Hubungan Antara Konsep Diri Dan Motivasi
Manusia bereksistensi selaku subjek dan objek dalam pembangunan, artinya menempati posisi sentral dan strategis. Pembangunan nasional memerlukan sumber daya insan yang berkualitas, guna mengungguli kompetisi yang makin ketat dan kompetitif dalam memasuki periode globalisasi. Kondisi sumber daya manusia Indonesia sekarang sangat memprihatinkan. Dalam Human Development Indext 2000 terlihat bahwa sumber daya insan Bangsa Indonesia termasuk rendah, ialah ranking 109 di bawah Vietnam 108, Pilipina 77, Thailand 76, Malaysia 61, Brunai Darusalam 32, dan Singapura 24 (Tilaar, 2002: 115).
Hasil pendidikan juga mengecewakan, seperti nilai ujian rendah, budaya nyontek di kalangan pelajar, penyalahgunaan narkoba, hadirnya generasi terdidik yang bersifat materialistik, individualistis, konsumtif, dan sering terjadi pertengkaran. Hal ini sangat bertentangan dengan Tujuan Pendidikan Nasional, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003, adalah Pendidikan Nasional bermaksud menyebarkan potensi penerima didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulya, sehat, pandai, mahir, inovatif, berdikari, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sikap pelajar yang tidak etis, dan perilaku kekerasan sampai pada timbulnya tauran serta pertengkaran siswa, sangat bertentangan dengan Idiologi Pancasila, begitu juga dengan salah satu pilar pendidikan yang diketengahkan oleh UNESCO, ialah learning to live together, artinya belajar hidup bareng secara serasi dengan orang lain (Maba, 2002:7). Di Sekolah Menengah Atas (SMA), salah satu mata pelajaran yang ikut memberikan andil terhadap pembentukan dan pendewasaan perilaku siswa dalam mengerjakan kehidupan bersama yaitu Sosiologi. Dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran ( GBPP ), yang kemudian disempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.118/U/ 2002, tertanggal 22 Juli 2000, dipaparkan bahwa tujuan pelajaran Sosiologi di Sekolah Menengah Atas adalah memperluas cakrawala wawasan, mengembangkan sikap dan perilaku siswa yang rasional, dalam menghadapi kemajemukan masyarakat serta menjunjung tinggi kehidupam bareng secara harmonis. Hasil Ujian Akhir Nasional (UAN), mata pelajaran Sosiologi untuk Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Amlapura sebagai sekolah Unggulan Kabupaten Karangasem masih rendah, dengan nilai rata-rata 6,85. Dalam rangka optimalisasi hasil mencar ilmu Sosiologi, perlu ditemukenali serta diteliti banyak sekali aspek yang berpengaruh pada proses pembelajaran, agar mampu ditentukan sekala perioritasnya. Faktor-aspek yang kuat terhadap hasil mencar ilmu sifatnya kompleks. Roijekhers (1989:15), mengemukakan ada sejumlah faktor yang menghipnotis prestasi berguru siswa, secara garis besar terbagi atas dua jenis, yakni: aspek yang berasal dari dalam diri siswa dan aspek lingkungan. Faktor dari dalam disebut aspek internal, yang meliputi: sisi fisik seperti: alat indra dan kesehatan jasmani. Faktor psikologis meliputi: inteligensi, talenta, minat, emosi, perilaku, perhatian, kesiapan, kematangan, tanggapan, desain diri, dan motivasi. Faktor lingkungan (eksternal), mencakup (1) keluarga, yang terinci atas: pola didik orang renta, perhatian orang tua, keutuhan, pendidikan orang bau tanah, status ekonomi; (2) lingkungan sekolah, (3) lingkungan penduduk , dan (4) lingkungan alam
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kekerabatan antara konsep diri, motivasi berprestasi, perhatian orang bau tanah dan hasil berguru Sosiologi, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Secara teoretis hasil penelitian ini diperlukan dapat menambah khazanah konsep ilmu pendidikan sebagai cabang ilmu terapan. Sementara itu secara simpel hasil penelitian ini dimaksudkan supaya berguna bagi pihak-pihak yang terjun dalam dunia pendidikan dan proses pembelajaran.
Berdasarkan data empiris, ketiga variabel tersebut sungguh kuat terhadap hasil mencar ilmu, tetapi hasil penelitian yang mengungkap keterkaitannya dengan hasil berguru Sosiologi masih terbatas.
Anggrilli dan Helfat (1981:27) menyatakan konsep diri sebagai persepsi internal yang dimiliki setiap orang wacana dirinya tergolong evaluasi yang bersifat langsung mengenai aneka macam karakteristiknya. Uraian yang senada diketengahkan oleh Johnson dan Madinnus (1969), yakni desain diri yaitu sebagai sikap individu kepada fisik dan tingkah lakunya. Kemudian, Secord dan Backman (1974) menguraikan bahwa rancangan diri yakni suatu rangkaian pemikiran dan perasaan kepada diri sendiri yang meliputi: badan, tampilan, dan sikap. Di segi lain, Rais (dalam Gunarsa dan Gunarsa, 1983) mengetengahkan persepsi yang nyaris sama, menurutnya rancangan diri adalah persepsi atau penilaian seseorang perihal dirinya. Selanjutnya Hurlock (1993: 58) mengemukakan bahwa konsep diri meliputi citra fisik dan psikologis. Dalam relasi ini, Song dan Hattie (1984:127) mengetengahkan bahwa rancangan diri terdiri atas: konsep diri akademis, rancangan diri sosial, dan performa diri.
Jadi, rancangan diri yakni evaluasi, pandangan, dan perasaan seseorang ihwal dirinya. Konsep diri terdiri atas dua aspek, yakni rancangan diri fisik yang tercermin pada penampilannya, dan desain diri psikologis yang terinci atas konsep diri akademis dan desain diri sosial. Dalam kaitannya dengan belajar perlu dibangun rancangan diri yang positif, semoga terbentuk akidah diri. Hal ini senada dengan pertimbangan Cooper dan Sawot (dalam Priyadharma, 2001:18), bahwa dogma diri adalah kekuatan emosi yang didasarkan atas rasa harga diri dan makna diri. Semakin besar rasa yakin diri, semakin besar potensi untuk mencapai kesuksesan dalam segala kegiatan.
Motivasi berprestasi tergolong jenis motivasi intrinsik. McClelland (1987) menyebutkan bahwa motivasi berprestasi yaitu sebagai sebuah perjuangan untuk mencapai hasil yang sebaik mungkin dengan berpedoman pada suatu patokan kelebihan tertentu (standards of exellence). Kemudian, Heckhausen (1967) mengemukakan bahwa motivasi berprestasi merupakan suatu perjuangan untuk mengembangkan kecakapan pribadi setinggi mungkin dalam segala kegiatannya dengan menggunakan ukuran keunggulan selaku perbandingan. Jadi, dalam motivasi berprestasi senantiasa ada standar tertentu yang dijadikan persyaratan kerberhasilan. Dalam hal ini ada tiga persyaratan, yakni pertama, produk dinilai atas dasar kesempurnaan. Kedua, membandingkan prestasi sendiri yang pernah dicapai sebelumnya. Ketiga, membandingkan dengan prestasi orang lain dalam bidang sejenis. Menurut Ardhana (1990), motivasi berprestasi mampu dilihat dari adanya kecenderungan dan perjuangan yang bersifat ajeg untuk bekerja keras dalam solusi suatu peran, meskipun tidak ada pengawasan dari pihak lain. Kajian Keller, Kelly,dan Dodge (1987) menyimpulkan ada 6 karakteristik motivasi berprestasi yang tampak konsisten, yang terinci selaku berikut, (1) individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih banyak menyukai kesuksesan yang penuh tantangan, (2) suka jerih payah terlepas dari apakah mendapat imbalan atau ganjaran, (3) condong membuat opsi atau melaksanakan langkah-langkah yang realistis, (4) menyukai suasana yang dapat menganggap diri sendiri dalam pencapaian tujuannya, (5) mempunyai perspektif jauh ke depan, dan (6) individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan menawarkan prestasi yang tinggi. Selanjutnya, Winkel (1984:27) mendifinisikan motivasi berprestasi selaku daya aktivis seseorang untuk mencapai taraf prestasi berguru yang tinggi demi menemukan kepuasan. Demikian pula, Edward yang dikutip oleh Martinah (1984) mengupas wacana motivasi berprestasi selaku keinginan seseorang untuk dapat menyelasaikan tugas yang merepotkan secara baik, bekerja sebaik – semestinya untuk memperoleh keberhasilan, menuntaskan tugas yang memerlukan usaha dan ketrampilan, dan mengerjakan peran dengan kualitas lebih baik dari pada orang lain.
Motivasi berprestasi ialah bentuk spesifik dari motivasi intrinsik, peranannya sungguh menentukan supaya tercapai prestasi belajar yang berarti. Motivasi berprestasi perlu ditemukenali, dipupuk serta ditumbuhkembangkan oleh guru secara optimal dalam proses pembelajaran. Hal ini senada dengan pertimbangan Dimyati dan Mudjiono (1999:91) yang menyatakan bahwa motivasi berprestasi dibilang selaku motivasi intrinsik yang perlu diamati dan dikembangkan oleh guru sejak Taman Kanak-Kanak, SD, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Berdasarkan uraian tentang pemahaman dan ciri-ciri motivasi berprestasi yang dipaparkan oleh para ilmuan di atas, dapat ditarik final bahwa motivasi berprestasi yaitu konstruk psikologis yang mendorong siswa untuk melaksanakan usaha dengan sebaik mungkin atas dasar persaingan yang sehat dan bertanggung jawab, agar tercapai hasil mencar ilmu yang optimal berdasarkan persyaratan kelebihan
Perhatian orang bau tanah terhadap anak, termasuk dalam konteks bimbingan dalam keluarga. Hal ini dikemukakan oleh Suharsana (1976) yang menyatakan bahwa panduan orang bau tanah mampu mencakup: perhatian, pesan yang tersirat, akad-kesepakatan, dan penghargaan. Kemudian, Andersen sebagaimana yang dikutip oleh Rakhmat (1986:64) menjelaskan bahwa perhatian atau attention adalah proses mental terhadap stimuli atau rangkaian stimuli tertentu yang menonjol dalam kondisi stimuli-stimuli yang yang lain melemah. Perhatian terjadi jika seseorang mengkonsentrasikan alat indranya terhadap stimuli yang memiliki sifat-sifat mempesona dan sesuai dengan kebutuhan subjek.
Berkenaan dengan perhatian orang bau tanah, tidaklah cukup jika orang bau tanah sekadar menyediakan dan melengkapi akomodasi serta sarana berguru yang berwujud benda fisik ,sebab lengkapnya akomodasi fisik belum menjamin seorang anak belajar dengan baik. Fasilitas yang ditawarkan oleh orang tua cuma merupakan salah satu faktor saja yang kuat kepada kesuksesan belajar. Bagaimanapun baiknya dan lengkapnya akomodasi yang tersedia, jikalau tidak dipakai untuk hal-hal yang berafiliasi dengan kegiatan mencar ilmu, mampu diduga bahwa prestasi berguru anak tidak akan maksimal. Dalam kaitannya dengan duduk perkara ini, Jiyono dan John Stone (1983:289) menyatakan bahwa apa terjadi di dalam rumah adalah lebih penting daripada apa yang tersedia dalam rumah.
Bertitik tolak dari hal-hal di atas, terkandung maksud bahwa perhatian orang bau tanah terhadap acara belajar anak di rumah mempunyai arti dan imbas yang lebih penting, bila dibandingkan dengan pengadaan kemudahan berguru yang glamor. Karena itulah, dalam hal ini pengadaan sarana dan kemudahan berguru dimasukkan menjadi salah satu aspek dari wujud perhatian orang bau tanah, artinya bila membahas ubahan perhatian orang bau tanah secara implisit di dalamnya sudah termasuk pula pengadaan kemudahan berguru. Tentang urgensi perhatian orang bau tanah, diketengahkan oleh Rimm (2000:38) yang menyatakan bahwa di dalam memberdayakan bawah umur perhatian yang masuk akal dari pribadi orang-orang sampaumur/orang bau tanah lebih utama dari pada ganjaran dan hukuman. Selanjutnya, Russell (1993) menegaskan bahwa perhatian orang bau tanah besar lengan berkuasa berpengaruh terhadap perilaku belum dewasa. Demikian pula, Markum (1981:49) menyatakan bahwa hubungan emosional antara orang tua dengan anak dapat menghipnotis keberhasilan belajarnya.
Dari uraian di atas jelas tersimpul bahwa impian berhasil yang ditargetkan untuk dicapai oleh siswa di sekolah mutlak harus didukung perhatian orang tuanya, baik secara psikologis maupun dalam pemenuhan fasilitas dan prasarana mencar ilmu.