birokrasi yang sentralistik ini telah terbina begitu usang dan mendalam dan bahkan menjadi “kepribadian” beberapa pegawapemerintah kunci di instansi pemerintah tempat. Untuk itu perlu dilaksanakan reformasi manajemen publik di daerah, meninggalkan kekurangan-kekurangan paradigma usang, dan mempelajari, memahami serta mengadopsi paradigma gres seperti Post Bureaucratic

C. LEMAHNYA KONTROL WAKIL RAKYAT DAN MASYARAKAT

Selama orde gres tidak kurang dari 32 tahun peranan wakil rakyat dalam menertibkan administrator sangat tidak efektif sebab terkooptasi oleh elit direktur. Birokrasi di daerah condong melayani kepentingan pemerintah pusat, dari pada melayani kepentingan masyarakat setempat. Kontrol kepada pegawapemerintah birokrasi oleh forum legislatif dan masyarakat tampak artifisial dan fesudo demokratik. Sayang, semangat demokrasi yang timbul dan meningkat di kala reformasi ini tidak disertai oleh strategi peningkatan kesanggupan dan mutu wakil rakyat. Wakil rakyat yang ada masih kurang mampu melaksanakan tugasnya melakukan kontrol terhadap pemerintah. Ketidakmampuan ini memperlihatkan kesempatan bagi administrator untuk bertindak leluasa dan sebaliknya legislatif bertindak ngawur mengorbankan kepentingan publik yang justru dipercaya mewakili kepentingannya.

D. KESALAHAN STRATEGI

UU No. 22 Tahun 1999 wacana otonomi kawasan diberlakukan pada sebuah pemerintah kawasan sedang lemah. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk melakukan sendiri apa yang mereka butuhkan, tetapi dengan kesanggupan yang sangat marjinal. Hal ini balasan dominasi pemerintah sentra di kawasan yang terlalu berlebihan, dan kurang memberikan peranan dan kesempatan mencar ilmu bagi kawasan. Model pembangunan yang dijalankan selama ini sangat sentralistik birokratis yang berakibat penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya.
Lebih dari itu, ketidaksiapan dan ketidakmampuan kawasan yang dahulu dipakai sebagai alasan menangguhkan otonomi kurang diperhatikan. Padahal untuk mewujudkan otonomi kawasan merupakan masalah yang kompleksitasnya tinggi dan mampu mengakibatkan berbagai problem baru, mirip munculnya konflik antara penduduk lokal dengan pemerintah dan hal ini dapat berpengaruh sangat buruk pada integritas forum pemerintahan baik di sentra maupun di kawasan. Sekurang-kurangnya ada enam yang perlu diperhatikan dalam konteks pelaksanaan otonomi tempat ini, yaitu antisipasi yang masak tidak artifisial, memberi iktikad, kejelasan visi, kesiapan sumber daya, dan aneka macam parameter permintaan kepada kinerja.
Jika dikaji UU No. 22 Tahun 1999 wacana Otonomi Daerah, dalam beberapa hal mengandung kelemahan-kelemahan, tetapi bagaimanapun juga UU ini ialah suatu reformasi dalam tata cara pemerintahan kawasan, yang telah memindah paradigma lama ke paradigma gres, yakni dari tata cara pemerintah “sentralistik” yang lebih berorientasi terhadap Structural Efficiency Model” berganti ke arah sistem pemerintahan “desentralistik” yang orientasinya lebih condong kepada Local Democratic Model, yakni yang lebih menekankan kepada prinsip-prinsip demokrasi, tugas serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta mengamati potensi dan keragaman kawasan.
Dengan bantuan kewenangan yang luas terhadap daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi tempat, disertai dengan perimbangan keuangan yang mencukupi hingga dikala ini, sesungguhnya daerah telah cukup mampu untuk berbuat sesuatu bagi kenaikan kesejahteraan penduduk setempat. Masalahnya sekarang yaitu kurangnya SDM aparatur pemerintahan kawasan yang bisa memperoleh bakat, peluangdan keunggulan daerahnya masing-masing.
Selain itu, pengertian otonomi ini sering dicampuradukkan (interchangeble) antara “otonomi sebagai alat” (means) untuk meraih tujuan dengan “tujuan otonomi” itu sendiri.Dalam relasi ini, mirip dibilang Moh. Hatta, bahwa “menawarkan otonomi tempat tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auto-activiteit artinya tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yakni pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Inilah hakikat otonomi menurut Hatta.

II. GOOD GOVERNANCE KUNCI MEWUJUDKAN OTONOMI DAERAH

Dalam pelaksanaan “otonomi tempat”, salah satu kekurangan yang dihadapi adalah persyaratan penilaian kinerja pemerintahan, orientasi teoretis paradigmatis mengarah pada birokrasi klasik yang mengutamakan cara (means) ketimbang tujuan (ends). Seharusnya di masa otonomi daerah ini orientasi kinerja pemerintahan mengikuti paradigma reinventing government atau post bureaucratic yang mengutamakan kinerja pada hasil simpulan atau tujuan atau visi organisasi dan bukan pada mendanai input dan menjalankan proses (lihat Gaebler dan Osborne 1992). Pada ketika ini permintaan akan terselenggaranya good governance kian mendesak untuk diakomodasikan dalam persyaratan penilaian kinerja pemerintahan. Dalam rangka otonomi kawasan nilai good governance dapat diketahui selaku kunci utama alasannya adalah nilai-nilai terkandung dalam menekankan.
1. Visi Strategis
Apakah Kabupaten/Kota memiliki visi, misi yang jelas.
2.  Transparansi
Apakah pemerintahan kabupaten/kota menawarkan isu ke publik  secara terbuka sehingga publik mampu mempertanyakan mengapa sebuah keputusan dibentuk, apa kriteria yang dipakai sehingga penduduk dapat melaksanakan kendali, memonitor kinerja lembaga-forum publik.
3.  Responsivitas
Apakah pemerintah kabupaten atau kota dapat tanggap terhadap problem, keperluan, dan aspirasi masyarakat yang mereka layani.
4.  Keadilan
Apakah pemerintah kabupaten/kota sudah menawarkan semua orang peluang yang sama dalam mengembangkan atau memperbaiki kesejahteraannya.
5.  Konsensus
Apakah pemerintah kabupaten atau kota sudah berperan menjembatani aspirasi masyarakat guna mencapai persetujuan bareng demi kepentingan masyarakat.
6.  Efektivitas dan Efisiensi
Apakah pemerintah kabupaten atau kota telah memenuhi keperluan penduduk , dengan memanfaatkan sumber daya dengan cara yang baik atau melalui administrasi sektor publik yang efektif dan efisien.
7.  Akuntabilitas
Pemerintahan kabupaten atau kota mesti bertanggung jawab kepada publik dalam konteks kinerja lembaga dan pegawapemerintah yang baik dalam bidang manajemen, organisasi maupun dalam ”kebijakan publik”.
8.  Kebebasan berkumpul dan berpartisipasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota sudah menawarkan kebebasan kepada rakyatnya untuk berkumpul, berorganisasi dan berpartisipasi secara aktif dalam menentukan kurun depannya.
9.  Penegakan Hukum
Apakah pemerintah kabupaten atau kota sudah membuat aturan dan menegakkan aturan yang membentuk suasana dan keadaan yang aman dan tertib serta aman bagi penduduk .
10. Demokrasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong proses demokrasi di penduduk .
11. Kerja sama dengan organisasi masyarakat
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota melakukan pekerjaan sama dengan forum-lembaga masyarakat yang ada dalam memecahkan duduk perkara-dilema dan pelayanan terhadap publik.
12. Komitmen pada pasar
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mendorong kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pasar.
13. Komitmen pada lingkungan
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota mengamati duduk perkara yang berhubungan dengan kelestarian lingkungan.
14. Desentralisasi
Apakah pemerintahan kabupaten atau kota telah membuatkan dan membudayakan unit-unit kelembagaan setempat supaya mampu mengambil kebijakan publik sesuai dengan kebutuhan dan situasi lokal.

  Contoh Teks Pidato Ihwal Kenakalan Sampaumur, Singkat Dan Gampang Dihafal

Apabila nilai-nilai tersebut mampu dikerjakan oleh pemerintahan Kabupaten atau kota maka otonomi kawasan yang ideal mampu terwujud. Untuk mampu segera merealisasikan hal itu maka perlu adanya pergeseran contoh pikir perilaku dan teladan tindak para birokrat kita yang telah lama bercokol dari orientasi birokrasi lama ke orientasi birokrasi gres mirip diungkapkan dalam good governance.

III. CAPACITY BUILDING SEBAGAI AKSELERATOR  GOOD GOVERNANCE  UTK MEWUJUDKAN DAERAH OTONOM

Langkah permulaan dukungan otonomi daerah yang harus dilakukan ialah capacity building sebagaimana disarankan dalam rangka pembenahan pemerintah tempat Dengan Capacity Building ini dapat mempercepat terwujudnya good governance di abad otonomi daerah

A. PENGERITAN CAPACITY BUILDING

Capacity Building untuk pemerintahan didefinisikan sebagai serangkaian taktik yang ditujukan untuk memajukan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas dari kinerja pemerintahan, dengan memusatkan perhatian kepada pengembangan dimensi sumber daya manusia, penguatan organisasi, dan reformasi kelembagaan atau lingkungan. Dalam definisi ini capacity building terkandung upaya-upaya untuk melaksanakan perbaikan mutu sumber daya insan, mendorong organisasi supaya berfungsi lebih baik, dan merubah konteks lingkungan yang diperlukan organisasi dan individu SDM supaya dapat berfungsi dengan baik.
Berdasarkan pemahaman kepada literatur tersebut maka untuk merealisasikan sebuah otonomi  tempat  pada  saat  sekarang dibutuhkan antisipasi yang berkenaan dengan (1) penentuan secara jelas visi dan misi kawasan dan forum pemerintahan daerah, (2) perbaikan tata cara kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintahan daerah,    (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintahan daerah, (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintahan daerah, (6) perbaikan budaya organisasi  pemerintahan  tempat, (7) peningkatan SDM pegawanegeri pemerintahan kawasan, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antarkabupaten dan kota, dan dengan pihak lain, dan      (9) pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan lingkungan pemerintahan daerah yang aman kesatuan dari suatu metode, yang jikalau dibenahi yang satu dapat mensugesti yang lain. Elemen-komponen ini menyangkut kesanggupan pemerintahan kawasan dalam penyediaan input (semua resources yang diharapkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan keadaan yang aman).

B. ELEMEN-ELEMEN CAPACITY BUILDING

Pengembangan Visi dan Misi tempat dan Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota. Sampai sekarang belum ada kejelasan mengenai ke mana sebuah kabupaten/kota selaku tempat dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai kawasan dan institusi belum terumuskan secara tegas dan terang. Karena itu, bidang-bidang strategis apa yang dikembangkan oleh kawasan dalam rangka meraih visi tersebut juga tidak jelas. Untuk itu, diharapkan pada dikala ini yaitu pengembangan          (1) Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan (2) Rencana Strategis Institusi Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan. Bidang-bidang strategis yang mesti dikembangkan dalam Rencana Strategis tersebut sangat memilih jenis dan jangkauan kebijakan tahunan yang perlu dikembangkan (dalam acara, proyek dan aktivitas-aktivitas), tipe dan jumlah serta mutu institusi-institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat keahlian manajerial skills yang dibutuhkan termasuk tipe kepemimpinan, dan sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada keperluan pengembangan bidang-bidang strategis yang sudah dirumuskan dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintahan Kabupaten dan Kota. Dengan demikian, yang perlu dikerjakan dalam pengembangan kelembagaan, meliputi (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan organisasi, (3) pengembangan administrasi, (4) pengembangan tata cara akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya organisasi.
Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Bidang-bidang strategis dalam Rencana Strategis tersebut juga seharusnya memilih jenis, jumlah dan mutu SDM yang diperlukan di tempat utamanya pada forum pemerintahan kabupaten/kota. Pengalaman menawarkan bahwa seringkali pengembangan SDM tidak dikaitkan dengan kebutuhan strategis daerah, bahkan terkesan kurang menawarkan donasi bagi pemerintahan daerah itu sendiri. Dalam konteks SDM ini perlu difokuskan pengembangan  (1) keterampilan dan kemampuan, (2) pengetahuan dan pengetahuan, (3) bakat dan potensi, (4) kepribadian dan motif melakukan pekerjaan , dan (5) etika dan etos kerjanya.
Pengembangan Network Pemerintahan. Rencana Strategis telah memperlihatkan arah pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah. Dalam melakukan aneka macam pengembangan tersebut tempat niscaya mempunyai banyak sekali kekurangan . Karena itu, mesti dimungkinkan proses belajar sendiri dan kerja sama dengan pihak lain dan tidak harus dengan pemerintah sentra sebagaimana selama ini terjadi. Seharusnya di era mendatang kawasan diberi keleluasaan untuk mencar ilmu dari atau saling mencar ilmu dengan (1) kabupaten atau kota lainnya baik dari dalam maupun dari luar negeri, (2) forum-forum vertikal yang ada, dan (3) sentra-sentra pengembangan seperti akademi tinggi dan LSM yang cocok dengan keperluan mereka, lewat suatu ”jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka sangat menolong proses berguru cepat di daerah.
Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan. Di samping semua perbaikan dan peningkatan tersebut, pemerintahan tempat sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang mampu dimanfaatkan untuk berbuat yang terbaik bagi tempat. Di sini tempat harus mengupayakan (1) pemanfaatan lingkungan fisik dan nonfisiknya secara optimal dan bertanggung jawab, (2) pemanfaatan peraturan perundangan lebih tinggi dan (3) penciptaan dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban di kawasan. Peraturan perundangan yang mendukung pembangunan setempat mesti dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban mesti diciptakan dan dimanfaatkan bagi pembangunan dan pelayanan publik di kawasan. Dalam konteks ini, tempat mesti memelihara, melanggengkan dan mempergunakan lingkungannya agar penduduk merasa aman sementara beliau dapat melakukan pekerjaan menawarkan yang terbaik bagi masyarakatnya.. Semua elemen yang mesti dikembangkan atau diperbaiki tersebut mesti dilihat sebagai satu.