“Sekarang Nida sudah hafal berapa juz?” tanya seorang ikhwah sore tadi.
“Alhamdulillah, sekarang hafal 6 juz lebih” jawab suami. Nida adalah anak kami yg pertama, sekarang se&g duduk di kelas 4.
“Bagaimana muroja’ahnya?”
“Kalau di rumah ya sesudah Maghrib sama sehabis Subuh”
Sebenarnya, yg paling berjasa dlm mengantarkan Nida menghafal adalah ustazahnya, Ustazah Betty. Di rumah, dia tinggal muraja’ah saja. Dan alhamdulillah, tak ada kendala yg bermakna sebab kami hampir tak pernah menyalakan TV. Ada sebuah TV di rumah, tapi kami sekeluarga berkomitmen untuk tak menyalakannya. Ada TV, namun tak ada antena. Kami hanya sesekali menyalakannya untuk nonton VCD/DVD. Dulu digunakan si kecil untuk nonton VCD/DVD kartun. Tapi alhamdulillah, telah beberapa lama ini si kecil juga sudah membenci. Praktis, TV itu jadi nganggur kecuali saat diharapkan, sesekali nonton film berdua dgn suami.
TV bergotong-royong mempunyai banyak faedah. Ia bisa menjadi fasilitas info lewat informasi yg gratis tersaji. Ia juga bisa menjadi fasilitas edukasi, termasuk syiar agama lewat kuliah Subuh & sejenisnya. Yang lebih lebih banyak didominasi, TV berfungsi sebagai fasilitas hiburan. Fungsi terakhir inilah yg justru lebih banyak menjinjing efek negatif bagi keluarga & bawah umur.
Betapa banyak ibu-ibu yg menghabiskan berjam-jam waktunya dgn asyik menonton TV. Tugasnya sebagai istri bagi suami & ibu bagi anak-anak tak jarang terbengkalai. Yang tak kalah berbahaya, propaganda melalui sinetron, infotainment, musik & film yg ditonton lalu diserap begitu saja tanpa disaring dgn filter akhlak & agama. Seperti perumpamaan, tontonan menjadi tuntunan. Ibu yg sebaiknya menjadi sekolah pertama & benteng budbahasa bagi anak-anaknya, kehilangan kiprahnya alasannya adalah dia telah terpengaruh dgn TV.
Anak-anak, malah lebih rentan lagi menjadi korban TV. Anak usia dini yg seharusnya mengalami pertumbuhan pesat kecerdasannya, menjadi terhambat lantaran mereka lebih banyak menonton TV. Perkembangan fisik motorik & sosial yg sebaiknya terjadi dgn pesat jika mereka bermain & ‘dolanan’, terhambat sebab lebih banyak menonton TV. Masa-kurun itu juga kala penanaman aksara paling kokoh dlm diri anak. Namun karena nilai-nilai yg masuk mayoritasnya berasal dari TV, mereka pun tumbuh dgn terdampak taygan TV yg ka&g kala menyajikan kekerasan, suka usil, bahagia menyaksikan kawannya menderita, & sebagainya. Di samping, kesukaan mereka terhadap gambar bergerak membuat mereka tak lagi kesengsem dgn buku cerita yg gambarnya diam.
Remaja juga tak lepas dari ancaman negatif pengaruh TV. Betapa banyak sampaumur yg tawuran, pacaran, sampai pergaulan bebas & narkoba, mulanya alasannya adalah imbas TV. Mula-mula mode pakaiannya ingin menggandakan apa yg mereka tonton. Pun dgn pemampilan & gaya bicara atau gaya sikapnya. Lalu contoh pergaulannya. Dari pergaulan yg tak sehat, lahirlah dampak negatif berikutnya.
Lalu bagaimana caranya beralih menuju ‘keluarga tanpa TV’? Jika kita sudah lama ‘menikmati’ TV lalu tiba-datang ‘membuang’ TV tersebut mungkin tak semua anggota keluarga siap. Maka langkah yg bisa ditempuh pertama kali yakni memberikan terhadap suami sebagaikepala keluarga, bahwa kedatangan TV perlu dibatasi biar lebih banyak kemanfaatan bagi keluarga. Sampaikan plus minusnya TV, minimal mudah-mudahan belum dewasa tak terlalu sering menonton TV. Setelah itu lakukan musyawarah keluarga, atau bincang santai, khususnya jika belum dewasa sudah lazimdiajak berdialog. Tidak perlu eksklusif ‘meniadakan’ TV, namun waktunya dikurangi terlebih dulu. Misalnya hanya 1 jam sehari. Lalu sehabis itu, hanya di hari libur, selama 1-2 jam. Siapkan juga hiburan alternatif bagi belum dewasa. Bisa dgn mengajak mereka bermain lebih intens, membelikan buku cerita & membacakan cerita, & sebagainya. Intinya, alihkan dari TV terhadap kegiatan yg lebih positif. Dan jikalau bawah umur telah terbiasa tanpa TV, akan lebih banyak waktu tersedia untuk aktifitas positif & mulia, salah satunya ialah menghafal & muraja’ah. [Liha/Webmuslimah]