close

Kekerabatan Elit Politik Dan Masyarakat


PEMBAHASAN
Dalam proses demokrasi, artikulasi dan agregasi kepentingan konstituen ialah proses politik yang paling fundamental. Artikulasi mampu dijadikan jembatan antara warga/konstituen dengan tata cara kerja-kerja legislative dan pemerintah, selaku pembuat kebijakan publik. Pendekatan artikulasi oleh DPR dapat dikerjakan menurut teori partisipasi dan demokrasi, terutama jika dilihat dari sisi aktor yang memainkan peranan dominan.
Agregasi aspirasi merupakan tahapan yang kompleks dan kritis, mengenang agregasi bukan hanya menampung atau menyalurkan aspirasi, tetapi juga harus menciptakan pilahan maupun mengelola konflik aspirasi yang kompleks dan saling bertentangan. Dalam teori politik, terdapat proses konversi yang mengolah input (aspirasi) menjadi output dalam bentuk kebijakan. Karena itu proses dan hasil kebijakan bergotong-royong ialah tujuanutama bagi artikulasi dan agregasi kepentingan. Oleh karena itu, proses kebijakan ialah arena dari artikulasi dan agregasi kebijakan.
Perlu dikenang, aspirasi masyarakat sebaiknya diprioritaskan pada aspirasi berdampak eksklusif bagi kebaikan bareng . Pada biasanya bentuk aspirasi ini tentang dilema-persoalan bareng . Sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, menghormati dan melindungi hak-hak dasar warga negara ialah syarat mutlak untuk mampu mempunyai korelasi serasi dengan konstituennya. Praktik politik yang terjadipun, kadang-kadang menjebak Dewan pada perihal susah untuk membedakan antara artikulasi aspirasi rakyat (konstituen) versus opini publik dari sekelompok elit warga atau pengamat politik.
Pada keadaan ini anggota Dewan akan dihadapkan pada aspirasi yang begitu banyak dan dari aneka macam segmen dalam daerah utama atau fokus area, terutama jika pada kurun kampanye pemilihan sebelumnya, telah banyak kesepakatan-janji politik antara partai yang menaunginya dengan pemilih. Disinilah agregasi aspirasi berperan selaku tahapan yang kompleks dan kritis, bukan hanya menampung atau menyalurkan aspirasi, namun harus menciptakan opsi maupun mengelola konflik yang ditimbulkan akhir adanya pertentangan atau perbedaan antar segmen.
2.1       DEFINISI MASYARAKAT DAN ELIT
Masyarakat diartikan secara lazim sebagai kelompok orang yang mempunyai kekerabatan antar individu melalui hubungan yang tetap, atau kalangan sosial yang besar yang membuatkan kawasan dan subjek yang serupa kepada otoritas dan budaya yang serupa. Masyarakat (terjemahan perumpamaan society) ialah sekelompok orang yang membentuk suatu tata cara semi tertutup (atau semi terbuka), di mana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kalangan tersebut.
Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, suatu masyarakat yaitu suatu jaringan kekerabatan-relasi antar entitas-entitas. Masyarakat ialah suatu komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, ungkapan masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bareng dalam satu komunitas yang terencana. Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani, sekelompok insan dapat dibilang selaku suatu penduduk jika mempunyai anutan, perasaan, serta sistem/aturan yang serupa. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka menurut kemaslahatan.
Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara khususnya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada : masyarakat tradisional, masyarakat ambivalen dan masyarakat modern. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri selaku kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional. Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: menurut urutan kompleksitas dan besar, terdapat masyarakat etnis, suku, bangsa, dan penduduk negara.
Kata society berasal dari bahasa Latin, societas, yang bermakna relasi persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berartiteman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya memiliki perhatian dan kepentingan yang sama dalam meraih tujuan bersama.
Untuk mengecek secara ilmiah perihal proses terbentuknya masyarakat sekaligus problem-dilema yang ada selaku proses-proses yang sedang berjalan atau bergeser kita memerlukan beberapa konsep. Konsep-konsep tersebut sangat perlu untuk menganalisaproses terbentuk dan tergesernya penduduk dan kebudayaan serta dalam suatu penelitian antropologi dan sosiologi yang disebut dinamik sosial (social dynamic). Konsep-konsep penting tersebut antara lain : Internalisasi (internalization), Sosialisasi (socialization) dan Enkulturasi (enculturation).
Elit berasal dari kata dalam bahasa Latin eligere, menentukan, mengacu pada suatu golongan atau lapisan yang paling berpengaruh atau paling memiliki nama baik dalam penduduk . Status pilihan ini lazimnya diperoleh atas dasar watak yang ditampilkannya atau prestasi hasil karya perjuangan dan atau kinerja yang terlihat. Elite juga dapat diartikan sebagai lapisan tertinggi dalam kesanggupan di bidang tertentu.
Golongan ini terdiri atas orang yang diakui sungguh menonjol dan dianggap selaku pemimpin di bidangnya. Dengan demikian ada kalangan elite politik, elite seniman, elite ilmuwan, dan sebagainya. Para anggota golongan elite umumnya mempunyai imbas penting dalam membentuk dan menghipnotis nilai dan sikap yang dianut penduduk dalam bidang masing-masing.  
Istilah “elite” digunakan pada masa ke-17 untuk menyebut barang dagangan yang memiliki keutamaan khusus. Kemudian istilah itu dipakai juga untuk menyebut kalangan sosial tinggi, mirip kesatuan militer yang utama atau kalangan darah biru atas. Kata “Elite” Di beberapa acuan baik berupa buku, majalah, koran, kita sering menjumpai kata elite. Secara etimologi, istilah elite berasal dari kata latin eligere yang bermakna memilih.
Pada era ke 14, perumpamaan ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang opsi). Kemudian pada kala ke 15, digunakan untuk menyebutkan best of the best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada kala ke 18, digunakan dalam bahasa Perancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi ternama dalam suatu masyarakat. Sementara itu, Amitai Etzioni mendefinisikan elite selaku golongan pemain film yang memiliki kekuasaan. Menurut Oxford English Dictionary, perumpamaan elite digunakan dalam bahasa Inggris paling awal pada tahun 1823, dan lalu mulai tersebar secara luas lewat teori-teori sosiologi perihal golongan- kelompok elite, terutama dari hasil pemikiran Pareto. Dalam kemajuan selanjutnya, menurut Bottomore, ungkapan elite secara lazim digunakan untuk menyebut kelompok-kalangan fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu penduduk .
Pada awalnya teori elit politik lahir dari diskusi seru dari para ilmuwa Amerika Serikat (AS) antara Joseph A. Schumpter (1883-1950), Imperialism And Social Clasess (ekonom), Harold D laswell, Daniel Lerner dan C.E. Rothwell, The Comparative Study Of Elites (ilmuwan politik) dan C. Wright Mills, The Power Elite, yang melacak goresan pena-tulisan dari para pemikir eropa pada periode awal hadirnya fasisme, khuhsusnya Villfredo Pareto (1848-1923) dan Gaetano Mosca (1858-1941), Roberto Michells (1876-1936) dan Jose Ortega Y. Gesset yakin bahwa setiap masyarakat dipeintah oleh sekelompok kecil orang yang memiliki kualitas-kualitas yang di perlukan bagi kedatangan mereka pada kekuasaan sosial dan politik yang penuh.
Mereka yang bisa meraih pusat kekuasaan yakni selalu merupan yang terbaik. Mereka ialah yang disebut dengan atau sebagai istilah elit. Ellite, ialah orang-orang yang sukses yang bisa menduduki jabatan-jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Karena itu timbul persepsi Villfredo Pareto, maasyarakat terbagi atas dua kelas yakni (a). Lapisan atas, yakni elit yang terbagi kedalam elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-goverming elite), (b). Lapisan yang lebih rendah, yaitu non-elit.
Dalam menelaah pergantian kekuasaan, berdasarkan pengalaman sejarah, Pareto membedakan dua tipe elite. Yang pertama disebutnya dengan perumpamaan spekulator, yaitu elite yang perilakunya dilandasi oleh “naluri kombinasi. Mereka ini yaitu manipulator sekaligus perencana dan pembaharu. Tipe kedua di­sebut rentier, yang perilakunya dilandasi oleh apa yang dinamakan “naluri mempertahankan golongan. Mereka ini berkuasa, bersifat konservatif, dan keras kepala. Sejarah masyarakat insan ditandai oleh pergeseran kekuasaan antara dua tipe elite ini, yang disebut circulation of elite. Kekuasaan usang senantiasa ditumbangkan oleh elite dari tipe yang berlawanan. Tetapi sesudah spekulator menjadi penguasa gres, mereka cenderung berganti sifatnya menjadi rentier, yang pada gilirannya akan ditumbangkan lagi oleh elite tipe lawannya.
2.2       KLASIFIKASI ELIT
Di dalam penduduk kebanyakan memilki kelas-kelas sosial tertentu dimana diantara masyarakat tersebut dibagi dalam kalangan atas, menengah dan kelas bawah. Serta disamping itu ada juga yang mengelompokkan kelas sosial masyarakat atas kelas yang diperintah dan kelas yang memerintah. Kelas yang memerintah inilah yang disebut oleh sebagian para jago ilmu sosial dengan istilah elit.
Dimana elit ialah kelas sosial yang dianggap selaku kelas sosial yang cukup tinggi di dalam masyarakat dan cuma mampu dimasuki oleh segolongan orang yang memilki kemampuan yang lebih dibandingakan orang lainya karena cenderung eksklusif dan tertutup untuk bisa dijangkau oleh kelas penduduk biasa yang ingin menjadi elit.
Istilah “elit”, dipakai di Perancis pada kala yang XVII untuk mendeskripsikan sesuatu yang manis sekali, dan sementara waktu kemudian diaplikasikan ke dalam golongan sosial yang unggul dalam beberapa hal, akan namun istilah ini tidak dipakai secara luas dalam anutan sosial dan politik sebelum kurun XIX, dikala seperti disinggung diatas, perumpamaan ini mulai masuk dengan melalui teori elit sosiologis yang diajukan oleh Villfredo Pareto.
Masyarakat menurut Mosca terbagi dalam 2 kelas yang berbeda tugas dan fungsinya secara sosial ialah masyarakat elit dan non elit. Masyarakat elit sendiri terdiri dari dari masyarakat elit politik dan elit penguasa. Mosca menatap masyarakat menjadi dua kelas. Kelas elit yakni kalangan kecil penguasa yang mampu memonopoli kekuasaan dan melaksanakan metode politik. Kelas ini mempunyai kewenangan besar dalam tata cara politik. Secara umum elit politik yaitu orang tertentu yang berkuasa dan mengemban tugas dengan kedudukan tinggi dalam penduduk .
Elit menurut Laswell meliputi seluruh pemegang kekuasaan dalam sebuah bangunan politik. Elit politik terdiri dari mereka yang meraih kedudukan, kekuasaan, kekayaan dan kehormatan. Laswell mendefinisikan elit tanpa memilahnya sebagai elit politik dan elit penguasa. Elit Politik menurut Teoritikus Politik ialah orang-orang yang mempunyai jabatan dalam metode politik. Mills menatap elit selaku orang yang menduduki posisi komando sehingga mampu mengambil keputusan yang berakibat kepada seluruh masyarakat.
Klasifikasi Golongan Elite yang menawarkan dampak terhadap perjuangan pembangunan dan proses politik dalam sebuah tata cara Negara adalah :
1.    Elite Politik
2.    Elite Administrasi
3.    Elite Cendekiawan
4.    Elite Dunia Usaha
5.    Elite Militer
6.    Elite Pembinaan usulan
(Sumber : Bintoro Tjokroamidjojo, Mirrian Syofian, Muchtar Machmud, Administrasi Pembangunan. Penerbit Karunia. Jakarta).
Elite Politik adalah golongan yang memperoleh legalisasi perihal kehendak politik bangsa serta politik pembangunan di mana diputuskan arahyang akan dilakukan dalam pembangunan bangsa oleh pemerintah.
Elite Administrasi adalah sekelompok orang yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk terlibat pula perumusan hasratpolitik. Tugas Elite  Administrasi  yaitu untuk menterjemahkan harapan-harapan politik menjadi kebijaksanaan, rencana dan program-program pembangunan.
Elite Cendekiawan yakni sekelompok orang yang mempunyai nilai-nilai dna kompetensi secara akademis di bidang-bidang keilmuan yang memeiliki peran menunjukkan pencerahan dan berita kepada publik. Elit ini akan berpengaruh dalam penduduk sangat tergantung  terhadap anutan-ajaran yang berorientasi kepada kecerdikan serta program-program pembaharuan atau pembangunan atau relevansinya dengan elite-elite lain.
Elite Dunia Usaha merupakan elite yang menguasai, mempunyai dan mengorganisir sumber-sumber ekonomi. Elite ini sungguh berorientasi terhadap profit, kepentingan perjuangan, kemudahan investasi dan yang paling penting adalah tugas dalam memuluskan kepentingannya sendiri.
Elite Militer, merupakan elite yang kian memiliki peranan yang besar sekali dengan menerima otoritas pelaksanaan akal atau program serta stabilitas dan kontinuitas pembangunan pertahanan dan keamanan. Kelompok ini sudah mendapat legitimasi dari penduduk dalam kewenangan yang melekat padanya.
Elite Pembinaan Pendapat merupakan sebuah kelompok yang peran sehari-harinya menjadi penyalur isu, pembentuk pertimbangan masyarakat (public opinion) dan peningkatan kesadaran penduduk perihal hak dan keharusan. Kelompok ini dapat menjadi pencetus pembaharuan, penggagas penduduk , penyalur fatwa dan pertimbangan , juga dapat menjadi pengawas sosial kepada jalannya proses politik dan proses pembangunan.
2.3       METODE PENENTUAN DAN TIPE ELIT POLITIK
Untuk mengidentifikasi siapa yang tergolong dalam klasifikasi elit politik dapat dilihat dari pendekatan beberapa sistem yakni :
1. Metode Posisi
Elit politik adalah mereka yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam tata cara politik. Jabatan strategis yaitu dapat menciptakan keputusan dan kebijakan dan dinyatakan atas nama Negara. Elit ini jumlahnya ratusan meliputi para pemegang jabatan tinggi dalam pemerintahan, perpol, golongan kepentingan. Para elit politik ini saban hari membuat keputusan penting untuk melayani berjuta-juta rakyat.
2. Metode Reputasi
Elit politik diputuskan bedasarkan reputasi dan kemampuan dalam memproses banyak sekali masalah dan kemudian dirumuskan menjadi keputusan politik yang berefek pada kehidupan masyarakat.
3. Metode Pengaruh
Elit politik yakni orang-orang yang memiliki efek pada aneka macam tingkatan kekuasaan. Orang ini mempunyai kemampuan dalam mengatur masyarakat sesuai kemampuan efek yang dimiliki, sehingga penduduk secara spontan mentaati para elit politik. Oleh sebab itu orang yang kuat dalam penduduk mampu dikategorikan sebagai elit politik.
Ketiga tata cara penentuan elit tersebut diakui dan dianut oleh banyak sekali Negara. Namun ada negara yang lebih banyak didominasi memakai tata cara posisi atau tata cara reputasi. Disamping itu ada juga Negara yang mengkombinasikan ketiga tata cara tersebut untuk mendapatkan hasil yang sesuai dalam mengkategorikan mereka yang tergolong sebagai elit politik.
Beberapa hebat telah memberikan tipe-tipe elite politik. Diantaranya menurut Machiavelli ada dua tipe elit politik dalam memerintah.
1.    Elit politik yang memerintah dengan kelicikan
2.    Elit politik yang memerintah dengan cara paksa.
Menurut Villfredo Pareto, elit terbagi atas dua:
1. Governing elit/ elite pemerintah
2. Non Governing elit/ elite non-pemerintah
Sekelompok orang yang mempunyai talenta yang mencolokdalam aktivitas bidang tertentu dalam hal ini bidang politik. Analisa pareto didasarkan dari sudut psikologi, bahwa ada sifat elit yang menonjol, sifat mencolokitu disebut residu. Untuk Pareto, Residu diartikan sebagai sebuah manifestasi dari perasaan orang-orang yang menonjolkan diri dalam bentuk- bentuk acara. Tipe residu menurut Pareto antara lain adalah :
1.    Residu of Combination
Yaitu manifestasi yang memiliki indikasi adanya intelegensia ketajaman berfikir dan penggunaan akal rasional. Tipe ini bercirikan; memerintah dengan cara rasional dan intelegensia tinggi walaupun adakala dengan tipu akal busuk yang licik. Tipe ini tidak mempunyai kekuatan sehingga pada dikala diperlukan kekuatan atau kekerasan maka elit ini akan jatuh.
2.    Residu of Agregation
Merupakan suatu bentuk manifestasi yang merealisasikan atau menonjolkan kekerasan, sifat patriotis dan konservatif. Tipe ini bercirikan selalu menonjolkan kekerasan dan ancaman, namun tidak memiliki arti elit ini tidak akan jatuh, justru dengan kekerasan umumnya mereka akan memancing timbulnya revolusi-revolusi gres.
Menurut Pareto variasi kedua tipe tersebut ialah yang terbaik, karena berdasarkan  elit yang sangsi memakai kekerasan akan menjadi lemah tetapi sebaliknya elit yang senantiasa menggunakan kekerasan akan memancing timbulnya pergantian elit secara revolusioner. Supaya tidak terjadi pergolakan dan instabilitas didalam pergeseran elit berdasarkan pareto maka perlu diadakan sirkulasi elit.
Tipe elit politik dalam memerintah dibagi menjadi :
1. Elit Politik yang memerintah dengan kelicikan.
Para elit politik berupaya untuk mengabsahkan atau merasionalkan kekuasaan elit politik dengan memakai cara peresapan atau derivasi (derivation). Derivasi (derivation) Yaitu sebuah perjuangan mempertahankan elit dengan memakai logika rasional yang sifatnya sengaja membenarkan tindakan – tindakan elit dengan gosip-isu tertentu bila perlu dengan isapan jempol.
2. Elit Politik yang memerintah dengan cara paksa
Elit politik yang memerintah dengan cara paksa kebanyakan terdapat di Negara-negara yang menganut tata cara politik komunis atau tata cara politik adikara. Para elit politik atau elit berkuasa memakai kekuasaan sebagai alat untuk mewujudkan keinginan dan kepentingan politik. Di Negara-negara yang menganut metode politik komunis para elit politik menggunakan cara paksa untuk memerintah penduduk dalam aneka macam segi kehidupan. Sehingga rakyat atau penduduk yang dikuasai tidak memilki kebebasan untuk memilih cara hidup menurut harapan individu atau warganegara.
3. Elit Politik konservatif
Elit berupaya menjaga kekusaannya denga berorientasi pada kepentingan langsung atau kepentingan kelompok. Untuk menjaga kepentingan eksklusif mereka elit condong menjaga kondisi politik yang sedang mereka kuasai. Segala hukum yang ada dijalankan berdasarkan keinginanelit penguasa yang ada, sehingga tidak memberi peluang kepada pihak lain untuk menertibkan atau mempengaruhi elit politik yang sedang berkuasa.
4. Elit Politik liberal
Sikap elit cenderung berorientasi pada kepentingan rakyat biasa dan elit politik selalu bersikap tanggap dan peduli terhadap berbagai tanggapan dan tuntutan masyarakat. Sikap elit politik ini membuka peluang yang seluas- luasnya pada setiap anggota penduduk untuk mengembangkan taraf hidup dan mengaktualisasi diri untuk bisa memenuhi kehidupan menurut prosedur metode politik yang ada.
Orientasi para elit politik liberal adalah berusaha untuk membina dan memberi keleluasaan anggota masyarakat atau warga Negara untuk meningkatkan status sosial. Dalam hal ini individu atau warganegara dibebaskan menurut aturan atau perundang-undangan Negara. Untuk itu warganegara secara bebas meyampaikan banyak sekali kepentingan sesuai dengan kehendak warganegara yang bersangkutan. Elit politik liberal bertindak secara demokratis untuk menghargai hak-hak warganegara dan terbuka terhadap aneka macam kelompok. Kolaborasi diantara diantara para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan tidak dibenarkan.
2.4       REALITA HUBUNGAN ELIT POLITIK DENGAN MASYARAKAT
Pada dasarnya prosedur hubungan partai politik dengan penduduk sederhana : partai politik membutuhkan suara pemilih dalam pemilu biasa . Maka dari itu, partai politik terpaksa harus mengamati harapan para pemilih sebelum mengambil keputusan perihal acara dan kebijakan partai. Artinya, politisi mesti mencari gosip tentang kesulitan dan masalah yang sedang dihadapi penduduk serta kepentingan dan preferensi pemilih.
Kemudian partai mampu memperlihatkan sebuah acara politik yang membicarakan duduk perkara-duduk perkara yang aktual. Dalam persaingan multi-partai, yang diperlukan partai politik adalah responsiveness; kesanggupan untuk mendengar dan menjawab. Tanpa prosedur pengelolaan kekerabatan dengan penduduk yang responsif partai politik tidak dapat mengoptimalkan hasil di dalam pemilu. Pengelolaan hubungan dengan masyarakat juga penting bagi keberlangsungan dan survival partai politik selaku organisasi sosial.
Seluruh organisasi berupaya untuk menstabilkan dan mengatur lingkungannya. Lingkungan yang sangat sentral bagi partai politik yakni konstituennya. Hubungan dan komunikasi dengan masyarakat yang konsisten dan dua arah mampu merupakan stabilisator bagi partai, sebab pemilih merasa lebih dekat dan terikat pada partai dan akan memberikan donasi kepadanya. Maka dari itu, partai politik harus berusaha membangun korelasi dengan konstituen yang stabil dan berjangka panjang.
Agar korelasi dengan konstituen dapat didirikan dan dikelola dengan baik partai mesti berbagi pemahaman ideologi dan nilai-nilai dasar partai dan membangun infrastruktur dan struktur partai dulu. Ideologi dan nilai-nilai ialah pondasi hubungan partai politik dengan konstituen. Lebih lanjut ada tiga pilar, ialah sumber daya manusia, prosedur dan mekanisme internal partai, dan sumber daya finansial. Partai mesti membangun ideologi selaku landasan pemikiran dan acara partai.
Kalau ada ideologi dan nilai-nilai yang terperinci, partai mampu mengidentifikasi golongan-kelompok penduduk yang memiliki kurang lebih satu kesamaan dengan ideologi yang hendak dikembangkan partai tersebut. Baru sehabis itu dilaksanakan pengorganisasian. Kemudian pengembangan program dapat dijalankan. Ideologi dan nilai-nilai dihadapkan pada semua masalah untuk mengembangkan anjuran solusi atas problem-dilema, baik persoalan ekonomi, sosial, antar agama, dll. Ini yang akan membuat ideologi secara terus menerus applied atau hidup. Ini menjadi siklus, sehingga ini menjadi gerak spiral ke atas.
Masalah-masalah hubungan partai dengan konstituen di Indonesia antara lain :
1.    Lemahnya pemahaman ideologi dan tata cara nilai partai, sehingga dikala timbul sebuah persoalan, tidak terlihat adanya perbedaan yang substansial antara partai satu dengan yang lainnya dalam menuntaskan duduk perkara tsb. Padahal saat ideologi menjadi sebuah metode nilai, ini sebaiknya berefek pada cara berpikir dan menyelesaikan problem. Efek dari lemahnya ideologi ini membuat partai menjadi pragmatis. Tidak mengherankan bahwa kesudahannya konstituen menjadi lebih pragmatis juga dan punya kecenderungan memilih figur, kedekatan, atau yang banyak uangnya dan sumbangannya.
2.    Hubungan partai dengan konstituen sudah terjebak pada teladan hubungan jual-beli/transaksional antara buyer dan seller. Untuk menerima suara dalam pemilu, parpol membeli konstituen lewat uang, sembako, kaos, pembangunan mesjid, pembangunan jalan dll. Hal ini dilestarikan oleh kekerabatan anggota dewan dengan konstituennya, yang terhanyut dalam pola politik sejenispasca Pemilu. Alih-alih menciptakan desain keputusan politik yang merupakan terjemahan dari aspirasi dan kepentingan konstituen, anggota dewan terjebak untuk memberikan pertolongan dan pinjaman yang bersifat karitatif dan berbiaya tinggi.
3.    Belum terbangunnya suatu komunitas politik dan infrastrukturnya yang solid, dimana parpol menjadi ujung tombak penyaluran aspirasi dan agregasi kepentintingan komunitas tersebut. Tidak mengherankan dikala pada Pemilu partai A mendapat, katakanlah 1 juta bunyi, mereka tidak tahu suara itu berasal dari mana, sebab infrastrukturnya belum terbangun.Suara dalam Pemilu sendiri seyogyanya ialah konsekuensi logis dari sebuah komitmen atau janji yang dibangun bareng dalam komunitas, dimana parpol menjadi ujung tombaknya.
4.    Parpol menggunakan konstituen untuk kepentingan jangka pendek, dimana parpol memakai konstituen sebagai pendulang suara dalam Pemilu, alat legitimasi, alat mobilisasi, tatkala instrument partai memerlukan untuk merebut dan menjaga kekuasaan. Konstituen diposisikan selaku sub-ordinat untuk menyanggupi harapan dan kepentingan politik partai.
Hubungan konstituen mesti ditandai dengan :
1.        Wajah politik yang padat dengan ilham-ilham dan upaya kongkrit yang lebih mensejahterakan rakyat plus nilai-nilai keadilan bagi masyarakat.
2.        Orientasi politik ke Grass roots, dimana inspirasi-wangsit politik mesti lebih mendominasi daripada manuver politik yang hanya berorientasi untuk membangun kekuasaan belaka.
3.        Kemampuan untuk merespon konstituen. Partai politik harus mampu menyimak dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari penduduk . Disamping itu, partai politik harus tahu apa kebutuhan dan harapan penduduk , yang lalu dipakai sebagai dasar untuk menyusun program partai.
4.        Penggunaan Media. Partai politik harus mampu berkomunikasi pribadi dengan konstituen melalui tatap muka. Komunikasi melalui organisasi-organisasi yang berfungsi sebagai mediator, mirip Serikat Buruh, Serikat Tani, Organisasi Pemuda, Organisasi Perempuan Dan lain-lain. Selain itu, juga dibangun komunikasi lewat media massa : Koran dan majalah, radio, TV, internet dengan website, email dan telefon. Dan juga yang tidak kalah pentingnya komunikasi dengan menggunakan media riset, polling dan survey.
5.        Berkelanjutan dan kontinuitas. Komunikasi dengan konstituen tidak dilaksanakan cuma ketika akan ada pemilu saja, melainkan diadakan secara terus menerus, sistematis dan berkelanjutan. Sehingga irama kerja partai tidak melonjak-lonjak sekaligus mampu meminimalkan banyak resoursis partai, mirip tenaga dan finansial. Dengan contoh komunikasi tersebut, maka konstituen mampu lebih gampang mengetahui partai politik dan politisi pilihannya.
6.        Kapabilitas dan kreativitasPartai harus memiliki kesanggupan untuk membangun pola, metode dan pendekatan komunikasi yang inovatif. Artinya, tidak mampu menciptakan persyaratan komunikasi yang diterapkan di semua tempat dan untuksemua orang. Partai harus lebih kreatif untuk membangun komunikasi yang menciptakan konstituen dapat merasa tenteram, aman dan mantap bersama partai. Meningkatkan komunikasi yang telah eksis di masyarakat (kelompok-kalangan strategis).
7.        Pembangunan infrastruktur yang merupakan satu perjuangan untuk mempermudah partai politik mengetahui siapa bahwasanya yang menjadi pemilih partai dan sekaligus dapat digunakan untuk menjawab aspirasi masyarakat pada umumnya dan pemilih khususnya. Infrastruktur yang memungkinkan sinergisitas antar pemain drama kunci partai baik yang di struktural, legislatif, eksekutif maupun kader.
8.        Peraturan Partai. Dengan peraturan ini, maka tidak ada alasan lain bagi politisi, pengelola dan penggagas partai untuk mengelak bagi terbangunya komunikasi imbal balik dan saling menguntungkan antara partai dengan penduduk pada umumnya dan pemilih terutama.
9.        Sayap partai. Pembangunan sayap partai merupakan jembatan yang paling baik untuk membangun komunikasi dengan penduduk kebanyakan dan pemilih khususnya. Sayap partai juga berkhasiat untuk mengintensifkan hubungan sektoral dengan penduduk dan terutama dengan pemilih. Sayap partai juga berkhasiat sebagai filter partai untuk beberapa info sektoral.
10.    Identifikasi personal. Partai harus mempu mengidentifikasikan siapa anggotapartai, siapa pemilihnya dan dimana masih ada kesempatanuntuk baik menjadi anggota maupun pemilih. Identifikasi personal mampu digunakan sebagai dasar untuk memilih bentuk-bentuk komunikasi.
11.    Sekretariat di daerah penyeleksian. Pembuatan sekretariat di tempat penyeleksian oleh tiap-tiap politisi dapat digunakan selaku jembatan komunikasi dan sekaligus memelihara relasi yang terus menerus dengan masyarakat terutama dengan pemilih. Skretariat ini semestinya juga dikaitkan dengan struktur partainya sendiri di kawasan penyeleksian. Sekretariat tidak hanya melayani pemilih saja, melainkan juga seluruh masyarakat yang ada di daerah pemilihan tersebut.