Pelajari kota Pontianak, pastinya memahami berbagai hal terkait dengan aspek ekonomi, dan budaya di penduduk . Bagaimana mereka hidup dan bekerja sesuai dengan ekonomi yang mereka terapkan hingga dikala ini.
Di Pontianak, akan terlihat dengan birokrasi mereka selama numpang hidup terutama pada masyarakat Tionghoa disini, dan menggunakan kaum pribumi dalam metode ekonomi mereka, utamanya yang bekerja pada ekonomi Tionghoa.
Bagaimana mereka hidup dan tinggal berdasarkan pengetahaun mereka, serta kriminalitas mereka pada lingkungan pendidikan, selama sekolah disini. Terutama pada pandangan pedesaan yang tampak pada budaya kehidupan sosial dan faktor sosial di masyarakat yang berasal dari planning kebijakan serta kolektifitas mereka selama hidup mengereja dan non.
Baik itu sengaja atau tidak menjadi catatan kepada kriminalitas dan ekonomi mereka selama hidup pada metode birokrasi di Indonesia. Jika ingin kaya atau banyak duit maka selain birokrasi, maka sambil bisnis itu yang mempunyai dampak pada kehidupan sosial budaya di masyarakat hingga saat ini.
Pemahaman yang mengenakan terhadap aspek kehidupan sosial di masyarakat, dengan nilai upah yang memiliki kriteria berbeda, dengan faktor kehidupan sosial budaya sampai ketika ini. Ketika hal ini menjadi penting penting dalam melihat aneka macam duduk perkara dalam ekonomi pada pemerintah maka akan berlawanan dengan kehidupan sosial budaya di masyarakat hingga saat ini.
Ketika banyaknya orang Tionghoa berjualan, maka akan lekat dengan kebudayaan setempat yang dibawa pada kehidupan sosial di masyarakat sampai dikala ini. Nah, umumnya pada faktor kehidupan sosial di penduduk memiliki efek pada dilema moralitas dan adat mereka selama hidup di penduduk terlihat kasatmata pada kolektifitas mereka dalam kehidupan sosial.
Perubahan sosial, kepada imbas pada kehidupan sosial di penduduk , akan mempunyai perbedaan kepada faktor kehidupan sosial di masyarakat dikala ini dengan adanya problem ekonomi, perkotaan yang memiliki efek pada kehidupan budaya dan agama yang menerangkan adanya perang dagang atau ekonomi yang lantas menjadi baik kepada masyarakat Desa.
Hutan dan Gaya Hidup
Hutan masyarakat, menjadi permulaan dari pangan dibuat menurut kehidupan awal masyarakat budpekerti di Kalimantan dan Jawa (tertua) saat itu. Hal ini menerangkan adanya moralitas dan ketidaksenangan manusia kepada kehidupan awal yang tampak pada konflik ekonomi, dan sosial di penduduk sampai dikala ini.
Bagaimana birokrasi yang tampak dengan moralitas mereka selama hidup kepada istilah numpang hidup mulanya di masyarakat, dengan ekonomi yang mereka rencanakan sebagai ketidaksenangan mereka terhadap individu, kalangan serta dalam sebuah keluarga.
Moralitas dan adat watak mereka di penduduk akan memiliki dampak kepada bagaimana ekonomi melakukan pekerjaan sampai ketika ini terjadi secara mandiri dan lokal di masyarakat secara umum. Hanya orang memanfatkan agama dalam kehidupan sosial budaya mereka di penduduk .
Untuk bertahan hidup tahu numpang hidup pada aspek birokrasi, dan non birokrasi seperti agama mengakibatkan contoh permulaan mereka selama hidup di masyarakat dan mengereja. Kebuasaan mereka akan terlihat pada aktivitas dan pekerjaannya selama makan dan minum.
Dalam sebuah massa dikala mereka saling kolektif menyerang, seperti di keluarga kudus Pontianak, dan MRPD Pancasila (ideologi). Sudah bukan diam-diam biasa lagi, dengan latar belakang cuma seorang birokrasi yang memiliki wawasan yang begitu minim, serta pendidikan dan pola hidup yang seharusnya pas – pasan, untuk di Kota Pontianak.
Itu yakni sebagai cerminan atau persepsi kepada upaya insan mengenali diri mereka selama berkehidupan sosial, dan beragama (karakteristik) yang lantas perlu dipahami dengan adanya moralitas dan adat pada setiap pembangunan insan dan ekonomi. Ketika mereka menguasai ekonomi akan adakah tampak kekerasan dalam kehidupan sosial dan budaya di masyarakat setempat.
Ketika terlihat pendidikan menjadi permulaan permainan mereka selama hidup, dan untuk berkuasa (persoalan kelas) karena ketidaksenangan terhadap aspek kehidupan penduduk kota, dan ambisi serta tunjangan mereka mengatasnamakan agama kristiani.
Setelah hidup berasimilasi dan numpang hidup pada masyarakat Tionghoa mulanya, gerombolan penduduk Batak yang tinggal alasannya menjadi sampah di masyarakat, bahkan tidak menjadi apa – apa menjelaskan hal tersebut, bahkan mengklaim pembangunan.